Nilai-nilai dari sumpah palapa yang dinyatakan oleh gajah mada adalah

Tatang M. Amirin, 28 Oktober 2010

Namanya juga “kontroversi,” biarlah ini menjadi kontroversi, biar ada yang “selalu berpikir” dan “mengkaji dengan jernih.”  Jangan emosional, lapang dadalah. Jangan anggap saya anti Gadjah Mada dan Majapahit karena saya orang Sunda (walau beristri Jawa: Siapa bilang orang Sunda anti orang Jawa!). Baca dalam tulisan lain, saya menggunakan kata “Perang Bubat (kalau ini memang benar pernah ada)”. Kenapa? Karena Perang Bubat masih jadi kontroversi. Seperti ditulis lain oleh Aan Merdeka Permana, yang orang Sunda, kendati novel fiksi. Bukan Gadjah Mada yang bersalah, katanya!

Ada apa gerangan dengan sumpah Palapa sehingga judul tulisan ini saya tulis seperti itu? Nah, mari simak isi Sumpah Palapa itu dari beberapa tulisan (karena tulisan dan terjemahannya ada macam-macam), sekaligus beberapa bahasan tentangnya. Lihat, ada yang menarik untuk disimak dengan jernih.

Sebelum lanjut, kata “palapa” itu ada yang mengartikannya sebagai istirahat (pensiun, lengser jabatan), ada yang menyatakannya sebagai puasa. Ada yang mencobadekatkan kata palapa dengan “plapah” (tempat orang jualan bumbu dapur–ada di salah satu los pasar Tulungagung). Jadi, palapa itu artinya bumbu dapur. “Tan ayun amuktia palapa” itu artinya tak akan makan bumbu dapur. Jadi, makan nasi tanpa bumbu-bumbuan. Itu sama makna dengan “puasa mutih.”

Nah, ini nukilan apa yang disebut di atas dari “Javanism” dalam bahasa Jawa.

Tembung amukti palapa dening Mr. M. Yamin ditegesi ngaso utawa istirahat (pensiun?). Sajak-sajake para ahli sejarah durung sapanemu ngenani tegese palapa utawa “amukti palapa”. Ana tembung Jawa sing cedhak banget karo tembung palapa, yaiku tembung “plapah”. Manut bausastra W.J.S. Poerwadarminta 1939 plapah ditegesi (enggon-enggonan) bumbu olah-olahan = bumbu pawon.

Enggon-enggonan mau sajake kalebu Tulungagung. Awit ing Pasar Wage Tulungagung ana bango (los) sing ditulisi “plapah”. Tegese bango mau kanggo wong dodolan plapah. Kamangka nyatane los mau kanggo wong dodolan bumbu olah-olahan. Dudutanku “amukti palapa” daktegesi dhahar dhaharan sing nganggo bumbu. Dadi sasuwene Nusantara durung manunggal karo Majapahit, Gajah Mada ora dhahar dhaharan sing dibumboni.

Ing bebrayan Jawa tirakat utawa riyalat kaya ngono kuwi jenenge pasa mutih. Yaiku mung dhahar sega putih, ora nganggo lawuh sing dibumboni. Nalika kelakon Nusantara wis nyawiji karo Majapahit, Gajah Mada mesthine ya leren anggone pasa mutih.

Dan ini ada gambar yang dijuduli “plapa.” Entah benar entah tidak, entah terkait dengan palapa atau plapah ataukah tidak, tidak tahu. Gambar itu gambar apa juga tidak jelas. Judul tepatnya “PlapaO” yang buat Nearctica.com,Inc.

Nilai-nilai dari sumpah palapa yang dinyatakan oleh gajah mada adalah

Sumpah Palapa (Wikipedia)

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).

Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi (yang dicetak tebal dari Pengutip),

Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahannya,

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”.

Dari isi naskah ini dapat diketahui bahwa pada masa diangkatnya Gajah Mada, sebagian wilayah Nusantara yang disebutkan pada sumpahnya belum dikuasai Majapahit.

Arti nama-nama tempat: Gurun = Nusa Penida; Seran = Seram; Tañjung Pura = Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat; Haru = Sumatra Utara (ada kemungkinan merujuk kepada Karo); Pahang = Pahang di Semenanjung Melayu; Dompo = sebuah daerah di pulau Sumbawa; Bali = Bali; Sunda = Kerajaan Sunda; Palembang = Palembang atau Sriwijaya; Tumasik = Singapura.

Berikut Sumpah Palapa menurut opini Aziz Miring (17 M ei 2010)

Gadjah Mada, Sumpah Palapa Membawa Petaka

[Disebut membawa petaka karena lalu “harus terjadi Perang Bubat” yang merusak citra Hayam Wuruk dan Gajah Mada sendiri serta Majapahit. Bahasan khasnya ada di bawah, sudah diperbaiki ejaannya, dan dalam bahasan tesebut hal yang penting Pengutip cetak tebal.]

“Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

(Gadjah Mada sang Mahapatih tak akan menikmati palapa, berkata Gadjah Mada, “selama aku belum menyatukan nusantara, aku takkan menikmati palapa, sebelum aku menaklukan Pulau Gurun, Pulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pahang, Dompu, Pulau Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik, aku takkan mencicipi palapa)

Menurut anda apa yang terlintas dalam pikiran dan bayangan anda ketika membaca sumpah Mahapatih Gadjah Mada itu? Apakah anda berfikir tentang sumpah untuk mempersatukan atau sumpah untuk menaklukan? Apakah itu sumpah pemersatu atau sumpah penjajah?

Kita selalu diajarkan bahwa Sumpah Palapa adalah sebuah sumpah lambang pemersatu, tapi pernahkah kita berfikir bahwa sumpah itu adalah sumpah ketamakan untuk menguasai negara (baca : kerajaan) lain untuk berada di bawah kekuasaan Majapahit? Semua tafsir itu saya serahkan kepada anda.

Dan akibat tidak langsung dari sumpah ini adalah tidak adanya nama jalan atau tempat bertuliskan Gadjah Mada atau Hayam Wuruk [di Jawa Barat–Pengutip].

Menarik, kan. Nah tulisan berikut nukilan dari “Budaya Nusantara.” [Juga yang penting disalin dengan cetak tebal]. Paparannya, redaksional, (maaf) agak kacau balau karena logika berpikirnya juga (sekali lagi, maaf) agak amburadul. Akan tetapi isinya tetap harus dihargai, sebagai sebuah opini. Yang “agak amburadul” saya beri tanda dengan menulismiringkannya.

Memaknai Sumpah Palapa Gajah Mada

October 11, 2009

Serat Pararaton yang memuat naskah Sumpah Palapa sebenarnya tak secara eksplisit menyebutkan teks itu sebagai sebuah sumpah, dan tak ada satu pun kata dalam serat tersebut yang mencantumkan kata sumpah di dalamnya. Akan tetapi bila dilihat dari makna [isi] teks yang terkandung di dalamnya, jika dihubungkan  dengan [mengacu] Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti sumpah (halaman 973) yang berbunyi, “Sumpah adalah : (1) pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dsb.); (2) pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; (3) janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu), maka teks mengenai ucapan Gajah Mada yang terdapat dalam Serat Pararaton [itu akan termasuk kategori sumpah. Ucapan Gajah Mada itu (yang)] berbunyi :

Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada : “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring ahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.

Terjemahannya adalah :

Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa(nya). Beliau Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru) melepaskan puasa, jika (berhasil) mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru) melepaskan puasa (saya)”.

[Uapan Gajah Mada] Itu jelas sekali sebagai sebuah sumpah, [setidaknya] jika [parameter yang digunakan adalah buku] [mengacu pada rumusan sumpah menurut] Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas. Maka jelaslah sekarang jika teks dalam Serat Pararaton itu bisa dikategorikan sebagai sebuah sumpah karena [sesuai dengan] ketiga pengertian [sumpah] tersebut di atas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan [dapat dipakai dalam konteks pengertian sumpah].

Sebuah ungkapan, apalagi sebuah sumpah, kalau dikaji benar-benar menawarkan bentuk, isi, nilai, ideologi, dan enerji. Dari sisi bentuk Sumpah Palapa adalah prosa. Sedangkan isinya mengandung pernyataan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa yang diucapkan oleh Gajah Mada di hadapan ratu Majapahit Tribuwana Tunggadewi [Note: Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah–“pabanyu pindah” dapat berarti sungai besar berpindah aliran ke sisi lain, karena ada timbunan lahar yang baanyak–Pengtp.– dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa] dengan disaksikan oleh para menteri dan pejabat-pejabat lainnya, yang substansinya Gajah Mada baru mau melepaskan (menghentikan) puasanya apabila telah terkuasai Nusantara. Sayangnya tidak diterangkan di dalam teks tersebut tentang jenis puasa dan berapa lama pelaksanaan puasanya itu (keterangan tentang terjemahan amukti palapa, lihat Budya Pradipta, 2003).

Dari sisi nilai Sumpah Palapa mengandung pelbagai nilai : nilai kesatuan dan persatuan wilayah Nusantara, nilai historis, nilai keberanian, nilai percaya diri, nilai rasa memiliki kerajaan Majapahit yang besar dan berwibawa, nilai geopolitik, nilai sosial budaya, nilai filsafat, dsb. [?–Pen.]

Dari sisi ideologi, Sumpah Palapa yang juga dikenal sebagai Sumpah Gajah Mada atau Sumpah Nusantara […..]. Sumpah Palapa memiliki ideologi kebineka tunggal ikaan, artinya menuju pada ketunggalan keyakinan, ketunggalan ide, ketunggalan senasib dan sepenanggungan, dan ketunggalan ideologi, akan tetapi tetap diberi ruang gerak kemerdekaan budaya bagi wilayah-wilayah negeri se Nusantara dalam mengembangkan kebahagiaan dan kesejahteraannya masing-masing.[?–dari “teks” yang mana simpulan ini dibuat,  Pengutip tidak paham!]

Dari sisi enerji Sumpah Palapa dianugerahi enerji Ketuhanan Yang Maha Dasyat [?–Pengtp] karena tanpa enerji tersebut tak mungkin Gajah Mada berani mencanangkan sumpah tersebut.

Sumpah Palapa akan menjadi sangat menarik lagi apabila dikaji dengan pendekatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan seperti : Kepada siapa Sumpah Palapa diucapkan, dalam lingkungan apa (situasi, kondisi, iklim, dan suasana) Sumpah Palapa dicanangkan, dengan sasaran apa dan siapa Sumpah Palapa dideklarasikan, mengapa atau apa perlunya Gajah Mada mengumumkan Sumpah Palapa, dan manfaat apa yang mau dicapai adalah pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama. Betapapun Sumpah Gajah Mada itu kontekstual [?–Pengtp]. Tidak semua pertanyaan-pertanyaan tersebut akan di jawab di sini, namun pertanyaan manfaat apa yang mau dicapai, kiranya perlu dijawab sekarang dengan lebih cermat.

Menurut pemahaman saya Gajah Mada mempunyai kesadaran penuh tentang kenegaraan dan batas-batas wilayah kerajaan Majapahit, mengingat Nusantara berada sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua samudra besar yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, di samping diapit-apit oleh lautan Cina Selatan dan Lautan Indonesia (Segoro Kidul)[Nanti ada pemaknaan lain–Pengtp]. Dari kesadaran yang tinggi terhadap keberadaan Nusantara, Gajah Mada meletakkan dasar-dasar negara yang kokoh, sebagaimana terungkap dalam perundang-undangan Majapahit (Slamet Mulyana, 1965 : 56 – 70; 1979 : 182 – 213).

Uraian singkat tersebut dimaksudkan untuk memberi gambaran bahwa kerajaan Majapahit khususnya ketika berada dalam peng[kek]uasaan Gajah Mada telah berorientasi jauh ke depan, kalau istilah sekarang mempersiapkan diri sebagai negara yang modern, kuat, dan tangguh.

Dari beberapa pengertian diatas maka tak berlebihan kiranya jika sumpah/amukti palapa itu memiliki dimensi spiritual artinya tidak main-main. Oleh sebab itu tidak berlebihan, apabila dikatakan bahwa Sumpah Palapa itu sakral.

Terakhir (sebelum nanti ada tulisan lain yang layak dinukil), ini bahasan Baban Sarbana. Ada yang sengaja disalin cetak miring, karena rasanya logikanya agak membingungkan.

Sumpah Pemuda dan Sumpah Palapa: Dua Mimpi Beda Aksi

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah kejayaan kerajaan-kerajaan—mulai dari Sriwijaya, Majapahit, Kutai, Pajajaran, dan kerajaan lainnya. Buktinya nama-nama kerajaan tersebut menjadi nama yang sampai saat ini menjadi nama-nama yang melegenda dan biasanya mewakili kebesaran sejarahnya itu sendiri. Palembang dikenal dengan bumi Sriwijaya, Sunda dikenal dengan nama bumi Pajajaran atau bumi Parahyangan.

Apa yang istimewa dengan kerajaan tersebut? Selain sebagai pusat kekuasaan dan pusat ilmu, kerajaan-kerajaan tersebut juga mewariskan spirit. Anda pasti tidak lupa dengan siapa itu Mahapatih Gajahmada yang popularitasnya bisa jadi lebih besar dari rajanya sendiri—Hayam Wuruk. Bukan karena posisinya, tapi lebih karena statemennya yang kemudian diwujudkan dengan kekuatan. Statemen yang sangat terkenal hingga saat ini adalah Sumpah Palapa; sumpah yang ditekadkan untuk mempersatukan nusantara.

Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1336 M. Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”. Hasilnya, jika menapaktilasi jejak Sumpah Palapa, maka Indonesia saat ini adalah sebagian dari nusantara yang dicita-citakan dalam Sumpah Palapa [Cetak tebal dari pengutip].

Tahun 1928, sekumpulan pemuda dari berbagai daerah, suku, berkumpul, menyatukan tekad bersatu untuk Indonesia. Semangat ke-Indonesia-an menyeruak dalam sanubari anak muda yang jika dikonversi [?–Pengtp] dengan usia anak muda saat ini, mungkin banyak juga yang sering dan suka berkumpul, bukan demi semangat kebangsaan, tapi lebih karena semangat ke-muda-an.

Para pemuda juga menghasilkan hal yang sama, yaitu Sumpah Pemuda: satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa. Pertama.Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, tanah indonesia. Kedoea.Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa indonesia. Ketiga.Kami poetera dan poeteri indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa indonesia.

Sumpah ini tidak main-main. Karena dihasilkan dari dorongan semangat ke-Indonesia-an. Dari forum yang walaupun belum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat ke-Indonesia-an sudah mendominasi. Lahir para pemikir dan pemikiran yang menjadi dasar keberadaan Indonesia seperti sekarang ini. Bahkan lagu Indonesia Raya yang diperkenalkan dengan biola oleh personel The Black White Jazz Band, WR Supratman pun abadi hingga saat ini sebagai lagu kebangsaan.

Dua sumpah ini—Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda—adalah dua tekad untuk membuat Indonesia  menjadi satu. Dua sumpah ini adalah dua mimpi yang dieksekusi dengan cara yang berbeda. Sumpah Palapa dikumandangkan ketika Mahapatih Gajah Mada memegang jabatan politik. Tentu saja Sumpah Palapa tak lepas dari kerangka niat untuk menjadikan Nusantara Satu dengan ambisi politik yang kental, karena satunya Nusantara dalam rangka menguatkan kekuasaan.

Semangat Sumpah Palapa adalah semangat sentralisasi, bagaimana menjadikan kerajaan Majapahit sebagai sentra kekuasaan di Nusantara. Semangat yang kemudian bisa jadi adalah nama lain dari sentralisasi. Mahapatih Gajah Mada bertekad mempersatukan nusantara dan menjadikan Majapahit sebagai porosnya.

Dalam konteks saat ini, semangat sentralisasi justru menjadi bagian yang membuat bangsa ini sulit bersatu. Ketidakinginan untuk dikuasai, diatur, dikendalikan adalah keinginan yang lumrah dan alamiah dalam konteks membangun kemandirian. Semangat sentralisasi bertentangan dengan otonomi daerah, dengan kendali utama  ada pada pemerintahan di tingkat daerah.

Sumpah Pemuda dikerangkai oleh niat untuk menjadikan Indonesia Satu tak dimulai dengan kekuasaan, tapi rasa ke-satu-an yang diliputi cinta, yaitu cinta tanah air, cinta bangsa dan cinta bahasa.

Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat konvergen, datang dan bersatu karena dikendalikan oleh keyakinan bahwa keberadaan para pemuda di tanah air yang berbeda, di satu titik menemukan kesamaan, sebagai bangsa yang sama dan berkomunikasi dengan bahasa yang sama, tentu sudah Tuhan takdirkan untuk membawa Indonesia menjadi negara yang harmoni; negara yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Sumpah Pemuda pasti lahir dari kesadaran akan keragaman dan keyakinan dari kekuatan harmoni. Keragaman yang dikelola dengan baik, diikat dengan sebuah sumpah, akan menghasilkan Indonesia Satu yang berbhineka namun mencapai kejayaan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemuda selalu menjadi lokomotif sejarah. Sumpah Pemuda adalah kontrol sosial terhadap Sumpah Palapa. Kekuasaan harus senantiasa diliputi oleh semangat Bhineka Tunggal Ika. Sekali semangat harmoni dalam keragaman itu retak, maka perlu perjuangan kembali untuk merekatkannya. Salam Bhineka Tunggal Ika

Baban Sarbana (Pendiri Youth Strategic Leadership Foundation)  Sumber <http://sejarah.kompasiana.com/2010/10/28/sumpah-pemuda-dan-sumpahpalapa-dua-mimpi-beda-aksi/>  Peserta kongres yg melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Nah, lepas dari berbagai logika yang agak sulit dipahami, yang patut dicatat adalah bahwa di satu sisi ada yang mengagungkan sepenuhnya Sumpah Palapa sebagai tekad mempersatukan nusantara dengan penuh kedamaian dan persaudaran, di satu sisi ada yang menilainya bukan tekad mempersatukan, melainkan tekad menguasai (menjajah). Agak lebih halus (walau mungkin tak paham sepenuhnya akan maknanya) Sumpah Palapa dinyatakan sebagai “tekad sentralisasi.”

Kenapa bisa terjadi “kontroversi”? Karena teks Sumpah Palapa itu sendiri menyatakan: Lamun huwus kalah . . . Kalau sudah kalah …, sudah takluk. Bukan kata seperti “lamun huwus manunggal,” bersatu bersama-sama dalam kesetaraan derajat dan kekuasaan. Dan konsep persatuan itu tidak ada dalam wawasan ketatanegaraan Gajah Mada, yang ada hanya konsep penyatuan.

Istilah nusantara [“Lamun huwus kalah nusantara . . . “] dalam bahasa Gajah Mada bukan negara kesatuan Indonesia (belum terbayangkan olehnya). Nusantara adalah semua nusa (“ring,”(?)  pulau, daratan, dan negara-negara yang ada di dalamnya) yang dipisahkan oleh berbagai laut dari Majapahit. Ini otomatis mencakup yang ada di nusa Jawadwipa, yaitu Sunda. Oleh karenanya pula mencakup negara-negara di Semenanjung Malaya (Tumasik Singapura dan Pahang). Menurut Maharsi (Kamus Jawa Kawi Indonesia) nusantara itu artinya “pulau-pulau yang lain.” Jadi, di kepala Gajah Mada tidak ada konsep nusantara sebagai negara kesatuan (Indonesia). Yang ada di kepalanya mengalahkan (menaklukkan) nusantara, pulau-pulau yang lain (selain Jawa, tempatnya dan Majapahit berada).

Mengalahkan, tentu saja tidak sama dengan mempersatukan. Itulah yang dimaksud dua bahasan “kontroversial” di muka, kendati berbeda menyebutkan. Aziz Miring  tegas-tegas mengatakan menguasai, menaklukkan (semangat penjajahan), sementara Baban hanya menyebutkan semangat “sentralisasi” (Sumpah Palapa) yang berbeda jauh dari “desentralisasi” (Sumpah Pemuda), kendati tentu dua istilah yang kurang tepat digunakan).

Jadi, Sumpah Pemuda itulah sebenar-benarnya benar sebagai suatu tekad semangat persatuan, bukan Sumpah Palapa. Sumpah Palapa adalah tekad dan semangat besar penjajahan!

Tulisan “Sumpah Palapa Membawa Petaka” pada intinya menggugat tekad dan semangat penjajahan nusantara (pulau-pulau yang lain selain Jawa) yang menghalalkan segala cara. Termasuk (jika benar ada) Perang Bubat.

Walaupun tidak sepenuhnya Kitab  Pararaton dipercaya oleh para ahli sejarah, “Forum Murtadin Indonesia” menukil bagian kecil dari Pararaton, yang justru kontraproduktif dengan “gagasannya untuk kembali ke “jadoel.” Forum ini mengaku sendiri dengan tegas “anti Arabisasi Indonesia” (alias anti Islam–dan terang-terangan “menghujat” Islam—harap tidak ditanggapi secara emosional oleh Umat Islam) dan mengagung-agungkan “nusantara jadoel.” Forum ini dengan tegas menyatakan bahwa:

Hanya dengan kekuatan Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersemayam pada manusia-manusia Indonesia yang mengerti, Indonesia akan terhindar dari calon giliran sasaran tembak kekuatan-kekuatan asing [cetak tebal dari Pengutip–ada tendensi di dalamnya; baca: Arab, alias Islam] yang berbahaya. Dalam rangka mencari pencerahan inilah kita perlu merenung melalui naskah-naskah kuno yang mampu menjadi perekat atau semen bagi bangsa-bangsa di Nusantara (ini “jadoel” yang saya maksud–Pengtp). Apa kata Forum “Kaum Murtad Indonesia” ini? Begini.

“Di jaman Majapahit perekat bangsa-bangsa di Nusantara sudah ada, yaitu berupa Sumpah Palapa, sebuah sumpah yang diucapkan oleh Gajah Mada ketika ia mendapatkan kehormatan di wisuda menjadi Patih Amangkubhumi, tahun 1336 Masehi. Sumpah Palapa intinya adalah mengusahakan kesatuan dan persatuan Nusantara (cetak tebal dari Pengutip). Bahasa sekarang: Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI.”

Forum Kaum Murtad (walau mungkin yang nulis cuma satu orang) mencoba mengangkat derajat Sumpah Palapa melebihi segala macam ajaran asing, termasuk Islam, Kristen, Katolik (yang datang kemudian setelah Hindu-Budha) setinggi-tingginya sebagai “ajaran” persatuan dan kesatuan NKRI yan sakral. Tapi . . .

Dari Pararaton, Forum ini mengutip, dengan pendahuluan, seperti di bawah ini.

Jangan dikira bahwa ketika Sumpah Palapa dicanangkan tidak ada tantangan dari orang-orang sekitarnya. Perhatikan kalimat berikutnya, seperti dikutib dari teks Serat Pararaton (cetak miring dari Pengutip):

Sira sang mantri samalungguh ring panangkilan pepek. Sira Kembar apameleh, ring sira Gajah mada, anuli ingumanuman, sira Banyak kang amuluhi milu apameleh, sira Jabung Terewes, sira Lembu Peteng gumuyu. Tumurun sira Gajah mada matur ing talampakan bhatara ring Koripan, runtik sira katadahan kabuluhan denira arya Tadah. Akweh dosanira Kembar, sira Warak ingilangaken, tan ucapen sira Kembar, sami mati.

Terjemahannya adalah :

Mereka para menteri duduk di paseban lengkap. Ia Kembar mengemukakan hal-hal tidak baik kepada Gajah Mada, kemudian ia (Gajah Mada) dimaki-maki, Banyak yang menjadi penengah (malah ikut) menyampaikan hal-hal yang tidak baik, Jabung Tarewes mengomel, sedang Lembu Peteng tertawa. Turunlah Gajah Mada dan menghaturkan kata-kata di telapak bathara Koripan, marah dia mendapatkan celaan dari Arya Tadah. Banyak dosa Kembar, Warak dilenyapkan, demikian pula Kembar, mereka semua mati (cetak tebal dari Pengutip).

Belum-belum Gajah Mada sudah tidak demokratis, tak mau dicela. Semua pencelanya, semua yang menertawakannya (para “mantri” yang lengkap hadir mengikuti sumpahnya), dibunuh mati. Sekali lagi, kalau Pararaton benar, dan (karena saya tak paham penuh bahasa Jawa Pertengahan–Jawa modern pun masih “tertatih-tatih”) juga jika penerjemahan teks Jawa Pertengahan itu benar, dan “tangkapan” saya pada yang dicetak tebal pun benar.

Pejabat Kerajaan dari Majapahit sendiri pun dibunuh, apalagi raja-raja negara lain. Membangkang, tak mau “seba upeti” (tanda tunduk kepada Majapahit), dihabisi. Itu jelas bukan tekad dan semangat mempersatukan. Itu semangat dan tekad penaklukan, penjajahan! Apakah yang seperti ini mau diagung-agungkan? Jangan cekoki anak bangsa ini dengan doktrin yang salah, seperti dilakukan Orde Baru. Gajah Mada sudah tidak cocok dengan sila ketiga Pancasila, lebih-lebih dengan sila kedua dan pertama. Seagama pun (Hindu-Budha) mau dikalahkan alias ditaklukkannya. Ingat, Islam dan Kristen dan Katolik sama sekali belum memunculkan kerajaan apapun di Indonesia di ketika itu!

Sumangga. Sekali lagi, kontroversi itu mengandung manfaat besar, jika disikapi dengan lapang dada dan dipikir dengan bijak. Termasuk menyikapi orang yang “anti Islam” untuk mengajak  kembali ke “agama leluhur” seperti yang ada di ” Sunda”  yang mau mengajak kembali ke agama Sunda Wiwitan (sebelum Hindu dan Budha juga), dengan dalih kembali ke aslinya asli Urang Sunda, “ngamumule kasundaan aslina sunda” (“nguri-uri budaya adiluhung” yang diplesetkan). Biarkan saja, tak kan ada pengaruh yang signifikan. ***