Operasi Trisula dibiltar Selatan yang dilakukan oleh Kodam vii Brawijaya dipimpin oleh

Operasi Trisula dibiltar Selatan yang dilakukan oleh Kodam vii Brawijaya dipimpin oleh

Pangdam VIII/Brawijaya, Mayjen M. Jasin (kanan) bersama Komandan Satgas Operasi Trisula, Kolonel Witarmin (kiri). (foto: koransulindo.com)

"Ke mana saja To, kok baru muncul?" sapa Alim kepada Karto, teman sekaligus langganan tetap warung kopinya.

"Habis dari Blitar, njenguk Bapak. Kopinya satu, Lim," jawab Karto lalu menyulut rokoknya.

"Lagi sakit ta?" tanya Alim.

"Biasa, namanya juga sudah sepuh. Syukurlah adik perempuanku sabar menjaga dan merawat Bapak.".

Alim mengangsurkan gelas kopi pesanan Karto. Biasanya, setiap pagi warung kopinya sudah ramai pembeli yang kebanyakan pengemudi ojek online. Namun hari itu tumben sepi, hanya ada beberapa langganan yang mampir sebentar.

"Blitar-mu mana sih To? Kukira kamu itu asli Malang lho," tanya Alim.

"Bakung, Lim. Kenapa? Mau ngincar adikku ya?" jawab Karto sambil tertawa.

"Yah, kalau kamu rela adikmu dimadu sih gak papa, hehehe," kata Alim ikut tertawa. "Bakung itu yang ada monumen Trisulanya itu kan?"

"Iya. Kamu pernah ke sana, Lim? tanya Karto.

"Belum. Waktu kamu nyebut Bakung, aku jadi ingat film Operasi Trisula. Film ini kan dulu sering diputar di TVRI setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ingat nggak, setiap tanggal 30 September malam hari diputar film G30S/PKI, lalu esok hari pas siang diputar film Operasi Trisula. Jadi ya sampai sekarang masih ingat-ingat dikit lah," jawab Alim.

Halaman Selanjutnya

Video Pilihan


Page 2

"Ke mana saja To, kok baru muncul?" sapa Alim kepada Karto, teman sekaligus langganan tetap warung kopinya.

"Habis dari Blitar, njenguk Bapak. Kopinya satu, Lim," jawab Karto lalu menyulut rokoknya.

"Lagi sakit ta?" tanya Alim.

"Biasa, namanya juga sudah sepuh. Syukurlah adik perempuanku sabar menjaga dan merawat Bapak.".

Alim mengangsurkan gelas kopi pesanan Karto. Biasanya, setiap pagi warung kopinya sudah ramai pembeli yang kebanyakan pengemudi ojek online. Namun hari itu tumben sepi, hanya ada beberapa langganan yang mampir sebentar.

"Blitar-mu mana sih To? Kukira kamu itu asli Malang lho," tanya Alim.

"Bakung, Lim. Kenapa? Mau ngincar adikku ya?" jawab Karto sambil tertawa.

"Yah, kalau kamu rela adikmu dimadu sih gak papa, hehehe," kata Alim ikut tertawa. "Bakung itu yang ada monumen Trisulanya itu kan?"

"Iya. Kamu pernah ke sana, Lim? tanya Karto.

"Belum. Waktu kamu nyebut Bakung, aku jadi ingat film Operasi Trisula. Film ini kan dulu sering diputar di TVRI setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ingat nggak, setiap tanggal 30 September malam hari diputar film G30S/PKI, lalu esok hari pas siang diputar film Operasi Trisula. Jadi ya sampai sekarang masih ingat-ingat dikit lah," jawab Alim.


Operasi Trisula dibiltar Selatan yang dilakukan oleh Kodam vii Brawijaya dipimpin oleh

Lihat Politik Selengkapnya


Page 3

"Ke mana saja To, kok baru muncul?" sapa Alim kepada Karto, teman sekaligus langganan tetap warung kopinya.

"Habis dari Blitar, njenguk Bapak. Kopinya satu, Lim," jawab Karto lalu menyulut rokoknya.

"Lagi sakit ta?" tanya Alim.

"Biasa, namanya juga sudah sepuh. Syukurlah adik perempuanku sabar menjaga dan merawat Bapak.".

Alim mengangsurkan gelas kopi pesanan Karto. Biasanya, setiap pagi warung kopinya sudah ramai pembeli yang kebanyakan pengemudi ojek online. Namun hari itu tumben sepi, hanya ada beberapa langganan yang mampir sebentar.

"Blitar-mu mana sih To? Kukira kamu itu asli Malang lho," tanya Alim.

"Bakung, Lim. Kenapa? Mau ngincar adikku ya?" jawab Karto sambil tertawa.

"Yah, kalau kamu rela adikmu dimadu sih gak papa, hehehe," kata Alim ikut tertawa. "Bakung itu yang ada monumen Trisulanya itu kan?"

"Iya. Kamu pernah ke sana, Lim? tanya Karto.

"Belum. Waktu kamu nyebut Bakung, aku jadi ingat film Operasi Trisula. Film ini kan dulu sering diputar di TVRI setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ingat nggak, setiap tanggal 30 September malam hari diputar film G30S/PKI, lalu esok hari pas siang diputar film Operasi Trisula. Jadi ya sampai sekarang masih ingat-ingat dikit lah," jawab Alim.


Operasi Trisula dibiltar Selatan yang dilakukan oleh Kodam vii Brawijaya dipimpin oleh

Lihat Politik Selengkapnya


Page 4

"Ke mana saja To, kok baru muncul?" sapa Alim kepada Karto, teman sekaligus langganan tetap warung kopinya.

"Habis dari Blitar, njenguk Bapak. Kopinya satu, Lim," jawab Karto lalu menyulut rokoknya.

"Lagi sakit ta?" tanya Alim.

"Biasa, namanya juga sudah sepuh. Syukurlah adik perempuanku sabar menjaga dan merawat Bapak.".

Alim mengangsurkan gelas kopi pesanan Karto. Biasanya, setiap pagi warung kopinya sudah ramai pembeli yang kebanyakan pengemudi ojek online. Namun hari itu tumben sepi, hanya ada beberapa langganan yang mampir sebentar.

"Blitar-mu mana sih To? Kukira kamu itu asli Malang lho," tanya Alim.

"Bakung, Lim. Kenapa? Mau ngincar adikku ya?" jawab Karto sambil tertawa.

"Yah, kalau kamu rela adikmu dimadu sih gak papa, hehehe," kata Alim ikut tertawa. "Bakung itu yang ada monumen Trisulanya itu kan?"

"Iya. Kamu pernah ke sana, Lim? tanya Karto.

"Belum. Waktu kamu nyebut Bakung, aku jadi ingat film Operasi Trisula. Film ini kan dulu sering diputar di TVRI setiap peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Ingat nggak, setiap tanggal 30 September malam hari diputar film G30S/PKI, lalu esok hari pas siang diputar film Operasi Trisula. Jadi ya sampai sekarang masih ingat-ingat dikit lah," jawab Alim.


Operasi Trisula dibiltar Selatan yang dilakukan oleh Kodam vii Brawijaya dipimpin oleh

Lihat Politik Selengkapnya

Merdeka.com - Gerakan G30S 1965 yang dimotori Letkol Untung gagal total. TNI AD memukul balik dan menghancurkan PKI dalam waktu singkat. Para pemimpin gerakan itu ditangkap atau ditembak mati.

Sisa-sisa kaum komunis yang lari akhirnya berkumpul di Blitar Selatan sekitar tahun 1966. Mereka memusatkan basis perlawanan di sana. Blitar Selatan dipilih karena pada masa itu, sangat tertinggal. Tanahnya tandus, sulit dijangkau dan hampir semua masyarakatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Di kawasan ini juga banyak gua-gua tersembunyi yang ideal untuk perang gerilya.

Beberapa pentolan PKI yang ikut bergabung di Blitar Selatan di antaranya Rewang dan Oloan Hutapea. Ada juga Sukatno, mantan Ketua Pemuda Rakyat.

Di Blitar Selatan, PKI menggelar Sekolah Perlawanan Rakyat (SPR) dan Kursus Kilat Perang Rakyat (KKPR). Pelatihnya adalah para desertir tentara yang membelot ke pihak komunis. Saat itu PKI berhasil mempengaruhi cukup banyak anggota militer untuk mendukung mereka.

Aksi-aksi perampokan di sekitar lokasi meningkat. Panglima Kodam Brawijaya Mayjen M Jasin yang curiga mengirimkan intelijen militer ke Blitar Selatan. Dia mendapati laporan ada gerakan bersenjata di sana.

Jasin kemudian memutuskan menggelar operasi militer. Awalnya sempat sulit, karena tak ada bantuan dana dari pusat. M Jasin mendatangi Gubernur Jawa Timur Muhammad Noer, dari sana dia mendapat pinjaman uang Rp 20 juta untuk modal operasi militer.

Juni 1968, Operasi Trisula mulai digelar. Kolonel Wintarmin diangkat sebagai komandan. Tentara menyisir kawasan hutan Blitar Selatan untuk mencari pemberontak. Banyak anggota PKI yang tertangkap.

Bantuan dari Pusat mulai turun setelah melihat keberhasilan Operasi Trikora. TNI mengerahkan kekuatan besar-besaran untuk memukul para pemberontak.

Dalam buku Perjuangan TNI AU, disebutkan Angkatan Udara mengerahkan Satgas Operasi Elang untuk membantu Operasi Trisula. Tulang punggung kekuatan Udara yaitu pesawat Pengebom B-26 Invader dan tiga pesawat pemburu P-51 Mustang.

"Pelaksanaan operasi penghancuran dilakukan dengan penembakan-penembakan roket dan senapan mesin 12,7 mm dari udara terhadap sasaran di areal yang luas di lereng-lereng gunung dengan hutan yang sangat lebat di sepanjang pantai selatan Blitar," demikian ditulis TNI AU.

Pihak lawan yang semula bersembunyi di hutan-hutan terpaksa meninggalkan persembunyiannya dan bergeser ke arah utara. Di sana sudah siap tim penyapu dari darat menghentikan mereka.

Operasi Trisula mencatat 33 tokoh PKI ditembak mati. Sementara 850 tokoh PKI bisa ditangkap selama tiga bulan operasi.

Jum'at, 01 Oktober 2021 - 17:24 WIB

Kolonel Inf Witarmin, Komandan Satuan Tugas Operasi Trisula Blitar Selatan Kodam VIII Brawijaya pada 1968. Foto/Repro/SINDOnews/Solichan Arif

BLITAR - Pada 21 Juli 1968, Oloan Hutapea tewas. Mayat salah satu dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI) itu ditemukan di tebing bebatuan kawasan Gunung Asem, Panggungrejo, Blitar Selatan, Jawa Timur. Kondisinya mengenaskan. Kepalanya terluka parah akibat timpukan batu. Oloan Hutapea adalah salah satu pimpinan Comite Central (CC) PKI yang diburu.

Pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965, ia berhasil lolos dari operasi pembersihan. Dari ibukota menyelinap ke wilayah Blitar Selatan. Bersama pimpinan partai yang selamat, Oloan berupaya merekatkan kembali kekuatan partai. Hasil rapat Politbiro CC PKI April 1967, Oloan Hutapea ditunjuk sebagai Ketua Departemen Organisasi.

Baca juga: Pesan Terakhir Kolonel Sugiyono Sebelum Dibunuh PKI: Bu Hari Ini Aku Tidak Jadi Makan di Rumah

Sementara Ketua Politbiro PKI Gaya Baru Blitar Selatan dipegang Ruslan Widjajasatra. Posisinya menggantikan DN Aidit. Sebelum G30S PKI meledak, Ruslan merupakan anggota CC PKI yang merangkap PB Ketua Daerah Jatim tahun 1951. Rewang yang juga berada di Blitar Selatan didapuk sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda sekaligus anggota Pleno CC PKI.

Sedangkan Munir memegang jabatan Ketua Departemen Perjuangan Bersenjata (Perjuta). Sebelum peristiwa G30SPKI, laki-laki kelahiran Sumenep Madura itu bertugas di Politbiro CC PKI Jakarta. Ia juga sebagai Ketua Dinas SOBSI. PKI Gaya Baru Blitar Selatan menebar teror dengan sandi gerakan Pembasmian Rumput Beracun.