Mengapa Uni Soviet kalah dalam perang dingin

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Hasrat berebut pengaruh dunia antara Uni Soviet dan sekutu Timur dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutu Barat dalam Perang Dingin puluhan tahun lalu, sejatinya tidak pernah padam. Dalam era modern, Rusia sebagai pecahan Uni Soviet terbesar dan AS yang merupakan pemimpin Barat saling bersaing menggalang aliansi sebanyak-banyaknya. Salah satu yang tengah memanas adalah perebutan dominasi atas Ukraina.Ukraina merupakan satu dari 15 negara pecahan The Union of Soviet Socialist Republics (USSR) pasca negara kesatuan sosialis itu dibubarkan pada tahun 1991. Ukraina memiliki luas 577.528 kilometer persegi (km²) atau atau nomor tiga terluas setelah Rusia dan Kazakhstan.Menurut informasi dalam situs resmi The North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang pro Barat, dialog antara Ukraina dan NATO terjalin sejak Ukraina bergabung dengan The North Atlantic Cooperation Council tahun 1991. Negara yang merdeka pada 24 Agustus 1991 tersebut, lantas terlibat dalam program The Partnership for Peace padatahun 1994.
Ini Artikel Spesial

Hanya dengan berlangganan Rp 10.000 selama 30 hari Anda dapat membaca berita pilihan, independen, dan inspiratif ini.

Login
Berlangganan Sekarang »

ATAU

Subscribe
Baca Juga: Pasokan Chip Masih Tersendat, Toyota Pangkas Target Produksi Mobil hingga 0,5 JutaDeklarasi 2009 mengamanatkan NATO-Ukraine Commission (NUC) untuk mendukung upaya Ukraina dalam melakukan reformasi. Tujuannya menerapkan aspirasi Euro-Atlantik yang sejalan dengan keputusan KTT NATO 2008 di Bucharest.Tahun 2010, keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO pupus pasca Viktor Yanukovych terpilih sebagai presiden. Yanukovych membatalkan rencana keanggotaan NATO karena lebih memilih untuk menjaga agar Ukraina tidak berpihak ke poros mana pun.Namun pada Juni 2017, Parlemen Ukraina mengadopsi undang-undang yang mengembalikan rencana keanggotaan Ukraina di NATO sebagai tujuan kebijakan luar negeri dan keamanan strategis. Pada tahun 2019, amandemen yang sesuai untuk Konstitusi Ukraina mulai berlaku.Baca Juga: Aktivitas Diperketat, Ekonomi Jakarta MelambatNiat Ukraina bergabung dengan NATO semakin jelas. Bulan September 2020, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyetujui National Security Strategy baru Ukraina. Pedoman sistem pertahanan itu menyediakan pengembangan kemitraan khusus bersama NATO dengan tujuan Ukraina menjadi anggota.Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO tersebut, jelas membuat Rusia berang. Negara yang dulu paling mendominasi Uni Soviet itu, tak rela Ukraina memihak Barat. Memori Perang Dingin dengan musuh bebuyatan yakni Amerika Serikat, sebenarnya masih terus dipupuk di antara kedua belah pihak.Semula hubungan antara Rusia dan Ukraina tampak masih baik-baik saja. Usai bubarnya Soviet, Ukraina dan Rusia sempat terlibat dalamkemitraan regional. Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk The Commonwealth of Independent States (CIS) pada Desember 1991. Tahun 1993, jumlah keanggotaan CIS bertambah dengan 12 dari total 15 negara eks Soviet bergabung. Tiga negara yang tidak bergabungyaitu Lithuania, Latvia dan Estonia dari Kawasan Baltik.Meski merupakan satu dari tiga pendiri CIS, nyatanya secara legal Ukraina bukan anggota CIS karena tidak pernah meratifikasi The 1993 CIS Charter. Pada Mei 2018, Ukraina malah menyatakan berhenti berpartisipasi di CIS. Kini CIS berisi sembilan negara bekas Soviet dan satu associate Turkmenistan.Ukraina juga menyatakan tidak berencana menjadi anggota tetap The Eurasian Economic Community (EURASEC) yang didirikan oleh Rusia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgistan dan Tajikistan. Tahun 1997, Ukraina justru mendirikan GUAM bersama dengan tiga negara bekas Soviet lain yaitu Georgia, Azerbaijan dan Moldova.Baca Juga: HK Metals (HKMU) Ditinggal Pengendali, Ngasidjo Achmad Sang Pendiri Berstatus PailitKemunculan GUAM sebagian besar dipandang sebagai upaya untuk melawan dominasi Rusia di bekas wilayah Uni Soviet. Makanya kecuali CIS, keempat negara pendiri GUAM tidak berpartisipasi dalam organisasi regional lain yang muncul sejak pembubaran Uni Soviet.

Bara dalam sekam

Tak hanya Rusia yang berang terhadap Ukraina, sebaliknya pun begitu. Salah satu momentum kemarahan Ukraina terjadi ketika pasukan khusus dan milisi pro-Rusia menduduki seluruh Semenanjung Krimea pada Februari 2014. Ukraina lantas kehilangan kendali atas wilayah tersebut.Pada Bulan Maret 2014, sebuah referendum populer yang mendukung pencaplokan Krimea oleh Rusia diadakan di Krimea dan Sevastopol. Referendum terjadi meskipun Ukraina dan sebagian besar komunitas internasional menolak untuk mengakui suara tersebut.Baca Juga: Pinjaman yang Disalurkan ke Afrika Minim, Negara-Negara Barat DikritikPada 17 Maret 2014, Republik Krimea mendeklarasikan kemerdekaan dengan posisi Rusia menguasai semenanjung itu. Sementara Ukraina terus mengklaim Krimea sebagai bagian integral dari wilayahnya.Sejak itu, bara dalam sekam antara Ukraina dan Rusia semakin besar.NATO dan Negara-negara Barat yang mendukung Ukraina, melihat Rusia telah mengumpulkan puluhan ribu tentara di wilayah perbatasan dengan Ukraina sejak tahun lalu. Mereka khawatir Rusia kembali menyerang Ukraina.Menurut pemberitaan Reuters akhir Januari 2022, badan intelijen luar negeri Jerman yakni Bundesnachrichtendienst (BND) mengatakan Rusia sudah siap jika harus menyerang Ukraina. Namun Rusia belum memutuskan apakah akan melakukannya.BND juga melihat gelagat Rusia mencari dukungan ke China. Hanya saja, BND meragukan kelangsungan aliansi yang langgeng antara kedua negara itu karena kepentingan yang terlalu berbeda. "Dalam jangka panjang, beruang Rusia tidak akan merasa nyaman di cakar naga China," kata Kepala BND Bruno Kahl, dalam pemberitaan Reuters 28 Januari 2022.NATO dan AS memperingatkan Rusia akan membayar harga tinggi untuk setiap agresi militer baru terhadap Ukraina. Barat telah menunjukkan bahwa mereka dapat pula menggunakan sanksi ekonomi, keuangan dan politik terhadap Moskow.Baca Juga: Menilik IPO PT Sumber Mas Konstruksi Tbk (SMKM), Tak Besar tapi Kondisi Keuangan OkeRusia membantah sedang merencanakan serangan ke Ukraina. Namun Kremlin mengatakan akan mengambil tindakan militer yang tidak ditentukan jika daftar tuntutan tidak dipenuhi. Termasuk, janji NATO untuk tidak pernah mengakui Ukraina.Sementara di sisi lain, tensi yang memanas antara Barat dan Rusia atas Ukraina telah memunculkan kekhawatiran lain soal pasokan gas Rusia ke Eropa yang selama ini berkontribusi hingga 40%. Makanya, Komisi Eropa berbicara dengan Amerika Serikat dan para pemasok lain tentang potensi peningkatan pengiriman gas ke Eropa.

Baltik sudah bergabung

Perang Dingin yang diidentifikasi berlangsung usai Perang Dunia II hingga bubarnya Uni Soviet tahun 1991, memicu kelahiran NATO pada tahun 1949. Aliansi Amerika Serikat dan sekutu Blok Barat dalam bidang politik dan keamanan itu, bertujuan menghadang sebaran pengaruh dari Uni Soviet dan sekutu Blok Timur.Baca Juga: Data Perdagangan AS di Tahun Lalu Memperlihatkan China Gagal Penuhi Komitmen Fase IKembali mengintip situs resmi NATO, aliansi itu memiliki Article 5 of the Washington Treaty sebagai salah satu acuan untuk setiap tindakan militer yang dilakukan. Acuan yang dibuat oleh para pendiri, memegang prinsip bahwa serangan terhadap satu atau beberapa anggotanya dianggap sebagai serangan terhadap semua. Sejauh ini, prinsip tersebut telah diterapkan sekali ketika menanggapi serangan teroris 9/11 di Amerika Serikat pada tahun 2001.Hingga kini NATO telah beranggotakan 30 negara. Negara-negara besar di dalamnya kecuali AS seperti Inggris, Jerman, Prancis dan Italia. Sementara itu, tiga negara bekas Soviet dari Kawasan Baltik yakni Lithuania, Latvia dan Estonia telah bergabung sejak tahun 2004.Kalau Ukraina diterima, jumlah negara eks Soviet yang menjadi anggota NATO akan menjadi empat. Lalu, tidak menutup kemungkinan Georgia akan mengekor. Karena sama seperti Ukraina, Georgia juga telah menjalin kemitraan dengan NATO dan meningkatkan kerja sama maritim.Selain kelima negara tersebut, belakangan Moldova memiliki kecenderungan terhadap Barat. Informasi saja, Moldova berada di Kawasan Eropa Timur bersama dengan Rusia, Ukraina dan Belarusia.Sejak Desember 2020, Moldova dipimpin presiden pertama perempuan yakni Maia Sandu. Menurut Peneliti PhD di European University Institute, Florence yakni Marius Ghincea dalam publikasi di Washington Post, Sandu merupakan mantan Perdana Menteri Moldova lulusan Harvard yang pro Barat. Dia berbeda dengan incumbent Presiden Igor Dodon yang pro Rusia.Ghincea melihat Orang-orang Moldova yang mengidentifikasi diri sebagai Orang Rumania dengan sebagian besar adalah elit birokrasi dan berpendidikan termasuk Sandu, menyelaraskan negara itu dengan Rumania, Uni Eropa (UE) dan Barat. Kelompok tersebut lebih cenderung menyukai hubungan dengan UE yang dianggap sebagai mitra ekonomi lebih murah hati ketimbang Moskow.Baca Juga:Menimbang IPO PT Nanotech Indonesia Global Tbk (NANO), Pionir Nanoteknologi RISebaliknya dengan mereka yang mendukung Rusia. Biasanya, mereka mengidentifikasi diri sebagai Orang Moldova dan menyukai hubungan yang kuat dengan Moskow. Kesenjangan identitas Moldova mencerminkan kondisi geopolitik saat ini.Pasca kepemimpinan Sandu, hubungan Moldova dengan Rusia dapat berubah. Pengaruh Moskow diperkirkan mengecil atas kebijakan dalam negeri maupun luar negeri Moldova. Meskipun, Sandu telah berhati-hati untuk tidak memprovokasi permusuhan Rusia. "Dia (Sandu) berjanji untuk mengembangkan hubungan dengan Moskow, bahkan saat dia menyelaraskan negaranya lebih dekat dengan Barat," kata Ghincea.Sementara di sisi lain, negara-negara yang terlihat berada dalam gerbong Rusia meliputi Belarusia, Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Armenia dan boleh jadi Turkmenistan. Belarusia termasuk sekutu paling loyal Rusia di antara 13negara eks Soviet lain.Baca Juga:Bisnis Gurih, Line Lakukan Uji Coba Aset Kripto, Juga Gandeng Bitcoin & EtheriumPada November tahun lalu, Reuters memberitakan hubungan Uni Eropa dan Belarusia sempat memanas karena kasus migran Warga Suriah, Yaman dan Irak. Uni Eropa menyebut Belarusia sengaja menerbangkan para migran ke negaranya untuk menyeberang ke Polandia. Uni Eropa menuduh Belarusia sengaja menciptakan krisis kemanusian sebagai bagian dari serangan hibrida terhadap Kawasan Eropa.Asal tahu, sebelumnya pada tahun 2020 Uni Eropa menghukum Presiden Belarusia Alexander Lukashenko atas tindakan keras terhadap protes jalanan massal terhadap pemerintahannya. Lukashenko yang merupakan sekutu dekat Rusia, sempat mengancam untuk memotong pasokan gas Rusia ke Eropa melalui jaringan pipa di seluruh wilayah Belarusia.Negara-negara lain bekas Soviet yaitu Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan dan Turkmenistan berada di Kawasan Asia Tengah. Namun sejauh ini hanya Kazakhstan, Kirgistan dan Tajikistan yang bergabung dalam Collective Security Treaty Organization (CSTO) bersama dengan Rusia, Belarusia dan Armenia. CSTO adalah organisasi semacam NATO yang berdiri pada tahun 1992 dan kini berisi enam negara.Baca Juga:Gelar Buyback Saham KLBF, Kalbe Farma Alokasikan Anggaran Rp 1 TriliunSemula Uzbekistan juga menjadi anggota CSTO. Hanya saja sejak tahun 2012, negara yang beribu kota di Tashkent itu menangguhkan keanggotaan di CSTO. Biarpun begitu, Uzbekistan masih tergabung di dalam The Commonwealth of Independent States (CIS) yang kini berisi 10 negara bekas Soviet.Lebih dari itu, aliansi dalam peta geopolitik sebenarnya tidak benar-benar bisa dipastikan. Jalinan bisa terajut bahkan antar dua negara yang tampak berseberangan. Hanya kepentingan yang langgeng mempertahankan aliansi.

Selanjutnya: Ketahuilah Beberapa Hal yang Menyebabkan Kelinci Mengalami Diare

1 2 3 4 Next all
Editor: Anastasia Lilin Yuliantina

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA