Kisah penderita gagal ginjal yang sembuh

Puluhan keluarga korban pasien gagal ginjal akut menuntut pemerintah tidak lepas tangan dengan tetap menangani perawatan juga pengobatan anak-anak mereka hingga betul-betul pulih.

Pasalnya ada sejumlah anak yang dirawat di rumah sakit dan diduga mengalami kelumpuhan akibat gangguan saraf yang disebabkan oleh keracunan obat sirup.

Juru bicara Kementerian Kesehatan berjanji akan terus memantau anak-anak kasus gagal ginjal akut melalui fasilitas kesehatan di daerah dan bagi keluarga yang tidak mampu akan ditanggung lewat BPJS.

Sumber gambar, BBC Indonesia

Keterangan gambar,

Awan Puryadi (kiri) kuasa hukum keluarga korban gagal ginjal akut, Tey David Sulu (tengah), dan Desi Permata Sari (kiri) adalah orangtua dari anak korban gagal ginjal akut.

'Anak saya mengalami gangguan saraf'

Desi Permata Sari tak bisa menahan tangis begitu bercerita tentang kondisi anak bungsunya, Sheena.

Bocah perempuan berusia empat tahun itu masih dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo di Jakarta karena keracunan obat sirup mengandung etilen glikol dan dietilen glikol.

Mulanya sang anak mengalami demam, batuk, dan pilek. Desi pun membawanya ke rumah sakit terdekat dan diberi obat Paracetamol.

"Setelah dua hari minum obat, anak saya muntah. Bangun tidur dia bilang mau kencing, tapi tidak keluar. Saya tunggu sampai besok, belum juga bisa kencing," ujar Desi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/11).

Khawatir dengan keadaan anaknya kian memburuk, Desi memboyong lagi Sheena ke rumah sakit yang sama dan dirawat inap selama satu hari.

Tapi karena urine tidak kunjung keluar, sambungnya, pihak rumah sakit mengecek darah anaknya dan belakangan harus dirujuk ke RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

"Tanggal 10 September anak saya masuk RSCM di ruang PICU. Besoknya anak saya cuci darah untuk mengeluarkan racun. Saat itu Sheena tidak memerlukan alat bantu apapun, masih sadar, bisa diajak komunikasi."

"Dua hari di PICU, dia dipindahkan ke ruang perawatan dan masih harus cuci darah. Tapi empat atau lima hari setelahnya, kondisinya menurun dan pakai alat ventilator."

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatrik Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Jumat (21/10/2022). 

Saat itu, Desi diberi tahu bahwa Sheena dalam keadaan koma dan mengalami pendarahan hebat di lambung disertai kejang. Dokter yang merawat juga mengatakan, "kondisinya sangat berat sehingga sulit untuk kembali seperti semula".

Desi, lagi-lagi menangis menceritakan kejadian saat itu. Ia masih ingat bagaimana darah mengucur deras dari mulut dan hidung anaknya.

Yang bikin tambah sedih, berat badan Sheena turun drastis. Ini karena efek pendarahan tersebut membuat anaknya tidak bisa mengonsumsi apapun.

"Dalam empat minggu badannya tinggal kulit dan tulang," ujarnya.

Dua bulan dalam perawatan intensif di ruang PICU, kini Sheena sudah sadar namun belum bisa merespon apapun. Badannya pun kaku, kata Desi.

Berdasarkan penjelasan dokter, anaknya mengalami gangguan saraf lantaran racun dari obat sirup itu terlalu banyak dan telah menyebar hingga ke otak.

Pengobatan selanjutnya bagi Sheena adalah fisioterapi. Tapi siapa yang akan menanggung biayanya, Desi masih bingung.

Di masa-masa seperti inilah, ia merasa diabaikan. Sepanjang anaknya dirawat, tak ada satupun perwakilan dari pemerintah yang datang, mendampingi, ataupun memberikan bantuan.

"Kami butuh dukungan, butuh dikuatkan, butuh didampingi. Saya hampir tiga bulan ke rumah sakit bolak-balik bagaimana rasanya? Bagaimana saya harus menatap dia setiap hari? Tapi tidak ada yang peduli pada korban."

"Perjuangan saya masih panjang, saya tidak bisa bayangkan ke depan bagaimana karena tidak ada yang peduli."

'Anak saya tidak mengenali orangtuanya'

Kondisi serupa juga dialami Alvaro Fidelis Sulu. Sang ayah, Tey David Sulu, bercerita anaknya itu sudah tiga bulan dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tapi kondisinya belum pulih sepenuhnya.

Meski sudah sadar, tapi bocah laki-laki berusia empat tahun itu belum bisa diajak komunikasi. Padahal dulu, anaknya itu "sangat cerewet," kata David.

"Dia seperti tidak kenal orangtuanya. Saya coba pacu memorinya dengan bawa mainan kesukaannya, tapi tidak ada respon. Dia melihat saya, tapi kayak orang asing, padangannya kosong," imbuh David.

Ia pernah bertanya soal keadaan anaknya itu ke dokter yang merawat Alvaro.

Dokter tersebut mengatakan bahwa anaknya mengalami gangguan pada sistem saraf karena racun dari obat sirup itu disebut sudah menjalar hingga ke otak.

Mengetahui hal itu, David takut akan masa depan anaknya kelak. Kadang batinnya bertanya apakah masih ada harapan?

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Seorang warga menjaga anaknya yang dirawat dengan dugaan gagal ginjal akut di RSUP Dr.M.Djamil, Padang, Sumatera Barat, Kamis (20/10/2022).

Itu mengapa, dia dan sejumlah orangtua anak korban gagal ginjal akut menuntut pemerintah agar tak lepas tangan pada perawatan dan pengobatan lanjutan anak-anak mereka.

Sebab meskipun ginjalnya telah dinyatakan sembuh, tapi dampak cemaran zat berbahaya dari obat sirup itu menyerang organ lain.

"Saya harap penanganan anak-anak kami lebih intensif, bukan hanya sembuh lalu disuruh pulang," jelas David.

"Kemenkes tolong lihat kami, jangan dianggap selesai. Banyak yang rawat jalan menghadapi kendala, treatmentnya dikurangi dari yang seminggu tiga kali menjadi cuma sekali."

"Dan alurnya ribet, tidak semudah orang luar dengar. Mereka dapat rujukan, tapi rumitnya minta ampun."

Kata David, kemungkinan besar Alvaro akan membutuhkan alat bantu pernapasan jika menjalani rawat jalan di rumah seperti tabung oksigen.

"Nantinya saya juga harus beli alat portabel yang dipasang di trakea Alvaro dan harganya tidak bisa saya jangkau," imbuhnya.

Kasus gagal ginjal akut belum selesai

Kuasa hukum dari keluarga korban anak gagal ginjal akut yang menamakan diri Tim Advokasi untuk Kemanusiaan, Awan Puryadi, menegaskan kasus ini belum sepenuhnya selesai, seperti yang diklaim Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beberapa waktu lalu.

Merujuk pada laporan 50 keluarga korban yang didampingi timnya, masih banyak anak yang sedang rawat jalan dan membutuhkan perawatan intensif tapi dirumitkan oleh proses administrasi.

"Masih ada anak yang bahkan sampai bulan ke-tiga, perlu belajar berjalan, atau ada yang masih dilatih menelan makanan," ujar Awan Puryadi.

"Ada yang matanya tidak bisa melihat, ototnya mengecil, sarafnya terganggu."

Karena itulah, dia mendesak pemerintah agar tidak lepas tangan menangani anak-anak korban keracunan obat sirup tersebut sampai betul-betul pulih. Setidaknya, menurut Awan, sampai anak itu bisa berjalan lagi dan berkomunikasi seperti sedia kala.

"Kita minta sejauh itu, tidak diputus-putus. Belum lagi ke depan alat untuk menunjang anak ini bisa survive bagaimana?"

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengikuti rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/11/2022).

Untuk diketahui, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan telah mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Setidaknya ada 50 keluarga korban gagal ginjal akut yang diwakili tim ini.

Mereka menggugat sembilan pihak, mulai dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Kesehatan.

Setidaknya ada tiga tuntutan yang diharapkan dikabulkan.

Pertama menuntut ganti rugi sebesar Rp2,03 miliar untuk korban meninggal dan Rp1,03 miliar untuk korban yang masih dirawat.

Kedua, meminta agar pemerintah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) bagi kasus gagal ginjal akut.

"Pengaruhnya adalah nanti perawatan jangka panjang dicover negara dan kalau ada kejadian yang sama protokolnya bisa sama dan cepat."

Adapun agenda sidang pertama dijadwalkan dilakukan pada Selasa (13/12).

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Apoteker menunjukan obat sirop di salah satu apotek di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (21/10/2022). 

BBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi pihak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo untuk meminta penjelasan soal efek keracunan obat pada anak-anak tersebut. Tapi mereka menyerahkan pada Kementerian Kesehatan.

Adapun Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tidak menjawab telepon ataupun pesan singkat yang dikirim BBC.

Sementara itu Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, berjanji akan terus memantau anak-anak kasus gagal ginjal akut melalui fasilitas kesehatan di daerah dan bagi keluarga yang tidak mampu akan ditanggung lewat BPJS.

Sebelumnya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, saat ditemui oleh wartawan BBC Indonesia Valdya Baraputri di rangkaian acara G20, Kamis (17/11), mengatakan bagi institusinya, kasus gagal ginjal pada anak ini "telah selesai".

"Sudah nol kasus selama dua minggu, tidak ada kematian karena tidak ada kasus baru. Jadi di mata kami, kasus ini sudah selesai," kata dia.

Dia melanjutkan, "Yang penting adalah bayi-bayi yang sakit tidak ada lagi, yang meninggal tidak ada lagi, apapun penyebabnya."