Nilai ekspor apakah sama dengan harga jual produk

Dalam pelaksanaan kegiatan ekspor produk Indonesia pastinya terdapat hambatan dan kendala yang dihadapi dalam proses kegiatannya. Guna meningkatkan nilai ekspor produk Indonesia khususnya non migas, perlu diketahui mengenai hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan ekspor.

Terdapat 2 kelompok hambatan dalam pelaksanaan kegiatan ekspor, yaitu hambatan tarif dan hambatan non tarif.

Hambatan Tarif

Tarif yang dikenakan terhadap produk yang masuk ke suatu negara dengan alasan penerimaan negara tujuan dan melindungi produk domestik negara tujuan dari serbuan barang luar negeri. Dengan adanya tarif yang dikenakan akan mengurangi daya saing produk tersebut di negara tujuan.

Salah satu usaha untuk mengatasi hambatan tarif  adalah dengan melakukan kerja sama perdagangan baik bilateral maupun multi lateral, sehingga tarif yang dikenakan terhadap produk Indonesia dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Hambatan non Tarif

Hambatan non tariff merupakan hambatan yang dihadapi pelaku ekspor selain pengenaan tarif atas produk yang masuk ke negara tertentu.

Terdapat berbagai macam hambatan non tarif, antara lain:

-          Kuota

Dengan adanya kebijakan kuota, negara tujuan membatasi secara ketat produk yang diimpor untuk melindungi produk domestik negara tujuan.

-          Dumping

Dumping merupakan pemberlakuan harga lebih rendah terhadap produk ekspor yang dijual ke negara lain dibandingkan dengan harga normal yang diberlakukan di pasar domestik.

-          Standard/compliance

Pemberlakukan aturan dimana produk yang akan masuk ke suatu negara harus memenuhi standar ataupun persyaratan khusus yang ada di negara tujuan.

-          Hambatan teknis dalam perdagangan

Negara tujuan menerapkan aturan teknis dalam perdagangan internasional, antara lain kemasan, pelabelan, deskripsi produk dan lain-lain.

*diolah dari berbagai sumber (ts)

SP – 19 /BKF/2022

Jakarta, 17 Mei 2022 – Ekspor Indonesia pada April 2022 tercatat sebesar USD 27,32 miliar, lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya serta tumbuh sebesar 47,76% (year on year). Ekspor migas dan nonmigas sama-sama mengalami pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 48,92% dan 47,7% (yoy). “Potensi penguatan nilai ekspor masih akan terus tinggi seiring tren positif harga komoditas di pasar global yang diperkirakan masih berlanjut ke depannya. Hal ini juga terus diimbangi dengan baik oleh pertumbuhan ekspor nonmigas yang konsisten kuat. Ini bukti nyata perbaikan struktur ekonomi yang fundamental. Pemerintah akan terus berupaya agar perbaikan ini berkesinambungan,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.

Meskipun dampak langsungnya diperkirakan relatif kecil bagi kinerja perdagangan Indonesia, Pemerintah terus memantau potensi dampak ketegangan Rusia - Ukraina salah satunya melalui transmisi volume dan harga komoditas global. Di satu sisi, kenaikan harga komoditas global membawa dampak positif pada ekspor kita khususnya terkait komoditas energi, mineral dan logam dimana Indonesia mengekspor dalam jumlah yang besar sehingga menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. “Menguatnya ekspor diharapkan terus menopang surplus neraca perdagangan sehingga terus memberikan dampak positif bagi aktivitas sektor riil. Likuiditas yang meningkat yang diperoleh dari aktivitas ekspor akan berdampak positif bagi aktivitas konsumsi dan investasi domestik, sehingga diharapkan dapat menjaga momentum pemulihan ekonomi”, lanjut Febrio. Namun demikian, Pemerintah akan terus mewaspadai dampak tak langsung dari konflik Rusia – Ukraina, baik terkait pelemahan kinerja ekonomi global maupun terkait dengan lonjakan harga komoditas. Disrupsi perdagangan global akan menekan laju pemulihan ekonomi global yang diproyeksikan semakin melambat. Sementara itu, lonjakan kenaikan harga komoditas, khususnya energi dan pangan, akan mendorong kenaikan inflasi di dalam negeri. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menjaga kestabilan harga dan kecukupan ketersediaan kebutuhan pangan pokok dan energi, termasuk memberikan bantalan kebijakan berupa bansos minyak goreng untuk kelompok berpendapatan rendah.

Kualitas ekspor Indonesia juga terus terlihat. Buktinya, ekspor sektor manufaktur sebagai komponen penyumbang tertinggi ekspor nonmigas tetap tumbuh secara konsisten, dengan pertumbuhan tahunan nyaris 30 persen yaitu 27,92% (yoy). Sektor manufaktur adalah sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dalam perekonomian, terutama dari sisi penciptaan lapangan kerja. Perbaikan sektor ini terpantau sejalan dengan penyerapan tenaga kerja pada Februari 2022. Arah kebijakan Pemerintah akan terus menggalakkan ekspor yang bernilai tambah tinggi dengan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Beberapa contoh produk tersebut adalah besi, baja dan feronikel sebagai olahan mineral kini mulai menopang ekspor Indonesia dengan pertumbuhan yang pesat. Prioritas hilirisasi SDA Pemerintah adalah tambang dan mineral (nikel hidrat, besi dan baja), CPO (margarin, sabun mandi), migas dan Batubara (etilena, propilena, dan lain-lain).

Sementara itu, impor Indonesia di bulan April tahun 2022 tercatat tetap kuat meski sedikit melambat dari bulan sebelumnya pada USD 19,76 miliar, atau tumbuh sebesar 21,97% (yoy). Secara tahunan, impor migas dan nonmigas masih tumbuh pesat sebesar 88,48% (yoy) dan 12,47% (yoy). Sedangkan berdasarkan penggunaannya, pada April 2022, impor bahan baku/penolong, barang modal, dan barang konsumsi masih bertumbuh positif dan kuat sebesar SP – 19 /BKF/2022 Hal 2/2 25,51% (yoy), 15,16% (yoy), dan 4,21% (yoy). “Peningkatan impor barang konsumsi mengindikasikan pulihnya daya beli masyarakat. Sementara peningkatan pada impor bahan baku dan barang modal mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas industri di dalam negeri salah satunya didorong perbaikan iklim industri domestik. Hal ini juga seiring dengan angka PMI Manufaktur Indonesia yang semakin ekspansif”, tambah Febrio.

Kinerja ekspor dan Impor Indonesia di bulan April 2022 ini menunjukkan kondisi yang lebih positif dibandingkan bulan dan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Surplus neraca perdagangan pada April 2022 tercatat USD 7,56 miliar, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat surplus USD 4,54 miliar. Kondisi ini melanjutkan tren surplus selama 24 bulan berturut-turut. Selain itu, surplus tersebut juga merupakan surplus tertinggi sepanjang sejarah mengalahkan rekor pada Oktober 2021 yang tercatat USD5,74 miliar.

Surplus neraca perdagangan yang tinggi akan berdampak semakin positif bagi PDB Indonesia di kuartal II 2022. Selain itu, hal ini juga turut menopang stabilitas nilai tukar Rupiah di tengah tekanan risiko global sehingga menjadi bantalan stabilitas ekonomi Indonesia. “Bila dibandingkan dengan tahun 2021, maka arah penguatan tahun 2022 diperkirakan jauh lebih baik. Hal ini disebabkan kondisi surplus neraca perdagangan yang lebih besar, serta pandemi yang semakin mengarah ke endemi yang memperkecil hambatan mobilitas”, tutup Febrio.

Endang Larasati
Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik
Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan

Baca

Apa yang dimaksud dengan nilai ekspor?

Sedangkan menurut UU PPN definisi Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Apa saja biaya biaya yang dihitung dalam ekspor?

Apa Saja Biaya-Biaya yang Dihitung dalam Ekspor?.
Biaya HPP (Harga Pokok Produksi) ... .
Biaya Pengemasan Produk. ... .
Biaya Pembayaran Bank (Bank Charge) ... .
Biaya Transportasi dari Gudang ke Pelabuhan (Trucking) ... .
Biaya Forwarder. ... .
Biaya Pengurusan Dokumen Ekspor. ... .
Biaya Terminal Handling Charge (THC) ... .
Biaya Bea Keluar..

Harga FOB itu apa?

FOB merupakan kependekan dari Free On Board, yang secara sederhana diartikan sebagai Harga Barang. Sedangkan CIF (Cost, Insurance, Freight) yaitu total nilai harga barang + ongkos kirim dan asuransi. FOB digunakan sebagai dasar pembebasan / de minimis value.

Bagaimana cara menghitung CIF?

CIF = FOB + Freight + Insuance.