Mengapa manusia disebut al insan

Diantara mahluk yang diciptakan oleh Allah adalah mahluk yang disebut Manusia. Dalam Al Qur’an kata manusia disebut dengan 4 sebutan:

  1. Al-Basyar
  2. Al-Insan
  3. Al-Naas
  4. Bani Adam

Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sampai sekarang para ahli masih belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini terbukti dari banyaknya kenamaan manusia, misalnya homosapien (manusia berakal), homoeconomicus (manusia ekonomi), yang kadang kala disebut economic animal (binatang ekonomi).

Al-Qur’an memiliki banyak kosa kata tentang manusia, yang masing-masing kata tersebut tidak sekadar sinonim melainkan juga mengandung makna-makna khas.[4] Di antaranya di dalam al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan  basyar (Q.s. al-Kahfi (18):110), al-insan (Q.s. (al-Insan (76):1), an-nas (Q.s. an-Nas (114):1). Al-Qur’an menyebut term insan sebanyak 65 kali, insan 12 kali, anas 5 kali, anasiyya 1 kali, annas 250 kali, basyar 37 kali, bani adam 7 kali dan zurriyyat Adam 1 kali[1]

Manusia sebagaimana yang kita pahami bersama adalah merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah SWT, yang mempunyai potensi, keunikaan, dan keistemewaan. Manakala kita memperhatikan bahan konstruksi tubuh manusia, maka akan ditemukan suatu konfigurasi yang sangat ideal dan struktur yang sempurna, karena dalam tubuh manusia terintegrasi dua dimensi sifat dan zat yang berlainan.

Dalam tulisan ini akan dibahas 3 kosa kata manusia dalam al qur’an yaitu al basyar, al insan dan al naas. Kata manusia dengan kata Bani adam tidak akan di bicarakan karena mengandung maksa yang sama dengan al naas, dalam bukunya Man and Islam, Ali Shariati mendefiniskan ketiga penamaan pada manusia sebagai berikut:

Al-Basyar

 sebagai makhluk yang sekedar ada (being), dalam artian bahwa manusia dalam kata al-basyar adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan tegak di muka bumi. Oleh karenanya, manusia memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari ruang dan waktunya, Singkatnya, manusia dalam kata basyar adalah manusia dalam arti fisis-biologis.

Manusia dilihat sudut ini tidaklah jauh berbeda dengan hewan. Manusia bisa makan, minum, tidur, berkembang biak, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan, bila manusia dan hewan dibandingkan dari segi perbuatan nistanya, maka manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan kejam)

Perbuatan-perbuatan rendah manusia tak pernah berubah sepanjang masa, hanya instrumennya saja yang berubah.   penguasa masa lalu, seperti Gengis Khan, dengan penguasa modern tidaklah berbeda dari segi kebuasannya.  Perbedaannya hanya terletak pada instrumen dan argumentasinya saja. Penguasa masa lalu memiliki senjata-senjata sederhana, dan mereka pun tak segan memproklamirkan bahwa mereka sengaja membunuh.  Sementara itu, penguasa modern mempunyai senjata-senjata super-canggih untuk membunuh, dan mereka melakukan pembunuhan atas nama kedamaian. dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan, sadisme, dan kekejaman lebih banyak, lebih dahsyat dari pada masa lalu.  Tendensi negatif manusia itu merupakan representasi dari manusia dalam arti basyar. Bahkan plato seorang filsuf yunani pernah berkata mansia dalam konteks ini disebut sebagai Homo Homini Lupus yang diartikan manusia adalah serigala bagi yang lainnya

Al-Insan, manusia dala kata ini bermaksud sebagai makhluk yang menjadi (becoming). Satu hal yang menjadi perbedaan signifikah manusa dengan hewan adalah di karunikanya dengan akal, para filosof yunani pernah mengatakan manusia sebagai hewan yang berfikir yang dengannya ia mampu melakukan sesuatu, menciptakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan mahluk lain.Sebagai mahluk yang dibekali akal, manusia terus-menerus maju menuju ke kesempurnaan. Karakter “menjadi” ini membedakan manusia dengan fenomena lain di alam.. becoming yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan ideal. Tuhan bukanlah titik beku dimana sesuatu mengarah.  Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, bergeraknya manusia ke arah-Nya berarti gerakan manusia terus-menerus tanpa henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan.

Insan memiliki tiga sifat pokok, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas.

Pertama, kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan pengalaman  tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dari proses menjadinya.

Kedua, kemauan bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih. Menurut Shari’ati, insan bebas memilih. Pilihannya bisa saja bertentangan dengan insting naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan psikologisnya. Kebebasan memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi kemanusiaannya menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya

Ketiga, kreativitas atau daya cipta. Potensi kreatif insan memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu mencipta benda, barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal, karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan dan pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak menyediakan semua yang dibutuhkannya kecuali bahan dasar saja.

 Al-Naas,

 kata al-insan dan al-naas merupakan bentuk jamak dari kata al-ins, hanya saja bentuk dengan kata al-naas bermaksud pada manusia sebagai wujud sosilogis, bahwa manusia sebgai makhluk social pastinya akan terkait dengan manusia lainnya, pasti membutuhkan manusia lain apakah itu secara individual atau kelompok bahkan dalam sebuah komunitas besar yang disebut negara akan saling terkait dengan negara lain atau bangsa lain. dalam terminologi sosiologi, al-naas atau disebut  massa terdiri dari segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas ataupun sifat yang terdapat dalam kalangan mereka.   al-nas adalah massa. Massa adalah rakyat, tanpa menunjuk kepada kelas atau bentuk sosial tertentu.

Manusia Sempurna

Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS:Attiin:1)

 Kata sempurna dalam ciptaan mengarahkan manusia dalam kategori al-insan dengan kata lain kesempurnaan manusia dalam pandangan islam bukanlah manusia dalam kategori biologis atau fisik seseorang melainkan sejauhmana manusi dalam arti psikologi mampu menadikannya sebagai manusia yang sempurna.

 “Manusia adalah masalah puncak bagi manusia,” pekik Battista Mondin.  

 Manusia seperti halnya makhluk-makhluk yang lain, ada yang sempurna, ada yang tidak, ada yang sakit, yang sehat, cacat dan ada juga yang utuh. Manusia sehat sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu manusia sehat yang kamil dan manusia sehat yang tidak kamil. Dalam pandangan Islam, mengenal dan mengkaji atau membicarakan Insan Kamil atau manusia teladan itu adalah wajib hukumnya, ia merupakan contoh, standar dan model bagi setiap muslim. Keterangan lebih lanjut diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari bahwa jika kita hendak menjadi seorang muslim yang sempurna dan ingin mencapai kesempurnaan manusiawi dalam bimbingan dan pendidikan Islam, maka terlebih dahulu kita harus mengenal manusia sempurna itu, bagaimana jiwa dan mentalnya, apa ciri-cirinya. 

 Murtadho Muthahari memberikan ciri Insan Kamil di antaranya: berfungsi akalnya secara optimal; berfungsi intuisinya; mampu menciptakan budaya; menghias diri dengan sifat-sifat ketuhanan; berakhlak mulia; dan berjiwa seimbang

 Istilah Insan Kamil sendiri muncul ke permuaan dalam literatur Islam sejak abad ke VII H yang merupakan gagasan awal dari seorang sufi kawakan dan ternama serta merupakan bapak sufi, sehingga konsep yang dia kemukakan mempunyai ritme kesufian (tasawuf).[2] Istilah tersebut dipakainya untuk melabeli manusia ideal yang menjadi fokus penampakan diri Tuhan. Beliau adalah Muhyi al-Din Muhammad Ibn ali Al Hasimi (Ibnu Arabi khususnya di Timur)[3]

Murtadhâ mengungkapkan bahwa manusia sempurna itu berbeda dengan malaikat sempurna ataupun hewan sempurna. Untuk menjadi sempurna, manusia tidak kemudian melupakan kehewanannya untuk mencapai derajat yang sama seperti malaikat. Tidak pula meninggalkan kemalaikatannya untuk kemudian menjadi hewan. Manusia sempurna merupakan manusia yang menggunakan segala potensinya secara stabil dan seimbang.

Konsep keseimbangan seluruh nilai-nilai kemanusiaan yang ditawarkan Murtadha menuntut untuk tidak hanya mengunggulkan satu atau sebagian potensi yang sudah ditanamkan oleh Allah dalam diri manusia, karena seseorang yang mengutamakan satu potensi saja akan mengakibatkannya berlebih-lebihan yang oleh Murtadhâ Muthahharî disebut denganifrath. Manusia yang hanya mengembangkan cinta saja dengan mengesampingkan intelek bukan insan kamil, tetapi manusia cacat. Demikian juga dengan manusia yang hanya mengedepankan intelek dengan mengesampingkan cinta.

 Menurut hemat penulis bahwa apa yang dirumuskan Murtadhâ dalam usaha memaknai kembali manusia sempurna merupakan tawaran solusi untuk menjawab tantangan dan tuntutan pembangunan masyarakat modern. Secara konseptual, teori yang dikembangkan Murtadha dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengoptimalkan intelektualnya demi kebutuhan dan kemajuan bangsa tanpa harus memarjinalkan potensi lainnya, sehingga kemajuan yang dihasilkan tidak menimbulkan keburukan terhadap kehidupan manusia untuk hari-hari berikutnya

 Bagaimana supaya kita mampu mengenal apakah diri kita adalah basyar, insan atau hanya sekedar al-nas?

Rene Descartes menyarankan kita mulai untuk berfikir tentang “siapa Aku.”

 Meister Eckhardt mengusulkan dengan pernyataannya,” barangsiapa hendak jelas dengan dirinya sendiri  dan ingin bersuara lantang, dia harus memilki satu hal, yaitu: kesepian batin.” 

 Mempertanyakan diri kita adalah satu langkah dalam proses mengali diri kita, meng-insan-kan diri kita.

 Semoga kita mampu mengenali diri kita sebagai MANUSIA, sehingga kita terhindar dari apa yang diingatkan oleh Allah dalam FirmanNya:

 وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

[1] Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 3

[2] Murtadha Mutahhari, Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, terj. M.hashem, (Jakarta: Lentera, 1994), hlm. 4 

[3] Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.49