Mengapa usaha menyebarkan agama Kristen katolik oleh bangsa Portugis di pulau sumba kurang berhasil

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Kabar Damai | Senin, 8 Maret 2021

Jakarta | kabardamai.id | Kedatangan Portugis dan Belanda ke Nusantara tidak hanya untuk mencari rempah-rempah, tapi juga membawa kejayaan dan keinginan untuk menyebarkan agama Katolik.

Kemudian, dikenallah apa yang disebut dengan gold, glory, gospel. Pencarian rempah-rempah di Nusantara berjalanan beriringan dengan keinginan untuk menyebarkan agama Katolik.

Kedatangan Portugis ke wilayah Timur adalah bagian dari mandat Paus Alexander VI. Melalui Perjanjian Tordesillas, Paus Alexander VI membagi belahan dunia di luar daratan Eropa.

Sementara di sisi Barat, mandat tersebut diserahkan kepada negara Spanyol. Kedua negara tersebut kemudian bertemu di Maluku dan menyelesaikan persoalan lewat Perjanjian Saragossa sehingga masing-masing negara tetap bisa tetap meraup rempah-rempah.

Pada 1969, J. Bakker SJ menulis di majalah Basis tentang agama Katolik yang sudah ada pada abad ke-7 M dan berakar di Sumatra Utara. Agama Katolik lalu menyebar ke daerah lain, termasuk di Pulau Jawa.

J. Bakker menggunakan sumber-sumber Islam dalam penelitiannya dan dia meyakini bahwa agama Katolik yang datang ke Indonesia adalah agama katolik yang berasal dari India Selatan.

Mulanya, Santo Thomas yang mewartakan Injil sampai ke India Selatan. Katolik kemudian berkembang di India Selatan dan menyebar lewat perdagangan ke Sumatra Utara.

Gereja Kristen Katolik kemudian mulai dibangun di daerah Tapanuli sebelum tahun 600 oleh seorang saudagar yang berasal dari India dan menamakan diri sebagai Thomas Christians.

Pada April 1511, setelah membaca surat dari Rui de Araujo, satu dari 19 orang Portugis yang ditahan di Malaka, Alfonso de Albuquerque yang merupakan gubernur Portugis kedua di India mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar dan berlayar dengan belasan kapal menuju Malaka.

Perjalanan dalam waktu singkat tersebut kemudian membuat Alfonso berhasil menaklukkan Malaka, sebuah pelabuhan perdagangan penting yang berada di wilayah Nusantara pada masa itu.

Setelah tiba di Malaka, Alfonso pun mengirim ekspedisi ke kepulauan rempah-rempah. Alfonso melanjutkan perjalanan ke Banda menuju Maluku, dan akhirnya Ternate. Di Ternate inilah kemudian Portugis mendapat izin membangun benteng.

Di Maluku, Portugis memantapkan kedudukan sekaligus menyebarkan agama Katolik. Sekelompok pendeta Katolik yang datang bersama Antonio Galvao, kemudian jadi pemimpin Portugis di Maluku, memulai kerja misionaris mereka.

Setelah menguasai Malaka, Portugis akhirnya bisa memonopoli perdagangan dan menyebarkan agama Katolik secara lebih teratur di wilayah timur yakni Ambon dan Halmahera, Ternate dan Tidore.

Salah satu zandeling Katolik di kawasan tersebut adalah Franciscus Xaverius dari Ordo Yesuit, pastor dari Spanyol yang datang dengan kapal dagang Portugis yang kelak dianggap sebagai pelopor penyebaran Katolik di Indonesia.

Monopoli menimbulkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal, terutama Aceh, yang membuat misi tak bisa menyebar ke wilayah barat. Misi tersebut dinilai menciptakan rintangan bagi dirinya sendiri.

Dalam Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jan Bank menuliskan bahwa pada saat hegemoni Portugis dan Spanyol di kawasan tersebut berakhir di awal abad ke-17, gereja Katolik kehilangan pelindung dan wilayah.

Jumlah Umat Katolik di Indonesia

JalaPress.com mencatat omat Katolik di Indonesia berjumlah 6,9 juta (2,91%) pada tahun 2013 dan pada tahun 2016 naik kurang lebih 7 juta orang (hamper 3%) dari jumlah populasi penduduk nasional.

Konsentrasi umat Katolik agak merata di Bali dan Nusa Tenggara, dengan pertumbuhan 1,19%. Pertumbuhan dan persebaran tertinggi ada kawasan Indonesia Timur (Maluku-Papua) sebesar 6,39% dan yang terendah di Sumatra sebesar (–0,65%). Pertumbuhan tertinggi ada di Provinsi Papua (6,58%) dan terendah di Provinsi Gorontalo (-6,64%).

Total jumlah Keuskupan di Indonesia adalah 37 Keuskupan. Sedangkan jumlah Paroki di seluruh Indonesia sebanyak: 1.205 Paroki, dengan rincian: Pulau Jawa (295 Paroki), Pulau Kalimantan (173 Paroki), Pulau Flores (211 Paroki), Pulau Sumba (24 Paroki), Pulau Timor (78 Paroki), Pulau Sulawesi (94 Paroki), Pulau Ambon (40 Paroki), Pulau Papua (116 Paroki), Pulau Bali dan NTB (24 Paroki), Pulau Sumatra (150 Paroki). [ ]

Penulis: Ayu Alfiah Jonas | Editor: A. Nurcholish

Sumber: Historia.id | JalaPress.com

Franciscus Xaverius, pastor dari Spanyol pelopor penyebaran Katolik di Indonesia, mengunjungi Kesultanan Ternate tahun 1579.

APRIL 1511. Setelah membaca surat dari Rui de Araujo, satu dari 19 orang Portugis yang ditahan di Malaka, Alfonso de Albuquerque, gubernur Portugis kedua di India, mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar dan berlayar dengan belasan kapal menuju Malaka. Dalam waktu singkat, dia berhasil menaklukkan Malaka, pelabuhan perdagangan penting kala itu.

Dari Malaka, Albuquerque mengirim ekspedisi ke kepulauan rempah-rempah. Mereka tiba di Banda, menuju Maluku, dan akhirnya Ternate. Di Ternate, Portugis mendapat izin membangun benteng. Di Maluku, Portugis memantapkan kedudukan sekaligus menyebarkan agama Katolik. Sekelompok pendeta Katolik yang datang bersama Antonio Galvao, kemudian jadi pemimpin Portugis di Maluku, memulai kerja misionaris mereka.

Setelah menguasai Malaka, Portugis bisa memonopoli perdagangan dan menyebarkan agama Katolik secara lebih teratur di wilayah timur: Ambon dan Halmahera, Ternate dan Tidore. Salah satu zandeling Katolik di kawasan itu adalah Franciscus Xaverius dari Ordo Yesuit, pastor dari Spanyol yang datang dengan kapal dagang Portugis –kelak dianggap sebagai pelopor penyebaran Katolik di Indonesia.

Advertising

Advertising

Monopoli menimbulkan perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal, terutama Aceh, yang membuat misi tak bisa menyebar ke wilayah barat. “Misi itu menciptakan rintangan bagi dirinya sendiri. Ketika hegemoni Portugis dan Spanyol di kawasan itu berakhir, awal abad ke-17, gereja Katolik pun kehilangan pelindung dan wilayah,” tulis Jan Bank dalam Katolik di Masa Revolusi Indonesia.

Kedatangan Portugis ke wilayah Timur tak lepas dari mandat Paus Alexander VI yang melalui Perjanjian Tordesillas membagi belahan dunia di luar daratan Eropa. Sisi lainnya, Barat, diserahkan kepada Spanyol. Kedua negara ini bertemu di Maluku dan menyelesaikan persoalan lewat Perjanjian Saragossa sehingga masing-masing bisa tetap meraup rempah-rempah.

Meski Portugis semula merahasiakannya, jalan menuju kepulauan rempah-rempah akhirnya tersingkap berkat buku Itinerario karya Jan Huygen van Linshoten, seorang pengelana dan pedagang Belanda, pada 1595. Sebuah perusahaan Belanda, Compagnie van Verre, membiayai ekspedisi ke Nusantara yang dipimpin Cornelis de Houtman. Pada 1596, mereka mendarat di Pelabuhan Banten. Kunjungan pertama tak berhasil. Dikirimlah lagi ekspedisi dagang yang dipimpin Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Kali ini mereka mendapat simpati penguasa Banten dan kembali ke negerinya dengan muatan penuh, sementara kapal lainnya meneruskan perjalanannya ke Maluku. Setelah terbentuk Kongsi Dagang Belanda (VOC), mereka menancapkan monopoli dagang, bahkan kekuasaan, di Nusantara.

VOC mendukung Protestan dan mengambil-alih jemaah Katolik di kawasan timur Indonesia. Hanya di Flores Katolik terus berkembang. Protestan sendiri, yang menjadi anak emas selama masa VOC, mengalami masa subur.

Kedatangan Portugis dan Belanda ke Nusantara bukan semata terdorong pencarian rempah-rempah tapi juga kejayaan dan keinginan menyebarkan agama Kristen –dikenal dengan gold, glory, gospel.

Dari Barus hingga Majapahit

Anggapan bahwa Kristen tiba bersama kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara tiba-tiba mendapat sangahan baru. Pada 1969, J. Bakker SJ menulis di majalah Basis bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 M dan berakar di Sumatra Utara lalu menyebar ke daerah lain, termasuk Jawa. Dengan menggunakan sumber-sumber Islam, dia meyakini pula bahwa Katolik datang dari India Selatan.

Bermula dari Santo Thomas yang mewartakan Injil hingga ke India Selatan. Katolik berkembang di India Selatan dan lewat perdagangan menyebar ke Sumatra Utara. Gereja Kristen Katolik mulai ditanam di daerah Tapanuli sebelum tahun 600 oleh saudagar dari India yang menamakan diri Thomas Christians.

Jan Baker mendasarkan teorinya pada tulisan ilmuwan Islam bernama Shaykh Abu Salih al-Armini, yang menulis semacam buku ensiklopedi berjudul Tadhakkur fiha Akhbar min al-Kana’is wa’l-Adyar min Nawahin Misri w’al Iqtha’aihu berisi daftar gereja dan pertapaan di Mesir dan wilayah Timur lainnya. Dalam bukunya, Abu Salih menyebut di Fansur, tempat asal kamper, terdapat sekelompok Kristen Nestorian dan sebuah gereja yang dipersembahkan kepada Maria. Di antara sumber-sumbernya, Abu Salih menggunakan Kitab Nazm al-Jawhar karya Sa’id bin al Batriq yang berasal dari tahun 910 dan mengisahkan sejumlah peristiwa dari abad ke-7.

Menurut Bakker, ‘Fansur’ itu sama dengan ‘Pansur’, dekat Baros di Tapanuli. Dia juga menulis penyebutan Kristen Nestorian dari Abu Salih keliru dan “meluruskannya” sebagai Katolik.

AJ Butler MA FSA saat memberikan catatan terhadap terjemahan BTA Evetts atas karya Abu Salih ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Churches and Monasteries of Egypt Attributed to Abu Sahlih, The Armenian, menjelaskan bahwa kata Fahsur memang tertulis dalam manuskrip aslinya. Namun, kata ini seharusnya ditulis Mansur, sebuah negara di zaman kuno yang terdapat di barat laut India, terletak di sekitar Sungai Indus. Mansur merupakan negara utama yang terkenal di antara orang-orang Arab dalam hal komoditas kamper.

Adolf Heuken SJ dalam tulisan “Christianity in Pre-Colonial Indonesia” juga mendukung pendapat Butler. “Kecuali catatan singkat yang diberikan Abu Salih, tak ada informasi lebih lanjut tentang Kristen di Fansur/Barus,” tulis Heuken, termuat di A History of Christianity in Indonesia karya Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink.

Di luar perdebatan itu, Barus sendiri merupakan tempat yang menarik untuk diteliti. Ia dianggap salah satu kota kuno yang terkenal di Asia sejak sekira abad ke-6. Pada 1995, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient melakukan penelitian arkeologi untuk menggali situs Lobu Tua di Barus. Hasilnya, “pada zaman Lobu Tua, Barus muncul sebagai sebuah tempat perdagangan asing yang mungkin didirikan pada pertengahan abad ke-9 M oleh pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Dalam waktu singkat, mereka didatangi pedagang-pedagang dari Timur Tengah, yang juga mencari kamper,” tulis Claude Guillot dkk. dalam Barus: Seribu Tahun yang Lalu, yang merupakan hasil penelitian itu.

Terkait kemungkinan adanya sekelompok masyarakat Nestorian di Barus, Claude Guillot dkk menyebutkan perlu bukti arkeologis setelah situs Barus yang mendahului Lobu Tua berhasil ditemukan. “Jika ternyata benar, maka didapatkan bukti bahwa satu jaringan yang sebagian beragama Nestorian menghubungkan Baru dengan Teluk Persia lewat Sri Lanka dan pantai Malabar, khususnya Quilon.”

Tak Ada Pemisahan

Sekalipun VOC bangkrut, dan kerajaan Belanda menerapkan pemisahan antara gereja dan negara, pemerintah Hindia Belanda tetap memberikan peran besar dalam perkembangan Protestan. Atas inisiatif pemerintah kolonial, orang-orang Protestan digabung dalam satu organisasi Gereja Protestan di Hindia Belanda. Pemerintah mensubsidi gereja dan menggaji para pendeta. Demi kepentingan politik, pemerintah mengizinkan penginjilan ke daerah-daerah.

Pada 1800 rohaniawan Katolik Roma datang kembali secara resmi ke Jawa. Delapan tahun kemudian, rohaniawan Katolik dari Negeri Belanda juga datang. Adanya “zending ganda” sempat menjadi sumber konflik di Majelis Rendah Belanda sehingga ditetapkan pembagian wilayah kerja. “Sesudah secara definitif peraturan tentang izin masuk para misionaris ke Hindia Belanda ditetapkan, maka dengan berangsur-angsur misi pun dapat mengembangkan lagi. Sejak tahun 1859 kaum Yesuit dari Negeri Belanda dilibatkan dalam kegiatan itu,” tulis Jan Bank.

Kesempatan ini tak disia-siakan berbagai badan zending, baik Protestan maupun Katolik. Menurut Th van den End dan Aritonang dalam “1800-2005: a National Overview”, antara tahun 1800-1900 ada sekira 15 badan zending yang bekerja di Hindia Belanda. Mereka mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit sebagai sarana penginjilan. Mereka juga menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah.

Sejak kedatangannya, teologi yang berkembang di Nusantara masih didominasi teologi Barat. Pada abad ke-19 mulailah muncul para pemikir teologi, yang disebut prototeolog, yang menggabungkan kekristenan dengan budaya lokal seperti Paulus Tosari dan Sadrach. Kemudian makin menguat setelah berdirinya seminari dan sekolah tinggi teologi.

Pada abad ke-20, para penginjil Katolik dan Protestan mulai mengubah paradigma mengenai adat dan kepercayaan lokal agar penginjilan lebih bisa diterima masyarakat.