Lima faktor yang mendorong munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yaitu

Gerakan pembaruan Islam yang muncul di Mesir, India, dan Turki pada abad modern, secara langsung atau tidak langsung, berpengaruh pada gerakan Islam di Asia Tenggara. Para tokoh Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menyerap secara selektif ide-ide pembaruan dari tokoh-tokoh Islam luar negeri yang telah disebutkan sebelumnya. 

Pengaruh tersebut diakui oleh para tokoh Islam dan intelektual Islam di Indonesia berikutnya dalam bentuk tulisan-tulisan. Misalnya, pada tahun 1961, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), menulis buku berjudul engaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Pada tahun 1969, H.A. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Repulik Indonesia menulis buku berjudul Alam ikiran Islam Modern di Indonesia. Pada tahun 1973, tulisan Deliar Noer diterbitkan oleh Oxford University Press berjudul The Modernist Muslim Moement in Indonesia 1900-1942. Buku tersebut diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia pada tahun 1980 berjudul erakan Modern Islam di Indonesia Tahun 1900-1942. Tulisan serupa masih banyak muncul di Indonesia di tahuntahun berikutnya. 

Dari buku H.A. Mukti Ali dapat diketahui adanya lima faktor yang mendorong munculnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yaitu: 

1. Adanya kenyataan ajaran Islam yang bercampur dengan kebiasaan yang bukan Islam. 

2. Adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang kurang efisien. 

3. Adanya kekuatan misi dari luar Islam yang mempengaruhi gerak dakwah Islam. 

4. Adanya gejala dari golongan intelegensia tertentu yang merendahkan Islam. 

5. Adanya kondisi politik, ekonomi, dan sosial Indonesia yang buruk akibat penjajahan.

Melihat pada lima realitas tersebut, maka para ulama pembaru Islam melakukan lima gerakan besar pembaruan, yaitu: 

1. Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; 

2. Mereformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; 

3. Mereformasi penafsiran-penafsiran terhadap ajaran dan kondisi pendidikan Islam; 

4. Mempertahankan Islam dari desakan-desakan dan pengaruh kekuatan luar Islam; 

5. Melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. 

Lima gerakan pembaruan tersebut bukan peristiwa yang terjadi begitu saja. Akan tetapi secara langsung atau tidak langsung memiliki akar panjang sejarah dari tokoh pembaru Islam di Mesir, India, dan Turki. Pengaruh tersebut berlangsung melalui proses pendidikan dan bahan bacaan (surat kabar/majalah). 

Pada akhir abad ke-19 ada banyak kaum muslim muda Indonesia yang belajar ke Mekkah dan Mesir. Di sana mereka bersentuhan dengan ide-ide pembaruan. Mereka membaca majalah-majalah yang diterbitkan khusus untuk misi pembaruan Islam, seperti majalah Al-Urwat Al-Wuisqa dan Al-Manar yang terbit di Mesir. 

Misi pembaruan melalui media majalah kemudian ditiru oleh para ulama pembaru di beberapa tempat di Asia Tenggara. Di Singapura, terbit sebuah majalah dengan nama Majalah Al-Imam (terbit pada tahun 1908). Di Minangkabau dengan nama Majalah Al-Munir (terbit tahun 1911), dan di Yogyakarta dengan nama Suara Muhammadiyah. 

Ada banyak tokoh Islam di Indonesia yang sepaham dengan misi pembaruan tersebut, tetapi dalam buku teks ini tidak disebut semuanya. Di antara mereka adalah: 

  1. Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin asal Padang yang hijrah Ke Singapura. Tokoh ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap gerakan pembaruan di Asia Tenggara.
  2. Haji Abdullah Ahmad dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Kedua tokoh ini dipandang penting sebab keduanya menjadi pelopor pembaruan Islam di Minangkabau. 
  3. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi atau Persyarikatan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. 
  4. K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926. di Jombang Jawa Timur. 

K.H. Ahmad Dahlan adalah teman seperguruan dengan tokoh Islam pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU), yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari berguru pada guru yang sama ketika belajar di Mekkah, yaitu Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syeikh Nawawi Al-Bantani.

Baca Juga :

Demikian artikel tentang Pengaruh Gerakan Pembaruan terhadap Perkembangan Islam di Indonesia, Semoga bermanfaat dan sekian terimakasih.

diambil dari berbagai sumber.



  • Pandangan  Ulama (Intelektual Muslim) Tentang Demokrasi
  • Adab Ketika Ta’ziyyah dan Ziarah Kubur
  • Tips Jitu! Cara - Cara Dakwah Di Nusantara
  • Pengertian Jujur dan Sifat Sifat Kejujuran
  • Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia


Lima faktor yang mendorong munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yaitu

Lima faktor yang mendorong munculnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yaitu
Lihat Foto

Wikipedia

Jamaluddin al-Afghani

KOMPAS.com - Gerakan Tajdid adalah gerakan pembaruan dalam ajaran Islam yang sebelumnya telah terpengaruh dengan bidah, takhayul, dan khurafat.

Tajdid diambil dari bahasa Arab yang artinya terbaru atau manjadi baru. Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari bidah, takhayul dan khurafat.

Gerakan ini diilhami dari Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabi) di Arab Saudi, dan Jamaluddin Al-Afghani, tokoh pembaruan Islam dari Afghanistan.

Pembaharuan Islam juga terjadi di Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Baca juga: Tokoh-tokoh Pembaharu Islam di Mesir

Latar belakang munculnya gerakan Tajdid

Gerakan Tajdid atau pembaruan dalam Islam muncul pada periode modern, yakni sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18, yang terinspirasi dari Ibnu Taimiyah.

Ibnu Taimiyah adalah ulama dan filsuf dari Turki yang dikenal sebagai sosok yang sangat teguh pendiriannya, terutama pada syariat Islam.

Penyebab munculnya gerakan ini berasal dari faktor internal umat Islam, yang waktu itu mulai dirusak oleh paham syirik dan bidah.

Gerakan ini berhasil di Arab Saudi, setelah digerakan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan didukung oleh Muhammad bin Saud, pendiri Negara Saudi Pertama.

Keberhasilan gerakan Tajdid di Arab Saudi ditandai dengan berdirinya negara Arab Saudi.

Sejak itu, gerakan Tajdid berkembang hingga ke Benua Afrika. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pembaru Islam, seperti Usman dan Fonjo di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah di Sudan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Gerakan Pembaruhan Islam

Dalam kosa kata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernism, refermisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata Islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “Pembaruan”, dan Islah sebagai “Perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama – sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek – prateknya dalam komunitas kaum muslimin. Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran – ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan social.

Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi madern. Sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki dan memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18, tepatnya setelah munculnya pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu untuk melakukan pembaharuan. Hal ini karena agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar, sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beberapa pendapat para ahli yaitu :

a.         Din Syamsuddin

Bahwa pembaruan islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam kontekstualisas nilai- nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang – lambang, sedangkan kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi dengan peralatan social budaya tertentu dan penggunakan lambing – lambing tersebut untuk membungkus kembali substansi tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses subtansi (pemaknaan secara(pemaknaan secara hakiki, etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi ( penanggalan lambing – lambing) budaya asal (baca:arab), dan pengalokasian nilai – nilai tersebut ke dalam budaya baru (local). Sebagai proses substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistic terhadap islam.

b.        Harun Nasution

Menganalogikan istilah “ Pembaruan” dengan “modernism” karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung artipikiran, aliran, gerakan dan usaha mengubah paham – paham, adat istiadat, institusi lama, dan sebagainya untuk menyesuaiankan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Gagasan ini muncul di barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran – ajaran yang terdapat dalam agama politik dan protesta dengan ilmu pengetahuan modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, Harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas ( Azra, Azyumardi :1996)

c.         Revivalisasi

Menurut paham ini, “Pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “Murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammmad SAW dan kaum Salaf (Azra, Azyumardi : 1996)

d.        Kebangkitan Kembali (Resugence)

Dalam kamus Oxford, resurgence didefenisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” ( the act of rising again). Pengertian ini mengandung 3 hal yaitu :

1)        Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya.

2)        “Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup Nabi SAW dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang – orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup islam saat ini.

3)        Kebangkitan kembali sesuai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tangtangan, bahkan suatu ancaman terahadap pengikut pandangan – pandangan lain (Muzaffar, Chandra :1988)

Dalam usaha pembaruan ala barat (sekulerisme), usaha pembaruan malah menjadi usaha pendangkalan dan pemusnahan ajaran Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam adalah kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan tetap menjaga esensi dan karakteristik ajaran Islam.

Periode modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam. Ketika mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan merupakan ancaman bagi islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja islam dan pemuka-pemuka islam itu untuk melakukan pembaharuan dalam islam.

Dalam kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi  yang kuat dari luar, kekeroposan di dalam islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya pembaharuan dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti pembaharuan atau modernisasi dalam islam.

Hal sedemikian itu menyebabkan munculnya istilah kaum medernis dan kaum tradisionalis. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan lembaga-lembaga negara. Secara kasat mata terjadi dua sudut pandang yang berbeda, lambat laun terlihat adanya benang merah yang bisa ditarik (muncul titik temu) dari dua pandangan tersebut yang bisa ditarik (tentunya masih menyisakan pandangan yang berbeda pula), yang dimaksud dengan pembaharuan dalam islam, bukan mengubah Al-quran dan Al-hadis, tetapi justru kembali kepada Al-quran dan Al-hadis, sebagai sumber ajaran islam yang utama. Dengan pengamalan-pengamalan yang murni tanpa terkontaminasi paham-paham yang bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadis itu sendiri.

Adapun ciri – ciri dari gerakan pembaruhan  dalam islam :

a)      Kepercayaan yang kuat bahwa masyarakat harus ditata atas dasar Al- Qur’an dan As- Sunnah/ Hadist Nabi.

b)      Kebudayaan barat harus ditolak. Meskipun ada yang mau menerima kemajuan – kemajuan barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Muzaffar, Chandra :1988)

Tokoh-tokoh gerakan pembaharuan dalam Islam adalah:

1)        Mesir :

a. Muhammad Ali Pasya; Dengan usahanya menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.

b. Al-Tahtawi; Berpendapat bahwa penterjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat. Dia juga aktif mengarang dan menerbitkan surat kabar resmi " الوقا ئع المصرية" dan mendirikan majallah " روضة المدارس" yang bertujuan memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada khalayak ramai. Dia berpendapat bahwa ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Ini mengisyaratkan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tapi dia belum berani mengatakan secara terang-terangan. Dia juga mencela paham fatalisme. Menurutnya, disamping orang harus percaya pada qadha dan kadar Tuhan, ia harus berusaha

c. Jamaluddin Al Afghani; Dengan usahanya mendirikan perkumpulan “Urwatul Wusqo” . Pemikirannya : Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Pintu ijtihad masih terbuka, kemunduran Islam karena meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Paham qadha dan kadar dirusak oleh  paham fatalisme yang membawa umat Islam pada keadaan statis, lemahnya rasa persaudaraan umat Islam.

d. Muhammad Abduh; Dengan pemikirannya bahwa, kemunduran-kemunduran disebabkan oleh  paham jumud di kalangan umat Islam yaitu keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan, dan juga masuknya bid’ah dalam Islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya, pintu ijtihad perlu dibuka kembali, memerangi taklid, merubah cara pandang/faham jumud/fatalisme menjadi faham dinamika (kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan).

e. Rasyid Ridha; Dengan usahanya menerbitkan majalah “ Al Manar” yang bertujuan mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul, bid’ah, menghilangkan paham fatalisme. Pemikirannya bahwa umat Islam mundur sebab tidak mengamalkan ajaran yang sebenarnya. Perlu dihidupkan paham jihad, persatuan umat Islam, ijtihad.

2)        Turki

a. Sultan Mahmud II; Dengan mengadakan perubahan : dalam organisasi pemerintahan, bidang pendidikan antara lain menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah, mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, kedokteran dan sekolah pembedahan, mengirim siswa-siswa ke Eropa.

b. Tanzimat; Pembaharuan sebagai  lanjutan dari usaha-usaha sultan Mahmud II, dengan tokohnya Mustafa Rasyid Pasya.

c. Usmani muda; Yaitu golongan intelegensia kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan, dengan tokohnya Ziya Pasya.

d.  Turki muda

e. Mustafa Kemal Pasya dengan ide westernisme, sekularisasi, nasionalisme.


3)      India-Pakistan

a. Gerakan mujahidin; Dengan tokohnya sayyid Ahmad Syahid dengan pemikirannya : bahwa umat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi murni, tetapi bercampur dengan faham dari Persia dan India, Animisme dan adat istiadat Hindu. Yang boleh disembah hanya Tuhan tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebihan, tidak boleh memberikan sifat yang berlebihan pada makhluk, sunnah yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunnah Khalifah yang empat, dan larangan bid’ah, menentang taklid.

b. Sayyid Ahmad Khan; Dengan pandangan bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman, harus menghargai kekuatan akal, menentang paham fatalisme, menolak taklid, pendidikan merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan.

c. Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali. Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam Azad, dll.

4)      Indonesia

a. Salah satunya adalah Muhammadiyah, dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan.

 


B.  Tahapan atau Model pembaharuan Islam

Gerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang.

Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Model pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”

Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.

Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.

Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.

Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.

Dalam ketiga tahap atau model itulah muncul gerakan Tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan solusi bagi masa depannya.

C.  Faktor Pendorong Munculnya Gerakan Pembaruhan Islam

Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:

1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.

2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.

3. Gaya hidup elit sekuler di Negara – Negara Islam.

4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.

5. Pencarian keamanan psikologi diantara kaum pendatang baru di daerah perkotaan.

6. Ketahanan ekonomi Negara – Negara Islam tertentu akibat melonjaknya harga minyak.

7. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke 15 Hijriah ( Mazaffar, Chandra ;1988 )

BAB III

PENUTUP

A.       KESIMPULAN

Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Pembaharuan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran – ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan social.

Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam dibagi mejadi 4 model atau tahap: Model pertama, adalah revalisme pramodernis (premodernism revivalish), Model kedua, adalah modernisme klasik, Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), Tahap keempat yang disebut neomodernisme.

Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:

1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.

2. Gagalnya sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.

3. Gaya hidup elit sekuler di Negara – Negara Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Asmui, Yusran. 2001. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III).  Jakarta:Rajawali Pers.

Rahman, Faslur. 2001. Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.


Page 2