Mengapa nabi memilih thaif sebagai tujuan hijrah

Penduduk Thaif mengusir dan melukai Nabi Muhammad.

Pixabay

Nabi Muhammad SAW Hijrah ke Thaif

Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yunahar Ilyas

Baca Juga

Setelah kematian Abu Thalib dan Khadijah tekanan kepada Nabi dari kaum kafir Quraisy semakin keras. Menurut Ibn Ishaq, sebagaimana dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiq al-Makhtum (hal. 148) orang-orang Quraisy lebih bersemangat menyakiti Nabi setelah Abu Thalib tiada.

Bahkan ada yang berani menghadang lalu menaburkan debu di atas kepala beliau sehingga Nabi pulang ke rumah dengan kepala penuh debu. Seorang puteri beliau membersihkan debu itu dengan bercucuran air mata.

Rasulullah menghiburnya, “Tak perlu menangis puteriku, karena Allah akan melindungi ayahmu.” Karena memerlukan pendamping setelah kematian Khadijah, pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian ini juga Nabi menikah dengan Saudah binti Zam’ah.

Perempuan ini termasuk golongan terdahulu masuk Islam. Saudah ikut rombongan kedua hijrah ke Habsyah bersama suaminya Sakran ibn Amar.

Suami pertamanya ini meninggal dunia di Habsyah. Setelah masa ‘iddah Saudah habis Nabi meminang dan menikahinya. Dialah perempuan pertama yang dinikahi Nabi setelah Khadijah meninggal dunia.

Hijrah ke Thaif

Karena tekanan di Makkah semakin kuat, maka pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian itu juga Nabi Muhammad SAW, ditemani oleh Zaid ibn Haritsah, putera angkat beliau pergi ke Thaif, daerah pegunungan berjarak  60 mil dari Makkah. Nabi punya kenangan manis masa balita di Thaif di bawah asuhan ibu susuan beliau Halimah as-Sa’diyah.

Nabi berharap bisa lebih aman dan tenang tinggal di Thaif dan dapat menyampaikan risalah Islam dengan leluasa. Sesampai di Thaif, beliau menemui Abd al-Yalail, Mas’ud dan Hubaib, ketiganya putera Amr ibn Umar ats-Tsaqafi.

Nabi menyeru mereka untuk masuk Islam. Tapi ketiga-ketiganya menolak sambil melecehkan Nabi. Seorang di antara mereka berkata: “Kain penutup Ka’bah terkoyak jika Allah benar-benar mengutusmu.” Yang lain mengatakan, “Tidakkah Allah menemukan orang selain dirimu?”

Sedangkan yang ketiga berkata, “Sungguh, aku tidak sudi bicara denganmu sama sekali. Jika engkau benar-benar seorang rasul, engkau terlalu mulia bagiku sehingga aku tidak berani menyanggah perkataanmu. Sedangkan jika engkau berdusta dengan nama Allah, tidaklah pantas aku bicara denganmu.” Rasulullah pergi meninggalkan mereka sambil bersabda, “Terserah kalian, tetapi simpanlah apa yang kalian dengan dari aku.” (ar-Rahiq al-Makhtum: 159)

Nabi berada di Thaif selama 10 hari dan secara intensif mendatangi para pemuka masyarakat Thaif satu persatu, tapi tidak seorangpun yang mau menerima seruan Nabi. Semuanya bersikap yang sama,  mengusir Nabi dari Thaif.

Akhirnya Nabi dan Zaid pergi meningalkan Thaif dengan kecewa. Apalagi menjelang keluar meninggalkan Thaif mereka berdua dibuntuti oleh orang-orang jahat dan budak-budak yang meneriaki dan mencaci maki  Nabi.

Mereka mengerumuni Nabi dan membentuk dua barisan dan mulai melempari beliau dengan batu sambil terus mencerca. Satu lemparan menggenai tumit beliau sehingga terompah beliau berlumuran darah. Sementara itu Zaid ibn Haritsah berusaha membentengi Nabi sampai kepalanya bacor kena lemparan batu.

Orang-orang jahat itu terus melempari Nabi sampai beliau berhasil masuk ke dalam kebun kurma milik Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah. Lokasi kebun itu dari kota Thaif berjarak 3 mil.

Di kebun itulah Nabi bersembunyi menyelamatkan diri sampai yang melempari beliau berlalu. Nabi kemudian duduk bersandar ke sebatang pohon anggur. Setelah tenang Nabipun bermunajat dengan Allah:

اللهم إليك أشكو ضَعْف قُوَّتِى، وقلة حيلتى، وهوإني على الناس، يا أرحم الراحمين، أنت رب المستضعفين، وأنت ربي، إلى من تَكِلُنى ؟ إلى بعيد يَتَجَهَّمُنِى ؟ أم إلى عدو ملكته أمري ؟ إن لم يكن بك عليّ غضب فلا أبالي، ولكن عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة من أن تنزل بي غضبك، أو يحل علي سَخَطُك، لك العُتْبَى حتى ترضى، ولا حول ولا قوة إلا بك

“Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah akan Kauserahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam  kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab amat luas afiat-Mu bagiku. Aku berlindung dengan cahaya Dzat-Mu yang menyinari kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari amarah yang akan Kauturunkan atau murka yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sampai Engkau ridha. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan-Mu."

Dalam munajat itu Nabi Muhammad SAW menyatakan tidak peduli dengan segala penderitaan yang dialaminya asalkan bukan karena Allah SWT murka kepada beliau. Yang paling dikhawatirkan oleh Nabi adalah apabila semua penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh Nabi di Thaif ini adalah karena Allah sudah murka kepada beliau.

Munajat ini kemudian dikenal dengan du’a Rabbil Mustadh’afin (doa kepada Tuhan Pelindung orang-orang yang tertindas). Pemilik kebun kemudian merasa kasihan melihat Muhammad dan Zaid, lalu menyuruh pembantunya yang bernama Addas untuk menyuguhkan segenggam anggur untuk Muhammad.

Nabi mengambilnya seraya membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian memakannya. Addas yang ternyata seorang Nasrani heran dan menyatakan keherannya kepada beliau, “Sungguh pernyataan macam itu tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini.”

Menanggapi ucapan Addas Nabi bertanya,  ”Berasal darimanakah engkau dan apa agamamu?” Addas menjawab, “Aku seorang Nasrani berasal dari Ninawi.” “Dari negeri seorang hamba yang saleh, Yunus ibn Matta,“ kata Nabi. 

Addas makin heran, “Apa yang Tuan ketahui tentang Yunus ibn Matta?” “Dia seorang Nabi dan aku juga seorang Nabi.” jawab Nabi. Addas langsung bersimpuh di hadapan Rasulullah lalu mencium kepala, tangan dan kaki beliau.

Kedua putera Rabi’ah yang menyaksikan kejadian itu berkata satu sama lain, “Pembantumu itu betul-betul telah dirusak olehnya.  Saat Addas kembali, keduanya langsung menanyainya, “Apa yang engkau lakukan tadi?”

Addas menjawab: ”Tuanku, di muka bumi ini tidak ada yang lebih baik daripada orang ini. Sungguh dia telah mengajariku sesuatu yang tidak mungkin diketahui kecuali oleh seorang nabi”.  “Celakalah engkau Addas. Jangan sampai dia memalingkanmu dari agamamu, sebab agamamu lebih daripada agamanya.”

Setelah cukup istirahat di kebun putra Ra’biah, Nabi kembali ke Makkah. Beliau meninggalkan Thaif dengan hati luka.

Sesampainya di Qarnul Manazil, Allah mengutus Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Jibril memberitahu Nabi bahwa atas izin Allah beliau dapat memerintahkan kepada malaikat penjaga gunung itu untuk menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif yang telah menghina beliau.

Tapi Nabi menolaknya dan menyatakan, “Tapi aku masih berharap dari anak keturunan mereka akan muncul orang-orang yang menyembah Allah saja, yang tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun”. (ar-Rahiq al-Makhtum: 160-161) Dengan datangnya Jibril dan malaikat penjaga gunung itu menawarkan bantuan Nabi menjadi lebih tenang dan tenteram karena adanya pertolongan ghaib yang dikirim oleh Allah SWT.

Sumber: Majalah SM Edisi 06 Tahun 2019

https://suaramuhammadiyah.id/2021/03/19/nabi-muhammad-saw-19-hijrah-ke-thaif/

  • nabi muhammad
  • hijrah ke thaif
  • hijrah nabi muhammad
  • dakwah nabi muhammad

sumber : Suara Muhammadiyah

Mengapa nabi memilih thaif sebagai tujuan hijrah

Thaif. Wilayah yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Tanah Suci Makkah itu merupakan salah satu tempat yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam. Pada tahun kesepuluh kenabian dikenal dengan tahun duka bagi Nabi Muhammad Saw. sebab dua orang yang sangat dicintainya telah meninggal dunia, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Kedua orang ini adalah pembela dan pelindung yang sangat tabah, kuat, dan disegani masyarakat Mekkah. Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi Muhammad Saw. Sepeninggal Abu Thalib dan Siti Khadijah, puncak dari sikap permusuhan kaum Quraisy semakin keras. Dalam kondisi ini timbul keinginan dari Nabi Muhammad Saw. untuk berlindung ke Thaif negeri yang terkenal berhawa sejuk dan keramahan penduduknya terhadap tamu yang datang. Dengan harapan masyarakat Thaif berkenan mendengar dakwah Islam. Perjalanan ke Thaif ini sebenarnya tidaklah mudah, mengingat sulitnya medan yang dilalui disebabkan gunung-gunung yang tinggi yang mengelilinginya. Akhirnya, Beliau sampai di Thaif bersama Zaid bin Tsabit. Akan tetapi, setiap kesulitan itu menjadi mudah bila berada di jalan Allah Swt. Selama sepuluh hari tinggal di Thaif Nabi Saw menyampaikan seruan tauhid meskipun ada yang mau menerima dakwah Islam, akan tetapi penduduk Thaif justru banyak yang menolak beliau dengan penolakan yang lebih buruk. Mereka menyuruh anak-anak kecil untuk melempari beliau dengan batu, sehingga kedua tumit beliau berdarah. Akhirnya, beliau kembali melalui jalan semula menuju Mekkah dalam keadaan sedih dan susah. Peristiwa penolakan Bani Tsaqif saat hijrah ke Thaif itu merupakan salah satu kejadian yang dianggap sebagai salah satu kejadian paling menyulitkan bagi Rasulullah Saw. Hal itu pernah diungkapkan Rasulullah Saw ketika Aisyah bertanya kepada Nabi Saw.

“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?”

Beliau Saw menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’alib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’(dua gunung yang mengelilingi Mekkah).”


Lalu Rasulullah Saw menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. (HR Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)


Di antara beberapa debat yang dilancarkan kaum musyrikin terhadap Rasulullah Saw adalah mereka menuntut beberapa mukjizat tertentu darinya dengan tujuan menundukkan beliau, dan hal ini terjadi berulang kali. Pernah suatu kali, mereka meminta agar beliau dapat membelah bulan menjadi dua, lalu beliau memohon kepada Allah Swt, untuk kemudian memperlihatkan kepada mereka. Kaum Quraisy menyaksikan mukjizat ini untuk waktu yang lama, tapi mereka tetap saja tidak beriman. Bahkan, mereka mengatakan: “Muhammad telah bermain sihir di hadapan kami”. Lalu seseorang berkata:

“Kalaupun toh Muhammad mampu menyihir kalian, namun ia tidak akan mampu menyihir semua orang. Oleh karena itu, mari kita tunggu orang-orang yang sedang bepergian”.

Tidak lama kemudian, orang-orang yang sedang bepergian itu datang dan kaum Quraisy menanyai mereka. Lalu mereka pun menjawab: “Benar kami telah melihatnya”. 

Namun demikian kaum Quraisy tetap saja pada kekafiran mereka. Peristiwa terbelahnya bulan ini, seakan-akan sebagai pembuka bagi sesuatu yang lebih besar darinya, yaitu peristiwa Isra’ Mi’raj.



Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang hijrah ke Thaif dan sebab hijrahnya Nabi Muhammad Saw ke Thaif. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.

Mengapa nabi memilih thaif sebagai tujuan hijrah