Mengapa sikap malu disebut bagian dari iman

Dari Ibnu ‘Umar dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

الْـحَيَاءُ مِنَ الإيْمَـانِ

“Malu bagian dari keimanan.”([1])

Dalam hadits yang lain Nabi bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”([2])

Hadits di atas dibawakan oleh Nabi di antaranya untuk menjelaskan bahwa iman itu memiliki banyak cabang, ada yang bersumber dari perkataan, ada yang bersumber dari perbuatan, demikian pula ada yang berasal dari dalam hati. Di antara amalan hati yang merupakan keimanan adalah rasa malu, jika seorang manusia memiliki rasa malu maka itu adalah tanda-tanda keimanan pada dirinya.

Bahkan dalam hadits tersebut, Nabi ﷺ menyebutkan malu secara khusus padahal amalan hati itu sangat banyak. Sebagian ulama mengatakan,

لِأَنَّ الْحَيَاءَ هُوَ السَّبَبُ الْأَقْوَى فِي قِيَامِ الْعَبْدِ بِجَمِيْعِ شُعَبِ الْإِيْمَانِ

“Hal ini disebabkan karena rasa malu merupakan sebab terkuat bagi seorang hamba untuk bisa melaksanakan seluruh cabang-cabang keimanan yang lain.”([3])

Jika dia punya rasa malu kepada Allah maka dia akan menjalankan perintah Allah ﷻ dan akan meninggalkan larangan Allah. Demikian jika dia memiliki rasa malu kepada manusia maka akan mendorong dia untuk berbuat baik kepada orang-orang di sekitarnya dan tidak menzalimi mereka. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasihati saudaranya karena sangat pemalu, maka Rasulullah ﷺ bersabda,

دَعْهُ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ

“Biarkan dia karena rasa malu adalah bagian dari Iman.”([4])

Rasa malu adalah perangai yang bisa mengantarkan manusia melakukan perkara-perkara wajib dan meninggalkan dosa serta maksiat. Nabi bersabda,

اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Malulah kalian kepada Allah dengan benar-benar malu.”([5])

Seorang yang memiliki rasa malu akan terbentengi dari kemaksiatan karena dia malu kepada Allah yang telah memberinya begitu banyak kenikmatan. Demikian pula dia akan malu jika meninggalkan ketaatan karena malu kepada Allah yang telah memberinya begitu banyak kemudahan. Oleh karena itu, tatkala Allah berfirman tentang kisah Nabi Yusuf n saat dirayu oleh Zulaikha,

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ ۖ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini”. Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (QS. Yusuf: 23)

Para ulama menafsirkanرَبِّي  di sini dengan dua tafsiran,

Pertama, tuanku, yaitu suami Zulaikha itu sendiri. Dia malu kepadanya karena telah memberinya kebaikan yang begitu banyak, tidak mungkin Yusuf akan mengkhianatinya dan membalas air susu dengan air tuba.

Kedua, Allah ﷻ. Yusuf malu jika bermaksiat kepada Allah yang telah memberinya begitu banyak kebaikan, seakan-akan tidak tahu berterima kasih.

Bahkan ketika seseorang bersendiri, rasa malunya akan menghalangi untuk bermaksiat karena dia malu dan dia takut kepada Allah ﷻ. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas menafsirkan firman Allah ﷻ,

يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah.” (QS. An-Nisa’: 108)

Ibnu Abbas menafsirkannya dengan يَسْتَحْيُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَحْيُوْنَ مِنَ اللَّهِ yaitu mereka malu kepada manusia namun tidak malu kepada Allah ﷻ. Sehingga ia bermaksiat ketika manusia tidak melihatnya, adapun jika manusia melihatnya dia malu bermaksiat.([6])

Demikian juga rasa malu kepada manusia akan mengantarkannya untuk berbuat baik. Karena dia malu jika orang tuanya, atau istrinya, anaknya, tetangganya, dan orang-orang di sekitarnya melihatnya berbuat buruk. Jika dia berbuat buruk maka dia akan jadi bahan omongan mereka. Atau hal tersebut sebenarnya boleh tapi bisa menurunkan muruah-nya di tengah orang-orang terdekatnya. Berkata Al-Ghazali,

“Rasa malu termasuk akhlak yang paling tinggi derajatnya dan paling banyak manfaatnya. Dengan rasa malu seseorang akan berusaha untuk melakukan akhlak-akhlak yang mulia dan memiliki sifat-sifat terpuji. Dengan rasa malunya pula dia akan berusaha meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Dengan rasa malu dia akan mengetahui kedudukan setiap orang dan akan menyikapi sesuatu kedudukan mereka masing-masing. Dengan rasa malu dia akan membersihkan lisannya dari kata-kata yang keji, dari mencela orang lain, dan dia akan berbicara secukupnya saja. Dia juga akan malu apabila ada keburukannya yang diketahui atau nama baiknya dicoreng. Apabila engkau mendapati seseorang merasa tidak enak apabila melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas, atau engkau melihat rona-rona merah di wajahnya jika muncul perbuatan yang tidak pantas dari dirinya maka ketahuilah hatinya itu pemalu.”([7])

Inilah contoh gambaran rasa malu yang bisa mengantarkan seseorang kepada perbuatan-perbuatan yang mulia dan menghalangi orang dari perbuatan-perbuatan yang buruk. Demikianlah seharusnya fungsi rasa malu, bukan sebaliknya, rasa malu yang mengantarkannya meninggalkan perkara-perkara yang baik. Karena jika demikian maka bukan lagi rasa malu namanya tetapi sifat pengecut, seperti malu untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu, ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata,

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ.

“Sebaik baik wanita adalah wanita kaum Anshar, rasa malu tiada menghalangi mereka untuk belajar ilmu agama.”([8])

Sebagaimana kisah Ummu Sulaim i, beliau bertanya kepada Nabi ﷺ:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَحِي مِنَ الحَقِّ، فَهَلْ عَلَى المَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ: «نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ المَاءَ»

“Wahai Rasullah, sesungguhnya Allah ﷻ itu tidak merasa malu dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah bersabda, ‘Ya, jika ia melihat air (mani)’.”([9])

Dari sini diketahui, rasa malu secara umum adalah akhlak yang mulia. Jika seseorang memiliki anak yang mempunyai rasa malu maka dia harus bersyukur, terutama anak-anak perempuan karena keindahan perempuan ada pada rasa malunya.

Footnote:

___________

([1]) HR. Bukhari no. 44 dan Muslim no. 36.

([2]) HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35.

([3]) Fathul Bari, 1/75.

([4]) HR. Bukhari no. 44 dan Muslim no. 36.

([5]) HR. Tirmidzi no. 2458.

([6]) Tanwir Al-Miqbas, 79.

([7]) Khuluq Al-Muslim, 196.

([8]) HR. Muslim no. 332.

([9]) HR. Al Bukhari 6121 dan Muslim 313.

Jakarta -

Dalam suatu hadits, Rasulullah SAW pernah menyebut bahwa malu adalah sebagai bagian dari iman. Artinya, malu merupakan salah satu budi pekerti yang dituntut oleh Islam untuk dimiliki oleh setiap pemeluknya.

Mengutip dari buku Pendidikan Akhlak Berbasis Hadits Arba'in An Nawawiyah karya Dr. Saifudin Amin, MA, rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.

Ajaran Islam menempatkan rasa malu sebagai bagian yang menyusun cabang keimanan seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

Artinya: "Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'Lâ ilâha illallâh,' dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang Iman." (HR. Imam Al Bukhari No 9).

Senada dengan hal tersebut, mengutip dari laman resmi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dosen Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung Iu Rusliana menyatakan bahwa malu sangat erat kaitannya dengan iman. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim, ia berkata:

, اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ

Artinya: "Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna." (HR. Al Hakim).

Iu Rusliana juga menyebut rasa malu dapat menjadi tameng bagi diri kita sendiri dalam melakukan perbuatan hal buruk. Sebab salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu.

"Rasa malu adalah tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan," tulisnya melalui laman resmi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dikutip Rabu (9/6/2021).

Sebuah hadits pun mengatakan hal serupa, dari Abu Mas'ûd 'Uqbah bin 'Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu 'anhu ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري

Artinya: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah: 'Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.'" (HR. Bukhari No. 3483).

Oleh karena itu, seseorang dengan memiliki sifat malu ini, kebaikan akan senantiasa datang menghampirinya dan akan membantunya dalam menghalangi untuk melakukan perbuatan maksiat dan dosa.

(nwy/nwy)