Larangan memotong kuku dan rambut bagi yang akan berkurban nu online

Terdapat pemahaman hadits memotong kuku hewan qurban yang berbeda

Wihdan Hidayat / Republika

Iustrasi hewan qurban. Terdapat pemahaman hadits memotong kuku hewan qurban yang berbeda

Rep: Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan kepada umatnya tentang penyembelihan hewan qurban yang sebentar lagi akan dilaksanakan pada momentum Hari Raya Idul Adha 1443 Hijriah. 

Baca Juga

Pengurus Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustadz Wawan Gunawan Abdul Wahid, menjelaskan beberapa poin tuntunan yang didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW. 

Di antaranya, terkait larangan bagi shohibul qurban untuk memotong kuku dan rambut. Persoalan ini menurut Ustadz Wawan, masih kurang diketahui umat Islam.  

"Di antara yang masih kurang diketahui oleh umumnya kaum muslimin berkaitan dengan tata laksana berqurbanadalah setiap muslim dan muslimah yang berniat jadi shahibul qurbandituntunkan sejak 1 Dzulhijjah untuk tidak melakukan pemotongan kuku dan rambut," jelas Ustaz Wawan kepada Republika.co.id, Kamis (23/6/2022). 

Menurut Ustadz Wawan, hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini:    

عن أم سلمة أن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال إذا رأيتم هلال ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره

“Artinya: Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi SAW bersabda, “Jika kamu sekalian memasuki tanggal 1 Dzulhijjah dan diantara kalian ada yang berkeinginan untuk berqurbanhendaklah dia tidak memotong rambut dan kukunya." (HR Muslim). 

Merujuk pada penjelasan Abul Faraj Abdurrahman Ibnl Jauzi dalam kitabnya Kasyf al-Musykil min Hadits ash-shahihain, hadits di atas menginformasikan dua hal. Pertama, hukum menunaikan penyembelihan qurban itu bukan wajib. Di antara jumhur ulama Abu Hanifah yang berpendapat bahwa berqurban wajib bagi orang kaya yang muqim sementara Ahmad bin Hanbal mengatakan berqurbanwajib atas orang kaya. 

Kedua, shohibul qurban diposisikan sama dengan seorang yang sedang menunaikan ihram yang dikenai ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam hal ini kepada shahibul qurban dituntunkan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut.

Baca juga: Neom Megaproyek Ambisius Arab Saudi, Dirikan Bangunan Terbesar di Dunia

Sementara, dalam kitab Faidl al-Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, al-Hafizh Zainuddin Abdurrauf al-Minawi menjelaskan kalimat “fal-yamsik ‘an sya’rihi wa azhfaarih” sebagai “hendaklah shahibul qurbantidak memotong rambutnya untuk dibiarkan apa adanya…” (I:465). 

Ulama mutakhir seperti Syeikh Ibnu Jabrin dalam kitabnya as-Siraj al-Wahhaj lil Mu’tamir wal-Haaj, menambahkan, “Tuntunan ini hanya berlaku bagi shahibul qurban saja dan tidak mencakup kepada isteri serta putra-putrinya”.

Tetapi saat salah seorang di antara anggota keluarga selain ayah ada yang jadi shahibul qurban maka tuntunan tidak memotong kuku dan rambut ini berlaku baginya.   

Menariknya ada yang coba jelaskan bahwa kuku dan rambut yang tidak dipotong itu bukan milik shahibul qurban tetapi milik binatang hewan qurban. Pandangan ini mungkin muncul karena adanya hadits lainnya yang secara lahir memuat makna yang jumbuh sehingga membuka kemungkinan pemaknaan sedemikian. Hadits yang dimaksud adalah: 

عن أم سلمة قالت قال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} من كان له ذبحٌ يذبحه فإذا أهل هلال ذي الحجة فلا يأخذن من شعره ولا من أظفاره شيئاً حتى يضحي 

“Dari Ummu Salamah, dia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ” Siapa yang memiliki hewan qurbanuntuk disembelih maka sejak 1 Dzulhijjah dia tidak boleh mencukur rambut dan memotong kukunya sedikitpun hingga dia sembelih hewan qurbannya.”(HR Muslim).

Yang membedakan hadits kedua ini dari hadis pertama adalah kata ganti (isim dlamir) yang menyertai kata sya’r dan azhfar. Secara lahir kata ganti itu bisa dijumbuhkan antara kembali kepada man (siapa) atau dzibhun (hewan kurban) sedemikian rupa sehingga ada yang memahaminya sebagai bagian dari kata dzibhun. 

"Menariknya nyaris belum terbaca bahwa ada seorang ulama yang memaknai hadits yang kedua di atas dengan menyebutkan bahwa kata ganti tersebut kembali kepada binatang yang disembelih," kata Ustadz Wawan. 

Lebih dari itu hadits-hadits lain lainnya menegaskan bahwa kata ganti itu kembali kepada shahibul qurban. Berikut salah satu dari hadits tersebut.  

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أُمِرْتُ بِيَوْمِ الأَضْحَى عِيدًا جَعَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ الأُمَّةِ ». قَالَ الرَّجُلُ أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّى بِهَا قَالَ « لاَ وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَتِكَ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ». 

“Dari Abdullah bin Amr radliyallau anhuma bahwa Nabi saw bersabda, “Aku diperintahkan untuk menjadikan idul adlha ini sebagai hari raya yang diciptakan Allah untuk ummat ini. Lalu seorang shahabat menimpali,” (untuk mengisi hari raya ini) bagaimana menurut pandangan Baginda Nabi saw, jika saya tidak menemukan hewan qurbankecuali berjenis kelamin betina apakah itu sudah sempurna untuk berkurban? Nabi SAW menjawab, Tidak. tetapi (kamu tambahkan) dengan memotong kuku, mencukur kumis, mencukur bulu ketiak itulah kesempurnaan berkurbanmu menurut Allah ‘azza wajalla.” (HR Abu Dawud) 

Dengan terang benderang, hadits terakhir di atas, menginformasikan dua hal sekaligus. Pertama, bahwa yang tidak dipotong dan tidak dicukur itu adalah kuku dan rambut shahibul qurban bukan kuku dan rambut hewan qurban. Kedua, membiarkan rambut dan kuku sejak Dzulhijah dan mencukur serta memotongnya setelah penyembelihan hewan qurbanmerupakan bagian dari keutamaan ibadah qurban.      

Larangan memotong kuku dan rambut bagi yang akan berkurban nu online

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Larangan memotong kuku dan rambut bagi yang akan berkurban nu online

INDONESIATODAY.CO.ID - Apa saja larangan orang yang berkurban? Menyadur NU Online, boleh atau tidaknya memotong kuku dan rambut bagi orang yang ingin berkurban masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Perdebatan larangan orang yang berkurban ini berawal dari perbedaan pemahaman hadits riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadits oleh para ulama. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:

“Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain). 

Pemahaman ulama terhadap hadits ini terbagi jadi dua, pertama mereka yang memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berkurban untuk memotong kuku dan rambut. 

Baca Juga: Hukum Kurban dengan Sapi Terinfeksi PMK Menurut Fatwa MUI, Boleh atau Tidak?

Sementara pendapat lainnya mengatakan, hal yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban (al-mudhahhi), tapi merujuk pada hewan kurban (al-mudhahha). 

Apakah pemahaman yang pertama ini berimplikasi pada kerahaman? Makruh? Atau hanya mubah saja? Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan:

“Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh."

Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu mubah atau boleh, tidak makruh bila dipotong dan tidak sunah pula jika tidak dipotong, namun Imam Ahmad mengharamkannya.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini agar seluruh tubuh kelak diselamatkan dari api neraka. Sebab ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.

Baca Juga: PMK Mewabah, Masjid Nurul Huda Malang Meniadakan Penyembelihan Hewan Kurban

Selain itu, ada juga yang berpendapat tidak boleh potong rambut dan kuku selama 10 hari awal bulan Dzulhijjah sebagaimana halnya orang yang ihram. Namun pendapat ini dikritik sebagian ulama. Imam An-Nawawi mengatakan:

“Ulama dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka. Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram."

"Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka boleh bersetubuh, memakai wewangian, pakaian, dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram."

Pendapat kedua menyatakan larangan memotong rambut dan kuku bukan untuk orang yang berkurban tapi memotong bulu dan kuku hewan kurban karena bulu, kuku dan kulit hewan kurban akan jadi saksi di hari akhirat kelak. 

Pandangan ini sebenarnya tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Oleh sebab itu, Mula Al-Qari menyebut ini pendapat gharib yang artinya aneh, unik atau asing. Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih:

“Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”

Belakangan, pendapat yang dikatakan asing oleh Mula Al-Qari ini diperkuat oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub. Dalam kitabnya, At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadits ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain. 

Almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan yang artinya hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya. Ada istilah wihdatul mawdhu’iyah fil hadits atau kesatuan tema hadits. Teori ini dipakai untuk menelusuri ‘illat atau maksud hadits. 

Terkadang dalam satu hadits tidak disebutkan ‘illat dan tujuan hukumnya sehingga perlu dikomparasikan dengan hadits lain yang lebih lengkap, selama itu masih satu pembahasan. 

Hal ini khususnya untuk satu hadits yang maknanya umum, sementara pada hadits lain, dalam kasus yang sama, maknanya lebih spesifik dan jelas.

Menurut Kiai Ali, memahami hadis Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat ‘Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:

“Rasulullah SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban. Karena ia akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya,  pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban (HR Ibnu Majah). 

Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi: “Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan,” (HR At-Tirmidzi). 

Berdasarkan pertimbangan dua hadits tersebut, Kiai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi adalah bukan memotong rambut dan kuku orang yang berkurban, tapi hewan kurban, karena rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak.

“’Illat larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotong  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.”

Demikian penjelasan tentang larangan orang yang berkurban yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini yang dirangkum dari NU Online. Semoga informasi ini bermanfaat untuk umat muslim yang sedang bersiap menyambut Idul Adha.

Kontributor : Rima Suliastini