Jumlah batu yang digunakan untuk beristinja minimal sebanyak

AKURAT.CO, Umumnya, ketika membersihkan suatu kotoran kita pasti akan langsung teringat air. Namun demikian, dalam pandangan fikih terdapat benda-benda di sekitar kita yang bisa digunakan untuk membersihkan kotoran dan menjadi pengganti air.

Membersihkan dan menyucikan kotoran atau najis dari tempat keluarnya air seni dan kotoran kita ini disebut dengan istinja. Istinja secara bahasa berasal dari kata an-najaa' yang berarti bersih atau selamat dari suatu penyakit. Oleh sebab itu, ketika seseorang beristinja maka sejatinya ia telah berusah mendapatkan keselamatan dari berbagai macam penyakit.

Istinja ini selain dengan air yang suci dan menyucikan ternyata juga bisa menggunakan batu saja. Akan tetapi, keduanya bisa digunakan dalam satu waktu yang membuatnya akan lebih sempurna. Ketika digunakan bersamaan, batu akan menghilangkan wujud najisnya sementara air dapat menghilangkan bekasnya dengan tanpa bercampur najis karena sudah dibersihkan dengan batu.

Meski demikian, sifat air yang mengalir akan lebih utama digunakan untuk beristinja dari pada menggunakan benda lainnya.

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadrami dalam kitab Safinatun Najaa menyebutkan delapan syarat yang harus dipenuhi ketika beristinja hanya menggunakan batu.

Menurut beliau, syarat beristinja hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni sebegai berikut.

1. Dengan menggunakan tiga buah batu

2. Batu yang dipilih dapat membersihkan tempat keluarnya najis

3. Najisnya belum sampai kering

4. Najisnya belum berpindah tempat

5. Najisnya tidak terkena benda najis yang lainnya

6. Najisnya tidak melampaui shafhah (daging tebal dari kedua belah pantat yang menyatu rapat ketika berdiri) dan hasyafah (kepala penis yang dikhitan)

7. Najisnya tidak terkena air

8. Batu yang digunakan suci

Begitulah cara batu yang bisa digunakan untuk membersihkan suatu najis. Semoga bermanfaat.

Wallahu a'lam.[]

Oase.id – Menurut Kitab Fiqh al-Manhaji yang dikarang oleh Dr. Musthofa Al-Khin, beristinja merupakan cara menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya kotoran atau najis. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk beristinja’ yaitu:

  1. Menggunakan air mutlak
  2. Menggunakan batu

Beberapa pendapat menyatakan bahwa saat beristinja paling utama adalah dengan menggunakan batu lalu dilanjut atau disempurnakan dengan menggunakan air. Hal ini dikarenakan batu mampu menghilangkan wujud najis dan air mampu membersihkan sisanya tanpa tercampur dengan wujud najisnya.

Namun, jika seorang muslim ingin beristinja tapi hanya mampu menggunakan batu, maka orang tersebut harus memenuhi syarat-syarat agar istinja yang dilakukan dianggap sah.

Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyatakan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang apabila ingin beristinja dengan menggunakan batu. 

شروط اجزاء الحجر ثمانية: أن يكون بثلاثة أحجار وأن ينقي المحل وألا يجف النجس ولا ينتقل ولا يطرأ عليه أخر ولا يجاوز صفحته وحشفته ولا يصيبه ماء وأن تكون الأحجار طاهرة

“Syarat beristinja dengan menggunakan batu ada delapan, yakni 1) dengan menggunakan tiga buah batu, 2) batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis, 3) najis belum kering, 4) najis belum berpindah, 5) najisnya tidak terkena barang najis yang lain, 6) najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah, 7) najisnya tidak terkena air, 8) batunya suci.”

Batu yang digunakan juga memiliki kriterianya seperti, batu yang digunakan harus memiliki tiga buah sisi, permukaan batu sedikit kasar dan suci (tidak adanya najis). Kriteria ini berhubungan dengan cara kerja batu untuk membersihkan najis di tempat keluarnya najis tanpa sisa.

Walaupun disarankan untuk menyiapkan 3 buah batu, tapi saat beristinja belum bersih maka diwajibkan untuk menambah batu hingga benar-benar bersih. Untuk penambahan jumlah batu disunahkan ganjil dan meskipun telah bersih di batu yang genap maka harus ditambah satu kali untuk membuatnya menjadi ganjil.

Saat melakukan istinja harus najis yang belum kering, jika najis telah kering maka tidak bisa beristinja dengan hanya menggunakan batu dan harus membersihkannya dengan menggunakan air. Hal ini juga berlaku pada najis yang sudah berpindah, jika kotoran belum berpindah maka diperbolehkan beristinja dengan menggunakan batu. Namun, jika sudah berpindah harus dibersihkan dengan menggunakan air, ada hal yang harus diperhatikan dalam membersihkan kotoran yang sudah berpindah,

Jika najis/kotoran yang berpindah masih tersambung dengan tempat keluarnya najis, maka wajib menggunakan air secara keseluruhan. Apabila najis/kotoran yang berpindah telah putus dari tempat keluar kotoran, maka wajib membersihkan najis dengan air hanya pada tempat najis yang berpindah dan kotoran yang tersisa pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu.

Bagi orang yang buang air besar, najis yang keluar tidak melampaui bagian samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan menempel satu sama lain. Dan sedangkan buang air kecil najis yang keluar tidak boleh melampaui ujung zakar. Bila hal ini terjadi maka wajib membersihkannya menggunakan air.

Setelah atau sebelum beristinja’ harus menggunakan batu yang kering, ini dikarenakan air atau benda cair lainnya akan berubah menjadi najis dan membuatnya menjadi tidak sah. Hal ini berlaku juga jika batu basah. Selain kering, batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci.

Syaikh Nawawi menjelaskan ada benda yang bisa disamakan dengan batu jika masuk dalam empat batasan, yaitu: 1) barangnya suci 2) benda padat 3) sesuatu yang dapat menghilangkan dan menyerap najisnya 4) bukan sesuatu yang dihormati, misalnya makanan atau tulang belulang.


(ACF)

Kita kembali lagi kaji kitab Manhajus Salikin karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Kali ini membahas tentang istijmar dan istinja’. Apa itu?

Silakan lihat ulasannya berikut ini.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyatakan:

Jika menunaikan hajat, maka hendaklah beristijmar dengan menggunakan tiga batu atau menggunakan semisal batu asalkan bisa membersihkan tempat najis. Kemudian setelah itu beristinja’ dengan menggunakan air.

Boleh juga memilih antara istijmar atau istinja’.

Tidak boleh beristijmar dengan menggunakan kotoran dan tulang sebagaimana telah dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang dimuliakan.

Penjelasan:

1- Yang dimaksud istinja’ dan istijmar adalah membersihkan kotoran. Istinja’ maknanya lebih umum yaitu membersihkan kotoran sehabis buang hajat dengan menggunakan air dan batu. Sedangkan istijmar adalah membersihkan kotoran dengan menggunakan batu saja.

2- Beristijmar dengan batu tidak boleh kurang dari tiga batu. Karena tiga batu umumnya akan lebih bersih. Namun jika batu masih belum menghilangkan kotoran, maka boleh ditambah lebih dari tiga batu hingga kotorannya bersih. Hadits yang dijadikan dalil dalam hal ini,

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- كُلَّ شَىْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ. قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Dari Salman, ia berkata bahwa ada yang bertanya padanya, “Apakah nabi kalian mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun dalam hal buang kotoran?” Salman menjawab, “Iya. Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar maupun air kecil. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan. Beliau juga melarang kami beristinja’ dengan kurang dari tiga batu. Begitu pula kami dilarang beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang.” (HR. Muslim, no. 262)

3- Yang lebih afdhal adalah istijmar lalu istinja’. Dikarenakan istijmar dengan batu atau penggantinya menghilangkan kotoran tanpa menyentuhnya secara langsung. Lalu setelah itu air yang akan membersihkan kotoran yang tersisa.

4- Boleh memilih antara istijmar dengan batu atau istinja’ dengan air. Namun beristinja’ dengan air lebih utama karena lebih membersihkan kotoran. Alasan lainnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang penduduk Quba’ yang menjadi sebab turunnya ayat berikut,

فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Taubah: 108). Dahulu mereka terbiasa beristinja’ dengan air lantas turunlah ayat ini.” (HR. Tirmidzi, no. 3100; Abu Daud, no. 44; Ibnu Majah, no. 355. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

5- Tidak boleh beristinja’ dengan menggunakan kotoran dan tulang karena dilarang dalam hadits Salman di atas.

6- Boleh mengganti batu untuk membersihkan kotoran saat buang hajat dengan yang lainnya asalkan memenuhi tiga syarat: (a) bendanya suci, (b) bisa membersihkan atau mengangkat kotoran, (c) bukan sesuatu yang berharga (dimuliakan) seperti istinja’ dengan makanan atau dengan ekor hewan. Sehingga dari syarat sini dapat disimpulkan bahwa tisu toilet boleh digunakan untuk beristinja’.

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Diselesaikan @ Perpus Rumaysho, Panggang, Gunungkidul, 24 Dzulqa’dah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com