Kongres yang dilaksanakan berpindah pindah merupakan Bagian dari

Red:

Ia adalah KH Ibrahim. Sosok kelahiran Yogyakarta 7 Mei 1874 itu, didaulat sebagai ketua umum Muhammadiyah kedua, menggantikan KH Ahmad Dahlan.

Semula, putra dari KH Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, itu sempat menolak menerima amanah yang disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan dalam wasiatnya sebelum meninggal. Namun, akhirnya atas desakan rekan-rekan perjuangannya, ia menjalankan permintaan itu dan menjabat sebagai ketua umum selama periode 1923-1933. Di bawah kepemimpinan tokoh yang satu ini, Muhammadiyah pada periode awal, berkembang pesat. Organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, yang tak lain adalah kakak iparnya tersebut, mulai tersebar di berbagai wilayah Jawa dan Madura. Aktivitas keorganisasian semarak di luar Yogyakarta. Sejumlah kongres dihelat antara lain di Surabaya (Kongres ke-15), Pekalongan (Kongres ke-16), dan Sola (Kongres ke-17). Tidak hanya di Jawa, beberapa kongres di masa kepemimpinannya, berlangsung pula di Sumatra, seperti Bukttinggi ketika Kongres Muhammadiyah ke-19, dan Makassar ketika Kongres Muhammadiyah ke-21 dilangsungkan. Ini sekaligus menjadi bukti  bahwa, cabang-cabang Muhammadiyah subur berdiri di banyak kawasan Tanah Air.

Visioner

Adik kandung dari Nyai Ahmad Dahlan ini, dikenal sebagai pemimpin yang visioner. Bukan hanya pengembangan organisasi di berbagai wilayah, ia melakukan gebrakan-gebrakan program untuk pemberdayaan umat. Pada 1924, sosok yang mahir berbahasa Arab itu mendirikan Fonds Dachlan, lembaga filantropi untuk mendanai sekolah anak-anak miskin. Selanjutnya, pada 1929 ketika Kongres Muhammadiyah berlangsung di Solo, ia mendirikan badan usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang diberi nama Uitgeefster My. Di bidang media, sebuah surat kabar (dagblad) diterbitkan yang kemudian hari dikenal dengan Adil. Kendati demikian, meski menapaki sejumlah prestasi selama memimpin Muhammadiyah, ia juga sempat menghadapi fitnah dan tudingan miring. Di antaranya Muhammadiyah dan segenap pengurus dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibentuk oleh persatuan pabrik gula milik Belanda. Terpaan semakin kuat, ketika Muhammadiyah dituding menerima bantuan dari PEB. Berkat gaya kepimpinannya yang terbuka dan elegan, fitnah tersebut bisa diselesaikan. Ibrahim adalah sosok panutan yang serbabisa. Tidak hanya mahir berogranisasi, penguasaan suami dari Siti Moechidah dan Moesinah ini terhadap ilmu agama tak diragukan lagi. Ia adalah ulama yang memiliki wawasan luas. Tokoh yang hafal Alquran ini, dikenal juga ahli dalam seni baca Alquran. Kemahirannya dalam ilmu agama, terutama Alquran, tak terlepas dari didikan keluarga. Orang tuanya langsung yang mengajarinya menguasai Kitab Suci sejak usia lima tahun. Lingkungan yang kondusif itu juga tampak ketika KH M Nur, kakak kandungnya, berkonstribusi terhadap bekal keilmuannya. Fondasi keilmuan Sang Kiai semakin kuat setelah belajar di Tanah Suci, Makkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Ketika itu usianya masih cukup belia, yakni 17 tahun. Di Tanah Hijaz inilah, menantu dari KH Abdulrahman tersebut menimba ilmu dari sumbernya langsung. Ia belajar secara talaqqi ke sejumlah ulama di sana. Hingga pada 1902, ia kembali ke Tanah Air, atas permintaan keluarga, lantaran ayahnya lanjut usia. N c62 ed: nashih nashrullah

Kontinuitas Kiprah hingga Ajal Menjemput

Berada di Tanah Air, tak membuat kiprah Ibrahim di bidang keilmuan terhenti. Justru, di tanah kelahirannya tersebutlah, ia dituntut membuktikan dan mengabdikan ilmunya untuk umat. Ia menggelar pengajian di rumahnya dan mendapat respons positif dari masyarakat. Taklim yang ia pimpin selalu dibanjiri jamaah, terutama kalangan pemuda. Biasanya pengajian dilaksanakan tiap hari, kecuali Jumat dan Selasa. Sambutan baik dari masyarakat itu tak terlepas dari pribadinya yang cerdas, berwawasan luas. Ia seorang penghafal dan ahli seni baca Alquran, serta tentu mahir berbahasa Arab. Kelebihan inilah yang menjadikannya disegani, apalagi ia berdarah Jawa tulen. Pengajian juga menyasar kaum ibu. Bahkan melalui sebuah perkumpulan yang bernama Adz-Dzakiraat, tokoh yang dikukuhkan sebagai Ketua Umum Kedua Muhammadiyah pada Maret 1923 ini, mengajak para ibu Muhammadiyah agar rajin beramal dan beribadah. Pengabdiannya untuk umat tak pernah terhenti. Jalan dakwah dan pencerahan terus ia tapaki sampai Sang Khaliq memanggilnya kembali pada 13 Oktober 1932 di Yogyakarta. N c62 ed: nashih nashullah

Rifat Badawi Rafi al-Thahthawi
Peletak Pembaruan Islam

Putra asli Mesir kelahiran Kampung Thahtha distrik Suhaz pada 15 Oktober 1801 ini, adalah pemikir dan peletak batu pertama kebangkitan Arab Islam modern. Ia berhasil membawa dunia Arab Islam bangkit di tengah rongrongan Barat dan perebutan hegemoni klan pascaruntuhnya Turki Ottoman. Anak dari Badwi bin Ali ini adalah intelektual modern pertama dari Timur Tengah yang mendialogkan pemikiran Barat dan Timur. Selain mengkritik sekularisme Barat, Rifat juga menyerukan islamisasi dalam berbagai bidang, termasuk hukum. Rifat mengajak para pembaru Islam untuk mengembangkan fikih Islam kontemporer agar tetap sesuai dengan konteks zaman dan bisa menyelesaikan problematika masyarakat modern yang belum muncul sebelumnya. Tekad dia mengkaji peradaban Barat adalah untuk memberikan yang terbaik bagi Arab sebagaimana yang telah para pendahulunya lakukan, dengan mentransfer ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, dan India, ke dunia Arab.  Rifat memiliki cita-cita untuk membawa dunia Arab yang kedua kalinya ke gerbang kejayaan, setelah hanyut akibat sistem feodalisme raja-raja Eropa. Untuk menyejajarkan bangsa Arab yang sedang dipapah bangkit, tokoh yang memiliki garis keturunan kepada Rasulullah SAW dari jalur Husein ini  memadukan peradaban Timur yang kaya dengan sejarah kejayaan masa lampau dengan peradaban Barat modern, yang ketika itu tengah terkonsentrasi di Prancis. Buah pemikirannya itu tertuang apik dalam karya monumentalnya yang berjudul Takhlish al-Ibriz fi Talkhish Bariz. Dalam bukunya itu, Rifat memberikan gambaran sebab-sebab kemajuan Prancis, dan sekaligus mengajak Arab untuk menempuh jalan yang sama dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai Islam sebagai pijakan. Sebuah pemikiran moderat, namun tidak mengabaikan syariat Islam yang sudah menjadi harga mati mesti dilaksanakan setiap orang yang beragama Islam. Bagaimanakah kiprah Rifat dalam agenda besar pembaruan dunia Islam? Simak jejaknya dalam rubrik Mujaddid edisi pekan depan.  ed:  nashih nashrullah

Kongres yang dilaksanakan berpindah pindah merupakan Bagian dari

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Kongres yang dilaksanakan berpindah pindah merupakan Bagian dari
Kongres yang dilaksanakan berpindah pindah merupakan Bagian dari

KH Ibrahim/ Muhammadiyah Foto Dok Pusdalit SM

KH Ibrahim lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia adalah putra KH Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke-7 dan ia merupakan adik kandung Nyai Ahmad Dahlan.

KH Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya segera dipanggil menghadap Allah. Selang beberapa waktu kemudian KH Ibrahim menikah dengan ibu Moesinah, putri ragil dari KH Abdulrahman (adik kandung dari ibu Moechidah). Ibu Moesinah dikaruniai usia yang cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan baru meninggal pada 9 September 1998.

Masa kecil KH Ibrahim dilalui dalam asuhan orang tuanya, diajar mengaji Al-Qur’an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam ilmu agama oleh saudaranya sendiri (kakak tertua), yaitu KH M Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dilanjutkan menuntut ilmu di Makkah selama kurang lebih 7-8 tahun. Pada tahun 1902 ia pulang ke tanah air karena ayahnya sudah lanjut usia.

Setibanya di tanah air, KH Ibrahim mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Banyak orang berduyun-duyun untuk mengaji ke hadapan KH Ibrahim. Beliau termasuk seorang ulama besar yang cerdas, luas wawasannya, sangat dalam ilmunya dan disegani. Ia merupakan seorang yang hafidh Al-Qur’an dan ahli qira’ah, serta mahir berbahasa arab.

Sebagai orang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam menghafal Al-Qur’an dan berbahasa arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-arsy) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi Sumatra Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa arab yang fasih.

Sebelum KH Ahmad Dahlan wafat, beliau berpesan kepada para sahabatnya agar tongkat kepemimpinan Muhammadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada KH Ibrahim, adik ipar KH Ahmad Dahlan. Mula-mula KH. Ibrahim yang terkenal sebagai ulama besar menyatakan tidak sanggup memikul beban yang demikian berat itu. Namun atas desakan sahabat-sahabatnya agar amanat pendiri Muhammadiyah bisa dipenuhi, akhirnya dia bisa menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah Hindia Timur (Soedja’, 1933: 232).

Peran KH Ibrahim

Semenjak kepemimpinan KH Ibrahim, kemajuan Muhammadiyah cukup pesat. Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan menyebar luas di seluruh Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar, Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang. Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah dapat meluas ke seluruh wilayah Indonesia.

Menurut catatan KH. AR. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan menonjol, penting dan patut dicatat adalah, pada tahun 1924, KH. Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang bertujuan membiayai sekolah untuk anak-anak miskin. Pada tahun 1925, beliau mengadakan khitanan masal. Disamping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa.

Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah Muhammadiyah (Mu’allimin, Mu’allimat, Tabligh School, Normaal School) ke seluruh pelosok tanah air, yang kemudian di kenal dengan anak panah Muhammadiyah (AR Fachruddin, 1991).

Pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbitan buku sekolah Muhammadiyah di bawah naungan Majelis Taman Pustaka.

KH Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah. Selama periode kepemimpinannya, ia lebih banyak memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda untuk mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil membimbing gerakan Aisyiyah untuk semakin maju, tertib dan kuat. Ia juga berhasil meningkatkan kualitas takmirul masjid (pengelolaan masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.

KH Ibrahim wafat dalam usia 60 tahun, pada awal tahun 1934, setelah menderita sakit agak lama. Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan pada Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim) cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di seluruh tanah air.(diko)