Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Kerajaan Kalingga (bahasa Jawa: ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦏꦭꦶꦔ꧀ꦒ) atau Kerajaan Ho-ling (Hanzi: 訶 陵; Hēlíng atau 闍 婆; Dūpó dalam sumber-sumber berita Tiongkok) adalah kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pertama muncul di pantai utara Jawa Tengah pada abad ke-6 Masehi, bersamaan dengan Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Kerajaan Kalingga Ho-ling Peta kerajaan Kalingga • 594-605 • 605-632 • 632-652 Wasudewa• 652 Wasukawi• 632-648 Kiratasingha• 648-674 Kartikeyasingha• 674-695 Ratu Shima Sejarah• Didirikan 594• Runtuh 695
Catatan sejarah berdasarkan naskah-naskah dan catatan perdagangan Tiongkok. Temuan arkeologis dan catatan sejarah dari kerajaan ini langka, dan lokasi persis ibu kota kerajaan tidak diketahui. Diperkirakan ada di suatu daerah antara Pekalongan dan Jepara saat ini. Sebuah tempat bernama Kecamatan Keling ditemukan di pantai utara Kabupaten Jepara, namun beberapa temuan arkeologis di dekat Kabupaten Pekalongan dan Batang menunjukkan bahwa Kabupaten Pekalongan adalah pelabuhan kuno, nama Pekalongan mungkin merupakan nama yang diubah dari Pe-Kaling-an. Kalingga ada antara abad ke-6 dan ke-7, dan itu adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha paling awal yang didirikan di Jawa Tengah.[1] Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Ratu Shima, bernama Parwati, menikah dengan putra mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Rahyang Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Dikisahkan Ratu Shima memiliki cucu bernama Sannaha yang menikah dengan raja Galuh ketiga, yaitu Bratasenawa. Sannaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Rakryan Sanjaya yang kelak menjadi raja dan menggabungkan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Setelah Ratu Shima meninggal pada tahun 732 M, Rakryan Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kalingga Selatan yang kemudian disebut Mataram, dan kemudian mendirikan dinasti baru bernama wangsa Sanjaya. Kekuasaan di Sunda-Galuh diserahkan kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakryan Panaraban. Kemudian Rakryan Sanjaya menikahi Sudiwara putri Rakryan Dewasingha, raja Kalingga Utara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran. Nama Ho-ling diperkirakan muncul pada abad ke-5 (kemudian disebut Keling) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari catatan dari Tiongkok. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Kerajaan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan, bersama Kerajaan Melayu dan Kerajaan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya.[2] Kisah lokalTerdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah mengenai seorang ratu legendaris yang menjunjung tinggi prinsip 'keadilan' dan 'kebenaran' dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak tegas kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang tegas yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemasyhuran rakyat Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada seorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman potong kaki.[3] Berita TiongkokBerita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman dinasti Tang dan catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang berkelana lewat laut ke India melalui jalur sutra. Catatan dari zaman Dinasti TangCatatan pada zaman Dinasti Tang, memberikan keterangan tentang keberadaan Ho-ling sebagai berikut.
Catatan dari berita Tiongkok ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh penguasa perempuan yang disebut Hsi-mo (Ratu Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Ho-ling sangat aman dan tentram. Catatan I-TsingCatatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha. Di Ho-ling ada pendeta Tionghoa bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana. Belum ditemukan temuan berupa prasasti atau catatan sejarah sezaman mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga secara pasti. Daftar ini merupakan penyebutan nama raja-raja Kalingga hingga masa raja Sanjaya yang mendirikan kerajaan Mataram Kuno. Kendati demikian, nama-nama raja Kalingga ini hanya ditemukan pada naskah-naskah seperti Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta. Berikut daftar nama raja-raja yang diperkirakan pernah memerintah di Kerajaan Kalingga:
Setelah Ratu Shima wafat, kemudian kerajaan Kalingga dibagi menjadi dua kekuasaan. Kalingga bagian selatan dipimpin oleh "Dewi Parwati" bersama "Rahyang Mandiminyak", raja kedua Galuh. Sedangkan Kalingga bagian utara dipimpin adiknya, "Rakryan Dewasingha". Berikut ini nama raja-raja yang berkuasa di kedua pecahan kerajaan Kalingga. Kalingga Utara
Kalingga Selatan
Sejak pemerintahan Rakryan Sanjaya, terjadi pemberontakan Purbasora di Kerajaan Galuh, yang dipimpin ayahnya, Bratasenawa. Ia kemudian mendirikan Kerajaan Medang (Mataram Kuno) di daerah selatan dan mendirikan Wangsa Sanjaya.
|