Mengapa Van den Bosch dijadikan tokoh sentral dalam tanam paksa

Tanam Paksa – Pengertian, Tujuan, Latar Belakang & Van den Bosch– DosenPendidikan.Com – Tanam Paksa ( Cultuurstelsel ) ialah suatu sistem yang bertujuan dan bermanfaat bagi belanda. Tanam paksa merupakan peraturan mempekerjakan seseorang dengan paksa yang sangat merugikan pekerja dan tampa diberi gaji dan tampa istirahat. Sistem tanam paksa telah menjadi sejarah bagi rakyat Indonesia.

Mengapa Van den Bosch dijadikan tokoh sentral dalam tanam paksa

Jalannya Sistem Tanam Paksa

Gubernur Jendral Van den Bosch memberlakukan sistem ini dengan mengambil pelajaran dari sistem pajak tanah yang gagal pada era sebelumnya oleh Raffles, dari sistem pajak tanah yang tidak mampu membuat para penduduk pribumi meningkatkan tanaman ekspor maka Gubernur Jendral Van den Bosch mecoba untuk meningkatkan hasil tanaman ekspor dengan mengadakan kerjasama dengan para Bupati dan pejabat daerah yang dekat dengan rakyat.

Artinya sistem feodal di pedesaan harus dimanfaatkan agar para petani mampu menghasilkan tanaman ekspor yang banyak, untuk itulah Gubernur Jendral Van den Bosch mencoba untuk mengadakan kerjasama dengan para pegawai pemerintahan yang dekat dengan petani. Sistem tanam paksa ini bisa dikatakan sebagai bentuk pembaharuan dari sistem pajak tanah yang pernah dilakukan oleh VOC selama dua abad, mengapa seperti itu?

Hal ini dikarenakan para penduduk pribumi juga dikenakan pajak oleh Gubernur Jendral Van den Bosch, yang mana pajak yang dikenakan bukan berupa uang melainkan berupa tanaman ekspor yang telah mereka tanam. Pajak berupa hasil pertanian mereka ini juga menjadi ciri dari sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Jendral Van den Bosch, hasil dari pajak-pajak tersebut kemudian dikirim ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli dari Amerika dan Eropa dengan harga yang dapat menguntungkan Belanda.

Sistem pajak tanah yang berlangsung selama tahun 1810-1830, penanaman dan penyerahan wajib telah dihapuskan kecuali daerah Parahyangan dan Jawa Barat. Namun didaerah Parahyangan para penduduk pribumi diwajibkan menanam kopi dan pajak yang diserahkan kepada pihak Belanda harus berupa kopi yang telah ditanam oleh penduduk pribumi, sedangkan untuk tanaman yang lainnya tidak terdapat wajib pajak.

Namun pajak yang menjadi beban petani kepada bupati tidaklah termasuk dalam pembebesan pajak oleh pemerintah kolonial Belanda, hal ini dilakukan karena dalam masyarakat terdapat beberapa pajak yaitu pajak yang diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda dan pajak yang diserahkan kepada Bupati ataupun pihak pemerintah yang terdapat di daerah-daerah.

Sistem pajak tanah dengan memberikan hasil pertanian ini dianggap akan berhasil oleh Jendral Van den Bosch, karena Jendral Van den Bosch berpendapat bahwa pajak tanah yang diterapkan pada era sebelumnya sangat menyiksa petani. Hal ini dikarenakan petani harus membayar pajak tanah hampir setengah dari penghasilan mereka dalam bertani, sehingga sistem pajak tanah yang diterapkan oleh Jendral Van den Bosch ini tergolong pajak yang menguntungkan rakyat.

Baca Juga : Sejarah Terbentuknya PBB Menurut Para Ahli

Van den Bosch menyusun program yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:

  1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
  2. Bagian tanah tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
  6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
  7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Pelaksanaan Tanam Paksa pada dasarnya melibatkan berbagai unsur pokok, antara lain yaitu birokrasi pemerintahan Barat, para kepala-kepala pribumi, organisasi desa, tanah pertanian rakyat, tenaga kerja rakyat, pengusaha dan modal swasta Barat. Ketentuan-ketentuan tersebut memang kelihatan tidak terlampau menekan rakyat, namun didalam praktiknya seringkali menyimpang, karena tujuan Tanam Paksa adalah menguras kekayaan bangsa Indonesia melalui bidang pertanian dengan cara memaksa rakyat untuk menanam tanaman tertentu (lada, teh, tembakau, tebu, dan kopi) yang sangat laku dipasaran Eropa.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain sebagai berikut :

  1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan suka rela, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara-cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati dan kepala-kepala desa untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka.
  2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali tanah tersebut sepertiga, bahkan semua tanah desa digunakan untuk tanam paksa. Hal itu dimaksudkan antara lain untuk memudahkan pengerjaan, pengairan, dan pengawasan, pembagian luas tanah untuk tanam paksa dalam tahun 1883.
  3. Pengerjaan tanaman ekspor seringkali jauh melebihi pengerjaan tanaman padi, misalnya penanaman nila di daerah Parahyangan, penduduk di daerah Simpur, misalnya dikerahkan untuk menggarap perkebunan yang letaknya jauh dari desa mereka. Pengerahan tenaga tersebut dilakukan selama tujuh bulan dan mereka tidak terurus, sedangkan pertanian mereka sendiri terbengkelai.
  4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa
  5. Kelebihan hasil panen setelah diperhitungkan dengan pajak tidak dikembalikan kepada petani.
  6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
  7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah dijadikan tenaga paksaan, seperti yang terjadi di Rembang, Jawa Tengah. Sebanyak 34.000 keluarga selama 8 bulan setiap tahun diharuskan mengerjakan tanaman dagang dengan upah yang sangat kecil. Selain itu, rakyat harus menyerahkan balok, bambu, dan kayu untuk pembuatan bangunan yang akan digunakan untuk tanaman tembakau.

Baca Juga : Zaman Mesolitikum

Guna menjamin agar para bupati dan kepala desa menunaikan tugasnya dengan baik, pemerintah kolonil memberikan perangsang yang disebut CultuurProcenten disamping penghasilan tetap. Cultuur Procenten adalah bonus dalam prosentase tertentu yang diberikan kepada para pegawai Belanda, para Bupati, dan kepala desa apabila hasil produksi di suatu wilayah mencapai atau melampaui target yang dibebankan.

Cara-cara itu menimbulkan banyak penyelewengan, baik dalam merekrut jumlah tenaga kerja maupun dalam memaksa penduduk untuk menanami tanah yang luasnya melampaui ketentuan. Dalam hal ini pemerintah kolonial bersikap tutup mata selama hal itu menguntungkan kas negara, akan tetapi penyelewengan tersebut membuat rakyat jelata menjadi sengsara.

Akan tetapi selama dua puluh tahun pertama dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa, yaitu tahun 1830-1850 beban berat yang harus ditanggung oleh rakyat adalah kerja paksa. Pemerintah kolonial mengerahkan tenaga rakyat untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, antara lain jalan raya, jembatan, dan waduk. Di samping itu, rakyat juga dikerahkan antara lain dalam pembangunan dan pemeliharaan rumah-rumah pegawai kolonial, mengantar surat dan barang serta menjaga gudang. Akan tetapi, yang paling berat bagi rakyat adalah pembangunan.

Dampak dan pengaruh yang disebabkan tanam paksa

Pembagian tanaman yang wajib ditanam oleh para petani Indonesia, yaitu tanaman musiman dan tanaman tahunan. Tanaman musiman meliputi gula, nila, dan tembakau, sedangkan tanaman tahunan meliputi lada, kopi, teh, dan karet. Pembagian dilakukan karena tanaman musiman dapat berseling dengan tanaman padi untuk kehidupan rakyat, sedangkan untuk tanaman tahunan tidak dapat berotasi dengan tanaman padi sehingga para petani bisa dibilang rugi.

Bahwa tanaman wajib ditanam oleh petani adalah gula dan kopi, dari kedua tanaman ini salah satunya merupakan jenis tanaman tahunan yang mana tidak dapat diselingi dengan tanaman padi sehingga merugikan petani. Selain itu jika dilihat dari tanah yang digunakan untuk penanaman tebu memerlukan tanah yang diirgasi sama dengan padi, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasannya petani diharuskan merelakan sawah mereka untuk penanaman tebu. Selain itu masyarakat juga memiliki pekerjaan wajib, yaitu menanam, memanen, dan menyerahkan hasil pertanian mereka kepada Belanda.

Baca Juga : Dampak Pendudukan Jepang Di Indonesia

Pelaksanaan Tanam Paksa membawa dampak sebagai berikut :

  1. Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
    Di samping tiga tanaman pokok seperti yang telah disebutkan di atas, pemerintah kolonial juga menerapkan penanaman tembakau dan teh secara paksa. Akan tetapi hasilnya tidak sesukses ketiga jenis tanaman pokok. Oleh karena itu, kedua tanaman itu kemudian dihapuskan dari jenis tanaman paksa.
  2. Perusahaan pelayaran Belanda yang semula kembang kempis, tetapi pada masa Tanam Paksa mendapat keuntungan besar.
  3. Pengangkutan hasil produksi tanaman dari Jawa ke Eropa semuanya diangkut oleh kapal-kapal milik (atau dikontrak) perusahaan Nederlandsche Handel Maatshappij (NHM), yang didirikan tahun 1824, perusahaan ini kemudian tumbuh menjadi perusahaan raksasa sampai sekarang.
  4. Pabrik-pabrik gula yang semula diusahakan oleh kaum swasta Cina, kemudian dikembangkan oleh pengusaha Belanda karena keuntungannya besar.
  5. Belanda mendapatkan keuntungan (Batiq Slot) yang besar. Keuntungan Tanam Paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden. Pada tahun-tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
    Jadi dalam koron waktu 35 tahun diperoleh keuntungan £ 627.000.000 gulden sehingga hutang-hutang Belanda dapat dilunasi, kelebihannya digunakan untuk keperluan lain.

Dampak tanam paksa bagi bangsa Indonesia sendiri sangat merugikan bangsa ,antara lain :

  1. Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan
  2. Beban pajak yang berat.
  3. Pertanian
    Khususnya padi banyak mengalami kegagalan panen di Cirebon (1832), (sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, di Demak 1848), dan di Grobogan (1849-1850) sebagai akibat kegagalan panen. Penduduk ketiga daerah tersebut rakyatnya mengalami kelaparan yang menelan korban jiwa yang cukup besar, sementara ribuan orang yang lain terpaksa mengungsi ke daerah lain.

    Sementara hasil-hasil Tanam Paksa sangat mengesankan bagi pemerintah kolonial, namun bagi petani sistem ini menyebabkan tanaman tradisional mereka seperti padi mengalami kemunduran. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, antara lain karena kebanyakan pegawai pemerintah kolonial hanya mementingkan penanaman tanaman yang laku dipasaran dunia, sedangkan tanaman padi diabaikan. Padahal dari sektor ini beban yang dipikul cukup berat akibat pertambahan jumlah penduduk, baik secara alamiah (kelahiran) maupun karena adanya migrasi atau perpindahan sektor pekerjaan dari sektor lain ke pertanian (padi).

  4. Jumlah penduduk Indonesia menurun
    Sebagai contoh penduduk Demak merosot jumlahnya dari 336.000 orang menjadi 120.000 orang sementara di daerah Grobogan dari 89.500 orang merosot hingga tinggal 9000 orang saja.
  5. Disintegrasi sosial dalam struktur masyarakat Indonesia
    Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan pengaruh antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat, sehingga menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.

Dampak tanam paksa yang membawa keuntungan bagi bangsa Indonesia sendiri antara lain :

  1. Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru yang layak ekspor seperti kopi, nila, lada, tebu.
  2. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor.
  3. Diperkenalkannya mata uang secara besar – besaran sampai lapisan terbawah masyarakat Jawa.
  4. Perluasan jaringan jalan raya. Meskipun tujuannya bukan untuk menaikan taraf hidup masyarakat Indonesia melainkan guna kepentingan pemerintah Belanda sendiri, tetapi hal ini mencipatakan kegiatan ekonomi baru orang Jawa dan memungkinkan pergerakan penduduk desa masuk ke dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan uang.
  5. Berkembangnya industrialisasi di pedesaan
    Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan Tanam Paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.

Baca Juga : Jenis Manusia Purba

Pengaruh Sistem Tanam Paksa

  1. Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
  2. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
  4. Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa
  1. Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  2. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.

Tokoh-tokoh penentang tanam paksa

Muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yang lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di Negeri Belanda.

Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

Baca Juga : Teks Proklamasi

  • Eduard Douwes Dekker (1820–1887)

Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa.

Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.

  • Baron van Hoevell (1812–1870)

Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.

  • Fransen van der Putte (1822-1902)

Fransen van der putte yang menulis ‘Suiker Contracten’ sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.

Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.

Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa.

Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.

  1. Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
  2. Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk teh dan nila.
  3. Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.

Karena banyaknya protes dan reaksi atas pelaksanaan sistem tanam paksa yang tidak berperikemanusiaan tidak hanya di negara Indonesia namun di negeri Belanda, maka sistem tanam paksa dihapuskan dan digantikan oleh politik liberal kolonial.

Baca Juga : Perjanjian Linggarjati

Penghapusan Sistem Tanam Paksa

Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Wabah-wabah penyakit terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Sementara itu, pemerintah menetapkan kenaikan pajak tanah dan pajak-pajak lainnya secara drastis. Akibatnya rakyat menjadi semakin menderita.

Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung sesudah tahun 1860-an. Tanaman paksa lada dihapus pada tahun 1862. Penghapusan tanaman-tanaman paksa indigo dan teh pada tahun 1865. Ketika Fransen van den Putte menjadi menteri jajahan (1863-1866) melakukan berbagai perbaikan. Penanaman paksa tembakau dan tanaman lainnya, selain tebu dan kopi di Jawa dihapuskan.

Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati, melarang memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap salah. Pada tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang Comptabiliteit, tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-Generaal sehingga Staten-Generaal langsung mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.

Kopi dan gula merupakan tanaman yang paling penting untuk mendapatkan keuntungan sehingga tanam paksa pada dua tanaman ini paling akhir dihapuskan. Undang-Undang Gula tahun 1870 ditetapkan bahwa pemerintah akan menarik diri atas penanaman tebu selama 12 tahun, yang dimulai pada tahun 1878. Penghapusan penanaman kopi baru berakhir di Priangan pada awal tahun1917, dan di beberapa daerah pesisir utara Jawa pada bulan Juni 1919.

Keadaan sosial negara Belanda

Belanda merupakan negara dengan jumlah penduduk paling padat di dunia, yaitu lebih dari 400 jiwa per km². Lebih dari 40% penduduknya menghuni kawasan Amsterdam, Harleem, Den Haag, Rotterdam, dan Utrecht. Pertumbuhan penduduk rata-rata 0,6% per tahun. Angka harapan hidup di Belanda telah mencapai angka 78,3 per tahun. Dari data UNDP, pada tahun 1990-2000 jumlah penduduk Belanda yang hidup di bawah garis kemiskinan ±7,3% dan jumlah tenaga kerja yang menganggur 0,8%. Pendapatan per kapita (tahun 2002) sebesar 29,1 US$ dengan rata-rata pertumbuhan 2,2% per tahun.

Orang Belanda sebagian besar adalah keturunan bangsa Jerman yang menetap di wilayah tersebut di zaman kuno. Tapi Belanda juga telah menjadi tempat perlindungan bagi imigran dari berbagai negeri. Di antara mereka adalah orang-orang Yahudi yang diusir dari Spanyol dan Portugal di tahun 1500-an dan dianiaya di Jerman pada tahun 1900-an. Imigran terbaru datang dari bekas koloni Belanda yang sekarang menjadi negara Indonesia dan Suriname merdeka.

Bahasa Belanda adalah bahasa utama Belanda. Ini adalah bentuk dari bahasa Jerman Rendah yang diucapkan di wilayah utara. Bahasa ini pertama kali diucapkan oleh kaum Frank. Kaum Frank adalah orang-orang Jerman yang bermigrasi dari timur dan menetap di sana di tahun 300-an. Bahasa Belanda terkait dengan bahasa Jerman dan Inggris modern.

Di provinsi utara Friesland, bahasa Frisian diterima sebagai bahasa resmi bersama dengan bahasa Belanda standar. Bahasa Frisian adalah bahasa Jermanik yang paling dekat dengan bahasa Inggris. Orang Belanda juga diajarkan untuk berbicara bahasa Inggris.

Orang Belanda terbagi rata antara pemeluk Katolik Roma dan Protestan. Orang Katolik cenderung hidup di selatan, sedang orang Protestan hidup terutama di utara dan barat. Sekte Protestan tunggal terbesar di negara ini adalah Gereja Reformasi Belanda. Belanda juga merupakan rumah bagi sejumlah kecil orang-orang Yahudi dan Muslim. Belanda memiliki tradisi panjang dalam hal toleransi beragama. Kebebasan beribadah dijamin dalam konstitusi.

Sekolah-sekolah Belanda didukung pemerintah. Anak-anak diwajibkan untuk bersekolah dari usia 4 sampai 16 tahun. Setelah sekolah dasar, mereka dapat meneruskan ke salah satu dari beberapa jenis sekolah menengah, tergantung kemampuan. Sekolah-sekolah ini melengkapi siswa dengan pendidikan umum atau kejuruan (perdagangan) atau mempersiapkan mereka untuk memasuki universitas. Leiden University, yang tertua di negara ini, didirikan pada tahun 1575.

Orang Belanda kebanyakan ramah dan sangat mencintai negaranya. Makanan Belanda sederhana dan lezat. Keju seperti Gouda dan Edam (nama untuk kota-kota di mana mereka diproduksi) dinikmati di seluruh dunia. Hidangan musim dingin yang khas adalah erwtensoep, yakni sup kacang kental.

Baca Juga : Konferensi Meja Bundar

Makanan Indonesia sangat populer. Salah satunya adalah rijsttafel (“rice table”), atau nasi dengan berbagai daging, ikan, dan masakan sayuran yang berbumbu. Masakan lainnya adalah nasi goreng, atau nasi goreng dengan udang, daging babi, atau ayam dan sebagainya. Ikan, terutama hering asin, merupakan bagian penting dari makanan Belanda. Belanda juga dikenal karena berbagai jenis bir lager dan ale.

Amsterdam adalah ibukota resmi dan kota terbesar di Belanda. Kota ini memiliki populasi sekitar 800.000 jiwa dan merupakan pusat negara perdagangan, perbankan, dan industri Belanda. Den Haag, dengan jumlah penduduk 505.000 jiwa, terletak sekitar 48 kilometer di selatan Amsterdam. Kota ini adalah pusat dari pemerintahan Belanda dan menjadi situs dari Mahkamah Internasional, organ dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Rotterdam, dengan populasi sekitar 615.000 jiwa, adalah kota terbesar kedua di negara itu. Rotterdam-Europoort adalah pelabuhan terbesar di dunia dan pintu gerbang untuk banyak pengiriman Eropa Barat. Kota Belanda terkenal lainnya adalah Haarlem, sebuah kota pasar bunga; Groningen, pusat pasar di utara; Eindhoven, pusat industri; dan kota-kota universitas tua Leiden dan Utrecht.

Kerajaan Belanda adalah monarki konstitusional. Keluarga kerajaan termasuk ke dalam House of Orange-Nassau yang didirikan oleh William I, Pangeran Nassau dan Pangeran Orange, di tahun 1500-an. Semua raja Belanda di tahun 1900-an adalah Ratu. Ratu Wilhelmina memerintah dari tahun 1890 ke 1948. Ratu Juliana memerintah dari tahun 1948 sampai 1980 dan Ratu Beatrix memerintah dari tahun 1980 sampai 2013. Ketika Beatrix pensiun, anaknya, Willem-Alexander, menjadi raja. Raja berfungsi sebagai kepala negara. Tapi kepemimpinan pemerintah sebenarnya terletak pada Dewan Menteri. Dewan dipimpin oleh seorang perdana menteri.

Lembaga legislatif adalah Staten Generaal (Serikat Umum), terdiri atas dua majelis. 75 anggota Eerste Kamer (Majelis Pertama) dipilih oleh dua belas dewan provinsi untuk masa jabatan 4 tahun. 150 anggota Tweede Kamer (Majelis Kedua) dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 4 tahun. Legislasi dilakukan di Majelis Kedua dan harus disetujui oleh Majelis Pertama. Perdana menteri dan anggota kabinet lainnya diangkat oleh raja dari partai politik dengan mayoritas di Staten Generaal. Dewan Negara dipimpin oleh raja dan berfungsi sebagai badan

Demikian penjelasan artikel diatas tentang Tanam Paksa – Pengertian, Tujuan, Latar Belakang & Van den Bosch semoga bermanfaat bagi semua pembaca DosenPendidikan.Com

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Butuhkan