Jawaban
Contoh Pengaruh Islam di bidang sosial dan budaya:
Selagi menunggu, mereka berinteraksi dengan penduduk sekitar yang secara langsung maupun tidak langsung mereka juga menyebarkan agama dan kebudayaan islam. Lalu agama dan kebudayaan Islam dikembangkan ke daerah pedalaman oleh para ulama. Perkembangan di daerah pedalaman ini ditujukan kepada kelangan istanan yaitu raja, keluarga raja dan kaum bangsawan. Apabila raja dan kaum bangsawan telah masuk islam, maka rakyat sangat patuh dan taat terhadap perintah-perintah rajanya. Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia berasal dari Gujarat, India. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh dua orang sejarawan berkebangsaan Belanda, Snouck Hurgronje dan J.Pijnapel. Menurut mereka, Islam masuk ke Indonesia sejak awal abad ke 13 Masehi bersama dengan hubungan dagang yang terjalin antara masyarakat Nusantara dengan para pedagang Gujarat yang datang. Teori masuknya Islam di Indonesia yang dicetuskan Hurgronje dan Pijnapel ini didukung oleh beberapa bukti, di antaranya batu nisan Sultan Samudera Pasai Malik As-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Islam Gujarat, catatan Marcopolo, serta adanya warna tasawuf pada aliran Islam yang berkembang di Indonesia. Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat sebagai pencetus sekaligus pendukung teori Persia menyatakan bahwa Islam yang masuk di Indonesia pada abad ke 7 Masehi adalah Islam yang dibawa kaum Syiah, Persia. eori ini didukung adanya beberapa bukti pembenaran di antaranya kesamaan budaya Islam Persia dan Islam Nusantara (seperti adanya peringatan Asyura dan peringatan Tabut), kesamaan ajaran Sufi, penggunaan istilah persia untuk mengeja huruf Arab, kesamaan seni kaligrafi pada beberapa batu nisan, serta bukti maraknya aliran Islam Syiah khas Iran pada awal masuknya Islam di Indonesia. Teori Arab atau Teori Makkah menyatakan bahwa proses masuknya Islam di Indonesia berlangsung saat abad ke 7 Masehi. Islam dibawa para musafir Arab yang memiliki semangat untuk menyebarkan Islam ke seluruh belahan dunia. Tokoh yang mendukung teori ini adalah Van Leur, Anthony H. Johns, T.W Arnold, dan Buya Hamka. Teori masuknya Islam di Indonesia ini didukung beberapa 3 bukti utama. Pertama, pada abad ke 7 Masehi, di Pantai Timur Sumatera memang telah terdapat perkampungan Islam khas dinasti Ummayyah, Arab. Lalu, madzhab yang populer kala itu khususnya di Samudera Passai adalah madzhab Syafii yang juga populer di Arab dan Mesir. Dan yang ketiga, adanya penggunaan gelar Al Malik pada raja-raja Samudera Pasai yang hanya lazim ditemui pada budaya Islam di Mesir. Teori China yang dicetuskan oleh Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby baru baru ini menyebutkan bahwa, Islam masuk ke Indonesia karena dibawa perantau Muslim China yang datang ke Nusantara. Teori ini didasari pada beberapa bukti yaitu fakta adanya perpindahan orang-orang muslim China dari Canton ke Asia Tenggara, khususnya Palembang pada abad ke 879 M; adanya masjid tua beraksitektur China di Jawa; raja pertama Demak yang berasal dari keturunan China (Raden Patah); gelar raja-raja demak yang ditulis menggunakan istilah China; serta catatan China yang menyatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pertama kali diduduki oleh para pedagang China.
Sorogan merupakan metode pembelajaran yang diterapkan pesantren hingga kini, terutama di pesantren-pesantren salaf. Usia dari metode ini diperkirakan lebih tua dari pesantren itu sendiri. Karena metode ini telah dikenal semenjak pendidikan Islam dilangsungkan di langgar, saat anak-anak belajar Alquran kepada seorang ustaz atau kiai di kampung-kampung. Pada masa lalu, di langgar-langgar atau surau seorang kiai akan membacakan ayat Alquran terlebih dahulu, kemudian muridnya mengikuti dan menirukannya secara berulang kali. Namun, lama-kelamaan metode ini dipraktikkan di dalam pesantren, yang merupakan satu-satunya lembaga pendidikan Islam terbesar di Indonesia. Dengan menggunakan metode sorogan, setiap santri akan mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dengan ustaz atau kiai tertentu yang ahli dalam mengkaji kitab kuning, khususnya santri baru dan santri yang benar-benar ingin mendalami kitab klasik. Dengan metode ini, kiai tersebut dapat membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan santri secara langsung. Metode Ini sangat efektif untuk mendorong peningkatan kualitas santri tersebut. Dengan menggunakan metode sorogan, santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Hal ini tentunya menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri. Metode ini pernah diilustrasikan oleh Abu Bakar Aceh sebagaimana diukutip Ridwan Nasir dalam buku Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal: Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan. Dalam mengadakan pengajian sorogan, guru atau kiai biasanya duduk di atas sepotong sajadah atau sepotong kulit kambing atau biri-biri, dengan sebuah atau dua buah bantal dan beberapa jilid kitab di sampingnya yang diperlukan. Sementara, murid-muridnya duduk mengelilinginya. Ada yang bersimpul, ada yang bertopang dagu, bahkan ada yang bertelungkup setengah berbaring, sesuka-sukanya mendengar sambil melihat lembaran kitab yang dibacakan gurunya.
Menyesuaikan dengan adat ama masyarakat sekitar. Contohnya Sunan Kudus menyarankan masyarakat agar tidak memotong sapi pada idul adha untuk menghormati agama Hindu-Budha dan sebagai gantinya menggunakan kerbau.
Penulis buku Tradisi Pesantren Zamakhsyari Dhofier mengatakan, dalam menggunakan sistem ini, sekelompok murid yang terdiri antara 5 sampai 500 orang mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Metode ini oleh beberapa kalangan disebut juga wetonan, yang berasal dari kata wektu yang berarti waktu. Hal ini karena pengajian-pengajian tersebut hanya diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melakukan shalat fardhu di masjid atau mushala pesantren. Dalam mempraktikkan metode ini, seorang kiai akan membacakan kitab kuning dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibu, seperti ke bahasa Madura, Sunda, atau Jawa. Kemudian, santri menuliskan terjemahan kata demi kata seperti yang disampaikan oleh kiai tersebut. Sistem penerjemahan disampaikan sedemikian rupa sehingga para santri mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat dalam kitab kuning tersebut. Metode bandongan adalah metode transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren yang mengajarkan khusus pada kitab kuning. Kiai tersebut membacakan, menerjemah, dan menerangkannya. Sedangkan, santri atau murid mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai yang memberi pengajian tersebut. Bandongan merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar, menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandongan atau halaqah untuk mengajarkan kitab-kitab, mulai dari kitab dasar sampai kitab-kitab yang bermuatan tinggi.
Habib Husein dididik dengan ajaran-ajaran Islam oleh orang tuanya hingga berumur 18 tahun. Setelah itu ia tidak hanya belajar Islam, namun juga belajar ilmu pengetahuan umum. Ia pernah mengembara ke negeri Kulaindi dan tinggal di sana selama empat tahun. Di salah satu kota besar di Yaman Selatan ini, ia belajar tentang ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum kepada Sayyed Muhammad Hamid. Akhirnya ia menguasai disiplin ilmu pengetahuan agama dan umum serta memiliki wawasan luar negeri yang mendalam. Bahkan, ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai barat Afrika. Di Kalkuta ini ia juga sempat belajar banyak hal. Dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang amat memadai ini, Habib Husein terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur, yang banyak terdapat kerajaan-kerajaan Islam. Motivasinya tidak hanya untuk berdagang, namun juga untuk menyebarkan ajaran Islam. Ia termasuk dalam kelompok “empat sahabat” yang pergi ke wilayah Timur (Indonesia). Tiga ulama lain yang turut beserta dengan dirinya adalah: Saiyid Abu Bakar al-‘Aidrus (dengan gelar Tuan Besar Aceh) yang menetap dan wafat di Aceh, Saiyid Umar as-Sagaf (Tuan Besar Siak) yang menetap, mengajar, dan wafat di Siak, Saiyid Muhammad bin Ahmad al-Qudsi (Datuk Marang), yang menetap dan mengajar di Terengganu. Habib Husein kemudian melanjutkan pengembaraan ke Aceh. Ia menetap di sana selama satu tahun dengan tujuan menyebarkan Islam dan mengajarkan kitab. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke Siak, Betawi (tinggal selama tujuh bulan), dan Semarang (menetap selama dua tahun). Ketika menetap di Semarang, ia berteman baik dengan Syeikh Salim bin Hambal. Keduanya kemudian pergi berlayar ke negeri Matan. Sesampainya di sana mereka kemudian menemui Saiyid Hasyim al-Yahya dengan gelar Tuan Janggut Merah, seorang ulama yang hebat, gagah, dan berani. Setelah menetap beberapa hari di Matan, Habib Husein dan Syekh Salim kemudian dijamu oleh Sultan Matan. Pada saat jamuan makan dengan sultan digelar, ada suatu kisah menarik yang mencerminkan kecerdikan ilmu Habib Husein ketika menyikapi kejadian yang berkenaan dengan tempat sirih adat istiadat kesultanan yang dikeluarkan di hadapan sultan dan para punggawa kesultanan. Saiyid Hasyim al-Yahya melihat suatu benda besi buatan Bali dengan ukiran kepala ular yang ada di dalam tempat siri tersebut. Di hadapan Sultan Matan dan para pembesar kesultanan, Sayid Hasyim mematah-matah dan menumbuk-numbuk benda tersebut dengan tongkatnya. Kontan saja, Sultan marah terhadap sikap Saiyid Hasyim. Habib Husein mengambil benda yang telah tercerai-berai tersebut, yang kemudian diusap-usap dengan air liurnya. Atas izin Allah SWT, benda tersebut tiba-tiba kembali utuh seperti sedia kala. Sultan Matan mengagumi kesaktian yang dimiliki Habib Husein. Beberapa hari setelah acara jamuan makan tersebut, Sultan Matan menunjuk Habib Husein sebagai guru di negeri Matan. Di samping itu, Sultan Matan juga mencarikan istri untuk Habib Husein, yaitu Utin Candramidi (Nyai Tua). Perkawinan mereka dikaruniai empat putra-putri, yaitu: Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi Alkadrie. Syarief Abdurrahman Alkadrie dikenal sebagai tokoh yang pernah mendirikan Kesultanan Kadriah (Pontianak) di Kalimantan Barat. Setelah menetap di Matan selama dua hingga tiga tahun, Habib Husein didatangi seseorang yang merupakan utusan Raja Mempawah (Upu Daeng Menambon dengan gelar Pangeran Tua) dengan membawa sepucuk surat dan dua buah perahu. Surat yang dibawa isinya tiada lain adalah bujukan raja terhadap Habib Husein agar ia bersedia pindah ke Mempawai. Habib Husein tidak langsung menerima tawaran tersebut karena dirinya masih betah tinggal di Matan. Utusan raja tersebut kemudian kembali ke Mempawai dengan tangan kosong. Kesediaan Habib Husein untuk menetap di Mempawah terwujud setelah dirinya merasa adanya ketidakcocokan dengan sikap dan pendirian Sultan Matan. Habib Husein pindah ke Mempawah pada 8 Muharam 1160 H/20 Januari 1747 M, dan menetap di Kampung Galah Hirang. Kedatangannya di tempat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat di Mempawah. Banyak orang dari pelbagai penjuru yang datang ke Mempawah. Ada pengunjung yang tujuannya untuk berniaga, namun tidak sedikit dari mereka yang menyempatkan diri untuk berguru kepada Habib Husein. Ia merupakan mufti pertama di Mempawah. Ketika mengajar, yang diutamakan olehnya adalah pelajaran lughah ‘Arabiyah (bahasa Arab). Dalam tempo yang singkat, Kampung Galah Hirang berkembang sangat pesat, bahkan lebih ramai dari pusat Kesultanan Mempawah sendiri. Setelah Upu Daeng Menambon (Sultan Mempawah) wafat, puteranya yang bernama Gusti Jamiril kemudian menjadi anak angkat Husein Al-Qadri. Gusti Jamiril diasuh oleh Habib Husein di Kampung Galah Hirang. Pada tahun 1166 H/1752 M, Gusti Jamiril dinobatkan sebagai Sultan Mempawah menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Adiwijaya Kesuma. Kebesaran nama Habib Husein (Tuan Besar Mempawah) tersebar luas hingga ke Asia Tenggara. Ia merupakan penganut madzhab Syafii. Ia juga suka dengan ilmu tasawuf. Amalan tasawuf yang sering dilakukannya adalah Ratib al-Haddad dan Tarekat Qadiriyah. Ketika menjadi mufti Mempawah, yang diajarkannya kepada masyarakat umum lebih berupa amalan dan bercorak memberi keterangan (syarah). Habib Husein wafat pada pukul 02.00 petang, tepatnya pada tahun 1184 H/ 1771 M, di Sebukit Rama Mempawah, dalam usia 64 tahun. Ia pernah berwasiat bahwa yang layak menggantikan dirinya sebagai mufti Mempawah adalah Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani, ulama asal Patani, Thailand Selatan. Untuk melaksanakan wasiat tersebut, pihak pemerintah Kesultanan Mempawah kemudian melantik Syeikh al-Fathani sebagai mufti di kesultanan ini dengan gelar Maharaja Imam Mempawah.
– sebagai penasihat dan panglima perang raja (sunan kudus) – mengembangkan wilayah dan mendirikan kerajaan serta menjadi pendukung perkembangan kerajaan islam di pulau jawa (contoh : sunan gunung jati menjadi sultan di kesultanan cirebon). |