Mengapa Presiden Soeharto disebut sebagai Bapak pembangunan

Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (ER, EYD: Suharto; 8 Juni 192127 Januari 2008) adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut mukanya yang senantiasa tersenyum dan menunjukkan keramahan. Meski begitu, dengan berbagai kontroversi yang terjadi, ia sering juga disebut sebagai otoriter bagi yang berseberangan dengannya.[1][2][3]

Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M.

Soeharto
Mengapa Presiden Soeharto disebut sebagai Bapak pembangunan
Foto keluarga Soeharto

Soeharto menikah dengan Raden Ayu Siti Hartinah, anak KRMT Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia Soeharto 26 tahun, sedangkan Siti Hartinah berusia 24 tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).[17].

Masa kecil dan pendidikan

Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro.[15] Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.[15]

Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.

Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.

Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).

Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta berhenti.

Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.

Karier militer

Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.

Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.

Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks KNIL/KL.

Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia (RI) masih ada.

Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV/Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.

Lembaran hitam juga sempat mewarnai perjalanan kemiliterannya. Ia pernah dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran Jenderal Gatot Soebroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.

Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd (Yugoslavia), Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman Barat). Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.

Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.

Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Kemudian ia diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963. Mayor Jenderal Soeharto lalu dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.

Naik ke kekuasaan

Kenetralan artikel ini dipertentangkan. Silakan berdiskusi di halaman pembicaraan. Harap jangan hapus pesan ini sampai kondisi untuk melakukannya terpenuhi. (Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini)
Garis waktu masa jabatan Presiden Indonesia
Mengapa Presiden Soeharto disebut sebagai Bapak pembangunan
Pasca terjadinya Peristiwa G30S, Mayjen TNI Soeharto mulai masuk ke dalam kabinet. Pada 14 Oktober 1965, ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat.

Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jenderal. Pada peristiwa itu Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari percobaan kudeta adalah Mayor Jenderal Soeharto. Mayor Jenderal Soeharto tidak masuk target Gerakan 30 September 1965 atau G-30-S PKI karena dia bukan termasuk Jenderal yang dimintai pertimbangan permintaan PKI untuk mempersenjatai angkatan ke-5.[18] Beberapa sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.

Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Keputusan yang diambil Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro-Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di 1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka membebaskan sumber daya di militer.

Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Jusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Soebroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.

Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.

Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik, geliat kekuasaanya mulai metampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto.

Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.

Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan meningkatkan sensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara barat dan PBB. Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.

Jenderal Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen: Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).

Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan kita".

Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20% anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.

Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dimungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.

Di bidang sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.

Sebagai presiden

Gambar Presiden Soeharto pada uang pecahan 50.000, salah satu dari sedikit uang yang menampilkan tokoh yang masih hidup

Roma, Italia, 14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu. Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.[19]

Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa dari seluruh bangsa Indonesia, kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras minimal 2 juta ton.[20]

Sebab itu, pada 10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono setelah bersaing dengan DR H Jaelani Naro SH Ketua Umum DPP PPP Sekali lagi, mata dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pada 8 Juni 1989. Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali, tandas Soeharto.

Dia dianugerahi UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan. Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia. Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah produk domestic bruto di bidang pertahanan, ujar Perdana Menteri Australia Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai ayah.

Dalam bukunya, Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, Soeharto adalah tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia. Dua Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. Saya di rumah, di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai presiden, tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember 1989.

Sebab itu, pada 14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina. Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10 Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6 Desember 1995).

Soeharto yang mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun. Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 19982003. Ia menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia 76 tahun (29 September 1997).

Pada 25 Juli 1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.

Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi

Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).

Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.

Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.

Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.

Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan arteri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.

Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan radio, televisi, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibu kota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).

Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan unsur pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoretis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik yang permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.

Kemudian pada tahun 19791980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan Orde Baru.

Puncak Orde Baru

Pelantikan Presiden Soeharto.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Prancis. Selain itu, Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada di bawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok, dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana Golkar dijadikan partai utama dan "mengebiri" dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.

Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru

Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Selain itu hak-hak politik etnis Tionghoa dibatasi dan agama Kong Hu Cu tidak diakui keberadaannya. Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa.

Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Presiden Gerald Ford dan Suharto berjabat tangan pada 6 Desember 1975, sehari sebelum invasi ke Timor-Timur yang didukung Amerika Serikat dalam era Perang Dingin.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan pro-komunis Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat atas tindakan Fretilin yang mendapat dukungan politik Uni Soviet dalam perebutan pengaruh dua negara adikuasa di periode Perang Dingin yang juga memanas di sekitar kawasan Vietnam. Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia, dengan bantuan presiden Gerald Ford, yang meminta wilayah tersebut berintegrasi dengan Indonesia untuk menghindari berkembangnya pengaruh komunis di Asia Tenggara.[21][22] Pada 15 Juli 1976, Timor Timur secara menjadi salah satu provinsi di NKRI sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.

Soeharto dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada tahun 1998.

Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.

Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).

Mundur dari jabatan presiden

Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
Kejatuhan Presiden Soeharto
Potongan pidato saat Soeharto mengundurkan diri, Kamis, 21 Mei 1998.

Bermasalah memainkan berkas-berkas ini? Lihat bantuan media.

Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

Meskipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 19982003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, B. J. Habibie.

Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa apa yang dilakukan IMF di Indonesia tidak lain sebagai penyebab jatuhnya Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana dikutip New York Times, Camdesus menyatakan we created the conditions that obliged President Soeharto Left his job".[23]

Di Credentials Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.

Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 19982003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.

Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr. Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika itu.

Tak berselang terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.

Kedua, ABRI yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945.

Ketiga, dalam hal ini, ABRI akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan bangsa.

Keempat, menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak Soeharto beserta keluarganya.

Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan merugikan masyarakat sendiri.

Kasus dugaan korupsi

Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto

Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998, Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.

Jaksa Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).

Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.

Dalam persidangan gugatan akhirnya Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan mantan Presiden Soeharto terhadap Majalah TIME Asia. Dalam putusan majelis hakim agung yang diketuai Ketua Muda Militer MA, Mayor Jenderal TNI Purnawirawan German Hoediarto dan beranggotakan Bahauddin Qoudry serta M. Taufik, tanggal 31 Agustus 2007 itu, Majalah TIME Asia diperintahkan membayar ganti rugi immateriil senilai Rp 1 triliun kepada HM Soeharto.MA Menangkan Soeharto Lawan Majalah TIME Asia

Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.

Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 1535 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[24]

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.

Kasus perdata

Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.


Peninggalan

Bidang politik

Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucionaria De Timor Leste Independente / Front Revolusi untuk Kemerdekaan Timor Timur) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang".

Bidang kesehatan

Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.

Bidang pendidikan

Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.

Kematian

Berkas:Suharto.jpg
Gambar dari majalah Malaysia yang membuat liputan berita mengenai kemangkatan Soeharto.

Pada Tanggal 27 Januari 2008 Pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta.[25] Ambulans yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.

Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.

Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.

Pemakaman

Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[26] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB[27] bersamaan dengan berkumandangnya azan zuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang Yudhoyono.

Penghargaan dan warisan

Rumah masa kecil Soeharto di Kemusuk, Bantul saat ini dijadikan museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto. Sebuah patung dirinya berdiri di depan museum. Museum tersebut dibangun oleh Probosutedjo dan diresmikan pada tahun 2013.[28]

FELDA Soeharto, sebuah kampung di Selangor, Malaysia, dinamakan menurut Soeharto pada tahun 1977 sebelumnya ia berkunjung ke kampung tersebut pada tahun 1970 sebagai bagian dari kunjungan bersejarah untuk menormalkan hubungan Indonesia-Malaysia.[29]

Pada tahun 2013, muncul slogan bahasa Jawa Isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Masih enak zaman saya kan) atau Piye kabare, isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Bagaimana kabarnya, masih enak zaman saya kan) di stiker, kaos, dan internet yang menyatakan bahwa zaman pemerintahan Soeharto lebih baik ketimbang zaman sekarang.[30][31]

Tanda kehormatan

Indonesia[32] Baris ke-1 Bintang Republik Indonesia Adipurna Bintang Mahaputera Adipurna Bintang Sakti Baris ke-2 Bintang Dharma Bintang Gerilya Bintang Jasa Utama Bintang Budaya Parama Dharma Baris ke-3 Bintang Yudha Dharma Utama Bintang Kartika Eka Paksi Utama Bintang Jalasena Utama Bintang Swa Bhuwana Paksa Utama Baris ke-4 Bintang Bhayangkara Utama Bintang Kartika Eka Paksi Pratama Bintang Kartika Eka Paksi Nararya Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia Baris ke-5 Bintang Garuda Satyalancana Teladan Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun Satyalancana Perang Kemerdekaan I Baris ke-6 Satyalancana Perang Kemerdekaan II Satyalancana G.O.M I Satyalancana G.O.M II Satyalancana G.O.M III Baris ke-7 Satyalancana G.O.M IV Satyalancana Satya Dharma Satyalancana Wira Dharma Satyalancana Penegak


Luar NegeriNegara Penghargaan Pita Tahun Brunei Darjah Kerabat Mahkota Brunei (D.K.M.B.) 1988 Darjah Kerabat Laila Utama Yang Amat Dihormati (D.K.) 1988 Filipina Kalung (Raja) Orde Sikatuna 1968 Malaysia Darjah Utama Seri Mahkota Negara (D.M.N.) 1988 Perak: Darjah Kerabat Di-Raja Yang Amat Dihormati (D.K.) 1988 Johor: Darjah Kerabat Johor Yang Amat Dihormati Kelas I (D.K. I) 1990 Thailand Knight of the Most Auspicious Order of the Rajamitrabhorn 1970 Singapura Darjah Utama Temasek 1974 Kamboja Grand Collar of the National Order of Independence 1968 Jepang Selempang Kebesaran Orde Tertinggi Krisantemum 1968 Korea Selatan The Grand Order of Mugunghwa 1981 Pakistan Nishan-e-Pakistan 1982 Afrika Selatan Grand Cross of the Order of Good Hope 1997 Austria Grand Star (Groß-Stern) of the Decoration of Honour for Services to the Republic of Austria 1973 Belanda Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda 1970 Belgia Selempang Kebesaran Orde Leopold 1973 Kekaisaran Etiopia Grand Cordon and Collar of the Order of the Queen of Sheba 1968 Britania Raya Knight Grand Cross (Military Division) of the Order of the Bath (G.C.B.) 1974 Dinasti Pahlavi The First Class of the Order of Pahlavi Tidak diketahui Italia Knight Grand Cross with Collar of the Order of Merit of the Italian Republic 1972 Jerman Salib Agung Kelas Istimewa Orde Jasa Republik Federal Jerman 1970 Kuwait Collar of the Order of Mubarak the Great 1977 Mesir Grand Collar of the Order of the Nile 1977 Prancis Salib Agung Orde Nasional Légion d'honneur Tidak diketahui Qatar Collar of the Order of the Independence Tidak diketahui Romania First Class of the Order of the Star of the Romanian Socialist Republic 1982 Arab Saudi Badr Chain 1977 Spanyol Grand Cross with Collar of the Order of Isabella the Catholic 1980 Suriah Member 1st Class of the Order of the Umayyads 1977 Ukraina First Class of the Order of Prince Yaroslav the Wise 1997 Venezuela Grand Cordon with Collar of the Order of the Liberator 1988 Yordania Grand Cordon with Collar of the Order of Al-Hussein bin Ali 1986 Yugoslavia Yugoslav Star with Sash of the Order of the Yugoslav Star 1975

Lihat pula

  • Butir-Butir Budaya Jawa
  • Daftar Presiden Indonesia

Daftar pustaka

  • "Two former strongmen, Soeharto-Lee Kuan Yew meet again". ANTARA. 22 February 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-25. Diakses tanggal 22 February 2006.
  • "Army in Jakarta Imposes a Ban on Communists". The New York Times. 19 October 1965.
  • Benedict R. Anderson en Ruth T.McVey, A Preliminary Analysis of the 1 October 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971).
  • Aspinall, Ed (OctoberDecember 1996). "What happened before the riots?". Inside Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2005-05-05. Diakses tanggal 2013-04-14.
  • "Attorney general doubts Soeharto can be prosecuted". The Jakarta Post. 27 May 2005.
  • Blum, William (1995). Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II. Monroe, Me.: Common Courage Press. ISBN1-56751-052-3.
  • Camdessus Commends Indonesian Actions. Press Release. International Monetary Fund. (31 October 1997)
  • "CIA Stalling State Department Histories". The National Security Archive. Diakses tanggal 23 May 2005.
  • Colmey, John (24 May 1999). "The Family Firm". TIME Asia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-02-08. Diakses tanggal 2007-02-13.
  • Robert Cribb, "Genocide in Indonesia,19651966". Journal of Genocide Research no.2:219239, 2001.
  • Elson, Robert E. (2001). Suharto: A Political Biography. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press. ISBN0-521-77326-1.
  • Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. The Belknap Press of Harvard University Press. ISBN0-674-01834-6.
  • "H.AMDT.647 (A003): An amendment to prohibit any funds appropriated in the bill to be used for military education and training assistance to Indonesia". THOMAS (Library of Congress). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-13. Diakses tanggal 4 February 2006.
  • "Indonesia: Arrests, torture and intimidation: The Government's response to its critics". Amnesty International. 27 November 1996. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-03-13. Diakses tanggal 2021-03-08.
  • "Indonesia Economic". Commanding Heights. Diakses tanggal 23 May 2005.
  • "Jakarta Cabinet Faces Challenge". The New York Times. 16 December 1965.

  • "Jakarta Leftist Out As Army Chief" New York Times 15 October 1965
  • Koerner, Brendan (26 March 2004). "How Did Suharto Steal $35 Billion? Cronyism 101". Slate. Diakses tanggal 4 February 2006.
  • "Jakarta Cabinet Faces Challenge". The New York Times. 16 December 1965.
  • Lashmar, Paul and Oliver, James (16 April 2000). "MI6 Spread Lies to Put Killer in Power". The Independent. UK.
  • Lashmar, Paul; Oliver, James (1999). Britain's Secret Propaganda War. Sutton Pub Ltd. ISBN0-7509-1668-0.
  • McDonald, H., Suharto's Indonesia, Fontana Books, 1980, Blackburn, Australia, ISBN 0-00-635721-0
  • "Public Expenditures, Prices and the Poor". World Bank. 1993. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-23. Diakses tanggal 2013-04-14.
  • Ricklefs, M.C. 1991. A History of Modern Indonesia since c.1300. 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-333-57690-X
  • John Roosa, Pretext for Mass Murder, The 30 September Movement & Suharto's Coup D'état. The University of Wisconson Press, 2006. ISBN 978-0-299-22034-1.
  • Simpson, Brad (9 July 2004). "Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice"". National Security Archive.
  • Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. ISBN1-86373-635-2.
  • "Suharto tops corruption rankings". BBC News. 25 March 2004. Diakses tanggal 4 February 2006.
  • "Sukarno Removes His Defense Chief" New York Times 22 February 1966
  • "Tapol Troubles: When Will They End?". Inside Indonesia. AprilJune 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-05. Diakses tanggal 2013-04-14.
  • Toer, Pramoedya Ananta (2000). The Mute's Soliloquy: A Memoir. Penguin. ISBN0-14-028904-6.
  • "United Nations High Commission on Human Rights resolution 1993/97: Situation in East Timor". United Nations. Diakses tanggal 4 February 2006.
  • Legacy of Ashes: The History of the CIA, Tim Weiner. Doubleday, New York 2007 (ISBN 978-3-596-17865-0), chapter 15, CIA and Indonesia.
  • Whose Plot?-New light on the 1965 Events, Journal of Contemporary Asia 9, no.2 (1979):197215.

Referensi

  1. ^ a b Berger, Marilyn (28 Januari 2008). "Suharto Dies at 86; Indonesian Dictator Brought Order and Bloodshed". The New York Times (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-02. Diakses tanggal 2018-12-14.
  2. ^ Gittings, John (27 Januari 2008). "Obituary: Suharto, former Indonesian dictator: 1921-2008". The Guardian (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-14. Diakses tanggal 2018-12-14.
  3. ^ Hutton, Jeffrey (19 Mei 2018). "Is Indonesia's Reformasi a success, 20 years after Suharto?". South China Morning Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-17. Diakses tanggal 2018-12-14.
  4. ^ Cribb, Robert (2002). "Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 19651966". Asian Survey. 42 (4): 550563. doi:10.1525/as.2002.42.4.550.
  5. ^ Friend (2003), pages 107109; Chris Hilton (writer and director) (2001). Shadowplay (Television documentary). Vagabond Films and Hilton Cordell Productions.; Ricklefs (1991), pages 280283, 284, 287290
  6. ^ Media, Kompas Cyber. "26 Maret 1968, Saat Soeharto Ditunjuk Gantikan Soekarno Jadi Presiden Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-19. Diakses tanggal 2019-06-19.
  7. ^ Miguel, Edward (January 2005). "Does Social Capital Promote Industrialization? Evidence from a Rapid Industrializer". Econometrics Softare Laboratory, University of California, Berkeley.
  8. ^ McDonald, Hamish (28 January 2008). "No End to Ambition". Sydney Morning Herald. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-03. Diakses tanggal 2013-04-14.
  9. ^ Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor Benetech Human Rights Data Analysis Group (9 February 2006). "The Profile of Human Rights Violations in Timor-Leste, 19741999". A Report to the Commission on Reception, Truth and Reconciliation of Timor-Leste. Human Rights Data Analysis Group (HRDAG). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-29. Diakses tanggal 2013-04-14.
  10. ^ "Suharto tops corruption rankings". BBC News. 25 March 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-13. Diakses tanggal 4 February 2006.
  11. ^ "Berkaca pada Revolusi Hijau, Strategi Swasembada Pangan Pak Harto". Indonesia Inside (dalam bahasa Inggris). 2019-01-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-21. Diakses tanggal 2019-06-21.
  12. ^ "Suharto tops corruption rankings". BBC News. 25 March 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-13. Diakses tanggal 4 February 2006.
  13. ^ "12 Tahun Lalu, Soeharto Menang Lawan Majalah Time". Liputan6 (dalam bahasa Inggris). 2019-08-30. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-12-23. Diakses tanggal 2019-12-16.
  14. ^ "Masa Kecil - Soeharto". HM Soeharto. 2013-01-12. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-01-12. Diakses tanggal 2020-01-20.
  15. ^ a b c d e f g h i "secuil kisah tentang mantan presiden Soeharto". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-31. Diakses tanggal 2015-10-24.
  16. ^ "Akar Saya Dari Desa". soeharto.co. 2013-09-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-11. Diakses tanggal 2019-11-4.
  17. ^ "Sah Anak_Anak Pak Harti Berkumpul di Partai Berkarya". jawapos.com. 2018-07-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-04. Diakses tanggal 2019-11-4.
  18. ^ Okezone. "Ini Alasan PKI Tak Incar Soeharto di Peristiwa 1965: Okezone News". Okezone. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-17. Diakses tanggal 2019-07-17.
  19. ^ "Soeharto Mati-matian Bangun Sektor Pertanian". Indonesia Inside. 2018-12-21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-10. Diakses tanggal 2020-01-20.
  20. ^ "Berkaca pada Revolusi Hijau, Strategi Swasembada Pangan Pak Harto". Indonesia Inside (dalam bahasa Inggris). 2019-01-28. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-06-21. Diakses tanggal 2019-10-03.
  21. ^ Simons, p. 189
  22. ^ Brinkley, Douglas (2007). Gerald R. Ford: The American Presidents Series: The 38th President. hlm.132. ISBN978-1429933414. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-03. Diakses tanggal 2021-01-08.
  23. ^ "Presiden Soeharto dan Misteri Kemelut 1998 - Soeharto". 19 Jan 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-16. Diakses tanggal 2020-04-18.
  24. ^ "Suharto tops corruption rankings". news.bbc.co.uk. 2004-03-25. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-13. Diakses tanggal 2009-02-05.
  25. ^ "Jenazah Pak Harto Dibawa ke Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
  26. ^ "Pukul 07.30 WIB, Jenazah Soeharto Tinggalkan Cendana". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
  27. ^ "Jenazah Pak Harto Dimasukkan ke Liang Lahat". detik.com. 2008-01-27. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-19. Diakses tanggal 2009-02-05.
  28. ^ Prabowo (7 Juni 2016). "Tempat Kelahiran Soeharto Kini Lebih Hidup". Okezone.com. Diakses tanggal 12 Oktober 2021.
  29. ^ Sutikno, Husin. "KAMPONG SOEHARTO DI NEGERI JIRAN". HM Soeharto. Diakses tanggal 12 Oktober 2021.
  30. ^ Nugroho, Andreas (2013-11-25). "Mengapa 'merindukan' sosok Suharto?". BBC News Indonesia. Diakses tanggal 2021-11-13.
  31. ^ Pontororing, Angela (Juli 2016). "Sebuah Upaya Pembacaan Poskolonial dengan Metode Dialog Imajinatif Antara Foto Soeharto "Piye Kabare, Penak Jamanku To?" dan Teks Keluaran 14:10-12; 16:1-3; 17:3" (PDF). Indonesian Journal of Theology. 4/1: 144. Diakses tanggal 7 Februari 2022.
  32. ^ "Penghargaan Presiden Soeharto". Kepustakaan Presiden-Presiden RI. Perpustakaan Nasional Indonesia. Diakses tanggal 2021-10-30.

Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Suharto. Wikisource memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Pernyataan Berhenti Sebagai Presiden Republik Indonesia, 21 Mei 1998
  • Soeharto Center Diarsipkan 2020-12-23 di Wayback Machine.
  • Soeharto Diarsipkan 2012-07-29 di Wayback Machine. di Kepustakaan Presiden Republik Indonesia
  • Life in pictures: Indonesia's Suharto di BBC
  • Financial Times obituary Diarsipkan 2008-11-21 di Wayback Machine.
  • The Guardian obituary
  • Obituary in The Times, 28 January 2008
Jabatan politik Didahului oleh:
Soekarno Presiden Indonesia
19671998 Diteruskanoleh:
BJ Habibie Didahului oleh:
M. Sarbini Menteri Pertahanan Indonesia
19661971 Diteruskanoleh:
Maraden Panggabean Didahului oleh:
Soekarno
sebagai Perdana Menteri Ketua Presidium Kabinet Indonesia
19661967 Jabatan dihapuskan Jabatan militer Didahului oleh:
Soedirman Panglima ABRI
19681973 Diteruskanoleh:
Maraden Panggabean Didahului oleh:
Ahmad Yani Kepala Staf TNI Angkatan Darat
19661968 Diteruskanoleh:
Maraden Panggabean Jabatan baru Pangkostrad
19631965 Diteruskanoleh:
Umar Wirahadikusumah Jabatan pemerintahan Didahului oleh:
Soebandrio Kepala Badan Pusat Intelijen
19651966 Diteruskanoleh:
Yoga Soegomo Jabatan diplomatik Didahului oleh:
Dobrica Ćosić Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok
19921995 Diteruskanoleh:
Ernesto Samper Pizano Didahului oleh:
Bill Clinton Ketua Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik
1994 Diteruskanoleh:
Tomiichi Murayama Posisi baru Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
1976 Diteruskanoleh:
Hussein Onn
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Soeharto&oldid=20644959"