Kapan Operasi Pagar Betis?

idkuu, Yogyakarta - Teror bom yang masih melanda Surabaya, Jawa Timur, hingga hari ini membuat Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, angkat suara soal deradikalisasi. Konsep ini dianggap tidak relevan dengan situasi saat ini untuk melawan terorisme.

"Deradikalisasi perlu ditinjau ulang. Masalahnya ternyata ekstrem dilawan ekstrem, jadi semakin parah," ucapnya dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (14/5/2018).

BACA JUGA: Jadwal dan Harga Tiket KA Joglosemarkerto Relasi Cilacap-Yogyakarta
BACA JUGA: Sulapan Radio Lama di Yogyakarta Merebut Hati Pendengar Tiga Zaman
BACA JUGA: Ajakan Bangkit dari Keterpurukan ala Band Ska Reggae Yogyakarta

Ia menuturkan, berdasarkan sebuah tesis, disebutkan bahwa penyelesaian ekstremisme dengan tindakan yang ekstrem hanya bersifat permukaan.

Baca Juga

  • Halaqah Kebangsaan, PP Muhammadiyah Gelar Pertemuan dengan Elite Parpol
  • Di Australia, Muhammadiyah Imbau agar Umat Islam Indonesia Moderat
  • Haedar Nashir: Muhammadiyah Terus Bekerja Terbaik untuk Bangsa

Menurut Haedar, lebih tepat ekstremisme dicegah dengan konsep seperti operasi pagar betis untuk menyelesaikan persoalan sampai ke akarnya karena menghambat pergerakan pelaku teror.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, operasi pagar betis pernah dilakukan sewaktu menumpas pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ketika itu, aparat militer bersama dengan rakyat mendesak pergerakan pemberontak, sehingga mereka menyerahkan diri.

Paham radikal yang selama ini diyakini oleh para pelaku teror berasal dari pemahaman agama yang disalahartikan.

Haedar menekankan PP Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan dakwah memakai pendekatan kontra terorisme dengan menerapkan nilai konter.

"Kami mengonter paham agama atau sosial apa yang mereka pakai," tutur Haedar.

Saksikan video pilihan di bawah ini: