Nabi di gua hira berapa lama

Oase.id- Memasuki usia 40 tahun, Nabi Muhammad Saw kian gemar mengasingkan diri. Dengan berbekal roti dari gandum dan air, beliau rutin pergi menuju Gua Hira di Jabal Nur.

Jarak bukit itu kira-kira 2 mil dari Makkah. Guanya tidak terlalu besar, panjangnya hanya 4 hasta dengan lebar 1 hasta saja. 

Berbeda dengan rutinitas sebelumnya, sudah selama 6 bulan terakhir, Nabi Muhammad mendapati mimpi yang hakiki. Kepadanya datang sebuah cahaya yang terang seperti fajar pagi.

Pada Ramadan tahun ketiga dari pengasingan di Gua Hira, akhirnya, Allah pun berkehendak melimpahkan rahmat-Nya kepada penghuni bumi. Allah Swt memuliakan Nabi Muhammad dengan nubuwah dengan menurunkan Jibril As menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an.

Hari Senin, malam 17 Ramadan atau bertepatan 6 Agustus 610, usia Nabi Muhammad genap 40 tahun 6 bulan 12 hari. Di saat itulah, Nabi Muhammad resmi diangkat menjadi Rasul dan mulai mengemban tugas menyiarkan kebenaran. 

Baca: 8 Juni 632: Rasulullah Muhammad Saw Wafat


Kedatangan Jibril As

Ketika Nabi Muhammad bermenung di Hira, angin mendadak terasa begitu dingin. Hingga muncullah satu sosok yang berada di depan Nabi Muhammad dan berkata, "Bacalah!"

"Aku tidak bisa membaca," kata Nabi.

Malaikat Jibril memegangi tangan dan merangkul Nabi dengan kencang hingga membuat napas terasa sesak. Tak lama, Jibril melepaskan pelukannya, dan kembali menyeru, "Bacalah!"

Nabi tetap menjawab, "Aku tidak bisa membaca."

Jibril mengulangi perbuatannya hingga 3 kali, setelah kembali melepaskan pelukan, sosok yang diutus khusus itu menyampaikan firman Allah Swt;

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

"Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qolam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. Al-‘Alaq: 1-5).


Rasulullah pun mengulangi bacaannya dengan penuh rasa gemetaran. 


Usai menerima wahyu pertama

Rasulullah merasakan telah mendapat pengalaman yang tak pernah terduga sebelumnya. Menuruni Hira, beliau terus berusaha memalingkan pandangan, serupa kebingungan. 

Nabi benar-benar merasa gentar setelah bertatap dengan Jibril As. Anehnya, ke mana pun ia bergerak, makhluk yang baru saja memperkenalkan diri itu selalu merajai penglihatan.

Tak cuma itu, di sepanjang jalan, bebatuan dan pepohonan pun terdengar mengucapkan salam. Dengan penuh tergesa, Nabi terus menuruni bukit dan pulang.

"Wahai Abal Qasim, dari manakah engkau? Demi Allah, aku telah menyuruh orang untuk mencarimu hingga ke puncak Mekah, namun mereka kembali tanpa membawa hasil apapun," sapa Siti Khadijah kala menyambut suaminya di muka rumah. 

Baca: Wahyu Pertama dan Dukungan Hangat Sayyidah Khadijah

Nabi terdiam, lantas bersabda, "Selimutilah aku! Selimutilah aku! Agar rasa gemetar ini hilang!"

Siti Khadijah segera mengambil selimut dan memakaikannya. Lantas, sosok yang sangat dicintainya itu ia papah menuju kamar. Setelah tampak sedikit tenang, Khadijah berkata, "Sungguh, aku sangat mengkhawatirkan keadaanmu."   Khadijah terus membujuk agar Nabi berkenan menceritakan hal ihwal yang telah dialami. Tak lama, Nabi pun bangkit dan menuturkan perihal penerimaan wahyu itu secara gamblang dan jelas.   Mendengar kabar agung dari Rasulullah saw, Ummul Mukminin itu terus menenangkan dan berkata:  

"Jangan takut. Bergembiralah! Allah tidak akan merendahkanmu. Sesungguhnya engkau menyambung hubungan keluarga, menafkahi kerabat, dan membantu orang-orang tidak mampu. Memberikan jamuan kepada tamu serta menolong orang-orang yang tertimpa musibah. Allah tidak akan mengizinkan setan mengganggumu, mereka tidak akan membuatmu tenggelam dalam khayalan. Tidak bisa diingkari lagi, Allah Swt telah memilih engkau untuk memberi petunjuk kepada kaummu."

Sumber: Disarikan dari kisah Ar-Rakhiq Al-Makhtum karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri serta Al-Bidayah wan-Nihayah karya Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri atau masyhur dengan nama Imam Ibnu Katsir.


(SBH)

suara.com

Ketika usia beliau mendekati 40 tahun, beliau telah banyak merenungi keadaan kaumnya dan menyadari banyak keadaan kaumnya tidak sejalan dengan kebenaran. Beliau pun mulai sering uzlah [mengasingkan diri] dari kaumnya. Beliau biasa ber-tahannuts di gua Hira yang terletak di Jabal Nur, dengan membawa bekal air dan roti gandum. Gua Hira merupakan gua kecil yang berukuran lebar 1,75 hasta dan panjang 4 hasta dengan ukuran dzira’ hadid [ukuran hasta dari besi].

Beliau tinggal di dalam gua tersebut selama bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu untuk beribadah di sana dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam semesta yang begitu sempurna. Selama perenungan itu juga beliau semakin menyadari keterpurukan kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik. Namun ketika itu beliau belum memiliki jalan yang terang dan manhaj yang jelas mengenai bagaimana jalan yang harus ditempuh.

Ketika usia beliau genap 40 tahun, tanda-tanda kenabian semakin nampak dan bersinar. Diantaranya ada sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنِّي لَأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّي لَأَعْرِفُهُ الْآنَ

“Sungguh aku mengetahui sebuah batu di Mekkah yang mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus [menjadi Nabi]. Dan aku masih mengenalkan sampai sekarang” [HR. Muslim no. 2277].

Kemudian diantara tanda lainnya adalah mimpi-mimpi beliau semakin jelas, yang disebut dengan ru’ya ash shalihah atau ru’ya ash shadiqah. Dan ini merupakan salah satu tanda kenabian. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ

“Mimpi yang benar adalah salah satu dari 46 tanda kenabian” [HR. Muslim no. 2263].

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Al Baihaqi mengisahkan bahwa masa ru’ya ash shalihah berlangsung selama 6 bulan. Berdasarkan hal ini, maka permulaan kenabian dengan adanya ru’ya ash shalihah terjadi pada bulan kelahiran beliau yaitu Rabi’ul Awwal, setelah beliau genap 40 tahun. Sedangkan wahyu dalam kondisi terjaga terjadi pada bulan Ramadhan” [Fathul Bari, 1/27].

Ketika uzlah beliau memasuki tahun ketiga, tepatnya di bulan Ramadhan, Allah Ta’ala menakdirkan ketika itu turun wahyu pertama kepada beliau dan diangkatnya beliau menjadi Nabi. Malaikat Jibril turun kepadanya dengan membawa wahyu pertama.

Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri, dalam kitab beliau Rahiqul Makhtum, menelaah waktu turunnya wahyu pertama ini, dan beliau menyimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi pada hari Senin tanggal 21 Ramadhan di malam hari, bertepatan dengan 10 Agustus 610M. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam saat itu berusia 40 tahun, 6 bulan, 12 hari menurut kalender hijriyah. Atau sekitar 39 tahun, 3 bulan dan 20 hari menurut kalender masehi.

Ayat Pertama Yang Turun

Ada 3 pendapat yang disebutkan para ulama mengenai ayat mana yang pertama kali turun:

Pendapat pertama: yang pertama kali turun adalah surat Al ‘Alaq ayat 1 – 5. Sebagaimana keterangan dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau menyebutkan:

أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ } اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ {

“Awal turunnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimulai dengan ar ru’ya ash shadiqah [mimpi yang benar dalam tidur]. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: [Bacalah dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah]” [HR. Bukhari no. 6982, Muslim no. 160].

Pendapat kedua: yang pertama kali turun adalah surat Al Mudatsir 1 – 3. Berdasarkan keterangan dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu. Dari Abu Salamah bin Abdirrahman ia mengatakan:

سألتُ جابرَ بنَ عبدِ اللهِ : أيُّ القرآنِ أنْزِلَ أوَّلُ ؟ فقالَ : {يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ } . فقلتُ : أنْبِئْتُ أنَّهُ : { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ} . فقالَ : لا أخْبِرُكَ إلا بمَا قالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، قالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : [ جَاوَرْتُ في حِراءَ ، فلمَّا قضَيتُ جِوارِي هَبَطْتُ ، فاسْتَبْطَنْتُ الوادِيَ ، فَنُودِيتُ ، فَنَظَرْتُ أمَامِي وخَلْفِي ، وعن يمِينِي وعن شِمَالي ، فإذَا هوَ جالسٌ على عرْشٍ بينَ السماءِ والأرضِ ، فَأَتَيْتُ خدِيجَةَ فقلتُ : دَثِّرُونِي وصبُّوا عليَّ ماءً بارِدًا ، وأُنْزِلَ عليَّ : { يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ} ] .

“Aku bertanya kepada Jabir bin Abdillah: ayat Al Qur’an mana yang pertama kali turun? Jabir menjawab: Yaa ayyuhal muddatsir. Abu Salamah menukas: bukanlah iqra bismirabbika? Jabir mengatakan: tidak akan aku kabarkan kecuali apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Aku berdiam diri di gua Hira’, ketika selesai berdiam, aku pun beranjak turun [keluar]. Lalu ada yang menyeruku, aku pun melihat ke sebelah depan dan belakangku dan ke sebelah kanan dan kiriku. Ternyata, [yang memanggilku] ia duduk di atas Arasy antara langit dan bumi. Lalu aku bergegas mendatangi Khadijah lalu aku berkata, ‘Selimutilah aku. Dan tuangkanlah air dingin pada tubuhku’. Lalu turunlah ayat: ‘Yaa ayyuhal muddatsir, qum fa-anzhir warabbaka fakabbir [Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan berilah peringatakan. Dan Tuhan-mu, agungkanlah]’”” [HR. Bukhari no. 4924].

Pendapat ketiga: yang pertama kali turun adalah surat Al Fatihah. Dalam sebuah riwayat:

عن أبي اسحاق عن أبي ميسرة قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سمع الصوت انطلق هاربا, وذكر نزول الملك عليه و قوله : الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ … إلى أخرها

“Dari Abu Ishaq dari Abu Maysarah ia berkata, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendengar suara [gaib] beliau pun pergi dalam keadaan takut. Kemudian beliau menyebutkan tentang datangnya Malaikat dan menyampaikan: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin… sampai akhir surat” [dinukil dari Al Burhan fi Ulumil Qur’an, 207].

Kompromi dari tiga pendapat ini adalah, bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Al ‘Alaq 1-5 sedangkan yang pertama kali turun berupa perintah untuk tabligh [menyebarkan Islam] adalah Al Muddatsir 1-3 dan yang pertama kali turun berupa surat secara sempurna adalah Al Fatihah [ Al Burhan fi Ulumil Qur’an, 207, karya Badruddin Az Zarkasyi].

Setelah Wahyu Pertama Turun

Setelah menerima wahyu di gua Hira, beliau Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kembali ke rumah Khadijah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha:

فرجَع بها ترجُفُ بوادرُه حتَّى دخَل على خديجةَ فقال: زمِّلوني زمِّلوني فزمَّلوه حتَّى ذهَب عنه الرَّوعُ ثمَّ قال: يا خديجةُ ما لي ؟ وأخبَرها الخبرَ وقال: قد خشيتُه علَيَّ فقالت: كلَّا أبشِرْ فواللهِ لا يُخزيك اللهُ أبدًا إنَّك لَتصِلُ الرَّحمَ وتصدُقُ الحديثَ وتحمِلُ الكَلَّ وتَقري الضَّيفَ وتُعينُ على نوائبِ الحقِّ ثمَّ انطلَقَت به خديجةُ حتَّى أتَتْ به ورقةَ بنَ نوفلٍ وكان أخا أبيها وكان امرأً تنصَّر في الجاهليَّةِ وكان يكتُبُ الكتابَ العربيَّ فيكتُبُ بالعربيَّةِ مِن الإنجيلِ ما شاء أنْ يكتُبَ وكان شيخًا كبيرًا قد عمِيَ فقالت له خديجةُ: أيْ عمِّ، اسمَعْ مِن ابنِ أخيك فقال ورقةُ: ابنَ أخي، ما ترى ؟ فأخبَره رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ما رأى فقال ورقةُ: هذا النَّاموسُ الَّذي أُنزِل على موسى يا ليتَني أكونُ فيها جذَعًا أكونُ حيًّا حينَ يُخرِجُك قومُك فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أمُخرِجيَّ هم ؟ ! قال: نَعم لم يأتِ أحدٌ قطُّ بما جِئْتَ به إلَّا عُودِي وأوذي وإنْ يُدرِكْني يومُك أنصُرْك نصرًا مؤزَّرًا ثمَّ لم ينشَبْ ورقةُ أنْ تُوفِّي

“Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya: Selimuti aku, selimuti aku. Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya. Kemudian Nabi bertanya: ‘wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?’. Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alamai kemudian mengatakan, ‘aku amat khawatir terhadap diriku’. Maka Khadijah mengatakan, ‘sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran. Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.

Khadijah berkata kepada Waraqah, “wahai paman. Dengarkan kabar dari anak saudaramu ini”. Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya. Waraqah berkata, “[Jibril] ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu”. Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia” [HR. Al Bukhari no. 6982].

Baca juga: Pernikahan Rasulullah Dengan Khadijah Radhiallahu’anha

Masa Fatrah, Tidak Ada Wahyu Yang Turun

Setelah wahyu pertama turun, setelah itu wahyu berhenti turun untuk beberapa waktu. Masa-masa tidak ada wahyu yang turun ini disebut dengan masa fatratul wahyi. Dalam hadits riwayat Bukhari disebutkan:

وفتَر الوحيُ فترةً حتَّى حزِن رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم [ فيما بلَغَنا ] حزنًا غدَا منه مِرارًا لكي يتردَّى مِن رؤوسِ شواهقِ الجبالِ فكلَّما أوفى بذِروةِ جبلٍ كي يُلقيَ نفسَه منها تبدَّى له جبريلُ فقال له: يا محمَّدُ إنَّك رسولُ اللهِ حقًّا فيسكُنُ لذلك جأشُه وتقَرُّ نفسُه

“Telah sampai informasi kepada kami bahwa masa fatrah terjadi begitu lama hingga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersedih hati. Yang ini membuat beliau berulang kali berlari kencang ke atas bukit untuk melompat. Setiap kali beliau sampai ke atas bukit, malaikat Jibril menampakkan diri dan berkata: ‘wahai Muhammad, engkau adalah benar-benar Rasulullah’. Sehingga hati dan jiwa beliau menjadi tenang” [HR. Al Bukhari no. 6982].

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan:

وَقَعَ فِي تَارِيخِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّ مُدَّةَ فَتْرَةِ الْوَحْيِ كَانَت ثَلَاث سِنِين ، وَبِه جزم ابن إِسْحَاقَ

“Terdapat riwayat dari Tarikh Ahmad bin Hambal, dari Asy Sya’bi bahwa rentang waktu fatratul wahyi adalah 3 tahun, ini pendapat yang dipegang oleh Ibnu Ishaq” [Fathul Baari, 1/27].

Ibnu Katsir menyebutkan:

قَالَ بَعْضُهُمْ: كَانَتْ مُدَّةُ الْفَتْرَةِ قَرِيبًا مِنْ سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَتَيْنِ وَنِصْفٍ

“Sebagian ulama mengatakan bahwa rentang waktu rentang waktu fatratul wahyi adalah 2 tahun atau 2,5 tahun” [Al Bidayah wan Nihayah, 4/42].

Dan sebagian ulama juga ada yang berpendapat fatratul wahyi hanya beberapa hari saja.

Lalu setelah berakhir masa fatratul wahyi, turunlah wahyu kedua yaitu surat Al Mudatsir ayat 1 sampai 7, sebagaimana yang ada dalam hadits Jabir radhiallahu’anhu di atas.

Dengan demikian, beliau diangkat menjadi seorang Rasulullah. Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam matan Tsalatsatul Ushul mengatakan:

نبئ باقرأ وأرسل بالمدثر

“Beliau diangkat menjadi Nabi dengan “Iqra’” dan diangkat menjadi Rasul dengan ‘Al Mudatsir’”

Wallahu a’lam.

Sumber: www.muslim.or.id

Diposting oleh mahasiswa KPM-DRI UIN Ar-Raniry Gampong Jeulingke. IAT 02-FUF

Video yang berhubungan