Kelompok fauna yang berfungsi sebagai pencegah abrasi pantai adalah *

Samuel Oktora

Mencegah abrasi pantai biasanya dilakukan dengan menanam bakau. Akan tetapi, di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, masyarakat menanam pandan, waru, ketapang, angsana, dan asam. Keterlibatan warga dengan menyemai bibit sendiri patut diacungi jempol meski itu juga masih harus diuji hasilnya.

Gelombang pasang yang setahun dua kali terjadi sejak tahun 1992 dan puncaknya pada tahun 2009, ketika gelombang menerjang sampai setinggi lutut orang dewasa, benar-benar membuat masyarakat pesisir di Lingkungan Puunaka dan Rate, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), amat menderita.

Selain itu, masyarakat Puunaka dan Rate yang mayoritas nelayan juga khawatir ancaman tsunami mengingat NTT merupakan daerah rawan gempa. Terlebih jika mengingat gempa bumi dahsyat tahun 1992.

Oleh karena itu, warga sangat antusias ketika Flores Institute for Resources Development (FIRD) menawarkan kegiatan menghijaukan pesisir, khususnya di Kelurahan Tanjung maupun daerah tetangga, Kelurahan Paupanda. Sebagai langkah awal, FIRD yang mulai memberikan advokasi pascabencana gelombang pasang Juli 2009 bersama masyarakat kemudian menanam 150 pohon ketapang dalam radius sekitar 20 meter dari bibir pantai pada Oktober 2010. Anggota Komando Distrik Militer (Kodim) 1602/Ende juga terlibat dalam kegiatan tersebut.

Untuk memudahkan koordinasi dibentuk lima kelompok penghijau mangrove di Kelurahan Tanjung (tiap kelompok beranggotakan lima orang), dan empat kelompok di Paupanda (tiap kelompok beranggotakan 10 orang).

Kesembilan kelompok itu diberi target menyemai dan menghasilkan sekitar 10.000 bibit untuk ditanam sepanjang 2.500 meter menyusuri garis pantai, yaitu dari Tanjung sampai Paupanda.

Berbeda dengan daerah lain yang umumnya menanam bakau untuk menahan abrasi, di Tanjung dan Paupanda ini mereka memilih waru, angsana, ketapang, pandan, dan asam.

Alasannya sederhana, tanaman-tanaman itu banyak tumbuh di sana sehingga mudah untuk membibitkan. Angsana, ketapang, asam, dan waru juga bisa difungsikan sebagai peneduh pantai, sedangkan pandan dipilih karena memiliki akar kuat.

Bakau kalau ditanam di wilayah pantai utara Flores mungkin cocok sebab tanahnya berlumpur, sedangkan di sini kurang bagus karena tanah pasir. Selain itu, waru di sini banyak, jadi mudah pembibitannya. Kayunya juga dapat dimanfaatkan untuk membuat perahu, kata Ketua Kelompok Penghijau Mangrove Lingkungan Puunaka Abdul Hamid (45), awal Juni.

Pada Februari 2011, FIRD bersama masyarakat Puunaka dan Rate, termasuk anggota Kodim 1602/Ende dan sejumlah lembaga swadaya serta pemerintah setempat melakukan penanaman lagi 450 pohon waru, angsana, dan pandan.

Siaga bencana

Hamid juga mengungkapkan, masyarakat setempat antusias dengan program yang ditawarkan FIRD karena dari kegiatan penghijauan itu, kelompok akan diberdayakan secara ekonomi, yakni melalui pembuatan tambak garam dan ternak itik.

Kami ingin supaya mereka jangan hanya bersikap menerima bantuan, melainkan sedikit memaksa mereka untuk berbuat menjaga ekosistem lingkungan di pesisir. Ini juga untuk kebaikan mereka, terutama dalam mengurangi risiko bencana seperti gelombang pasang maupun ancaman Gunung Iya, kata fasilitator desa FIRD, Vinsensius Sangu.

FIRD juga hanya memfasilitasi antara lain menyiapkan polybag untuk persemaian, termasuk biaya makan selama warga bekerja, khususnya saat penanaman.

Dukungan dana untuk tambak garam dan ternak itik akan diberikan kepada masyarakat secara bertahap dengan catatan setelah penghijauan pantai mengalami kemajuan. Target 10.000 pohon dimaksudkan jika ada tanaman yang mati, masih tersedia banyak bibit yang bisa ditanam. Setidaknya, dalam waktu lima tahun tanaman benar-benar tumbuh baik, kata Vinsensius.

Berkaitan dengan program ini, pada Minggu (5/6) lalu juga dibentuk Tim Siaga Bencana Kelurahan Tanjung yang beranggotakan 48 orang. Tim ini mempunyai dua tugas pokok, yakni menyangkut kegiatan prabencana atau kesiapsiagaan bencana dan pascabencana.

Tim antara lain akan bekerja meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bagaimana cara menghadapi maupun bertindak pada situasi pascabencana.

Tim ini juga berencana membuat tanggul pengaman sepanjang 500 meter. Tanggul yang sifatnya sementara itu juga sekaligus untuk uji coba. Bahannya dari bambu, ijuk, tanah, pasir, dan karung. Dari perkiraan biaya Rp 30 juta, FIRD akan menanggung Rp 20 juta. Sisanya dibantu APBD Ende.

Pengerjaan tanggul akan dilakukan secara gotong royong oleh warga. Rangkaian batang bambu setinggi 2 meter diikat dengan ijuk, lalu ditancapkan ke bibir pantai. Untuk penguat, di belakang pagar bambu itu diletakkan karung-karung berisi pasir dan tanah. Di belakang tumpukan karung itulah, pohon akan ditanam. Diperkirakan, kekuatan tanggul itu sekitar dua tahun.

Harapannya, tanggul sementara itu mampu menahan hantaman gelombang sambil menunggu pohon yang ditanam tumbuh dengan akar-akar yang cukup kuat.

Kepala Seksi Perekonomian dan Pembangunan Kelurahan Tanjung M Ruslan mengakui, sebanyak 48 rumah yang ditempati 53 keluarga di Lingkungan Puunaka dan Rate itu berada di jalur hijau sempadan pantai. Akan tetapi, pemerintah tidak mudah merelokasi begitu saja.

Karena itu, dia sangat mendukung program FIRD yang dinilai sangat memberikan solusi.

Masih embrio

Selain rawan gelombang tinggi, kawasan ini juga rawan terkena dampak letusan Gunung Iya (637 meter). Letusan terakhir terjadi 27 Januari 1969 yang menewaskan penduduk dan melukai 10 orang menyusul banjir lahar di sejumlah tempat, termasuk Rate dan Puunaka.

Menurut Ruslan, sebelum letusan 1969, Kampung Rate dan Puunaka yang terletak di lereng gunung api aktif itu merupakan lautan yang kemudian berubah menjadi daratan karena tertimbun lahar. Gunung Iya tercatat sejak tahun 1871 sampai 1969 meletus delapan kali.

Pada 1992, waktu gempa bumi hebat melanda, sebagian daratan di Rate dan Puunaka tertutup laut kembali dan sejak saat itu daerah tersebut menjadi langganan bencana gelombang pasang.

Sesuai dengan masukan tua-tua di Kampung Rate, dulu di pinggir pantai juga ada pohon cemara laut, tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Ada baiknya penanaman di pesisir bukan saja pohon waru, tetapi juga cemara laut. Karena kalau ditata baik, bukan tak mungkin dapat menjadi obyek wisata pantai yang sangat menarik. Sebab, dari Rate dan Puunaka indah sekali menyaksikan matahari terbenam, kata Ruslan.

Kini, apa yang dikerjakan masyarakat Rate dan Puunaka dengan dukungan berbagai pihak itu barulah langkah awal. Tanaman yang sudah ditanam pun sebagian mati. Akan tetapi, segala upaya memitigasi bencana, mengurangi risiko dan dampak bencana haruslah didukung. Terutama, semangat masyarakat yang sudah mulai muncul haruslah terus dipupuk agar mereka tidak patah semangat di tengah jalan....

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.