Ketika seseorang membantu orang lain yang terkena musibah merupakan salah satu contoh

Setiap manusia pasti pernah mengalami masalah atau tertimpa musibah dalam hidupnya. Apapun musibahnya, mulai dari kehilangan seseorang yang kita cintai, kehilangan harta benda yang kita punya, musibah sakit, atau bahkan tertimpa musibah bencana alam yang melenyapkan hampir semua yang kita miliki.

Sebagai hamba Allah SWT, kita memang tak akan luput dari berbagai macam cobaan atau musibah, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Karena Allah SWT telah berfirman:

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan
(QS Al-Anbiyâ’:35)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

(Makna ayat ini) yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa.

Lalu bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim dalam menghadapi masalah atau musibah? Untuk menjawab hal ini, kita kembali kepada salah satu firman Allah Swt yang berbunyi:

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu
(QS At-Taghâbun: 11)

Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata:

Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.

Dari tafsiran di atas kita dapat menyimpulkan bahwasanya sikap kita ketika menghadapi musibah adalah Ridha. Karena bahwasanya setiap musibah yang datang adalah atas seizin Allah SWT, yang di mana pastinya selalu ada hikmah dibalik datangnya musibah.

Musibah memang datang dan menimpa baik kepada orang yang beriman maupun orang kafir. Akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah SWT dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang muslim.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim rahimahullâh mengatakan:

Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allâh Ta’ala senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisâb (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisâb. Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena, setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.

Adapun orang-orang kafir, mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisâb. Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan).

Sungguh Allâh Ta’ala telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya yang artinya:

Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allâh apa yang tidak mereka harapkan.
(QS An-Nisa: 104).

Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allâh Ta’ala.

Pada jam siang ketika saya sedang mengawasi ujian madrasah yang sedang diselenggarakan di MTs N 1 Banjarneraga, selang beberapa menit ada salah satu guru mengirim pesan melalui WhatsApp Group dengan berita duka.  

“Innalillahi wa innailaihi raaji'un.” Salah satu pesan tersebut yang dikirim pukul 10:00 WIB. Dalam pesan tersebut menyampaikan bahwa, ada salah satu orang tua siswa meninggal dunia. Saya yang mendengar hal itu turut berduka atas meninggalnya salah satu dari siswa tersebut.

Akan tetapi, ketika seseorang tengah mengalami musibah, tradisi takziah dilakukan dengan cara menghadiri dan mendoakaan. Hal itu termasuk kedalam bentuk empati dari suatu sosial. Ada yang menarik dari kata takziah. Apakah takziah adalah sebuah tradisi? Atau memang Takziah sebuah dari budaya? Atau bahkan takziah adalah suatu kewajiban. Mari kita telaah lebih dalam sejarah takziah.

Jika dilihat tentang arti dari ‘Takziah’ dalam aspek hukum dan permasalahannya, Para fukaha sepakat bahwa bertakziah adalah sunah bagi semua orang, baik laki-laki maupun wanita, anak kecil dan orang dewasa. Dasar hukum antara lain adalah hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dan Iman al-Baihaki:

“Tidak ada seorang Mukmin pun yang bertakziah kepada saudaranya yang mendapat suatu musibah, kecuali Allah SWT akan mengenakan kepadanya pakaian kemuliaan pada hari kiamat.”

Menurut Abdul Aziz Dahlan (2006:1769) Arti takziah menurut bahasa berasal dari kata ‘azza-yu’azzi-ta’ziah artinya menghibur dan menyebarkan. Dalam arti menyebarkan orang-orang yang ditinggal wafat keluarga mereka dengan menceritakan hal-hal yang dapat menghibur dan meringankan kesedihan mereka.  

Sedangkan menurut istilah, takziah ialah menyuruh bersabar, membuat keluarga mayit terhibur dan bersabar dengan sesuatu yang bisa meringankan musibah yang mereka terima.  (Abu Bakar Jabir, 2003:391).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa takziah adalah bentuk empati seseorang dalam membantu beban kesedihan, seperti datang secara langsung menghibur serta mendoakan bersama. Disatu sisi, bentuk dari empati juga berpengaruh untuk menyabarkan orang yang sedang terkena musibah, bahwa ia akan mendapat pahala atas kesabarannya, serta mengajaknya agar rida kemudian mendoakan orang yang meninggal.

Bentuk Takziah

Diantaranya bentuk takziah ialah ucapan Rasulullah Saw. kepada salah seorang putrinya yang mengutus seorang kepada beliau dengan membawa berita tentang kematian anaknya.

“Sesungguhnya Allah berhak atas apa yang dia ambil, baginya apa yang telah dia berikan, dan segala sesuatu mempunyai ajal tertentu disisi-Nya. Maka bersabarlah dan simpanlah (pahala kesabaranmu) disisi Allah.” (HR.Bukhari).  

Saya pernah membaca jurnal mengenai takziah, dalam jurnal tersebut menceritakan salah seorang generasi salaf menulis surat mentakziah seseorang karena kematian anaknya. Dalam suratnya ia berkata, dari fulan bin fulan. Salam sejahtera untukmu. Aku memuji kepada-Mu, ya Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali dia saja. Amma ba’du, semoga Allah memperbesar pahala untukmu, memberi kesabaran, memberiku dan engkau sifat syukur, karena sesungguhnya dari kita, harta kita, dan keluarga kita adalah pemberian sementara Allah, dan pinjaman-Nya yang akan diambil. Semoga Allah memberi kenikmatan kepadamu dalam itu semua dan mengambilnya dari padamu dangan ganti pahala yang besar. Doa, rahmat, dan petunjuk akan engkau dapatkan jika engkau bersabar.

Bersabarlah dan janganlah keluh-kesah menghasilkan pahalmu, dan membuatmu menyesal di kemudian hari. Salah seorang generasi salaf menulis surat menta’ziyah seseorang karena kematian anaknya. Dalam suratnya, ia berkata, “Ketahuilah bahwa keluh-kesah itu tidak bisa menghidupkan orang yang telah meninggal dunia dan tidak bisa mengusir kesedihan. Apa yang terjadi, biarlah terjadi, dan semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu.”

Mengenai takziah, diantara tuntunan Nabi Muhammad saw dalam hal ini adalah Inna lillahi ma akhaza wa lahu ma a’ta wa kulla syai’in ‘indahu ya bi ajalin musamma fal-tasbir wal-tahtasib (Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang diambilnya, kepunyaan-Nyalah yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu mempunyai masanya yang ditentukan disisi-Nya. Maka bersabarlah dan berharaplah akan pahalanya.) (HR. Bukhari). Tuntunan ini dijadikan pedoman oleh Ulama Mazhab Hanafi.

Disatu sisi, takziah hendaknya dilakukan seperlu artinya, setelah selesai bertakziah, orang yang bertakziah, dan keluarga orang yang meinggal kembali melakukan keperluannya masing-masing. 

Oleh:

Risky Arbangi Nopi / Guru MTsN 1 Banjarnegara

Umat diimbau saling menolong ketika musibah.

Antara/Irsan Mulyadi

Saling Menolong Saat Musibah Datang. Foto: Musibah erupsi gunung berapi di Indonesia (ilustrasi).

Rep: Rossi Handayani Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad mengatakan, dalam menyikapi musibah bencana yang terus terjadi hendaknya masyarakat tetap bersabar, dan saling tolong-menolong untuk meringankan beban."Dalam menyikapi kita bersabar, terus berdoa dan saling tolong menolong di antara kita, baiknya bagi orang yang tidak terkena musibah memberi bantuan kepada yang terkena musibah," kata Dadang pada Rabu (20/1).Dadang mengungkapkan, bencana yang terjadi merupakan musibah baik rencana alam murni, maupun  memang bencana alam akibat ulah manusia. Untuk itu manusia harus kembali kepada Yang Maha Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala."Semuanya sebagai peringatan kepada manusia untuk segera kembali ke jalan Allah, melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi segala yg dilarang-Nya, maka setuju dengan MUI (Mejelis Ulama Indonesia) semua umat Islam dan umat lainnya untuk mengadakan muhasabah baik sendiri maupun berjamaah," ucap Dadang.Di samping itu, Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia, Amirsyah Tambunan, menyerukan segenap anak bangsa melakukan muhasabah nasional karena beruntunnya musibah yang menimpa Indonesia, mulai dari longsor di Sumedang, banjir di Kalimantan Selatan, gempa bumi di Sulawesi Barat dan erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.

"Ini momentum bagi kita semua untuk muhasabah sekaligus juga saling bahu membahu dalam doa maupun donasi," kata Amirsyah.

Baca Juga

Ketika seseorang membantu orang lain yang terkena musibah merupakan salah satu contoh

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...