Syiah (bahasa Arab: شيعة, translit. syīʿah, dari kata Syīʿatu ʿAlī, "pengikut Ali") adalah salah satu ajaran agama atau sekte dalam agama Islam. Dalam keyakinan Syiah dikatakan bahwa rasul dalam agama Islam, Muhammad, menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya dan Imam (pemimpin) setelahnya,[butuh rujukan] terutama pada acara Ghadir Khum, tetapi gagal menjadi khalifah sebagai akibat dari insiden di Saqifah. Dengan demikan mereka mengingkari kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Sementara itu, kaum Islam Sunni meyakini bahwa Muhammad tidak menunjuk seorang penerus secara langsung dan menganggap Abu Bakar yang ditunjuk sebagai khalifah melalui syura (yaitu konsensus komunitas di Saqifah) untuk menjadi khalifah sah pertama setelah Nabi Muhammad.[1] Berbeda dengan tiga khalifah Rasyidin pertama, Ali berasal dari klan yang sama dengan Muhammad, Bani Hasyim, juga menjadi sepupu nabi dan menjadi laki-laki pertama yang menjadi Muslim.[2] Penganut Syiah biasa dipanggil Syiah Ali, Syiah; Syiya'an (شِيَعًا) (jamak); Syi'i (شيعي) atau Syi'ite (tunggal).[3] Pada akhir 2000-an, Syi'i mencangkup 10-15% dari semua Muslim.[4] Syiah 12 Imam (Ithnā'ashariyyah) adalah cabang terbesar dalam Syiah.[5] Menurut perkiraan 2012, 85% Syi'i merupakan pengikut Syiah 12 Imam.[6] Pada umumnya, Syiah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah pertama. Madzhab Syiah Zaidiyyah termasuk Syiah yang tidak menolak kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.
Istilah Syiah berasal dari Bahasa Arab (شيعة) "Syī`ah". Lafadz ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah "Syiya'an". Pengikut Syiah disebut "Syī`ī" (شيعي).[butuh rujukan] "Syiah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah "Syi`ah `Ali" (شيعة علي) yang berarti "pengikut Ali", yang berkenaan dengan turunnya Q.S. Al-Bayyinah ayat "khair al-bariyyah", saat turunnya ayat itu Nabi Muhammad bersabda, "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung - ya 'Ali anta wa syi'atuka hum al-faizun".[7] Kata "Syiah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas suatu perkara.[8] Adapun menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah yang paling utama di antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas kaum Muslim, demikian pula anak cucunya.[9]
Syiah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syiah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Secara khusus, Syi'i berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Sunni. Menurut keyakinan Syiah, Ali berkedudukan sebagai khalifah dan imam melalui washiat Nabi Muhammad. Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Ahlus Sunnah menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syiah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Syi'i berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan. Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syiah mengakui otoritas Imam Syiah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syiah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
Perangko Iran bertuliskan Hadits Gadir Kum. Ketika itu Nabi Muhammad menyebut Ali sebagai mawla. Dalam Syiah, ada Ushulud-din (perkara pokok dalam agama) dan Furu'ud-din (perkara cabang dalam agama). Syiah memiliki lima perkara pokok atau rukun Islam, yaitu:
Dalam perkara ke-nabi-an, Syiah berkeyakinan bahwa:
Sekilas aliran Syiah dan cabang-cabangnya. Aliran Syiah dalam sejarahnya terpecah-pecah dalam masalah Imamiyyah. Sekte terbesar adalah Dua Belas Imam, diikuti oleh Zaidiyyah dan Ismailiyyah. Ketiga kelompok terbesar itu mengikuti garis yang berbeda Imamiyyah, yakni: Dua Belas ImamDisebut juga Imamiyyah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam) karena mereka percaya bahwa yang berhak memimpin kaum Muslim hanyalah para Imam dari Ahlul-Bait, dan mereka meyakini adanya dua belas Imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan Imamnya adalah:
ZaidiyyahDisebut juga Syiah Lima Imam karena merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan Imamnya adalah:
IsmailiyyahDisebut juga Syiah Tujuh Imam karena mereka meyakini tujuh Imam, dan mereka percaya bahwa Imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan Imamnya adalah:
Di Indonesia, Suryadharma Ali selaku menteri agama, di gedung DPR pada 25 Januari 2012 menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama menyatakan Syiah bukan Islam, "Selain itu, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propaganda Syiah dan perlunya umat Islam Indonesia memahami perbedaan prinsip ajaran Syiah dengan Islam. "Menag juga mengatakan Kemenag mengeluarkan surat edaran no. D/BA.01/4865/1983 tanggal 5 Desember 1983 tentang hal ihwal mengenai golongan Syiah, menyatakan Syiah tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam."[butuh rujukan] Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan fatwa penyimpangan Syiah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984[10] Selain itu, MUI Pusat telah menerbitkan buku panduan mengenai paham Syiah pada bulan September 2013 lalu berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”.[11][12] Berbeda dengan pendapat di atas, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai aliran Islam Syiah secara umum bukan merupakan aliran sesat. "Tidak sesat, hanya berbeda dengan kita," kata Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, di kantor kepresidenan, Jakarta, Selasa 28 Agustus 2012.[13] Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyatakan tidak pernah melarang ajaran Syiah di Indonesia kecuali menghimbau umat Islam agar meningkatkan kewaspadaan tentang kemungkinan beredarnya kelompok Syiah yang ekstrim.[butuh rujukan] Hal ini ditegaskan Ketua MUI bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi, untuk menanggapi surat edaran Wali Kota Bogor pada 22 Oktober lalu yang melarang perayaan Asyura oleh penganut Syiah di wilayahnya.[butuh rujukan] "Dikeluarkannya surat MUI pada tahun 2004 bahwa sesungguhnya kita tidak punya posisi untuk mengatakan bahwa Syiah itu sesat," kata Muhyiddin Junaidi kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Minggu (25/10) malam.[14] Padahal, kata Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof Nanat Fatah Natsir, hubungan kelompok Islam Sunni dan Syiah di tingkat internasional saat ini sudah "mencair" dan semakin membaik.[butuh rujukan] "Hubungan Sunni-Syiah internasional sudah ’mencair’. Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir juga sudah mengakui Syiah sebagai bagian dari Islam, karena itu saya yakin konflik di Sampang itu bukan konflik agama atau kepercayaan, tapi ada faktor lain," katanya di Jakarta (28/8).[15] MalaysiaPemerintah Malaysia menyatakan bahwa Syiah adalah sekte yang menyimpang dari Hukum Syariat dan Undang–Undang Islam yang berlaku di Malaysia, dan melarang penyebaran ajaran mereka di Malaysia.[16][17] Selain itu, Syi'i juga dimasukkan ke dalam kelompok non-Muslim. YordaniaPada Juli tahun 2005, Raja Abdullah II dari Yordania mengadakan sebuah Konferensi Islam Internasional yang mengundang 200 ulama dari 50 negara, dengan tema "Islam Hakiki dan Perannya dalam Masyarakat Modern" (27-29 Jumadil Ula 1426 H. / 4-6 Juli 2005 M.) Di Amman, ulama-ulama tersebut mengeluarkan sebuah pernyataan yang dikenal dengan sebutan Risalah Amman, yang menyerukan toleransi dan persatuan antar umat Islam dari berbagai golongan dan mazhab yang berbeda-beda.[18] Risalah AmmanTemplat:Akan dikembangkan Hubungan antara Sunni dan Syiah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan para pengikut Ali bin Abi Thalib. Sebagian kaum Sunni menyebut kaum Syiah dengan nama Rafidhah, yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna meninggalkan.[19] Sebagian orang Islam menganggap firqah (golongan) ini tumbuh tatkala seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba' yang menyatakan dirinya masuk Islam, mendakwakan kecintaan terhadap Ahlul Bait, terlalu memuja-muji Ali bin Abi Thalib, dan menyatakan bahwa Ali mempunyai wasiat untuk mendapatkan kekhalifahan.[20] Syiah menolak keras hal ini. Menurut Syiah, Abdullah bin Saba' adalah tokoh fiktif. Salah satu ulama besar Syi'ah menulis Kitab Khusus mengenai kefiktifan sosok Abdullah bin Saba' ini. Namun demikian, An-Naubakhti menganggap Abdullah bin Saba' benar ada, dan menuliskan hingga belasan riwayat lengkap dengan sanad yang mutawatir bahwa Abdullah bin Saba' ada.[butuh rujukan] Namun terdapat pula kaum Syiah yang tidak membenarkan anggapan Sunni tersebut. Golongan Zaidiyyah Batriyah misalnya, tetap menghormati sahabat Nabi yang menjadi khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Mereka juga menyatakan bahwa terdapat riwayat-riwayat Sunni yang menceritakan pertentangan di antara para sahabat mengenai masalah imamah Abu Bakar dan Umar.[21] Istilah RafidhahSebutan rafidhah erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan pada tahun 121 H.[22]
Syiah merupakan agama mayoritas di Iran (90-95%), Azerbaijan (65-75%) dan Irak (65-70%)[29]
|