Orang yang datang di Kampung Wonorejo dianggap sebagai

SASI SURO PADA ORANG JAWA DI DESA WONOREJO KECAMATAN MANGKUTANA Triwijayanti Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar Email: ABSTRAK Triwijayanti. 2018. Sasi Suro Pada Orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Program Studi Pendidikan Antropologi Universitas Negeri Makassar. Dibimbing oleh Andi Ima Kesuma sebagai pembimbing I dan Amiruddin sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pandangan orang Jawa terhadap Sasi Suro di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. (2) Prosesi ritual dalam Sasi Suro yang dilakukan orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. (3) Nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan menyambut Sasi Suro di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. Untuk mencapai tujuan tersebut maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian diolah menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Orang Jawa di Desa Wonorejo digolongkan kedalam tiga tipe yaitu kelompok orang Jawa mistis, kelompok orang Jawa rasional-budaya dan kelompok orang Jawa rasional-islam. Kelompok orang Jawa mistis memandang bahwa Sasi Suro merupakan bulan yang wingit atau keramat, tidak baik untuk melaksanakan suatu hajat pernikahan, khitanan, atau pindah rumah. Bagi kelompok orang Jawa rasional-budaya memandang bahwa Sasi Suro adalah tahun baru Islam yang tidak ada kaitannya dengan bulan keramat, sedangkan kegiatan yang dilakukan hanya untuk melestarikan adat. Sedangkan bagi orang kelompok Jawa rasional-islam bahwa Sasi Suro adalah bulan yang mulia dan bulan kemenangan dilihat dari peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Nabi, selain itu ada keutamaan dalan Bulan Muharram yaitu puasa Asyura. (2) Dalam prosesi ritual menyambut Sasi Suro yang dilakukan orang Jawa di Desa Wonorejo terdapat dua tahap, yaitu tahap persiapan dengan membuat taker plontang dengan bahan-bahan yang dibutuhkan adalah daun pisang, janur kuning, lidi runcing, nasi kuning dan lauk pauk. Kemudian tahap pelaksanaan Sasi Suro dilaksanakan di perempatan dengan membawa taker plontang menjelang magrib dan diikuti oleh Orang Jawa khususnya tapi kegiatan ini juga tidak dibatasi, bagi siapa saja yang mau ikut maka diperbolehkan untuk ikut. Kemudian taker-taker yang telah terkumpul diberikan doa-doa, apabila telah selesai maka masyarakat berebut taker plontang tersebut. (3) Nilai-nilai yang terkandung dalam kegiatan menyambut Sasi Suro adalah nilai sosial yaitu menciptakan solidaritas, mempererat rasa persaudaraan, silaturahmi dan mengajarkan bahwa kita hidup sebagai makhluk sosial, nilai budaya yaitu untuk melestarikan budaya Jawa, nilai religius yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dan nilai edukasi/pendidikan yaitu dapat mengajarkan budaya dan tradisi Jawa kepada masyarakat. Kata Kunci: Sasi Suro, Orang Jawa, Taker Plontang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam sistem keagamaan. Terdapat enam sistem agama yang diakui sebagai agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu Dharma, Buddha, dan Kong Hucu. Adapun sistem agama lainnya yang tidak resmi disebut dengan sistem kepercayaan (belief

system). Sebagai agama yang mayoritas pemeluknya, Islam masuk di Indonesia dengan cara yang tidak mudah. Sebab, corak keberagamaan masyarakat Indonesia telah diwarnai oleh kepercayaan animisme dan dinamisme serta Hindu-Buddha. Sebagai kepercayaan tertua, animisme dan dinamisme tidak begitu saja ditinggalkan oleh masyarakat dan juga dengan kepercayaan Hindu-Buddha, melainkan terjadi suatu pembauran yang menciptakan suatu budaya yang khas antara agama Islam dengan kepercayaan pra-islam. Pembauran tersebut dapat dilihat dari upaya Sultan Agung Anyakrakusuma dalam memadukan antara kalender Saka yang merupakan penanggalan Hindu dan kalender Hijriah yang merupakan penanggalan Islam. Dalam penanggalan Islam ada dua belas bulan yang perhitungannya dimulai sejak terbenamnya matahari (atau berdasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi) yang dikenal dengan Tahun Hijriah. Nama kedua belas bulan Islam tersebut secara berturut-turut adalah Muharram, Safar, Rabi ul Awal, Rabi ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya ban, Ramadhan, Syawal, Dzul Qa idah, dan Dzulhijjah. Penanggalan Hijriah ini diadaptasi oleh Sultan Agung dalam upayanya mengubah sistem kalender Saka yang merupakan penanggalan Hindu menjadi kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dengan kalender Hijriah. Kalender Jawa memiliki nama bulan yang diadaptasi dari bulan-bulan Islam yaitu sebagai berikut: Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar. Penyesuaian kalender Saka dengan kalender Hijriah dimaksudkan agar peringatan hari besar Islam bertepatan waktunya dengan kalender Jawa tanpa meninggalkan perhitungan tahun Saka. 1 Dari dua belas bulan tersebut, Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Muharram adalah nama bulan pertama di Tahun Hijriah dalam kalender Islam yang oleh orang Jawa disebut Sasi Suro. Pada 2018, 1 Suro 1951 Jawa jatuh pada 11 September 2018 Masehi atau 1 Muharram 1440 Hijriah. Bulan ini adalah bulan yang dianggap sakral dan keramat, dan yang dianggap paling keramat adalah pada malam 1 Suro, khususnya bagi orang Jawa. Oleh sebab itu, sebagian orang Jawa melangsungkan peringatan pergantian tahun baru Hijriah. Namun berbeda dengan tahun baru Masehi yang dilaksanakan secara meriah dengan acara meniup terompet dan menyalakan kembang api di angkasa, tahun baru Jawa ini dilaksanakan penuh dengan kesakralan. Tradisi menyambut datangnya Sasi Suro memiliki tata cara pelaksanaan berbeda-beda di setiap daerah di Indonesia, namun pada umumnya masyarakat akan membuat makanan berupa bubur untuk dibagi-bagikan atau untuk dimakan sendiri. Di Jawa, tepatnya di Keraton Surakarta pada tanggal 1 Suro akan diadakan kirab pusaka dan kirab kebo bule yang dilanjutkan dengan tirakatan, sedangkan di Keraton Yogyakarta diadakan mubeng benteng serta laku bisu, tidak hanya sebatas itu sebagian masyarakat Jawa juga melakukan lakon lek-lekan (tidak tidur semalaman) ataupun melakukan kungkum (berendam) di sungai. Pada tanggal 10 Muharram orang Jawa akan membuat bubur suro. Tidak hanya di Jawa, di Aceh orang memperingati Bulan Muharram dengan membuat kanji Asyura, sedangkan di Kalimantan dan Ternate juga membuat bubur yang disebut bubur Asyura. Tradisi pada Bulan Muharram yang hampir sama juga dilakukan oleh orang muslim Bugis-Makassar di Sulawesi selatan dengan berbelanja dan membuat bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam yang disebut bubur Muharram atau bubur Asyura. 2 Di Desa Wonorejo, Kecamatan Mangkutana juga memiliki tradisi berbeda untuk menyambut datangnya Bulan Muharram atau Sasi Suro. Kegiatan ini telah menjadi tradisi bagi masyarakat Desa Wonorejo dan selalu dilaksanakan setiap tahunnya, baik tua, muda, bahkan anak kecil ikut melaksanakannya. 1 Hersapandi, dkk. 2005. Suran: Antara Kuasa dan Tradisi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa, hlm. 5-7 2 Nur Hayati dan Suraya Attamimi. 2013. Tradisi Ashura Pada Masyarakat Muslim Kota Palu Dalam Perspektif Syi ah. Jurnal Penelitian Ilmiah, Vol. 1, No. 1 Januari-Juni 2013 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185744&val=6438&title=tradisi%20%c3%a2%e2%82% AC%CB%9CASHURA%20%20PADA%20MASYARAKAT%20MUSLIM%2KOTA%20PALU%20%20%20%20 DALAM%20PERSPEKTIF%20SYI%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2AH (diakses pada 17 April 2018, pukul 18.10 WITA), hlm. 141-142

Desa Wonorejo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Mayoritas penduduk di Desa Wonorejo adalah orang Jawa dan baragama Islam. Orang Jawa (khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah) telah datang di Desa Wonorejo sejak puluhan tahun yang lalu dengan membawa tradisi dan budaya Jawa, kemudian banyak dari mereka yang tinggal menetap dan tidak kembali lagi ke tanah Jawa. Seiring perkembangan zaman banyak orang Bugis-Makassar ataupun orangorang dari daerah lain yang juga menetap di Desa Wonorejo, tetapi orang Jawa tidak melupakan adat maupun tradisi Jawa melainkan ada toleransi antarsuku untuk melaksanakan tradisinya. Di tengah arus globalisasi, kearifan budaya Jawa tetap terjaga meskipun orang Jawa tidak lagi tinggal di Pulau Jawa. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana, hampir seluruh aspek kehidupannya tidak terlepas dari adanya tradisi dan ritual. Adanya tradisi dan ritual tersebut menghasilkan perbedaan pandangan pada orang Jawa di Desa Wonorejo karena pola pikir masyarakat mulai berubah seiring berkembangnya pengaruh Islam, tetapi di sisi lain orang Jawa pula tidak ingin untuk meninggalkan tradisinya. Oleh karena itu, kegiatan menyambut Sasi Suro masih dilaksanakan setiap tahunnya. Tradisi menyambut Sasi Suro merupakan tradisi yang sudah turun-temurun dilaksanakan oleh orang Jawa di Desa Wonorejo. Sejak orang Jawa datang di Desa Wonorejo, bahkan bisa dikatakan sekalipun orang Jawa di Desa Wonorejo saat ini sudah berada pada beberapa generasi, sebab dikatakan demikian karena orang Jawa generasi pertama yang datang ke Wonorejo banyak yang tetap tinggal dan beranak-cucu yang juga tinggal di Desa Wonorejo hingga sekarang. Meskipun demikian, keangkeran Sasi Suro masih dipercayai dan tradisi menyambut Sasi Suro masih dilangsungkan hingga sekarang. Sasi Suro sendiri memiliki perbedaan pelaksanaan dengan tradisi-tradisi Jawa lainnya seperti pada acara pernikahan atau kelahiran maupun kematian, hal tersebut karena Sasi Suro dilaksanakan sebagai bentuk intropeksi diri dari tahun sebelumnya dan mempersiapkan diri untuk tahun berikutnya. Sasi Suro merupakan bulan yang masih disakralkan oleh sebagian orang Jawa di Desa Wonorejo, bulan ini sering dikait-kaitkan dengan hal-hal mistik. Banyak cerita mitos yang muncul di tengah orang Jawa di Desa Wonorejo ketika pergantian tahun baru Islam tersebut semakin dekat. Oleh sebab itu, orangorang melakukan tradisi ritual untuk mengharap perlindungan dari Tuhan agar terhindar dari bahaya. Dampak pemahaman ini adalah adanya larangan-larangan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya dapat dilakukan pada bulan lainnya. Seiring berjalannya waktu, proses pelaksanaan tradisi Sasi Suro lambat laun mulai mengalami pergeseran. Sebagian orang Jawa masih memegang teguh budaya dan sebagian lainnya perlahan meninggalkan budaya, khususnya dalam tradisi menyambut Sasi Suro. Meskipun demikian, hingga sekarang tradisi menyambut Sasi Suro masih dilaksanakan oleh orang Jawa Di Desa Wonorejo meskipun sebagian masyarakat lainnya perlahan mulai mengubah kearah yang lebih Islami. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan & Taylor adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik (utuh). 3 Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ada kalanya penelitian demikian bertolak dari beberapa hipotesa tertentu, ada kalanya tidak. Arah penelitiannya dibantu oleh adanya hasil penelitian sebelumnya. Dalam hal ini, penelitian deskriptif masalahnya sudah jelas, akan tetapi langkah yang terpenting adalah penegasan dari konsep-konsep relevan. 4 hlm. 29-30 3 Imam Gunawan. 2014. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 82-83 4 Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

Peneilitian ini berlokasi di Desa Wonorejo, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. dengan sasaran penelitian adalah orang Jawa yang berada di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. Pertimbangan memilih lokasi penelitian adalah karena Desa Wonorejo juga merupakan salah satu desa yang penduduknya rata-rata adalah orang Jawa yang mayoritas beragama Islam, sehingga peneliti dapat dengan mudah menemukan narasumber yang dapat dijadikan informan untuk membantu peneliti dengan cara memberikan informasi mengenai Sasi Suro pada orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. Sumber data yang diperoleh yaitu dari (1) Sumber data primer, yakni sumber data yang memberikan data secara langsung kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, data primer yang dimaksud adalah orang Jawa yang tinggal di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. (2) Sumber data sekunder, yakni sumber data yang memberikan informasi kepada peneliti secara tidak langsung, dengan kata lain sumber data sekunder adalah tambahan atau sumber pendukung dalam penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari buku, jurnal, artikel, skripsi dan situs internet yang berkaitan dengan Sasi Suro. Teknik penentuan dan pengambilan sasaran penelitian yang disebut informan penelitian adalah secara purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Penentuan subyek dalam hal ini didasarkan atas ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel itu. Dengan demikian, terpilihnya mereka karena diyakini mewakili populasi tertentu serta sesuai dengan karakterisktik yang diperlukan untuk memberikan informasi. 5 Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran utama adalah orang Jawa dan pemimpin upacara adat Sasi Suro. Untuk memperoleh data yang relevan dan lengkap, penelitian ini menggunakan beberapa teknik dalam pengumpuan data. Adapun teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah sebagai berukut: (1) Observasi (observation). Observasi merupakan suatu metode yang pertama-tama digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah. Kegiatan penelitian ilmiah pada mulanya diarahkan kepada usaha untuk memperoleh sebanyak mungkin pengetahuan mengenai lingkungan alam manusia. 6 (2) Wawancara (interview). Metode wawancara atau metode intervew, mencakup cara yang dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka. Wawancara dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. 7 (3) Dokumentasi (documentation). Menurut Bungin, teknik dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian sosial unutk menelusuri data historis. Cara mengumpulkan data melalui dokumentasi yaitu melalui peninggalan tertulis seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, serta dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karyakarya moumental dari seseorang. 8 Analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dati tiga alur kegiatan yang secara bersamaan, yaitu: (1) Reduksi data (data reduction), yakni kegiatan yang merujuk pada proses pemilihan, pemokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah yang terjadi dalam catatan-catatan lapangan tertulis. Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih, memfokuskan, membuang dan menyusun data dalam suatu cara di mana kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasi. (2) Penyajian data (data display), yakni dibuat dengan maksud untuk memudahkan melihat gambaran hasil penelitian secara keseluruhan, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. (3) Kesimpulan dan verifikasi (drawing and verifying coclusion), yakni penarikan dan verifikasi kesimpulan. Kesimpulan itu ditarik dari data yang telak direduksi dan disajikan. 9 5 Ahmadin. 2013. Metode Penelitian Sosial. Makassar: Rayhan Intermedia, hlm. 90. 6 Ibid. hlm. 109-110 7 Ibid. hlm. 129 8 Imam Gunawan. Op. cit. hlm. 177 9 Ibid. hlm. 210-211

Hasil Penelitian A. Pandangan Orang Jawa Terhadap Sasi Suro Di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana Kehidupan keagamaan orang Jawa di Desa Wonorejo pada dasarnya tidak dapat terlepas dari tradisi-tradisi yang sifatnya sakral yang lazimnya didasari oleh hubungan berimbang antara kepercayaan animisme-dinamisme, Hindu-Buddha serta Islam. Sasi Suro merupakan salah satu perwujudan dari perpaduan kepercayaan-kepercayaan tersebut. Tradisi Sasi Suro seringkali menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan orang Jawa di Desa Wonorejo. Namun, perbedaan-perbedaan tersebut tidak menciptakan suatu perpecahan di antara masyarakat Jawa di Desa Wonorejo. Dengan demikian, orang Jawa di Desa Wonorejo akan dikelompokkan menurut pandangan mereka terhadap Sasi Suro yang menghasilkan tiga tipe utama kelompok pendukung kebudayaan tersebut. Tiga tipe yang dimaksud adalah tipe orang Jawa mistis, tipe orang Jawa rasional-budaya, dan tipe orang Jawa rasional-islam. Kelompok orang Jawa mistis merupakan kelompok orang Jawa di Desa Wonorejo yang memiliki pandangan mistis atau angker terhadap Sasi Suro dan upacara menyambut Sasi suro. Kelompok ini dicirikan oleh masyarakat yang memiliki usia antara 60 85 tahun biasanya memiliki pandangan yang luas tentang makhluk halus. Selain itu, dari tingkat pendidikan orang yang tergolong dalam kelompok orang Jawa mistis pada umumnya hanya mencapai tingkat SD namun ada juga hingga SMP. Pelaksanaan kegiatan keagamaan pada dasarnya sesuai dengan ajaran agama Islam seperti menjalankan sholat 5 waktu, dan melakukan puasa pada saat bulan puasa tetapi masih sukar untuk meninggalkan kepercayaannya yang sifatnya turun-temurun. Pada dasarnya pendukung kelompok ini adalah orang-orang yang benar-benar datang dari tanah Jawa melalu program transmigrasi. Kelompok orang Jawa rasional-budaya merupakan kelompok orang Jawa di Desa Wonorejo yang memiliki pandangan logis terhadap upacara Sasi Suro yang dianggap sebagai suatu fenomena kebudayaan. Yang tergolong dalam kelompok ini adalah orang-orang yang berusia 30 60 tahun. Sebagian masyarakat pendukung kelompok ini masih percaya terhadap hal-hal gaib, seperti hantu yang dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang mereka alami. Dari sisi pendidikan orang yang tergolong dalam kelompok ini yaitu SD, SMP bahkan ada yang telah sekolah hingga jenjang SMA. Kegiatan keagamaan masih berbeda-beda ada yang telah melakukan sholat lima waktu dan puasa namun sebagian pula tidak melakukan sholat dan puasa. Kelompok ini merupakan orang-orang Jawa yang lahir di Desa Wonorejo. Kelompok orang Jawa rasional-islam merupakan kelompok orang Jawa di Desa Wonorejo yang memiliki pandangan logis terhadap Sasi Suro dengan melihat Sasi Suro dari sisi agama Islam. Tidak berbeda jauh dengan kelompok orang Jawa rasional-budaya, yaitu memiliki ciri-ciri usia 30 60 tahun namun pandangan hidupnya lebih kearah yang lebih Islami. Tingkat pendidikan mencapai SMA dan bahkan di perkuliahan. Ciri kegiatan keagamaan sesuai rukun Iman dan rukun Islam, yaitu sholat 5 waktu, melakukan puasa bahkan ikut dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, bagi ibu-ibu ada pengajian yang dilakukan setiap hari Jum at dan bagi bapak-bapak ada kegiatan mengaji yang dilakukan setiap kamis malam bahkan untuk lingkup yang lebih kecil ada kegiatan pengajian keluarga yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Dari ketiga kelompok di atas tidak ada variabel dominan yang mempengaruhi perbedaan pandangan terhadap Sasi Suro. Pengalaman mistis yang dirasakan terkait peristiwa yang terjadi pada Sasi Suro merupakan satu faktor yang membuat perbedaan pemaknaan terhadap Sasi Suro ini muncul. Selain itu, pengalaman yang didapatkan dari orang tua juga dapat mempengaruhi perbedaan pandangan, seperti ketika orang tua masih mempertahankan tradisi maka anak-anaknya pula akan ikut mempertahankan tradisi. Artinya ada pewarisan secara turun-temurun yang dilakukan oleh orangtua terkait tradisi-tradisi yang dilaksanakannya khususnya kegiatan menyambut Sasi Suro. Sasi Suro adalah awal bulan dalam perhitungan Islam-Jawa atau yang dikenal dengan Bulan Muharram, dalam artinya Sasi Suro merupakan awal tahun atau tahun baru bagi Islam. Mayoritas orang Jawa di Desa Wonorejo paham bahwa Sasi Suro adalah tradisi dari Jawa yang menunjukkan Bulan Muharram. Namun, masyarakat memiliki konsep berbeda terhadap bulan tersebut. Tradisi Sasi Suro cenderung memiliki sifat yang tidak mengikat, tetapi akan jadi mengikat apabila orang percaya terhadap Sasi Suro tersebut.

1. Kelompok Orang Jawa Mistis Dari seluruh kegiatan yang berkaitan antara bulan-bulan Islam dengan bulan Jawa, Sasi Suro merupakan salah satu di antara bulan-bulan yang dimaksud. Tradisi menyambut Sasi Suro ini masih dianggap penting, sebab Sasi Suro adalah bulan yang dianggap wingit atau keramat bahkan dianggap sebagai bulan gawat karena pada bulan ini dipercaya banyak peristiwa atau kejadian yang tidak masuk akal terjadi. Selain sebagai bulan yang keramat, Sasi Suro juga memiliki hari yang dianggap keramat yaitu jum at legi dan jum at kliwon. Sebab, menurut kepercayaan orang Jawa di Desa Wonorejo pada jum at legi dan jum at kliwon banyak makhluk halus yang dapat menyebabkan kesurupan atau bahkan sakit. Dalam analisis yang dilakukan Geertz, makhluk halus ini dikelompokkan menjadi memedi dan lelembut. Memedi datang hanya untuk menakut-nakuti manusia tetapi tidak menyebabkan masalah serius, memedi laki-laki disebut genderuwo dan memedi perempuan disebut wewegombel. Sedangkan lelembut merupakan makhluk halus yang dapat menyebabkan sakit dan membuat kesurupan. 10 Makhluk-makhluk halus tersebut diyakini oleh orang Jawa akan datang pada setiap jum at kliwon, namun akan menjadi sangat mistik apa bila pada jum at kliwon di Sasi Suro. Selain sebagai bulan yang dianggap keramat, Sasi Suro bagi orang Jawa juga merupakan bulan larangan. Larangan-larangan yang dimaksud adalah berbicara dengan perkataan-perkataan mengumpat serta berkata dalam hati yang sifatnya menyindir seseorang. Sebab orang Jawa pada kelompok ini percaya bahwa ketika Sasi Suro roh-roh para wali ikut hadir di tengah masyarakat dan akan turut mengaminkan harapan dan doa dari masyarakat, sehingga harapan yang buruk tersebut akan menimpa kepada si pelaku karena itulah mengumpat dan menyindir orang dalam hati tidak baik dilakukan. Namun pada intinya, meskipun tidak pada Sasi Suro perkataan-perkataan yang demikian tidak boleh diucapkan, sebab itu bukanlah perkataan baik dan pada dasarnya apa yang dilakukan oleh manusia selalu ada timbal balik yang akan menimpa manusia itu sendiri. Selain berucap perkataan mengumpat dan menyindir, ada pula kepercayaan orang Jawa bahwa Sasi Suro dianggap sebagai bulan yang tidak baik untuk melangsungkan suatu hajat atau pesta seperti pernikahan, khitanan maupun untuk pindahan rumah terlebih apabila dilakukan pada tanggal 1 Suro. Karena konsep wingit atau keramat memberi batasan bagi masyarakat untuk bertindak sesuai dengan kehendaknya. Orang Jawa cenderung menghindari hal-hal yang sifatnya meriah untuk dilakukan pada Sasi Suro, sebab kegiatan-kegiatan yang sifatnya mewah dan meriah dipercaya dapat mengurangi rezeki bagi pelaku. Akibatnya banyak kejadian-kejadian yang tidak baik terjadi seperti kebakaran, meninggal, dan perceraian dan lain sebagainya. Untuk menghindari musibah yang dapat terjadi, orang Jawa memilih untuk tidak menggelar hajat tetapi lebih memilih mengadakan slametan pada saat menjelang Sasi Suro. Slametan ini dilakukan dengan harapan agar dijauhkan dari musibah-musibah yang akan menimpa, selain itu slametan ini juga dimaksudkan agar masyarakat hidup tentram, aman, nyaman dan terhindar dari bencana. Oleh sebab itu, orang pada kelompok ini lebih memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sakral dibanding melakukan hal-hal yang sifatnya meriah. Tetapi larangan untuk melakukan hajat atau pesta seperti pernikahan, khitanan maupun pindah rumah tidak berlaku untuk orang yang lahir pada Sasi Suro. Artinya orang yang lahir pada Sasi Suro boleh melakukan hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh orang yang lahir di bulan selain Suro. Hal tersebut dikarenakan bahwa Sasi Suro adalah bulan kelahirannya yang artinya juga Sasi Suro adalah bulan miliknya sehingga tidak ada pantangan bagi orang yang lahir pada Sasi Suro untuk melakukan hajat pernikahan, khitanan maupun pindah rumah dan sebagainya. Sasi Suro merupakan warisan turun-temurun, yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang dipercayai oleh nenek moyang dan kepercayaan tersebut telah membudaya di kalangan orang Jawa di Desa Wonorejo. Tradisi-tradisi yang dilakukan untuk menyambut Sasi Suro sesuai dengan yang diajarkan oleh nenek moyang. Orang Jawa memahami esensi Sasi Suro tanpa mengubah muatan maknanya sehingga orang Jawa masih mempertahankan konsep wingit dan melaksanakan tradisi-tradisi Jawa sesuai dengan apa yang semestinya. 10 Clifford Geertz. 1985. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi. Jakarta: Komunitas Bambu. Hlm. 9

2. Kelompok Orang Jawa Rasional-Budaya Orang Jawa kelompok ini merasa perlu untuk melestarikan adat, tujuannya agar tradisi-tradisi Jawa ini tidak hilang oleh perkembangan zaman yang semakin maju. Sasi Suro merupakan salah satu tradisi yang masih dilaksanakan oleh orang-orang Jawa di Desa Wonorejo. Ketika saya bertanya kepada beberapa orang Jawa di Desa Wonorejo tentang apa itu Sasi Suro? tidak sedikit dari mereka yang menjawab bahwa Sasi Suro adalah tradisi Jawa. Mempertahankan adat dan tradisi yang dibawa oleh orang-orang Jawa ke Desa Wonorejo adalah alasan bagi kelompok ini untuk tetap melaksanakan kegiatan menyambut Sasi Suro. Adat dan tradisi merupakan suatu yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan pula sulit untuk ditinggalkan oleh generasi penerimanya karena adat dan tradisi tersebut telah mengakar dalam kehidupan orang-orang Jawa dan juga akan diwariskan lagi kepada generasi selanjutnya dengan mempertahankan tradisi asli maupun yang telah diadaptasi dengan kepercayaan yang diyakini. Terkait konsep wingit pada Sasi Suro, orang Jawa pada kelompok ini cenderung memandang bahwa Sasi Suro tidak jauh berbeda dengan sasi lainnya, artinya tidak ada istilah keramat untuk Sasi Suro. Tradisi yang dilakukan semata-mata hanya tradisi untuk memperingati tahun baru Hijriah, seperti halnya ketika masyarakat Indonesia memperingati tahun baru Masehi. Selain itu, kegiatan menyambut Sasi Suro merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan kehidupan yang penuh dengan karunia. Oleh orang Jawa, Sasi Suro merupakan waktu yang tepat untuk bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberikan satu tahun kehidupan yang penuh dengan karunia berupa hasil bumi yang melimpah dan Sasi Suro juga merupakan harapan untuk kehidupan satu tahun mendatang. Oleh karena itu, selain sebagai adat dan tradisi dari Jawa, Sasi Suro juga sebagai cara orang-orang Jawa untuk menunjukkan rasa syukur serta sebagai sarana masyarakat untuk memohon perlindungan dari segala musibah yang akan datang. Tidak berbeda jauh dengan orang Jawa mistis yang menganggap bahwa Sasi Suro adalah bulan yang tidak baik untuk melangsungkan suatu hajat, bagi orang Jawa rasional-budaya Sasi Suro juga tidak digunakan untuk melangsungkan suatu pesta pernikahan, khitanan maupun pindah rumah. Sebab anggapan bahwa pesta yang meriah mendatangkan bencana masih dipertahankan. Oleh karena itu, orang Jawa tipe ini juga cenderung menghindari suatu pesta pernikahan, khitanan maupun pindah rumah. 3. Kelompok Orang Jawa Rasional-Islam Kelompok orang Jawa Rasional-Islam cenderung melihat Sasi Suro dari segi ajaran agama Islam. Dalam Islam tidak ada bulan yang keramat, melainkan semua bulan adalah baik, dan diantara bulan yang baik Muharram adalah salah satu bulan yang suci. Sebab, banyak peristiwa kenabian yang terjadi pada Bulan Muharram, seperti diselamatkan Nabi Yunus dari perut ikan, Nabi Adam dipertemukan dengan Sitti Hawa, Nabi Ibrahim yang saat itu dimenangkan tidak mempan dibakar api, banjir bah atau banjir besar Nabi Nuh diselamatkan oleh Allah. Selain bulan keselamatan, Bulan Muharram juga merupakan bulan yang mulia di dalam agama Islam. Ada keutamaan yang terdapat di dalam Bulan Muharram yaitu puasa Asyura yaitu puasa pada tanggal 10 di Bulan Muharram, biasanya puasa tanggal 10 Muharram diikuti puasa pada satu hari sebelumnya yaitu tanggal 9 dan satu hari setelahnya yaitu tanggal 11. Alasan yang membedakan pandangan kelompok ini dengan kelompok orang Jawa mistis dan kelompok orang Jawa rasional-budaya adalah pandangan hidupnya yang lebih mengutamakan syariat Islam. Seluruh hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, sedangkan tradisi-tradisi seperti yang dilakukan oleh masyarakat, yang tidak ada di dalam ajaran Islam ditinggalkan karena adanya rasa takut akan hukuman Allah yaitu masuk ke dalam api neraka. Tradisi-tradisi seperti Sasi Suro dengan melangsungkan taker plontang dianggap tidak diajarkan oleh Rasulullah, sehingga orang Jawa pada kelompok ini cenderung meninggalkannya. B. Prosesi Ritual Dalam Sasi Suro Oleh Orang Jawa Di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana Di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana ada suatu tradisi unik yang dilakukan untuk menyambut datangnya Sasi Suro. Tradisi tersebut adalah taker plontang. Taker plontang merupakan

suatu bentuk slametan yang dilakukan oleh orang Jawa untuk memperingati tahun baru Islam-Jawa. Taker plontang sendiri dibuat sebagai media tolak bala karena menurut sejarahnya pada zaman dahulu di Jawa selama satu tahun banyak masyarakat terserang gegeblok atau penyakit yang membuat banyak orang meninggal kemudian untuk mengatasi hal tersebut masyarakat melaksanakan kegiatan slametan. Slametan itu adalah cara masyarakat untuk memohon kepada Allah agar dijauhkan dari segala bahaya. Jadi taker plontang merupakan bentuk rasa syukur karena telah terbebas dari zaman gegeblok atau penyakit, kemudian setiap tahun taker plontang ini selalu dilaksanakan sebagai penolak bala yang datang di Tahun berikutnya. Selain itu taker plontang ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur untu satu tahun menjalani hidup dan merupakan suatu harapan untuk kehidupan satu tahun berikutnya agar terhindar dari bencana. Oleh karena itu, orang Jawa di Desa Wonorejo setiap tahun melaksanakan kegiatan menyambut Sasi Suro. 1. Persiapan Menyambut Sasi Suro Kegiatan menyambut Sasi Suro bukan merupakan kegiatan yang terorganisir, sehingga tidak ada persiapan khusus yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wonorejo. Tradisi ini merupakan bentuk antusias dari masyarakat yang mau mengikutinya sehingga persiapan-persiapan yang dilakukan oleh masyarakat tergantung dari masyarakat itu sendiri. Jadi, perlengkapan yang dibutuhkan untuk membuat taker plontang yang utuh adalah sebagai berikut: a. Taker merupakan wadah yang dibuat seperti mangkuk, terbuat dari dain pisang yang fungsinya adalah sebagai tempat atau wadah untuk meletakkan makanan. b. Janur kuning. Arti dari janur kuning adalah pemisah antara hal yang baik dan hal yang buruk. Janur kuning dilingkarkan pada sisi dari taker maka disebut sebagai taker plontang. c. Lidi yang telah dipotong dan berbentuk runcing untuk membentuk taker itu. d. Nasi kuning dan lauk pauk. Lauk pauk yang dimaksud adalah telur (telur goreng/rebus), mie, sambal goreng, tempe, tahu, ikan, atau daging ayam merupakan simbol dari hasil bumi yang melimpah. 2. Pelaksanaan Menyambut Sasi Suro Proses pelaksanaan tradisi menyambut Sasi Suro di Desa Wonorejo dilaksanakan ketika mapak atau menjelang tanggal 1 Sasi Suro. Pelaksanaannya diselenggarakan pada waktu sebelum sholat Magrib, yaitu antara waktu setelah sholat Ashar hingga menjelang sholat Magrib kurang lebih pukul 17.00 WITA dengan tujuan agar seluruh masyarakat dapat ikut menyaksikan dan meramaikan tradisi tersebut. Dalam anggapan orang Jawa di Desa Wonorejo, Magrib itu merupakan waktu di mana setan itu bermunculan. Oleh sebab itu, saat magrib anak kecil tidak dibiarkan berada di luar rumah serta ketika magrib semua pintu rumah dan jendela harus ditutup agar setan tidak masuk ke dalam rumah untuk mengganggu. Namun pada dasarnya pergantian tahun Jawa dimulai ketika matahari tenggelam. Tradisi menyambut Sasi Suro dilakukan di perempatan. Perempatan jalan memiliki keterkaitan kepada peristiwa adanya gegeblok atau penyakit, yang mana ketika sakit pagi hari maka sore meninggal begitu pula ketika sakit sore hari maka pagi harinya meninggal. Dalam hal ini perempatan jalan menunjukkan 4 waktu yaitu pagi sore dan sore pagi maka dari itu bala yang berupa penyakit itu diberi penolak berupa taker plontang yang diletakkan di perempatan. Orang-orang yang terlibat dalam tradisi taker plontang adalah orang-orang Jawa khususnya orang-orang Jawa yang masih memegang teguh budaya Jawa. Namun, apabila dari luar suku Jawa pun tidak dipermasalahkan tidak ada batasan bagi siapapun yang ingin mengikuti tradisi ini. Sedangkan jumlah pesertanya juga tidak dibatasi baik orang tua, anak muda, maupun anak kecil. Namun pada umumnya hanya orang-orang Jawa saja yang mengikuti tradisi ini dan tidak semua orang Jawa pula masih mengikuti tradisi ini. Di perempatan jalan orang-orang berkumpul dan duduk melingkar untuk berdoa bersama mengharap perlindungan kepada Allah SWT dari segala bala atau musibah yang dapat menimpa. Setiap orang yang datang ke perempatan yang paling dekat dengan rumahnya dengan membawa taker plontang, umumnya ibu-ibu atau anak perempuan yang membawa taker-taker tersebut. Taker plontang yang sebagai simbol tolak bala dibawa oleh masyarakat dan kemudian dikumpulkan menjadi satu di

perempatan jalan. Jumlah taker plontang yang wajib dibawa dalam tradisi itu sendiri dihitung dari banyaknya jumlah orang dalam satu rumah. Apabila semua perlengkapan yang diperlukan sudah lengkap seperti taker plontang terkumpul di perempatan jalan dan masyarakat juga sudah berkumpul dan mengambil tempat di perempatan jalan, maka acara pun dimulai. Setelah persiapan telah selesai maka orang yang dituakan diminta untuk membacakan doa. Biasanya doa yang digunakan adalah doa-doa dari Al-qur an. Sebelum membacakan doa, orang yang dituakan membuka acara dengan ucapan Assalamualaikum warrohmatullohi wabarokatu dan kemudian membacakan doa-doa yang diperlukan. Para peserta kegiatan kemudian menengadahkan tangan ke atas selama orang yang dituakan membacakan doa. Setiap jeda doa yang dibacakan oleh orang yang dituakan orang-orang Jawa secara bersama-sama mengucapkan amiin. Doa yang dibacakan untuk taker plontang antara lain: a. Surah al-fatiha dibaca sebanyak tiga kali, b. Surah al-ikhlas dibaca sebanyak tiga kali, c. Surah al-falaq dibaca sebanyak tiga kali, d. Surah An-nas dibaca sebanyak tiga kali, dan e. Doa keselamatan dan doa tolak bala. Setelah doa-doa selesai dibacakan maka acara dianggap telah selesai dan kemudian masyarakat berebut untuk mendapat taker-taker plontang tadi. Hal unik terjadi di sini yaitu masyarakat tidak boleh mengambil ulang taker plontang yang telah Ia bawa dari rumah, karena taker-taker adalah bentuk tolak bala yang mewakili masing-masing individu. Proses berebut taker-taker ini dilakukan dengan penuh kebahagiaan. C. Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Kegiatan Menyambut Sasi Suro di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana Setiap tradisi yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, di dalamnya terkandung nilai-nilai yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi itu sendiri. Berbicara nilai berarti mengenai konsepsi masyarakat terhadap sesuatu yang dianggap baik maupun buruk. Nilai-nilai tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar untuk melakukan sesuatu. Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan dalam kehidupan orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana. Dalam pelaksanaan tradisi menyambut datangnya Sasi Suro, terdapat nilai-nilai yang dapat diambil. Nilai-nilai tersebut adalah nilai sosial, nilai budaya, nilai religius, dan nilai edukasi. 1. Nilai Sosial Nilai sosial dapat dilihat dari perilaku kehidupan masyarakat terkait hubungannya dengan masyarakat lain maupun dengan alam lingkungan. Tradisi Sasi Suro tidak hanya merupakan serimonial peringatan tahun baru Islam-Jawa tetapi sebagai sarana guna meningkatkan ikatan emosional antarmasyarakat, ikatan-ikatan itu tidak hanya tercipta antarsesama generasi melainkan meliputi hampir seluruh generasi baik tua, muda hingga anak-anak. Nilai sosial dalam Sasi Suro tercermin di dalam seluruh rangkaian prosesi upacara taker plontang, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan.tardisi taker plontang yang dilakukan oleh masyarakat dapat meningkatkan rasa solidaritas, meningkatkan rasa persaudaraan, mempererat tali silaturahmi, serta mengajarkan kepada orang bahwa manusia hidup sebagai makhluk sosial bukan individual. Perwujudan rasa solidaritas, rasa persaudaraan dan mempererat tali silaturahmi dapat dilihat dari prosesi taker plontang yang dilakukan oleh orang Jawa di Desa Wonorejo. Pada pelaksanaan taker plontang masyarakat berkumpul bersama di perempatan jalan dengan perasaan gembira dan rukun tanpa memandang status dan kemudian pada akhir acara masyarakat berebutan taker-taker tanpa ada yang berselisih. Selain itu, taker plontang juga mengajarkan bahwa manusia hidup selalu berdampingan dengan manusia lain sehingga harus memiliki rasa berbagi antarsesama. Hal ini tercermin dari jumlah taker yang dibawa oleh masyarakat, selain sebagai tolak bala taker-taker tersebut akan dimakan bersama-sama dan masyarakat tidak diperkenankan mengambil miliknya sendiri. Jumlah yang berbeda-beda di setiap rumah

akan membuat seluruh yang hadir mendapat bagian, apabila ada yang tidak mendapat bagian maka yang mempunyai taker lebih akan membaginya. 2. Nilai Budaya Setiap suku ataupun setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda antara budaya pada suatu daerah dengan budaya daerah lainnya. Budaya tersebut diwujudkan dalam tradisi-tradisi dengan keunikannnya masing-masing. Seiring perkembangan zaman, tradisi-tradisi tersebut ada yang mulai luntur dan hilang serta ada pula tradisi yang masih bertahan hingga sekarang serta dianggap penting oleh masyarakat. Di Desa Wonorejo ada suatu tradisi yang hingga sekarang masih dipertahanan, yaitu menyambut datangnya Sasi Suro. Adanya kesadaran budaya membuat sebagian orang Jawa di Desa Wonorejo merasa bahwa perayaan Sasi Suro masih perlu untuk dilaksanakan. Sebab, kegiatan menyambut datangnya Sasi Suro merupakan salah satu tradisi warisan oleh para leluhur Jawa. Di dalam perayaan menyambut datangnya Sasi Suro, orang Jawa mengadakan suatu tradisi yang disebut taker plontang, dalam tradisi tersebut terdapat nilai budaya yang dirasakan oleh masyarakat. Tradisi Sasi Suro ini tetap dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Desa Wonorejo untuk melestarikan budaya agar tetap lestari dan selalu hidup serta untuk menjaga tradisi nenek moyang agar tidak hilang oleh waktu terlepas dari cara masyarakat memaknai Sasi Suro itu sendiri. Cara yang dilakukan oleh orang Jawa di Desa Wonorejo agar perayaan menyambut Sasi Suro adalah dengan tetap melaksanakan kegiatan taker plontang, selain sebagai cara untuk mepererat rasa persaudaraan taker plontang juga adalah cara agar Sasi Suro tidak hilang oleh zaman. 3. Nilai Religius Selain sebagai mempererat rasa persaudaran dan sebagai kegiatan untuk melestarikan budaya, Sasi Suro juga memiliki nilai religius. Nilai religius merupakan konsep mengenai suatu penghargaan tinggi yang diberikan oleh masyarakat terhadap kehidupan beragama dan dijadikan pedoman dalam bertingkah laku setiap agama yang bersangkutan. Dalam perayaan menyambut datangnya Sasi Suro masyarakat menadakan tradisi taker plontang, dari sisi religius merupakan media sebagai bentuk penyembahan masyarakat Jawa di Desa Wonorejo kepada Tuhan alam semesta. Perayaan-perayaan seperti ini dianggap dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan sebagai salah satu cara memohon ampunan serta perlindungan kepada Allah SWT. Dengan adanya taker plontang berarti ada hubungan vertikal yaitu antara manusia dengan Tuhan. Hal ini tercermin dari pandangan masyarakat bahwa Sasi Suro ini merupakan bulan pantangan untuk melakukan hajat, tetapi bulan ini adalah bulan baik untuk melakukan ibadah. Selain itu dalam proses pelaksanaannya yang khusyuk serta doa-doa yang dibacakan semata-mata hanyalah untuk memohon kepada Allah SWT. 4. Nilai Edukasi Nilai pendidikan (edukasi) adalah sesuatu yang dapat dipelajari dari berbagai aspek kehidupan manusia. Nilai pendidikan merupakan nilai yang membentuk karakter manusia, bagaimana manusia harus bertingkah laku dan menjadi dewasa baik yang sifatnya positif atau negatif yang diperoleh melalui proses belajar. Nilai edukasi juga dapat diperoleh di dalam tradisi keagamaan seperti dalam tradisi taker plontang yang dilaksanakan oleh orang Jawa di Desa Wonorejo. Dengan adanya perayaan menyambut datangnya Sasi Suro, masyarakat di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana, baik masyarakat Jawa, masyarakat Bugis atau masyarakat lainnya dapat belajar dan mendapat pengetahuan bahwa taker plontang merupakan salah satu budaya Jawa atau adat dari masyarakat Jawa. Selain dapat belajar dengan cara melihat atau mengikuti tradisi menyambut Sasi Suro, proses belajar juga dapat diperoleh melalui pewarisan secara lisan yang dilakukan dalam lingkup keluarga. Keluarga sebagai sarana pendidikan pertama kali bagi anak-anaknya. Ada suatu kebiasaan yang dilakukan masyarakat untuk mengajarkan anak-anaknya tentang taker plontang ini dengan cara memberitahukan dan mengenalkan kepada anak-anak mereka tentang tradisi menyambut Sasi Suro tersebut.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti dapat menyimpulkan: 1. Terkait pandangan orang Jawa di Desa Wonorejo Kecamatan Mangkutana, orang Jawa dikelompokkan kedalam tiga tipe yaitu kelompok orang Jawa mistis, kelompok orang Jawa rasionalbudaya dan kelompok orang Jawa rasional-islam. Kelompok orang Jawa mistis memandang bahwa Sasi Suro merupakan bulan yang wingit, bulan keramat dan bulan larangan untuk berkata buruk dan juga untuk melangsungkan hajatan seperti pesta pernikahan, khitanan, atau akan pindahan rumah. Tetapi apa bila orang tersebut lahirnya pada Sasi Suro maka bebas baginya untuk menggelar pesta yang meriah. Namun lain halnya dengan kelompok orang Jawa rasional-budaya, bagi mereka Sasi Suro merupakan tahun baru Islam yang tidak ada kaitannya dengan bulan keramat atau angker, Sasi Suro merupakan bulan yang sama dengan bulan lainnya, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah semata-mata untuk melestarikan adat. Meskipun demikian, larangan pada Sasi Suro pada kelompok mistis juga masih dipertahankan oleh kelompok rasional-budaya. Sedangkan pada kelompok orang Jawa rasional-islam, cenderung memandang bahwa Sasi Suro adalah tradisi Jawa, dalam Islam yang dikenal adalah Bulan Muharram. Muharram merupakan bulan keselamatan dan bulan mulia, olehnya ada keutamaan pada Bulan Muharram yaitu melakukan puasa Asyura pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram. Meskipun antara Sasi Suro dangan Muharram diidentikkan tetapi keduannya punya makna yang berbeda. 2. Dalam prosesi ritual untuk menyambut datangnya Sasi Suro yang dilakukan masyarakat Jawa di Desa Wonorejo ada dua, yakni (a) tahap persiapan, yang meliputi persiapan untuk membuat taker plontang. Taker adalah semacam wadah untuk meletakkan makanan yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk menyerupai mangkuk, janur kuning memiliki makna sebagai pemisah antara hal yang baik dan hal yang buruk, lidi runcing, serta nasi kuning dan lauk-pauknya yaitu telur (telur goreng/rebus), mie, sambal goreng, tempe, tahu, ikan, atau daging ayam merupakan simbol dari hasil bumi yang melimpah serta simbol nutrisi yang diperlukan masyarakat. (b) Tahap pelaksanaan. Perayaan Sasi Suro dilaksanakan menjelang tanggal 1 pada sore hari menjelang magrib. Pada tahap ini taker-taker yang telah dibuat dikumpulkan di Perempatan jalan kemudian dibaca-bacai doa. Kegiatan ini diikuti oleh orang Jawa di Desa Wonorejo khususnya yang masih percaya dan masih mempertahankan adat, di setiap perempatan baik tua, muda dan anak-anak. Namun kegiatan ini juga tidak dibatasi, bagi siapa saja yang mau ikut maka diperbolehkan untuk ikut. Pada akhir acara masyarakat saling berebut taker dengan perasaan gembira. 3. Nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan menyambut datangnya Sasi Suro adalah, (a) nilai sosial yaitu menciptakan solidaritas, rasa persaudaraan, silaturahmi dan mengajarkan bahwa kita hidup sebagai makhluk sosial hal ini terlihat dari sikap berbagi masyarakat saling berbagi taker, (b) nilai budaya adalah untuk mempertahankan budaya orang Jawa hal ini tercermin dari sikap masyarakat yang masih mengenal adat dan masihpula melaksanakannya, (c) nilai religius adalah sebagai media untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan masyarakat kepada Allah SWT yang mana hal ini tercermin dari do-adoa yang dibacakan guna mengharap perlindungan dari Allah, dan (d) nilai edukasi/pendidikan adalah dengan adanya perayaan Sasi Suro masyarakat dapat belajar dengan cara melihat atau mengikuti langsung kegiatan ini bahkan tidak jarang dalam keluarga mengajarkan kepada anak-anaknya tentang budaya Jawa. DAFTAR PUSTAKA Buku: Achmad, Sri Wintala. 2017. Filsafat Jawa: Menguak filosofi, Ajaran dan Laku Hidup Leluhur Jawa. Yogyakarta: Araksa Ahmadin. 2013. Metode Penelitian Sosial. Makassar: Rayhan Intermedia Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LkiS

Fajrie, Mahfudlah. 2016. Budaya Masyarakat Pesisir Wedung Jawa Tengah: Melihat Gaya Komunikasi dan Tradisi Pesisiran. Wonosobo: Mangku Bumi Media Geertz, Clifford. 1985. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi. Jakarta: Komunitas Bambu Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers Ghazali, Andeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta Gunawan, Imam. 2014. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi Aksara Handoyo, Eko. 2015. Studi Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Ombak Hersapandi, dkk. 2005. Suran: Antara Kuasa dan Tradisi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa Heryanto, Sindung. 2016. Spektrum Teori sosial: Dari Klasik Hingga Postmodern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Murtiadji, Supadmi dan Suwardanidjaja. 1993. Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta. Jakarta: Granmedia Pustaka Utama Solikhin, Muhammad. 2009. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Jakarta: PT Suka Buku Sutiono. 2010. Benturan Budaya Islam: Puritan dan sinkretisme. Jakarta: Buku Kompas Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LkiS Wirawan, I. B. 2012. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Perilaku Sosial. Jakarta: Kencana Jurnal: Hayati, Nur dan Suraya Attamimi. 2013. Tradisi Ashura Pada Masyarakat Muslim Kota Palu Dalam Perspektif Syi ah. Jurnal Penelitian Ilmiah, Vol. 1, No. 1 Januari-Juni 2013 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=185744&val=6438&title=tradisi%20%c 3%A2%E2%82%AC%CB%9CASHURA%20%20PADA%20MASYARAKAT%20MUSLIM% 20KOTA%20PALU%20%20%20%20DALAM%20PERSPEKTIF%20SYI%C3%A2%E2%82% AC%E2%84%A2AH (diakses pada 17 April 2018, pukul 18.10 WIT A) Rupa, I Wayan. 2015. Desa Sumi Dalam Tradisi Bima. Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional, Vol. 22, No. 1, Maret 2015 Siswanto, Dwi. 2010. Pengaruh Pandangan Hidup Masyarakat Jawa Terhadap Model Kepemimpinan (Tinjauan Filsafat Sosial). Jurnal Filsafat Vol. 20, Nomor 3. https://media.neliti.com/media/publications/78750-id-pengaruh-pandangan-hidup-masyarakatjawa.pdf.(diakses pada 18 September 2018, pukul 11.20 Wita) Skripsi: Isdiana. 2017. Tradisi Upacara Satu Suro Dalam Perspektif Islam (Study di Desa Keroy Kecamatan Sukabumi Bandar Lampung. Skripsi UIN Raden Intan Lampung http://repository.radenintan.ac.id/1618/1/skripsi_lengkap_isdiana_1_1111111111111.pdf (diakses pada Senin, 22 Januari 2018, pada 14.39 WITA) Latifah, Ana. 2014. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Tradisi Satu Sura di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung. Fakultas Usuhuluddin UIN Walisongo http://eprints.walisongo.ac.id/5228/1/084111008.pdf (diakses pada 12 agustus 2017, pukul 19:54 WITA) Prasetiawan, Irvan. 2016. Persepsi Masyarakat Jawa Terhadap Budaya Malam Satu Suro (Studi Kasus di Desa Margolembo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur. Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar Internet: http://www.luwutimurkab.go.id/lutim/index.php?option=com_content&view=article&id=425&itemid=30 1 (diakses pada 9 juli 2018, pukul 14.07 WITA) http://www.luwutimurkab.go.id/lutim3/index.php?option=com_content&view=article&id=93&itemid=17 5 (diakses pada 20 September 2018, pukul 12.30 WITA)