Mengapa Indonesia belum menjadi negara maju meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah

JAKARTA - Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju. Hal ini terlihat dari kekayaan alam yang melimpah serta tingkat kecerdasan yang tak berbeda dengan penduduk di negara maju.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Multimedia Mabes Polri Brigjen. Pol. Rikwanto dalam workshop mengenai komunikasi yang diberikan FIF Group pada kepala cabangnya. Adapun workshop ini bekerjasama dengan majalah mingguin Sindo Weekly.

Rikwanto mengatakan, ada hal yang kurang yang membuat Indonesia tak kunjung menjadi negara maju, hal tersebut merupakan perilaku masyarakat Indonesia yang tak suka mematuhi peraturan. Menurutnya, ini menunjukkan masyarakat Indonesia sendirilah yang tak menginginkan kemajuan negaranya.

"Orang kita ini pinter-pinter, cuma pinternya 'ngakalin', enggak diarahkan dengan benar, seperti orang-orang di negara maju. Pinternya orang kita itu bisa dimainkan. Bukan kita enggak bisa maju, tapi kita yang enggak mau, orang kita enggak suka tertib, karena kalau tertib mereka enggak bisa ngapa-ngapain (berbuat curang)," ujar Rikwanto di Auditorium Gedung Sindo, Jakarta, Kamis (11/1/2018).

Pasalnya, kata dia, sikap dan perilaku akan membentuk kebudayaan dan pendidikan suatu bangsa. Dia mengatakan, anggaran pendidikan selalu bertambah setiap tahunnya namun secara hasil tak memberikan pertumbuhan pendidikan yang signifikan. Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan tindakan asusila maupun plagiat yang dilakukan para pelajar Indonesia.

"Mungkin kita sibuk ke pengetahuan saja tapi masalah psikologi kehidupan sosial kurang diperhatikan. Soft skill kurang dipelajari," ucapnya.

Di mencontohkan dengan beberapa negara di dunia yang menunjukkan kemajuan karena kemampuan soft skill yang dimiliki negara tersebut. Di antaranya Jepang yang memiliki kemampuan teknologi yang tinggi, kepatuhan masyarakatnya setidaknya terlihat dari buday antre yang sudah diajarkan sejak usia dini.

"Indonesia punya pembeli yang luar biasa, kalau kita bisa buat mobil, TV, motor sendiri kayak Jepang, kita akan kaya. Tapi yah kan kita anak-anak SMK, SMA keluar langsung 'dibantai' negara maju, beserta antek-anteknya orang kita. Mereka bilang 'matikan aja (penemuan) mereka entar ganggu kita'. Akhirnya regulasi jadi ribet banget," tukasnya.

Dia juga mencontohkan negara Swiss yang tak memiliki pohon coklat namun dikenal sebagai negara yang memasarkan coklat di dunia. Selain itu, bank-bank di Swiss memiliki reputasi yang tinggi dan aman di mata dunia.

"Terus ada Perancis, dia hasilkan parfum dengan kualitas terbaik di dunia dengan harga yang sangat mahal. Padahal bahan-bahan parfumnya juga dari negara berkembang. Mereka bisa mengelola itu, tapi kita enggak bisa melakukannya," jelas dia.

Kemajuan negara-negara tersebut, menurutnya, karena prinsip dasar kehidupan yang dipatuhi setiap penduduknya. Prinsip tersebut yakni etika, kejujuran, integritas, tanggung jawab, taat aturan dan hukum masyarakat, serta hormat pada hak orang lain. Kemudian juga cinta pekerjaan, berusaha keras menabung dan investasi, mau bekerja keras, dan tepat waktu.

"Kalau kita ikuti semuanya, kita bisa jadi masyarakat yang maju. Di negara terbelakang, miskin, atau berkembang, hanya sebagian kecil masyarakat nya yang mematuhi prinsip-prinsip tersebut, Jadi kita bukannya enggak bisa maju, kita punya potensi, tapi kita terbelakang, lemah, miskin karena perilaku kita yang kurang atau tidak baik," tandasnya.

Oleh karena itu, ujar Rikwanto, hal pertama yang perlu dilakukan untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju adalah perubahan pada diri sendiri. "Ini harus berubah dari diri sendiri terlebih dulu," pungkasnya.

Adapun dalam workshop yang menjadi agenda tahunan ini diikuti 30 peserta yang terdiri dari kepala cabang FIF Group dari berbagi wilayah di Indonesia khususnya kepala cabang yang berada di daerah. Pelatihan ini dimaksudkan untuk membekali kepala cabang dalam membangun perseroan terkhususnya melalui bidang komunikasi.

(rzy)

  • #FIF Group
  • #Indonesia Negara Maju
  • #ekonomi ri

Ilustrasi. (mongabay.co.id)

Infoanggaran.com, Jakarta – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyatakan, saat ini Indonesia mengalami natural resource curce (NRC) alias kutukan sumber daya alam (SDA), yaitu ketidakmampuan memanfaatkan SDA untuk mendorong laju perekonomian nasional terutama kesejahteraan masyarakat.

“Ternyata Indonesia terkena yang namanya natural resource curce,” ujar peneliti PWYP Indonesia Al Ayubi dalam Webinar “Yang Muda Bicara Energi dan SDA”, Rabu (28/10/2020).

Masyarakat Daerah Kaya SDA Cenderung Tidak Sejahtera

Ayubi memaparkan, kekayaan alam di Indonesia memang melimpah. Di sektor kehutanan, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia.

Contoh lainnya di sektor panas bumi. Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara penghasil energi panas bumi terbesar di dunia pada 2021 dengan kapasitas panas bumi mencapai 3.559,5 MW.

Sayangnya, menurut Ayubi, kekayaan SDA tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian, terutama kesejahteraan masyarakat sehingga menyebabkan Indonesia mengalami fenomena NRC.

Kutukan SDA tersebut, lanjut Ayubi, tak lepas dari kurang berkembangnya sektor lain di luar sektor migas dan minerba.  “Ada ketimpangan sektor SDA di sektor migas dan minerba dengan sektor lainnya seperti kehutanan,” terangnya.

Ketimpangan tersebut terlihat dari kontribusi SDA terhadap PNBP pada 2017, misalnya, di mana kontribusi migas sebesar 77 persen, minerba 17 persen, dan kehutanan hanya 4 persen. Sedangkan kontribusi sektor  perikanan dan panas bumi masing-masing hanya 1 persen.

Fenomena NRC juga disebabkan buruknya tata kelola SDA dan praktik korupsi SDA. “Faktanya sampai hari ini praktik korupsi masih marak terjadi di sektor SDA terutama pertambangan yang kita tahu nilai perekonomiannya sangat tinggi,” jelas Ayubi.

Penyebab lainnya adalah rendahnya kualitas modal manusia. Menurut Ayubi, hal tersebut lantaran belanja pemerintah dalam peningkatan kualitas SDM terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, masih kurang memadai.

Political Will Lemah

Lebih jauh Al Ayubi mengatakan, political will pemerintah pusat untuk memperbaiki tata kelola energi dan SDA hingga kini masih lemah. Hal ini bisa dilihat dari boroknya pengawasan dan penegakkan hukum.

Lemahnya political will juga terpotret dari minimnya keterbukaan infomasi. “Seperti (informasi) kontrak, izin, kemudian tentang beneficial ownership, juga keterlibatan masyarakat dalam proses kebijakan terutama bagi mereka yang berada di wilayah tambang,” tukas Ayubi.

Menurut dia, keterbukaan informasi mestinya menjadi prinsip utama dalam proses pembuatan kebijakan di sektor energi dan SDA.

Selain untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi, kata Ayubi, transparansi juga bisa menjadi "mitigasi untuk mencegah praktik korupsi di sektor SDA”.

Ayubi menambahkan, pelaksanaan komitmen sustainable development alias pembangunan bekelanjutan juga belum terlihat optimal seperti yang tercantum rencana umum energi nasional (RUEN).

Peraturan Presiden 22 Tahun 2017 tentang RUEN, di antaranya, menargetkan penurunan emisi gas kaca sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030. Target lainnya adalah energi baru terbarukan (EBT) bisa berkontibusi paling sedikit sedikit 23 persen kebutuhan energi primer pada 2025.

Alih-alih mengimplementasikan target tersebut, kata Ayubi, pemerintahan Jokowi justru masih mengedepankan pengelolaan energi dan SDA di sektor industri ekstraktif.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti sepakat bahwa kebijakan tata kelola energi dan SDA harus mengutamakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, maupun sosial.

“Jangan sampai kita hanya maju saja secara ekonomi, tapi kita lupa mensejahterakan masyarakat, dan lupa dengan faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan,” tukas wakil rakyat dari Fraksi Golkar itu.

Dyah menyadari bahwa kebijakan energi yang ramah lingkungan hingga kini belum optimal di mana kebutuhan energi primer masih didominasi energi fosil. Sementara kontribusi EBT terhadap energi primer baru 9,15 persen atau jauh dari target minimal dalam RUEN yang sebesar 23 persen pada 2025.

Kendati begitu, dia yakin ke depan kebijakan energi dan SDA bakal mengutamakan aspek antara aspek ekonomi, lingkungan, maupun sosial.

“Memang pekerjaan rumah kita sangat amat berat. Tapi saya yakin, dengan political will yang baik, dengan tekad dari politisi yang ada, lalu kemudian dorongan dari pemudi-pemudi di Indonesia, lalu kemudian lintas sektor, insya allah kita bisa merealisasikannya (pembangunan berkelanjutan),” kata Dyah.

Kalau sustainable development bisa diwujudkan, Dyah optimistis Indonesia bisa lepas dari kutukan SDA.

Tagar. #SDA #ebt #kutukan SDA

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA