Mengapa kinerja kementerian perlu dievaluasi oleh presiden

Mengapa kinerja kementerian perlu dievaluasi oleh presiden

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Merdeka.com - Ketika isu perombakan (reshuffle) Kabinet kerja mulai mencuat, seiring itu pula muncul pemberitaan mengenai “rapor” kinerja yang disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi pada awal Januari silam. Penilaian kinerja tersebut dianggap menohok sejumlah partai yang kebetulan kadernya memimpin kementerian yang nilainya jeblok.

Menteri Yuddy berargumen bahwa evaluasi yang dilakukannya adalah praktik rutin sesuai dengan ketentuan, yakni Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang mengatur bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mengkoordinasikan penyelenggaraan evaluasi atas implementasi SAKIP pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.

BACA JUGA:
Ahok, kekuasaan dan lupaKepala Polri yang (tak) terlupakan

Evaluasi akuntabilitas kinerja dilakukan secara rutin setiap tahun sejak 2004 untuk menilai sejauh mana instansi pemerintah memperjuangkan tata kelola pemerintahan yang baik. Menteri Yuddy juga menyampaikan bahwa yang dievaluasi adalah kinerja kementerian dan bukanlah kinerja menteri, dan penyampaian laporan sama sekali tidak berhubungan dengan wacana perombakan Kabinet yang jelas merupakan ranah prerogatif Presiden Joko Widodo.

Penilaian kinerja menteri (dan/atau kementerian) sebenarnya hal yang jamak dilakukan oleh sejumlah lembaga survei di mana persepsi publik merupakan faktor penentu baik-buruknya kinerja. Jadi, apakah anehnya ketika Kementerian PAN dan RB merilis hasil evaluasi yang dilakukannya lewat seperangkat indikator yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan? Lantas, bagaimanakah kita semestinya memandang evaluasi tersebut?

BACA JUGA:
Kegeraman dan kebijakanImam Nahrawi dan pembenahan PSSI

Adalah hal wajar ketika sebuah kebijakan diputuskan, tahapan berikutnya yang harus dijalani adalah evaluasi atas kebijakan tersebut. Evaluasi kinerja kementerian dan lembaga adalah bagian proses kebijakan: formulasi, implementasi, dan juga evaluasi. Mengutip Michael Scriven (1969), evaluasi bukanlah persoalan opini atau selera, evaluasi merupakan persoalan fakta dan logika.

Setiap kebijakan publik memiliki tujuannya masing-masing. Tujuan formal dan normatif lebih gampang ditemukan. Pada prinsipnya, evaluasi dilakukan pada setiap proses yang berjalan untuk mengetahui kesenjangan yang ada. Perbandingannya adalah antara capaian konkret dan tujuan yang dicanangkan di awal. Dalam evaluasi komprehensif, yang mesti dirunut lebih dari sekadar tujuan eksplisit. Harus ditemukenali tujuan yang sebenarnya dari sebuah kebijakan, termasuk tujuan apa saja yang lebih diprioritaskan ketimbang tujuan lainnya ketika sebuah kebijakan ditetapkan.

BACA JUGA:
Sanusi dan entah siapa lagiEsok hari menanti Fahri

Evaluasi seiring implementasi kebijakan ini semestinya bisa mengidentifikasi masalah yang terjadi berikut faktor penyebabnya, bahkan juga solusi parsialnya. Lazimnya sebuah kebijakan yang harus senantiasa disikapi secara kritis, untuk menghindari seloroh “tiba masa, tiba akal”, sudah semestinya evaluasi tersebut dilakukan sejak awal. Evaluasi semestinya juga bisa memotret problem yang mungkin terulang (recurrent problem) di masa mendatang dan karenanya sekaligus menjadi symptom atas problem lain yang lebih mendasar.

Hasil evalusi bisa menjadi masukan untuk perbaikan setiap tahapan. Tahapan berikutnya yang tidak kalah penting adalah penilaian terhadap impacts dan benefits dari sebuah kebijakan publik. Jika output menjadi ukuran seberapa target yang ditetapkan telah dicapai, outcome merujuk pada hasil dari kebijakan yang telah dilakukan. Penilaiannya mencakup setidaknya soal efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan sebuah kebijakan.

Merujuk pada dua pendekatan evaluasi, yakni “single-loop learning” dan “double-loop learning”, penilaian tidak hanya dilakukan sebatas pelaksanaan yang dilihat dari kebijakan yang diputuskan. Evaluasi juga dapat menyasar sampai ke norma dasar yang mendasari pilihan pada sebuah kebijakan dan juga kesesuaian dengan lingkungan strategis yang melingkupinya. Setiap evaluasi bisa berujung pada kesimpulan dan/atau rekomendasi mengenai berlanjut-tidaknya sebuah kebijakan.

BACA JUGA:
Jonan dan terobosan kebijakanAni dan Idaman Rhoma

Dalam konteks jalannya pemerintahan saat ini, evaluasi memang harus dilaksanakan sebagai rangkaian proses berkelanjutan, secara tertib, sistematis, dan komprehensif. Evaluasi yang baik bukanlah proses yang didasari rasa-prasangka yang serba-subyektif dan sentimen politis yang demikian beragam. Kalaupun berdasarkan evaluasi tersebut sebuah kebijakan diputuskan untuk dilanjutkan, hasil evaluasi juga menjadi dasar untuk menentukan apakah kebijakan yang dijalankan tetap sama ataukah butuh revisi. Mengutip William N. Dunn (1994), evaluasi kebijakan memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

Kembali ke pertanyaan dasar: perlukah kinerja lembaga negara dievaluasi? Saya yakin bahwa mayoritas sepakat menjawab 'Ya”. Publik berhak tahu kinerja para abdi negara yang telah dibiayai oleh duit negara dan karenanya berhak pula menuntut lembaga yang kerjanya masih memble. Hanya saja, bahwa kemudian perlu ada pengujian atas sejumlah hal lain seperti indikator evaluasi, kualitas evaluasi, keterbukaan evaluator, momentum atau pemilihan waktu publikasi hasil evaluasi; tentu harus pula dipertimbangkan oleh tim Menteri Yuddy. Bukankah tak tabu mengevaluasi evaluasi?

Peserta didik diminta mengerjakan soal dalam buku PKn Kelas 10 SMA/ SMK/ MA/ MAK kurikulum 2013 terbitan kemendikbud bab 1 halaman 33. Tugas tersebut tentang Kementerian Negara.

Agar lebih jelas, sila perhatikan soal dan jawaban di bawah ini !

Mengapa kinerja kementerian perlu dievaluasi oleh presiden

Soal

Setelah membaca berita di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

1. Menurut kalian bolehkah suatu lembaga negara dalam hal ini kementerian negara dievaluasi atau dinilai kinerjanya oleh presiden? Berikan alasanmu!

2. Apa saja manfaat dari dilakukannya penilaian terhadap kinerja kementerian negara?

3. Faktor apa saja yang menyebabkan suatu kementerian negara berkinerja kurang memuaskan?

4. Bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut?

5. Menurut kalian apa saja yang harus dilakukan kementerian untuk meningkatkan kinerja?

Jawab

1. Boleh dan merupakan hal yang wajib karena presiden merupakan pemimpin para menteri, selain itu presiden merupakan hasil dari proses pemilu yang dipilih oleh rakyat. Evaluasi terhadap menteri merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah yang dipimpin presiden terhadap rakyat.

2. Manfaat dilakukannya penilaian terhadap kinerja kementerian negara adalah sebagai bentuk kontrol Presiden terhadap kinerja para menterinya. Para menteri yang ditunjuk sebagai pembantu presiden harus mampu menjalankan tugas-tugas yang diberikan presiden. Apabila ada menteri yang gagal menjalankan tugasnya, perlu dilakukan tindakan yang keras, kalau perlu diganti. Semua itu merupakan kewajiban presiden agar pemerintahan berjalan dengan baik dan sesuai dengan amanat rakyat.

3. Faktor yang menyebabkan kinerja kementerian negara berkinerja kurang memuaskan antara lain:

a. Sosok sang menteri sendiri yang kurang bisa memimpin kementerian

b. pegawai kementerian yang tidak disiplin

c. Tidak memiliki rencana dan aksi yang jelas

d. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme

4. Cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan memilih sosok menteri yang tegas, disiplin, memiliki kemampuan manajerial yang baik dan tidak korupsi serta bertakwa kepada Tuhan YME.

5.Hal yang harus dilakukan kementerian untuk meningkatkan kinerja adalah dengan memberikan sasaran kerja yang jelas dan adanya penegakan hukum yang jelas juga.

Mengapa kinerja kementerian perlu dievaluasi oleh presiden

Mengapa kinerja kementerian perlu dievaluasi oleh presiden
Lihat Foto

TRIBUN NEWS / DANY PERMANA

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berfoto bersama anggota Kabinet Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/10/2014). Para menteri yang memperkuat Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK secara resmi dilantik.


Oleh: W Riawan Tjandra

JAKARTA, KOMPAS - Isu mengenai reshuffle kabinet yang semakin keras disuarakan sejatinya merupakan hilir dari berbagai situasi sosial dan politik yang berkelindan dengan berbagai kebijakan publik pemerintah yang dinilai tak cukup efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan publik.

Sengaja tulisan ini menggunakan pilihan kata evaluasi kinerja "kementerian" dan bukan hanya "menteri" dalam perspektif sistem pemerintahan didasarkan atas alasan-alasan berikut.

Pertama, kebijakan publik sektoral merupakan hasil dari sebuah proses politik dan birokrasi dalam sebuah organisasi kementerian. Sebagai implikasi dari asas spesialitas dalam teori hukum administrasi negara, mengingat begitu luasnya ruang lingkup urusan pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang harus dikelola negara, dilakukannya departemenisasi merupakan suatu keniscayaan yang menghasilkan kelembagaan pemerintahan sektoral (kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian/ LPNK) dengan tanggung jawab sektoral masing-masing. Meski secara vertikal ke atas setiap menteri yang didukung organisasi kementerian bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan (the chief of executive), secara horizontal di dalam ataupun antarorganisasi kementerian itu harus mengelola berbagai tugas administrasi kementerian sektoral yang tak jarang saling bersinggungan, berimpit, dan tak jarang kontradiktif.

Berdasarkan hal itu, diperlukan adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antar-kewenangan intra dan ekstra organisasi kementerian, termasuk LPNK. Di sinilah titik terjadinya kerumitan dan kompleksitas permasalahan yang sering kali harus dihadapi para menteri di dalam struktur kabinet. Sering kali menteri harus menghadapi "perlawanan birokrasi" di saat harus mencanangkan konsep reformasi birokrasi atau yang kini lebih sering disebut revolusi mental.

Gemuknya struktur organisasi kementerian dan rendahnya kapasitas sumber daya organisasi selama ini sebagai warisan masa lalu, baik berupa orang, barang, maupun uang (man, materials, and money), sering menjadi kendala organisasi yang tak mudah diselesaikan para menteri dalam waktu yang terbatas. Di sisi lain, beberapa kementerian yang harus mengalami restrukturisasi akibat penggabungan kementerian di dalamnya juga harus menghadapi kendala kultural dan mental dalam melakukan penyesuaian dan penyelarasan kinerja antarstruktur organisasi yang dulunya berasal dari kementerian yang berbeda.

Kedua, menteri bukanlah aktor tunggal yang menentukan kebijakan dalam suatu organisasi pemerintahan. Kebijakan seorang menteri dari satu kementerian selalu memiliki tali-temali dengan kebijakan kementerian lainnya. Hadirnya menteri koordinator (menko) pada awalnya dinisbahkan untuk mengoordinasikan dan menyinergikan kebijakan sektoral di wilayah kewenangan koordinasinya. Namun, hal itu juga bukan sebuah pekerjaan mudah bagi seorang menko. Realitas birokrasi pemerintahan yang sudah sekian lama berwatak sektoral dan lambannya kinerja birokrasi yang cenderung berwatak konservatif sering menjagal upaya menko dalam menyinergikan kebijakan sektoral.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi yang terkotak-kotak dengan watak kultural organisasi sektoral yang berbeda-beda mewariskan arogansi dan egoisme sektoral secara turun-temurun lintas generasi birokrasi. Kehadiran UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian yang mengukuhkan eksistensi Badan Standardisasi Nasional dan UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya ditujukan untuk menata standar operasional prosedur dan standar administrasi pemerintahan dalam rangka mewujudkan sinergi substantif kebijakan sektoral agar mendukung kinerja para menko yang bertanggung jawab atas aspek sinergi dan harmonisasi kelembagaan formal organisasi sektoral yang berada di wilayah tugas, pokok, dan fungsinya.

Berdasarkan argumentasi di atas, dalam rangka kebutuhan rutin Presiden dan Wakil Presiden untuk melakukan evaluasi kinerja para menteri perlu dilakukan secara komprehensif sehingga evaluasi kinerja harus diarahkan pada evaluasi menyeluruh atas kelebihan dan hambatan yang dialami institusi kementeriannya, bukan sekadar terhadap kinerja personal menterinya. Hal ini penting agar dihasilkan solusi menyeluruh atas kelemahan kinerja organisasi pemerintahan yang terjadi dan tak menyeret persoalan evaluasi kinerja organisasi kementerian ke ranah politik transaksional yang sekadar didorong syahwat bagi-bagi kekuasaan politik dengan memperluas basis dukungan koalisi.

W Riawan Tjandra

Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, Yogyakarta

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Mei 2015 dengan judul "Evaluasi Kinerja Kementerian".

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.