Mengapa para ulama mendakwahkan ajaran Islam dengan lemah lembut dan cinta damai

Oleh Fathoni Ahmad

Posisi dakwah dalam peyiaran ajaran Islam sangat sentral dan strategis. Berdakwah berarti mengkomunikasikan ajaran Islam kepada masyarakat, dimana dai menyampaikan pesan ajaran Islammelalui lambang-lambang kepada mad’u, dan mad’u menerimapesan yang disampaikan, mengolahnya dan kemudian meresponnya.

Dalam proses ini, terjadi pengoperan pesan dari dai kepada mad’u, lalu mad’u menginterpretasikan pesan tersebut. Dari proses tersebut, diharapkan dapat memberikan dampak terhadap perubahankepercayaan, sikap dan tingkah laku mad’u ke arah yang lebih baik, lebih Islami.

Islam mengajarkan umatnya agar bersikap lemah lembut dalam berdakwah atau mengajak kebaikan. Rasulullah SAW dikenal dengan kelemahlembutannya dalam mengemban risalah Islam. Karena sikap lemah lembut beliau itu pula Islam memiliki daya tarik sangat kuat. 

Kelemahlembutan Rasul merupakan bagian dari rahmat Allah yang tak terbatas. Kelemahlembutan adalah sifat yang ditanamkan Tuhan kedalam jiwanya terkait dengan fungsinya sebagai dai. Sifat ini hendaknya mewarnai kehidupan para dai sebagai pelanjut risalah dakwah.

Bersikap lemah lembut juga merupakan bagian dari kasih sayang. Salah satu faktor penunjang keberhasilan sebuah dakwah adalah sang dai memiliki sifat lemah lembut, serta tidak menunjukkan watak yang keras lagi kasar. Sifat inilah yang senantiasa dipraktikkan oleh Rasulullah yang seandainya beliau bersikap kasar dalam berdakwah, tentulah umat manusia yang beliau dakwahi justru akan menjauhkan diri dari beliau.

Kalau kita melihat sejarah dakwah Rasulullah, beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar, apalagi kekerasan dalam menyeru manusia untuk hidup di jalan Allah. Beliau menggunakan tutur kata yang santun dan perilaku yang ramah sebagai metode dakwah. Dengan metode tersebut, dakwah Rasulullah meraih sukses. Dalam waktu relatif singkat, beliau bisa mengislamkan jazirah Arabia. Sikap inilah yang harus dicontoh oleh umat Islam saat ini.

Pujian yang tinggi dari Allah SWT terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada umatnya, yang telah dituntun dan didiknya iman mereka lebih sempurna. Dalam ayat ini Allah menegaskan sebagai pujian kepada Rasulullah bahwa sikap yang lemah lembut ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah sifat Rahmah-Nya. Rasa rahmah, belas kasihan, cinta kasih sayang itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehinggarahmah itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin.

Dakwah berangkat dari niat baik, untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi tentang bahasa Arab dasar bahwa dakwah artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya ramah bukan marah, merangkul bukan memukul.

Bersikap lemah lembut dalam dakwah bukan berarti tidak punya pendirian, apalagi bersikap toleran terhadap keburukan. Lemah lembut hanya suatu cara untuk menyampaikan kebenaran dan mendidik orang lain agar tunduk kepada kebenaran.

Maka seorang dai harus memilih cara-cara yang baik dan bermanfaat, dan harus menjauhi sikap keras dan kasar. Karena sikap keras dan kasar itu, kadang-kadang mengakibatkan kepada tertolaknya kebenaran, dan mengakibatkan kepada perselisihan yang keras serta perpecahan di antara sesama manusia. 

Tujuan dakwah yaitu menjelaskan kebenaran dan bertujuan supaya dia menerimanya dan mendapatkan faedah dari dakwah itu. Bukan tujuan dakwah yang hanya berniat menampakkan (memamerkan) keilmuan. Tujuan dari dakwah adalah menyampaikan seruan Allah dan supaya orang-orang mendapatkan manfaat dari ucapan orang yang berdakwah.

Tuntunan dakwah secara ramah juga dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa: “Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS An-Nahl  [16]: 125)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tiga metode atau cara yang dapat dilakukan para pendakwah dengan kesadaran bahwa dakwah tidak hanya disampaikan kepada umat Islam saja, tetapi juga kepada umat manusia mengingat Islam yang mempunyai prinsip Rahmatan lil ‘Alamin.

Pertama, dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Kedua, dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).

Ketiga, dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar.

Dakwah ramah yang dilakukan oleh para dai juga wujud dari pengamalan ayat Al-Qur’an dalam QS Ali ‘Imran ayat 110 yang menjelaskan, kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnas... (kamu adalah umat terbaik yang diciptakan untuk manusia...). Di sini pentingnya menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik dan benar menurut tuntunan Nabi Muhammad.

Seorang pakar dalam bidang ilmu tasawuf KH M. Luqman Hakim (2018) mengatakan, pendakwah yang baik juga merupakan manifestasi manusia-manusia Rahmat. Bagi yang mewarisi kepribadian Rahmat, ia akan melimpahkan Rahmat itu pada sesama hingga di akhirat. Bila misi Rasululllah adalah Rahmat, maka jejak Rahmat harus menjadi pijakan umatnya. Sebab Rahmatan lil 'Alamin adalah karakter Risalah yang maujud dalam kepribadian Sang Rasululllah SAW yang mempresentasikan Rahmat Allah SWT.

Dakwah dengan penyampaian yang sejuk, lemah lembut, dan ramah terhadap realitas sosial yang ada merupakan Rahmat yang nyata ajaran Rasulullah yang berpijak pada wahyu Tuhannya. Di titik ini, para pendakwah tidak hanya dituntut mempelajari sumber-sumber ajaran Ialam, tetapi juga harus memahaminya secara komprehensif melalui berbagai disiplin ilmu yang diintegrasikan dengan karakter dan kondisi sosial masyarakat. Wallahu’alam bisshowab.

Penulis adalah Pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta

Oleh Zen Umar Sumaith
Ketua Umum Rabithah Alawiyah

Cukup memprihatinkan apa yang terjadi akhir-akhir ini, dimana polarisasi terjadi di kalangan umat Islam, kalimat-kalimat kasar seperti caci maki menghiasi media sosial, menutup mata hati sehingga fanatisme golongan muncul ke permukaan.

Siapapun yang tidak sesuai dengan pendapatnya adalah lawan yang harus dicela saling curiga merebak dalam kehidupan umat seagama dan sebangsa. Praduga jelek menjadi sifat yang muncul saat melihat langkah atau mendengar pendapat yang tidak sepaham dengan dirinya.

Di sini terlihat hubungan sesama Muslim terpecah karena timbulnya saling curiga dan polarisasi, menjadikan kesatuan umat lemah. Pesan untuk saling menngingatkan dan saling mengasihi, hilang di tengah gelombang emosi dan kemarahan.

Baca juga Penyebar Berita Palsu vs Wadah Perdamaian

Nasihat yang seharusnya membimbing umat sirna tergantikan dengan tuduhan-tuduhan yang bersumber pada penilaian mereka sendiri. Masyarakat awam menjadi sasaran mereka yang memiliki agenda sendiri atau pemikiran di luar konsep dakwah yang benar.

Antara nurani dan nafsu

Hati nurani manusia akan selalu menarik seseorang melakukan hal baik. Sering terjadi dalam diri seseorang tarik-menarik antara hati nurani dengan nafsu. Allah menciptakan dua hal yang berlawanan ini sebagai bagian dari kelengkapan sifat bersyariah manusia.

Allah SWT juga menciptakan akal agar manusia mampu berpikir dan memilah mana yang baik dan buruk. Nurani dan akal harus dapat mengendalikan nafsu sehingga semuanya berjalan sesuai dengan kodratnya.

Baca juga Pahlawan, Maafkanlah Kami

Sementara itu, lingkungan keluarga, pendidikan dan dan lingkungan pergaulan akan membentuk karakter seseorang. Namun, jika nafsu yang dominan, akal dan hati nurani akan tumpul. Ketiga unsur tadi akan menjadi lebih indah jika dilengkapi akhlak dan adab.

Salah satu tujuan diutusnya Rasulullah SAW kepada umat manusia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak dan tata krama yang baik adalah perhiasan bagi seseorang  ketika ia berinteraksi dengan sesamanya.

Keprihatinan masyarakat saat ini terjadi karena mereka melihat tokoh ulama atau da’i yang seharusnya memberikan contoh yang baik, tetapi justru menunjukkan tindakan atau ceramah yang jauh dari tuntunan Rasulullah.

Baca juga Hari Santri dan Spirit Keindonesiaan

Subtansi agama telah dibelokkan untuk kepentingan politik, atau kepentingan golongan, sehingga timbul pertentangan yang memecah belah umat. Materi dakwah dibawakan dengan nada candaan bahkan figur Rasulullah diilustrasikan tanpa hormat.

Dakwah perlu dimulai dari hati karena apa yang datang dari hati akan sampai ke hati. Jika dakwah sampai ke hati, hati itu akan terbuka untuk menerima nasehat dan petunjuk.

Masing-masing menganggap golongannya adalah yang paling benar sehingga tercipta polarisasi. Tidak ada lagi saling menghormati kepada orang tua atau kepada sesame tokoh agama. Itu sirna bersama hilangnya nilai keindahan di dalam ajaran Islam.

Keutamaan berdakwah

Alquran dan Sunah menyebutkan keutamaan orang berdakwah ke jalan Allah, dengan sebaik-baik perkataan. Ada banyak keutamaan lainnya bagi mereka yang berdakwah, tentunya jika dilakukan karena Allah dan mengikuti contoh Rasulullah.

Karena itu, kita perlu memahami karakter yang semestinya dimiliki da’i. Untuk  menjadi da’i sejati, tidak cukup hanya dengan menguasai beberapa ayat Alquran dan hafal beberapa hadits, serta kemampuan berceramah.

Dibutuhkan kearifan dalam menyampaikan pesan dakwah dan memahami subtansi materi yang akan disampaikan kepada jamaah. Sebab, perilaku dan keteladanan seorang mungkin memiliki nilai dakwah jauh lebih tinggi dan lebih berarti bagi pengikutnya.

Baca juga Tekad Mewujudkan Santri Sebagai Pelopor Perdamaian Dunia

Ada sejumlah hal yang perlu dipahami dan diamalkan da’i. Pertama, niat karena Allah dan terhindar dari penyakit cinta dunia. Sebab, ikhlas ini syarat diterimanya amal. Jangan sampai da’i dihinggapi penyakit riya serta motif-motif duniawi dalam aktivitas dakwahnya.

Kedua, menyebarkan cinta dan menginginkan kebaikan bagi manusia. Sifat ini kita kita jumpai pada diri Rasulullah. Ketiga, mulai mengerjakan kebaikan, dari diri sendiri dan memberi teladan. Para da’i perlu mengerjakan terlebih dahulu apa yang menjadi seruan dakwahnya.

Jika tidak demikian, itu kelalaian. “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu mengerti?” (QS Al-baqarah: 44).

Keempat, sabar dalam berdakwah. Dakwah tidak mungkin berhasil tanpa kesabaran, karena jalan ke akhirat itu berat dan kebanyakan manusia cenderung tidak menyukai bahkan cenderung tidak menyukai bahkan cenderung memusuhi apa yang menjadi seruan dakwah itu.

Baca juga Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kelima, lemah lembut. Dakwah perlu dimulai dari hati karena apa yang datang dari hati akan sampai kepada hati. Jika dakwah sampai kepada hati, hati itu akan terbuka untuk menerima nasihat dan petunjuk. Adapun esensi dari dakwah hati ini adalah kelemahlembutan.

Begitu pentingnya kelembutan dalam berdakwah sehingga dalam menghadapi Fir’aun yang mengaku tuhan pun Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkata-kata lembut kepadanya.

Keenam, memahami metode dakwah serta orang-orang yang didakwahi. Kadang seorang cukup diingatkan dengan isyarat atau contoh baik, tetapi mungkin ada juga yang perlu diskusi dan berargumentasi dengan cara-cara yang baik.

Hendaklah para tokoh, lebih-lebih jika da’i, saat berbicara hendaklah meniru Rasulullah dan ulama saleh terdahulu. Mereka menyebarkan kasih sayang serta saling pengertian didasari akhlak dan adab, terhindar dari saling caci dan menyebarkan kebencian.

*Artikel ini telah dimuat di harian Republika, edisi Jumat, 6 Desember 2019

Baca juga Indonesia di Ujung Jari Kita