Mengapa perundingan Indonesia Belanda pasca agresi militer Belanda pertama dilakukan di USS Renville?

Mengapa perundingan Indonesia Belanda pasca agresi militer Belanda pertama dilakukan di USS Renville?

Mengapa perundingan Indonesia Belanda pasca agresi militer Belanda pertama dilakukan di USS Renville?

Perjanjian Renville memiliki sejarah dan latar belakang yang menarik untuk dibahas. Foto DOK Wikipedia

JAKARTA - Perjanjian Renville memiliki sejarah dan latar belakang yang menarik untuk dibahas. Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kedaulatannya dari ancaman negara lain termasuk Belanda yang ingin mengulang kembali sejarah.

Seperti yang diketahui, pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda melakukan agresi militer dengan tujuan kembali menguasai nusantara. Berbagai bentuk perlawanan tentu tetap dilakukan para pejuang, baik melalui perlawanan fisik maupun jalur diplomasi.

Baca juga : USS Renville, Veteran Tiga Perang yang Berakhir di Galangan Penghancur Kapal

Perjanjian Renville sendiri menjadi salah satu contoh bentuk perjuangan jalur diplomasi yang dilakukan bangsa Indonesia guna mempertahankan kedaulatannya. Disadur dari jurnal berjudul Politik Diplomasi Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Perjanjian Renville karya Ervani, dkk, Perundingan Renville terjadi saat Amir menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia.Semua berawal ketika Amir Syarifudin diangkat menggantikan kabinet Sjahrir. Kala itu, Presiden Soekarno memberi mandat kepada Amir untuk membentuk kabinet baru yang resmi berdiri pada 3 Juli 1947.Adapun tujuan pembentukan Kabinet Amir ini agar bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Belanda yang terus mengganggu kedaulatan Indonesia.Dalam berbagai upaya yang ditempuh, PBB kemudian campur tangan dan membentuk Komisi Tiga Negara yang beranggotakan Belgia, Australia, dan Amerika Serikat sebagai wakil PBB. KTN inilah yang akan menjadi penengah perundingan Lanjutan antara RI dan Belanda. Amir Syarifudin selaku Perdana Menteri meminta kepada KTN agar jalannya perundingan dilakukan di luar wilayah Belanda untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Akhirnya, atas usulan KTN, kedua belah pihak setuju mengadakan perundingan di atas kapal laut yang berlabuh di luar zona tiga mil dan dianggap sebagai tempat netral. Kapal yang digunakan adalah USS Renville milik Amerika Serikat.Perjanjian Renville di bawah pengawasan KTN dimulai pada 8 Desember 1947. Delegasi RI

diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dengan Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua, serta beberapa anggota delegasi lainnya.

  • perjanjian kerja sama
  • uss renville
  • sejarah
  • kemerdekaan

tirto.id - Perundingan Renville yang digelar tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 berpengaruh terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Isi Perjanjian Renville membuat wilayah kedaulatan Republik Indonesia menjadi semakin sempit.Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat posisi Indonesia di atas angin. Belanda yang datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu usai mengalahkan Jepang di Perang Dunia II ingin kembali menjajah Indonesia.

Rangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda dilakukan, tapi seringkali menemui kebuntuan. Ada dua perundingan yang saling berkaitan dan cukup dikenal dalam sejarah Indonesia yaitu Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville yang membahas tentang wilayah kekuasaan.



Sejarah mencatat, Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang sukses mendamaikan Belanda-Indonesia dalam Perjanjian Renville. Namun, Kahin justru menemukan banyak keganjilan dalam manuver AS.

Posisi AS sebagai juru damai idealnya netral serta memperlakukan pihak-pihak yang terlibat dengan setara. Sayangnya, manuver mereka berujung pada kekecewaan mendalam bagi para elit politik Indonesia dan turut membuat posisi Indonesia lemah selama perumusan perjanjian.

Pada awalnya, AS sebenarnya satu gerbong dengan Inggris sebagai pihak yang tak menyetujui agresi Belanda. Keduanya juga mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Namun dukungan semacam itu tak cukup menjadi solusi konflik Indonesia-Belanda.

Sebagai dua raksasa Barat, AS dan Inggris memilih tidak melaksanakan tindakan efektif untuk menghentikan agresi Belanda. Di tahap ini, kecurigaan menyebar di kalangan elit politik Indonesia. Mereka menganggap AS bersikap licik dan sebenarnya memihak Belanda.

Latar Belakang Perundingan Renville

Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja.

Tugiyono Ks dalam buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka (1985) menyebutkan, Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I.

Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan. Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia.

Tokoh Delegasi Perundingan Renville

Dikutip dari buku bertajuk Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua: Volume 1 (1992) terbitan Yayasan Veteran RI, atas desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947. Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,dan Belgia.Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).

Isi Perundingan Renville

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya dihasilkan tiga poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, berikut isi Perjanjian Renville:
  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia (RI).
  2. Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dampak Perundingan Renville

Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo.Garis van Mook mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian Renville.

Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebutkan, menganggap keberadaan Garis van Mook juga sebagai bentuk hinaan terhadap Indonesia karena wilayah RI menjadi semakin ciut.

Namun demikian, ada dampak positifnya pula. Perjanjian Renville ternyata semakin membuka banyak negara di dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan mencermati sepak-terjang Belanda. "Dalam jangka panjang, keputusan-keputusan di Renville menarik perhatian dunia internasional yang semakin menyadari adanya pengorbanan besar untuk merdeka,” tulis Anthony Reid.

KOMPAS.com - Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan tak langsung dirasakan rakyat.

Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah di Perang Dunia II.

Sejumlah perlawanan senjata dan diplomasi dilakukan Indonesia agar bisa merdeka. Salah satunya lewat Perjanjian Renville.

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia.

Baca juga: Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya

Perjanjian Renville terjadi pada 17 Januari 1948. Namanya diambil dari lokasi tempat perjanjian ditandatangani yakni Kapal Amerika Serikat Renville yang sedang bersandar di Pelabuhan Jakarta.

Latar belakang Perjanjian Renville

Perjanjian Renville dibuat karena Belanda dan Indonesia terus bersengketa. Sebelumnya sudah ada Perjanjian Linggarjati yang menyepakati wilayah de facto Republik Indonesia Serikat (RIS).

Namun Perjanjian Linggarjati tak menyelesaikan konflik Indonesia dengan Belanda. Indonesia menuduh Belanda mengingkari perjanjian, begitu pula sebaliknya.

Mengapa perundingan Indonesia Belanda pasca agresi militer Belanda pertama dilakukan di USS Renville?
C.J. (Cees) Taillie Iring-iringan tentara saat Agresi Militer Belanda I pada 1947.

Belanda meneruskan operasi militernya, bahkan bergerak ke Jawa dan Madura yang merupakan wilayah RIS. Langkah Belanda ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.

Baca juga: 15 November 1946, Indonesia Hanya Meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura

Indonesia berusaha menanganinya dengan meminta pertolongan internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) berusaha menengahi.

Negara yang terlibat tergabung dalam Good Offices Committee (GOC) atau Komisi Tiga Negara (KTN). Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk berdasarkan keinginan Indonesia dan Belanda.

Amerika Serikat mempertemukan Indonesia di kapal perang Renville. Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin sementara Belanda diwakili Gubernur Jenderal Van Mook.

Isi Perjanjian Renville

Perjanjian Renville kemudian menyepakati gencatan senjata. Belanda juga mendapat tambahan wilayah kekuasaan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Berakhirnya Perundingan Linggarjati

Selain itu, kedaulatan Belanda atas Indonesia diakui sampai selesai terbentuknya Republik Indonesia Serikat.

Bagi Indonesia, Perjanjian Renville hanya memberikan janji referendum di wilayah kekuasaan Belanda di Jawa, Madura, dan Sumatera.

Rakyat di wilayah jajahan Belanda dijanjikan boleh memilih bergabung dengan RIS atau membentuk negara sendiri. Berikut isi Perjanjian Renville:

  1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
  2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.
  3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
  4. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
  5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
  6. Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerak kekuasaan Belanda (Jawa Barat dan Jawa Timur).
  7. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
  8. Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
  9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.

Baca juga: Biografi Soepomo, Perumus Pancasila dan UUD 1945

Dampak Perjanjian Renville yang merugikan

Perjanjian Renville membuat wilayah Indonesia semakin sedikit. Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Selain itu, wilayah Indonesia terkungkung wilayah yang dikuasai Belanda.

Belanda mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.

Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Republik: Angkatan 45 (1978) menilai bagi Indonesia, Perjanjian Renville jauh lebih buruk dan merugikan.

Mengapa perundingan Indonesia Belanda pasca agresi militer Belanda pertama dilakukan di USS Renville?
Global Security Peta Indonesia setelah Agresi Militer Belanda I dan Perjanjian Renville

Baca juga: Hari Bela Negara, Saat Bukittinggi Jadi Ibu Kota Pemerintahan Darurat RI

Efek yang paling dirasakan Indonesia adalah keharusan tentaranya pindah dari wilayah yang mereka kuasai sebelumnya.

Ribuan tentara dari Divisi Siliwangi di Jawa Barat berbondong-bondong pindah ke Jawa Tengah akibat Perjanjian Renville.

Divisi ini dijuluki Pasukan Hijrah oleh rakyat Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka. Peristiwa itu dikenal sebagai Long March Siliwangi.

Kondisi politik Indonesia juga bertambah kacau setelah Perjanjian Renville. Dikutip dari Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948) karangan Pramoedya Ananta Toer, rakyat kecewa terhadap perjanjian itu.

Baca juga: Telusuri Rute Gerilya Para Pahlawan, Siswa SMA “Long March” Yogyakarta-Bandung

Sebagai bentuk penolakan atas keputusan itu, sejumlah partai menarik dukungan dari pemerintah. Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948.

Selain itu, setelah Perjanjian Renville disepakati, Belanda langsung mendeklarasikan pemerintahan federal di Sumatera. Padahal sebagian Sumatera adalah wilayah Indonesia.

Pada akhirnya, Belanda yang sudah diuntungkan dengan Perjanjian Renville, malah mengingkari perjanjian ini.

Pada 18 Desember 1948 pukul 06.00, pesawat DC-3 Dakota milik Belanda menerjunkan pasukan dari udara menuju ibu kota Indonesia di Yogyakarta.

Serangan Belanda terhadap Ibu Kota Indonesia dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.