Letkol Untung berasal dari satuan pasukan khusus yaitu

Merdeka.com - Sejumlah pertanyaan masih menyelimuti peristiwa kelam 1 Oktober 1965 lalu. Siapa memanfaatkan siapa?

Benarkah Letkol Infanteri Untung Sjamsuri adalah otak di balik peristiwa ini. Ataukah Untung hanya dimanfaatkan oleh Ketua CC PKI DN Aidit? Atau justru Soeharto yang memanfaatkan Untung?

Sejarawan Petrik Metanasi menilai Untung bukanlah otak Gerakan 30 September. Benar kala itu Untung yang memimpin gerakan militer untuk menculik para jenderal ke Lubang Buaya. Tapi dia meyakini kalau Untung bukanlah pimpinan utama. Untung hanyalah komandan pasukan militer Gerakan 30 September.

"Kita lihat Untung adalah sosok prajurit yang kurang pandai berpolitik. Untung terlibat gerakan itu mungkin karena mendengar isu Dewan Jenderal. Sebagai Komandan Batalyon Cakrabirawa, Untung merasa punya kewajiban menyelamatkan Soekarno," kata Petrik saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (28/9).

Saat aksi 30 September, memang tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Tapi satu hal yang pasti sebagaimana kebiasaan komunis, politik mengendalikan tentara. Dalam G30S, Kepala Biro Chusus PKI Sjam Kamaruzaman justru yang lebih dominan mengendalikan gerakan itu. Empat perwira militer, Brigjen Soepardjo, Kolonel Latief, Letkol Untung dan Mayor Soejono, berada di bawah kendali Sjam.

Biro Chusus PKI adalah lembaga rahasia yang bertugas merekrut para anggota militer untuk kepentingan PKI. Tak semua petinggi PKI tahu soal biro chusus ini. Hanya Ketua Comite Central (CC) PKI DN Aidit yang mengendalikan mereka.

Dalam pengakuannya soal G30S, Brigjen Soepardjo juga mengaku bingung. Sebagai jenderal yang biasa memegang komando dan bekerja secara cermat, Soepardjo bingung dengan organisasi G30S.

"Apa yang terjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi yang langdradig (tak berujung pangkal), sehingga kita semua bingung melihatnya. Siapa sebenarnya komandan? Kawan Sjamkah? kawan Untungkah? kawan Latifkah?" Mengenai hal ini perlu ada peninjauan yang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanye di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan kerja yang wajar," tulis Soepardjo seperti dikutip John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal.

Soepardjo juga menyayangkan Untung tak berbuat sesuatu saat musuh dalam kondisi bingung. Kala itu seharusnya Untung bisa melakukan tindakan, memukul satuan-satuan militer yang tak mendukung G30S, atau mengambil kendaraan lapis baja untuk memperkuat posisi mereka.

"Radio RRI yang kita kuasai juga tidak kita manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda," tulis Soepardjo.

Maka setelah para jenderal dibunuh dan Presiden Soekarno memerintahkan Gerakan 30 September menghentikan aksinya, yang terjadi adalah kekalutan. Untung bingung, tak tahu harus melakukan apa.

Secara nyata memang pasukannya kalah jauh dengan pasukan Kostrad Mayjen Soeharto yang didukung RPKAD.

Untung membubarkan pasukannya. Dia kemudian lari ke Jawa Tengah. Sebagai komandan, seharusnya Untung memberikan keterangan kemana harus lari, lalu dimana daerah aman. Kapan bertemu kembali. Tapi pasukan itu dibubarkan seperti membubarkan anak ayam.

Wakil Perdana Menteri kepercayaan Soekarno, Soebandrio, juga punya analisa sendiri. Soebandrio menyebut tanggal 15 September 1965, Untung menemui Soeharto. Untung melaporkan akan ada aksi Dewan Jenderal. Dia pun mengaku akan menangkap para jenderal itu dengan kapasitasnya sebagai komandan batalyon Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden.

Apa kata Soeharto? "Bagus kalau kamu punya rencana begitu sikat saja. Jangan ragu-ragu. Kalau perlu bantuan akan saya bantu," tutur Soebandrio.

Soeharto menawarkan pasukan bantuan yaitu Yon Raiders 530 dari Jatim dan Yon 454 dari Jateng.

Kebetulan menjelang HUT ABRI 5 Oktober. Pasukan inilah yang pada 1 Oktober stand by di Lapangan Monas depan Istana Negara.

Tapi pasukan ini ternyata tak bisa diandalkan Untung. Yon 530 segera kembali saat diminta Soeharto kembali ke Kostrad. Yon 545 mundur ke Lubang Buaya dan sempat terlibat baku tembak dengan RPKAD. Tak ada dukungan logistik membuat dua pasukan ini kocar-kacir.

Maka sejarawan Petrik Metanasi meragukan jika Untung benar-benar siap melakukan kudeta. Untung hanya menjadi pimpinan gerakan militer, bukan operasi seluruhnya.

"Untung tak siap. Dia tidak punya rencana matang," kata Petrik.

Maka Untung harus membayar kudeta bingungnya dengan eksekusi mati di depan regu tembak Soeharto. Ironisnya, sampai saat terakhir dia masih berharap Soeharto akan datang menyelamatkannya.

tirto.id - Sersan Mayor Bungkus masih ingat apa yang dialaminya pada 30 September 1965. Seperti diakuinya dalam artikel The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati—yang dimuat di jurnal Indonesia edisi Oktober 2004 volume 78 terbitan Universitas Cornell, “Sore hari tanggal 30 September (1965), saya diberi pengarahan oleh komandan kompi saya."

Sang komandan kompi C dari Batalyon Kawal Kehormatan (KK) I Cakrabirawa, yang sangat dikenal Bungkus itu, adalah Letnan Satu Dul Arif. Dalam apel malam, Dul Arif hanya bisa memperoleh 60 anggota. Pasukan itu lalu bergerak ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

“Komandan Batalyon kita (Letnan Kolonel Untung) telah menugaskan saya memegang unit Cakra berangkat dalam sebuah misi. Ada kelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno," kata Dul Arif seperti ditirukan Bungkus.

Tugas Cakrabirawa tak lain melindungi Presiden Sukarno. Dari ucapan Dul Arif itu, para pasukan tentu merasa bahwa para jenderal itu musuh besar mereka. Sehingga tak heran saat dalam penculikan, yang dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pasukan Cakrabirawa tidak ragu menembak jenderal yang mereka bawa.

Baca Juga: Cerita Seputar Para Penculik G30S

Pada malam 30 September 1965 itu, Letnan Kolonel Untung sang komandan Batalyon KK I Cakrabirawa ikut mengawal Presiden Sukarno di acara musyawarah nasional ahli teknik di Senayan. Presiden berada di Senayan hingga pukul 23.00 malam. Setelah itu, Untung berangkat ke Lubang Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk melihat pasukan.

Dini hari 1 Oktober 1965, pasukan pun berangkat menculik jenderal-jenderal Angkatan Darat yang dianggap sebagai Dewan Jenderal. Ada enam jenderal dan satu Letnan berhasil ditangkap hingga berakhir di sebuah sumur tua di Lubang Buaya.

Paginya, pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung yang pendiam dan dianggap buta politik itu, dalam siaran Radio Republik Indonesia (RRI, tersebut sebagai Ketua Dewan Revolusi. Di mana anggota-anggota Dewan Revolusi itu adalah orang-orang terkemuka yang tak semuanya komunis. Untung menjadi satu-satunya penandatangan dokumen Dewan Revolusi itu. Aksinya tak hanya soal malam jahanam itu, karena sebelumnya Untung menorehkan sejarah soal dirinya.

Letnan Kolonel Untung adalah pemegang Bintang Sakti, seperti juga Benny Moerdani, atas aksinya pada 1962 dalam Operasi Trikora melawan tentara Belanda di Papua Barat. Intinya, Untung sempat punya nama baik sebelum 30 September 1965.

Baca Juga:

  • Bintang Sakti Untung Sjamsuri dan Benny Moerdani
  • Soepardjo Jenderal Angkatan Darat dalam G30S

Untung memang tak seberuntung namanya, ia jadi pemimpin gerakan kudeta yang gagal. “Untung bertubuh pendek kekar dan berleher gemuk, memperlihatkan stereotip seorang prajurit," tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008).

Ia hanya bisa diandalkan bertempur seperti di Sumatera waktu menghajar PRRI dan di Papua Barat dalam Trikora, tapi tidak untuk berpolitik. Audrey Kahin dalam karyanya Dari Pemberontakan ke Integrasi (2005) menyebut orang-orang di Sumatera Barat, heran mengetahui Untung yang pendiam dan tidak populer memimpin sebuah kudeta G30S itu.

Untung memang dilahirkan untuk menjadi tentara. Laki-laki bernama asli Kusman ini, seperti ditulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang (2010), pernah jadi pembantu tentara Jepang (Heiho) di zaman Jepang, waktu umurnya belum 20 tahun.

Ketika Peristiwa Madiun 1948, ia masih berpangkat Sersan Mayor. Pada 1950-an, ia pernah jadi bawahan Suharto sebagai Letnan dalam Batalyon Sudigdo di Kleco, Solo. Pangkatnya naik bertahap sejalan jam tugasnya sebagai prajurit. Waktu penumpasan PRRI, sekitar 1958, pangkatnya masih Letnan Satu. Ia langsung naik jadi Kapten usai tugas pulang dari Sumatera. Ia kemudian jadi Mayor pada 1962 dan jelang 1965 sudah berpangkat Letnan Kolonel.

Saat bertugas ke Irian Barat, ia memimpin pasukan Banteng Raider dari Batalyon 454 Srondol Kodam Diponegoro Jawa Tengah. Untung sempat jadi Komandan Batalyon di sana, menggantikan Letnan Kolonel Ali Ebram, yang dianggap pengetik Supersemar. Sebagian pasukan Raider dari Srondol ada yang ditarik sebagai Resimen Cakrabirawa.

Pasukan yang sempat di Banteng Raider masuk dalam Batalyon KK I Cakrabirawa yang dipimpin Untung. Banteng Raider adalah pasukan elit yang didirikan Ahmad Yani yang juga menjadi korban penculikan G30S. Di antara pasukan penculik G30S sebagian berasal dari Banteng Raider.

Baca Juga: Kiprah dan Tragedi Para Perwira Banteng Raider

Bintang kehidupan Untung mulai suram sejak 1 Oktober 1965. Sebagai sosok yang sangar secara militer, Untung tergolong apes terkait peristiwa penangkapannya. Untung yang menghilang setidaknya sejak 2 Oktober 1965. Pada 11 Oktober 1965 berusaha kabur ke sekitar Jawa Tengah dan dia berada dalam sebuah bus. Di Tegal, bus yang ditumpangi rupanya dimasuki tentara yang tak dikenal olehnya.

Namun, ia tak mau kena ciduk oleh tentara yang naik, ia memutuskan melompat dari bus. Sialnya tubuhnya menghantam sebuah tiang listrik. Kesialannya makin bertambah, saat orang-orang di sekitar tempat mengira dirinya adalah copet. Untung sempat digebuki massa. Menurut Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel (2009), Untung tetap mencoba menunjukkan gengsi sebagai perwira. Untung memposisikan diri sebagai orang yang tak takut pada siksaan yang akan menimpanya.

Awal 1966, Untung diadili oleh sebuah pengadilan luar biasa dalam sejarah Indonesia, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Ruang sidangnya pun bukan di gedung pengadilan Kementerian Kehakiman melainkan Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di dekat Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat.

Dalam pengadilan Untung, Gumuljo Wreksoatmodjo SH bertindak sebagai pembela. Ketua Mahmilub yang mengadili Untung adalah Letnan Kolonel CHK Soedjono Wirjohatmodjo SH dengan hakim anggota: Letnan Kolonel Udara Zaidun Bakti; Ajun Komisaris Besar Drs Kemal Mahisa SH; Mayor AL Hasan Basjari SH; Mayor tituler Sugondo Kartanegara. Oditur yang menuntut perkara itu adalah Letnan Kolonel Iskandar SH. Mitzi Tendean, kakak dari Kapten Pierre Tendean hadir dalam persidangan.

Berkas-berkas pengadilan dibukukan dan jadi sebuah karya yang berjudul Gerakan 30 September di hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966). Dalam laporan ini, pekerjaan Untung adalah Letnan Kolonel Infanteri (Angkatan Darat) Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa dan berdasar Keputusan Presiden/Pangti ABRI/KOTI/nomor 171/KOTI/1965 per 4 Desember 1965 diberhentikan tidak hormat dari pangkat dan jabatannya dalam dinas ketentaraan terhitung mulai 30 September 1965.

Dalam persidangannya, Untung sempat menyebut: “Kolonel Latief yang menyatakan tentang kesulitan daripada ekonomi prajurit, dan pada umumnya keterangan-keterangan itu dibenarkan oleh yang hadir yakni saya sendiri (Untung), Kapten Wahjudi dan juga Mayor Udara Sujono termasuk Sjam (Kamaruzaman) dan Pono." Itu yang ingat Untung dalam rapat terkait G30S pada 19 Agustus 1965.

Semula, menurut Subandrio dalam buku Kesaksianku tentang G-30-S (2000), Untung yang sempat ditahan di Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Cimahi, punya keyakinan dia tak bakal dihukum mati. Ia yakin Soeharto bakal membebaskannya.

Namun, pada 6 Maret 1966, Mahmilub memberi vonis: Hukuman Mati kepada Untung. Esoknya dibuat surat keputusan dari Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, menyetujui keputusan dan eksekusi mati terhadap Untung. Pembelanya sempat minta grasi agar tak dihukum mati. Grasi tak datang padanya tapi hukuman mati yang menghampirinya.

Menurut Subandrio, “Saat itu dia sudah selesai ditanya permintaan terakhirnya, seperti lazimnya orang-orang yang akan menjalani eksekusi mati. Mungkin karena sedang panik, dia malah tidak minta apa-apa."

Baca juga artikel terkait G30S PKI atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
(tirto.id - pet/dra)

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra

Subscribe for updates Unsubscribe from updates