Mengapa manusia yang berperilaku istiqomah memiliki kedudukan mulia disisi allah subhanahu wa taala

Orang Muslim yang gemar berzikir akan mendapatkan banyak manfaat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isi pikiran dan perasaan seseorang dapat tercermin dari perilaku dan ucapannya. Karena itu, orang yang beriman akan selalu berupaya menjaga baik-baik keduanya. Bagaimanapun, penilaian yang sejati hanya datang dari sisi Allah SWT, bukan lisan dan penghakiman manusia awam.

Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya memperhatikan bagaimana kedudukan Allah dalam hatinya. Sesungguhnya, Allah menempatkan (mendudukan) hamba-Nya, sebagaimana hamba itu mendudukkan Allah dalam jiwanya (hatinya)."

Dalam sebuah hadis riwayat Abdullah bin Bisr, Nabi SAW berpesan kepada seseorang yang bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, tuntunan dan syariat Islam telah banyak diturunkan dan saya merasa berat. Karena itu, kabarkanlah kepada saya suatu amalan yang ringkas, tetapi dapat mencukupkan amal ibadahku."

Rasulullah SAW pun menjawab, "Hendaknya engkau selalu berzikir kepada Allah."

Hal itu tidak berarti meninggalkan amalan-amalan yang wajib serta membuat diri tak terdorong untuk kerjakan amalan sunnah. Sebab, pelaksanaan ibadah merupakan wujud bukti rasa takut dan harap seorang hamba kepada Rabbnya.

Sebagai contoh, Allah SWT memberi pahala berkali-kali lipat bagi mereka yang shalat berjamaah, alih-alih shalat sendirian. Artinya, amalan itulah yang lebih disukai-Nya. Tatkala azan berkumandang, apakah hati dan pikiran seorang Muslim otomatis terpaut mengingat Allah SWT? Bila jawabannya "iya", maka dia akan bergegas menuju masjid, bukan hanya shalat sendirian. Sebab, berjamaah merupakan hal yang lebih disenangi Sang Pencipta.

Orang yang selalu mengingat Allah juga berhati-hati supaya terhindar dari perbuatan maksiat. Kalaupun melakukan hal itu, dia segera terpanggil untuk bertobat dan memohon ampunan kepada-Nya.

Sebaliknya, orang yang jauh dari mengingat Allah akan mudah lalai. Dia menganggap ringan perbuatan dosanya, sehingga alih-alih menyesal, justru pada waktu berikutnya dilakukannya lagi. Taraf paling parah dari orang yang melupa-lupakan Rabb adalah istidraj. Hal itu ditandai dengan melimpahnya kenikmatan, tetapi membuat si pelaku jauh dari rahmat Ilahi.

Medium istidraj bisa macam-macam. Sebut saja, harta, pangkat, jabatan, popularitas, atau tubuh dan wajah yang rupawan. Namun, segala yang tersebut itu pada hakikatnya bersifat fana. Semua akan kembali kepada Sang Pencipta. Hanya amal dan perbuatan yang menjadi bekal di Hari Akhir.

Simak Alquran surah al-Baqarah ayat 152. Terjemahannya, "Ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu." Semoga kita termasuk yang mendapatkan naungan-Nya pada Hari Kiamat, amin.

sumber : Pusat Data Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Tulisan sebelumnya

Oleh: Ali Akbar bin Agil

Kiat dalam Istiqamah

TELAH banyak pemuka agama yang memberikan uraian mengenai kiat atau tips jitu dalam membentuk pribadi yang berkarakter, beristiqamah. Seorang di antaranya Drs. Ahmad Yani, ia menulis cara agar kita bisa istiqamah dalam bukunya Be Excellent : Menjadi Pribadi Terpuji. Ada kunci istiqamah : kemauan yang kuat, pembinaan yang intensif, keteladanan yang meyakinkan, dan kerja sama yang solid.

Pertama, kemauan yang kuat. Harus ada niat tulus dan kemauan keras untuk ‘memaksa’ diri kita agar tetap lurus, berpendirian kokoh, tidak mudah goyah dan goyang. Kemauan itu harus lahir dari diri kita sendiri. Kemauan yang kuat berawal dari membiasakan melakukan kebaikan, meski ringan dan sedikit.

Kedua, pembinaan yang intensif. Setelah ada pembiasaan dan ‘pemaksaan’ dari dalam diri kita, berikutnya adalah memelihara pembiasaan amal-amal yang meski kecil dan ringan dengan merawatnya. Caranya dengan lewat jalur ilmu yang bersumber dari tempat-tempat yang menanamkan pendidikan, mengenalkan Allah dan Rasul-Nya, secara berkesinambungan.

Ketiga, keteladanan yang meyakinkan. Ini berarti, para tokoh agama dan masyarakat dituntut untuk menjadi contoh bagi umat. Umat butuh guru yang bisa ditiru. Usaha umat untuk istiqamah sangat membutuhkan teladan dari para ulama sebagai pewaris nabi. Selain itu, kunci istiqamah ketiga ini bisa pula berarti, bahwa seseorang yang ingin beristiqamah hendaknya selalu merapat kepada para ulama.

Keempat, kerja sama yang solid. Istiqamah butuh dukungan semua pihak, semua komponen umat, persaudaraan yang tulus, yang saling mendukung, membantu, member motivasi. Kesalahan dalam berbuat sesuatu bukan berarti akhir segalanya. Masih ada hari esok untuk memperbaiki keadaan. Maka dengan soliditas yang kuat, satu sama lain akan saling mengingatkan kealpaan. Dengan begitu, istiqamah dalam berbuat akan terus terbiasakan dalam hidup sehari-hari.

Buah Istiqamah

Salah satu manfaat dan buah dari sikap istiqamah, dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Matn Al-Arba`iin Al-Nawawiyyah, berdasarkan surah Fusshilat ayat 30. Kata beliau, bahwa makna bunyi ayat “Inna al-ladziina qaaluu rabbunal-Lah tsummas-Taqaamuu, Tatanazzalu `alaihimul-Malaaikah,” adalah Allah akan menurunkan para malaikat-Nya guna membawa kabar gembira kepada orang-orang yang istiqamah.

Apa pesan tersebut? Kata Imam Nawawi, pesan itu adalah kelanjutan dari ayat di atas. Yaitu firman Allah Subhanahu Wata’ala, “La Takhaafuu wa Laa Tahzanuu Wa Absyiruu bil-Jannatil-Lati kuntum Tuu`aduun,” (Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu).

Dalam tafsir, lanjut Imam Nawawi, ketika orang-orang yang istiqamah itu diberi kabar gembira dengan melenggang ke surga, mereka bertanya, “Lalu, bagaimana dengan keadaan anak-anak kami? Apa yang akan mereka makan sepeninggal kami?”

Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman,

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fusshilat : 31)

Buah Istiqomah

Lewat penjelasan di atas, kita bisa mengambil pesan penting mengenai buah dari sikap istiqamah;

Pertama, orang yang istiqamah akan mendapatkan kedudukan mulia di sisi Allah, ditandai dengan turunnya malaikat untuk membawa kabar gembira.

Kedua, orang-orang yang istiqamah akan mendapat garansi kehidupan yang nyaman dan damai, jauh dari duka lara, dan tegar dalam mengarungi bahtera kehidupan dunia yang hanya sementara ini.

Ketiga, orang yang istiqamah akan mendapatkan kesempatan mulus masuk ke dalam surga Allah.

Keempat, manfaat lainnya dari orang yang beristiqamah ialah jaminan kebahagiaan yang tidak saja berlaku kepada pelaku istiqamah bahkan keturunanya mendapatkan hal yang serupa berkat keistiqamahan orangtuanya.

Kesimpulannya, istiqamah tidak saja berlaku pada tataran ubudiyah semata. Istiqamah berlaku dalam konteks akidah, syariah, akhlak, ilmu, dan perjuangan di jalan Allah.

Oleh karena itu, kita harus bersikap istiqamah dalam iman dan keyakinan, istiqamah dalam syariah dengan selalu mendukung tegak hidupnya syariat di tengah-tengah umat dengan diawali dari keluarga kita sendiri, istiqamah dalam akhlak dengan menjadikan akhlak sebagai salah satu ujung tombak menyampaikan dakwah, istiqamah di ranah ilmu dengan mengkaji ilmu Allah yang terbentang luas, dan istiqamah dalam membela tiap inci ajaran Allah, bangga dengan agama Islam, serta benci kepada setiap kekufuran.

Cara istiqamah seperti di atas adalah dengan membangun kesadaran dari tiap pribadi yang didahului niat dan kemauan kuat untuk istiqamah. Setelahnya, diadakan pembinaan secara intensif, dan saling mendukung di antara sesama umat Islam.

Pada akhirnya, kita tidak lupa pula untuk berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan sikap istiqamah dengan doa yang dipanjatkan oleh Imam Hasan Al-Bashri, dimana jika beliau selesai membaca surat Fusshilat ayat 30 tersebut, beliau berdoa, “Allaahumma Anta Rabbunaa, FarzuqnaaL-Istiqaamah” (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami maka anugerahilah kami sikap (istiqamah).*

Penulis, pengasuh Majlis Ta`lim dan Ratib Al-Haddad di Plaosan, Malang, Jawa Timur

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Menjadi Makhluk yang Disukai Allah untuk Meraih Sukses Dunia Akhirat

Oleh:

Siti Latifah Mubasiroh, S.Pd., M.Pd.

Dalam menjalani hidup ini, semua manusia pasti ingin menggapai kesuksesan. Manusia dianugerahi oleh Allah swt. naluri yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat dan menghindari mudharat. Beribadah dan melaksanakan tugas sebagai khalifah adalah tujuan penciptaan manusia, sedangkan ibadah tidak dapat terlaksana dengan baik bila kebutuhan manusia tidak tercukupi. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan duniawi merupakan sebuah kewajiban. Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan dunia untuk mencapai sukses itu dapat dijalankan bersamaan dengan menggapai kesuksesan akhirat.

Kesuksesan hidup tidak hanya diukur oleh capaian duniawi semata, seperti berderetnya gelar akademik, menterengnya karier, atau melimpahnya penghasilan. Kesuksesan sejati diraih jika seluruh capaian itu memberi manfaat bagi orang lain sehingga mengalirkan pahala jariah, dan kelak, saat menutup usia dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini penting dipahami agar umur yang Allah berikan kepada manusia tidak sia-sia, tetapi justru memberikan banyak kebermanfaatan bagi diri sendiri dan sesama.

Sifat dan Perilaku yang Disukai Allah

Dalam menjalani hidup, manusia harus menjadikan Allah sebagai tujuan dengan senantiasa mengharap ridha-Nya dan menjadikan surga sebagai cita-cita (Dasuqi, 2008). Demikian juga hendaknya memandang kesuksesan. Untuk memperoleh kesuksesan dunia dan akhirat, tentu kita harus senantiasa mendekatkan diri pada Allah swt. dan menjadi orang yang disukai-Nya. Berikut ini uraian tentang macam sifat atau perilaku manusia yang disukai oleh Allah swt. berdasarkan dalil dalam al-Qur’an.

Al-Muhsinin

Kata al-muhsinin adalah bentuk jamak dari kata muhsin yang terambil dari kata ahsana-ihsana. Rasulullah saw. menjelaskan makna ihsan sebagai berikut:

“Engkau menyembah Allah, seakan-akan melihat-Nya dan bila itu tidak tercapai maka yakinlah bahwa Dia melihatmu” (HR Muslim). Dengan demikian, perintah ihsan bermakna perintah melakukan segala aktivitas positif, seakan-akan Anda melihat Allah atau paling tidak selalu merasa dilihat dan diawasi oleh-Nya.

Al-Muttaqin

Takwa dapat diartikan sebagai perbuatan menghindari ancaman dan siksaan dari Allah swt. dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa selalu menuntun seseorang untuk senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Shihab (2013) menjelaskan bahwa terkait dengan ketakwaan, Allah memberikan dua macam perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an, yaitu perintah takwini dan perintah taklifi. Perintah takwini, yakni perintah Allah terhadap objek agar menjadi sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Ia biasa digambarkan oleh firman-Nya dengan “Kun fayakun”. Hal ini tercantum dalam beberapa dalil dalam al-Qur’an, antara lain QS. Fushshilat:11 dan QS. Al-Anbiya’:69. Kedua dalil tersebut menunjukkan betapa kuasa Allah atas apa pun yang Ia kehendaki akan terjadi dengan segera.

Kedua, perintah taklifi, yaitu perintah Allah terhadap makhluk yang dibebani tugas keagamaan (manusia dewasa dan jin) untuk melakukan hal-hal tertentu. Hal ini dapat berupa ibadah murni, seperti shalat, puasa, maupun aktivitas lainnya yang bukan berbentuk ibadah murni, seperti bekerja untuk mencari nafkah, menikah, dan lain-lain (Shihab, 2013). Dalam konteks berinteraksi dengan sesama manusia, terdapat sebuah pepatah terkenal, yaitu “Sebanyak Anda menerima, sebanyak itu pula hendaknya Anda memberi.” Namun demikian, Allah tidak menuntut hal tersebut. Allah, Sang Maha Pemurah menurunkan firman-Nya dalam QS. At-Taghabun:16 yang artinya

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Menurut Shihab (2013), jika kita hendak membicarakan prioritas dalam konteks ketakwaan, dapat diasumsikan dengan ilustrasi berikut ini: prioritas ketakwaan bagi penguasa adalah berlaku adil; bagi pengusaha adalah jujur; bagi guru/dosen adalah ketulusan mengajar dan meneliti; bagi si kaya adalah ketulusan bersedekah dan membantu; bagi si miskin adalah kesungguhan bekerja dan menghindari minta-minta. Mereka yang bertakwa itulah yang memperoleh janji-Nya dalam QS. At-thalaq:2-3 yang menjelaskan bahwa Allah akan memberikan rezeki dan jalan keluar atas setiap permasalahan bagi hamba-Nya yang bertakwa dan tawakal kepada-Nya.

Al-Muqsithin

Kata al-Muqsithin adalah bentuk jamak dari kata muqsith, yang diambil dari kata awasatha yang biasa dipersamakan maknanya dengan berlaku adil. Menariknya, tidak ditemukan bunyi pernyataan al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil dengan kata ‘adl/adil, tetapi ditemukan perintah menegakkan al-qisth, yakni dalam beberapa firman-Nya: QS. Al-Maidah:8; QS. An-Nisa’:3; QS. AL-Hujurat:9.

Al-Mutathahhirin

Kata al-mutathahhirin dapat diartikan sebagai kesucian dan keterhindaran dari kotoran/noda. Salah satu pernyataan al-Qur’an bahwa Allah menyukai al-mutathahhirin ditemukan dalam QS. Al-Baqarah:222 yang menjelaskan tentang larangan seorang suami mencampuri istri yang sedang haid. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.

At-Tawwabin

At-tawwabin berarti kembali ke posisi semula. Manusia dilahirkan dalam keadaan suci. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, setan akan terus berusaha merayu manusia. Oleh sebab itu, hendaknya manusia yang berdosa segera bertaubat agar kembali suci. Allah swt., Sang Maha Pengampun sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat atas kesalahan-kesalahannya dan tidak mempersulit. Dalil yang menjelaskan tentang at-tawwabin tercantum dalam firman Allah swt., di antaranya QS. Al-Baqarah:37, QS. An-Nisa’:31, QS. An-Nisa’:17.

Ash-Shabirin

As-shabirin berarti sabar. Seorang yang sabar akan menahan dri, dan untuk itu memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya (Shihab, 2013). Mustaqim (2013) juga berpendapat bahwa sabar berusaha keras untuk mencapai tujuan, menahan diri dari rasa malas dan lelah. Banyak firman Allah dalam al-Qur’an yang berisi perintah kepada manusia untuk bersabar. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh Shihab (2013), dua kali al-Qur’an berpesan agar menjadikan shalat/permohonan kepada Allah dan sabar sebagai sarana untuk memperoleh segala yang dikehendaki (QS. Al-Baqarah:45, 153). Sabar selalu pahit awalnya, tapi manis akhirnya (QS. Ali Imran:186). Dengan kesabaran dan ketakwaan akan turun bantuan Ilahi guna menghadapi segala macam tantangan (QS. Ali Imran:120). Allah memerintahkan sabar dalam menghadapi yang tidak disenangi maupun yang disenangi.

Al-Mutawakkilin

Al-mutawakilin dapat diartikan mewakilkan. Perintah tawakal kepada Allah dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak sebelas kali (Shihab, 2013). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap aktivitas kehidupan kita, seorang Muslim dituntut untuk berusaha sambil berdoa dan setelah itu ia dituntut untuk berserah diri kepada Allah. Ketika manusia telah berusaha keras kemudian menyerahkan semuanya pada Allah, manusia harus yakin bahwa apa pun ketetapan Allah merupakan pilihan terbaik untuknya, sesuai dengan firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah:216.

Dalam berusaha dan berserah kepada Allah, tentu manusia tidak boleh hanya duduk diam menunggu jawaban ataupun keajaiban. Manusia perlu terus berdoa mendekatkan diri kepada Allah swt. agar benar-benar diberikan yang baik menurut kita (sesuai keinginan) dan baik menurut Allah swt. Anshor (2017) menyampaikan hal-hal yang bisa dilakukan untuk meminta kepada Allah, yaitu (a) memperbanyak shadaqah, (b) bangun untuk shalat tahajud, dan (c) memperbanyak silaturahmi. Selain tiga daya pengungkit rezeki tersebut, tentu masih banyak amalan lainnya. Jika dikerjakan secara istiqamah, insya Allah, Allah akan mempermudah segala urusan dan pencapaian cita-cita makhluk-Nya.

Kerja Sama dan Network

Dalam QS. Ash-Shaf:4, Allah berfirman yang artinya,

 “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Ayat di atas menunjukkan perlunya kebersamaan, network, dan koordinasi. Ciri khas ajaran Islam adalah kebersamaan dalam segala aktivitas positif, baik dalam melaksanakan ibadah ritual maupun dalam melaksanakan aneka aktivitas, itu sebabnya, shalat berjamaahn lebih diutamakan daripada shalat sendirian. Di sisi lain, kebersamaan itu tidak harus menjadikan semua pihak melakukan satu pekerjaan yang sama, melainkan perlu pembagian kerja yang diatur dalam satu network yang baik (Anshor, 2017).

Akhlak Mulia

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Shihab (2013), dinyatakan bahwa ada empat sifat khusus yang disebut oleh QS. Al-Maidah:54 yang menjadi sebab tercurahnya cinta Allah kepada manusia, yaitu (a) bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, (b) mulia/memiliki harga diri dan bersikap tegas terhadap yang kafir, (c) berjihad di jalan Allah, dan (d) tidak takut kepada celaan pencela.

Al-Ittiba’

  1. Ali Imran: 31 dan 32 memberi gambaran yang sangat umum menyangkut siapa atau perbuatan apa yang paling disukai Allah (Shihab, 2013), yakni perintah untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Al-ittiba’ berarti meneladani, mengikuti secara sungguh-sungguh. Cinta Allah yang luar biasa akan diraih oleh mereka yang bersungguh-sungguh mengikuti Nabi Muhammad saw. Al-ittiba’ yang dimaksud ini dijelaskan oleh sabda Rasul saw. yang berbunyi, “yakni atas dasar kebajikan, takwa, dan rendah hati” (HR at-Tirmidzi, Abu Nu’aim, dan Ibnu ‘Asakir melalui sahabat Nabi, Abu ad-Darda).

Kesimpulan

Kunci sukses adalah iman. Iman adalah fondasi dalam beramal shalih sebab Allah hanya akan menerima amal shalih makhluk yang beriman kepada-Nya. Kemampuan beramal shalih inilah yang dapat dikatakan sebagai kesuksesan dunia dan akhirat. Hadis Nabi Muhammad saw. yang banyak dikenal umat Muslim, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” merupakan landasan pokok bagi manusia untuk menyikapi kesuksesan yang telah dimiliki. Sejatinya, semakin tinggi kesuksesan yang diraih, semakin besar pula tanggung jawab dan kebermanfaatan yang dilakukan. Semakin tinggi gelar pendidikan yang dan ilmu yang diperoleh, semakin besar amanah untuk menyampaikannya kepada orang lain. Semakin banyak kekayaan yang didapat, semakin banyak zakat mal dan shadaqah yang harus dikeluarkan untuk orang lain. Semakin tinggi jabatan, semakin besar tanggung jawab dan amanah untuk membantu dan menyejahterakan rakyatnya.

DAFTAR RUJUKAN

Ad-Dasuqi, K. ‘. (2008). Reasons of Happiness: Tips Menjadi Manusia Paling Bahagia Dunia Akhirat. Solo: Wacana Ilmiah Press.

Anshor, S. (2017). Journey to Success. Solo: Tinta Medina.

Mustaqim, A. (2013). Akhlak Tasawuf: Lelaku Suci Menuju Revolusi Hati. Yogyakarta: Kaukaba DIpantara.

Shihab, M. Q. (2013). Berbisnis Sukses Dunia Akhirat. Tangerang: Lentera Hati.

Shihab, M. Q. (2014). Mutiara Hati: Mengenal Hakikat Iman, Islam, dan Ihsan. Tangerang: Lentera Hati.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA