Jual beli buah buahan yang belum saatnya panen

Jual beli buah buahan yang belum saatnya panen

Jual Beli Ijon (foto: akurat.co)

Oleh: Muhammad Khaeruddin Hamsin

Jual beli merupakan kebutuhan yang tidak mungkin ditinggalkan di dalam kehidupan manusia. Namun demikian, terdapat jual beli yang dilarang oleh agama, salah satunya adalah jual beli yang di dalamnya ada unsur yang belum jelas (gharar), sesuatu yang bersifat spekulatif, atau samar-samar. Transaksi yang semacam ini haram untuk dilakukan, karena dapat merugikan salah satu pihak yang berakad, baik penjual maupun pembeli.

Jual beli yang dipraktikkan pada zaman Rasulullah saw. yang memiliki unsur tersebut adalah jual beli yang disebut jual beli muhaqalah, sebagaimana HR. Bukhari dari Anas bin Malik, yang artinya “dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah saw. telah melarang jual beli Muhaqalah, Muzabanah, Mukhadarah, Mulamasah, dan Munabadzah” [HR. al-Bukhari].

Hadits di atas menyebutkan beberapa istilah yang terkait dengan jual beli yang dilarang oleh Rasulullah saw. Pertama, muhaqalah adalah menjual tanaman-tanaman yang masih di sawah atau di ladang yang belum siap dipanen; Kedua, muzabanah ialah menjual/menukar buah yang basah dengan buah yang kering (menjual kurma yang kering dengan bayaran kurma yang basah); Ketiga, mukhadarah adalah jual beli tumbuh-tumbuhan yang masih hijau yang belum pantas dipanen (jual beli beli rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil); Keempat, mulamasah yaitu jual beli secara sentuh-menyentuh (jual beli di mana seseorang menyentuh sehelai kain, maka orang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut), dan; Kelima, munabazah adalah jual beli yang terjadi hanya dengan cara penjual dan pembeli melempar barang yang dimilikinya, setelah terjadi lempar-melempar terjadilah jual beli, cukup dengan cara ini transaksi sudah terjadi dan mengikat tanpa adanya rasa saling suka di antara keduanya.

Dalam kaitannya dengan jual beli tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan di atas, terdapat beberapa hadits yang dapat dijadikan landasan untuk melihat status hukumnya, antara lain:

“Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah saw. melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua. Para sahabat bertanya: Apa maksudnya telah menua? Beliau menjawab: Bila telah berwarna merah, kemudian Rasulullah saw bersabda: Bila Allah menghalangi masa panen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?” [HR. Bukhari dan Muslim].

“Dari Abdullah bin Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw. telah melarang penjualan buah-buahan sampai nampak masaknya (matang). Beliau melarang penjual dan pembelinya” [HR. Bukhari, Muslim, dan At-Turmuzi].

“Dari Abu Zubair bin Abdullah, ia mendengar Jabir bin Abdullah mengatakan: Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa musibah/wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikitpun. Karena engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri” [HR. Muslim].

“Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan maka buahnya milik penjualnya kecuali bila disyaratkan oleh pembelinya” [HR. Bukhari dan Muslim]

Praktik jual beli seperti di atas masih terjadi di kalangan masyarakat, yang dikenal dengan istilah jual beli ijon. Sebenarnya, ijon dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlarah, yaitu memperjualbelikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih belum matang, atau disebut juga muhaqalah, yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.

Latar belakang timbulnya larangan menjual buah yang belum nampak baiknya karena ada hikmah yang ada di balik larangan tersebut, antara lain: (a) mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran; (b) melindungi pihak pembeli, jangan sampai mengalami kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang; (c) memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar; (d) menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang dijual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.

Larangan yang dimaksud di atas, tentu tidak berlaku untuk buah-buahan atau tanaman yang sudah dapat dimanfaatkan sekalipun masih hijau seperti jagung, mangga, pepaya, dan tanaman lain yag sejenis, karena buah atau tanaman seperti itu pada umumnya dapat dimakan selagi masih muda. Termasuk juga buah-buahan dan tanaman yang sudah siap dipanen karena tidak mengandung unsur gharar atau kesamaran yang dapat menimbulkan resiko yang dapat berakibat terjadinya kerugian dan permusuhan.

Dalam perkembangannya, jual beli ijon yang ada saat ini di masyarakat pedesaan adalah dilakukan dalam bentuk perkreditan informal yang transaksinya dilakukan dalam bentuk variatif (tidak seragam). Pada umumnya, jual beli ijon dilakukan dalam bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil pertanian. Jual beli tersebut mirip dengan ‘penggadaian’ tanaman yang masih hijau yang masih belum waktunya untuk dipetik, dipanen. Jual beli ijon seperti ini dilakukan oleh pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.

Siklus peredaran modal untuk jual beli ijon, biasanya dimulai pada setiap awal musim produksi, ketika pohon mulai berbunga. Pada saat itu pula, modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya kepada tengkulak untuk kebutuhan konsumtif (kebutuhan yang sangat mendesak) dan jangka pendek.

Dalam transaksi jual beli ijon tersebut di atas, tidak lagi hanya mengandung unsur gharar, namun ada unsur-unsur lain yang terkandung dalam jual beli yang dilarang (seperti riba). Sudah menjadi rahasia umum kalau tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan harga rendah (sesuai keinginannya) sehingga keuntungan akan selalu berpihak kepadanya. Sebaliknya, petani akan selalu dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi.

Jual beli ijon (baik seperti yang dipraktikkan pada zaman Rasulullah saw. yang disebut dengan jual beli muhaqalah atau mukhadharah atau jual beli ijon yang terjadi di masyarakat adalah termasuk jual beli yang dilarang dan haram hukumnya. Wallahu a’lam.

JUAL BELI MUKHADHARAH

Oleh
Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy

Yaitu menjual buah-buahan dan biji-bijian sebelum masak (matang).

Jual beli ini dilarang oleh syari’at, berdasarkan hadits dalam kitab Shahiih yang datang dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْـعِ الثِّـمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan) tersebut nampak ma-saknya. Beliau melarang penjual maupun pembelinya.”

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ مِنَ الْعَاهَةِ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual sesuatu yang masih bertangkai sampai ia memutih dan aman dari cacat.”

Masaknya buah dapat diketahui dari beberapa hal:
1. Untuk buah kurma tanda masaknya ialah dengan memerah atau menguning, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Melarang menjual buah-buahan sampai ia masak. Dikatakan kepada Anas Radhiyallahu anhu, ‘Apa tanda masaknya buah tersebut?’ Ia menjawab, ‘Yaitu dengan memerah atau menguning.’” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Untuk buah anggur tanda masaknya, yaitu manis rasanya, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَتَمَوَّهَ.

“Melarang menjual anggur sampai anggur tersebut manis rasanya.”

Sedangkan tanda kematangan buah-buahan yang lain ialah buah tersebut nampak matang dan enak untuk dimakan. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى تَطِيْبَ.

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sampai (buah-buahan) tersebut bagus (matang).”

Masuk dalam larangan ini semua jenis buah-buahan.

2. Sedangkan untuk biji-bijian tanda matangnya ialah dengan semakin menua dan memutih, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila dalam sebuah pohon sudah nampak buah-buahan yang sudah masak, maka boleh dijual semuanya.”

Semua hadits-hadits yang sudah disebutkan menunjukkan adanya larangan menjual buah-buahan sebelum matang.

Beberapa catatan penting:
1. Boleh menjual buah-buahan sebelum masak dengan syarat harus dipetik untuk orang yang ingin mengambil manfaat darinya.

Contohnya: Seorang pedagang ataupun yang lainnya membutuhkan anggur yang belum masak atau kurma yang belum masak ataupun buah-buahan lainnya, maka hal itu tidak apa-apa.

Baca Juga  Jual Beli Gharar

2. Apabila seseorang membeli kurma (yang belum masak) dan sebelum dipanen tiba-tiba kurma tersebut tertimpa musibah sehingga memberi mudharat baginya, maka hukumnya si pembeli wajib untuk tidak menerima kurma tersebut dan boleh meminta uangnya kembali dari si penjual.

Contohnya: Buah-buahan yang siap untuk dipanen tertimpa musibah atau bencana yang tidak disebabkan oleh perbuatan manusia seperti cuaca dingin atau angin, diserang hama ataupun penyakit tanaman lainnya sehingga buah-buahan tersebut menjadi rusak, maka dalam kondisi seperti ini si pembeli berhak menarik kembali uangnya dari si penjual atau ia boleh menuntutnya.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنْ بِعْتَ ِلأَخِيْكَ تَمْرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ تَحِلَّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا لِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيْكَ بِغَيْرِ حَقٍّ.

“Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu (sesama muslim), lalu kurma tersebut tertimpa musibah /wabah, maka tidak halal bagimu untuk mengambil (harga) darinya sedikit pun. Karena engkau tidak dibenarkan mengambil harta saudaramu sendiri.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab I’laa-mul Muwaqqi’iin, “Maksud dilarangnya jual beli buah-buahan yang belum masak, yaitu agar tidak terjadi kasus memakan harta si pembeli tanpa hak yang dibenarkan, karena buah-buahan tersebut kemungkinan bisa rusak. Allah telah melarangnya dan Allah pun menguatkan tujuan dari larangan ini dengan memberi pembelaan kepada si pembeli yang barangnya rusak karena terkena musibah setelah terjadinya jual beli yang dibolehkan. Semuanya ini dimaksudkan agar si pembeli tidak merasa dizhalimi dan hartanya tidak dimakan tanpa adanya hak yang dibenarkan.”

JUAL BELI HABALAH
Yaitu seekor unta melahirkan anak unta yang ada dalam kandungannya, kemudian unta yang telah melahirkan itu mengandung lagi.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَتَبَايَعُوْنَ لَحْمَ الْجَزُوْرِ إِلَى حَبَلِ الْحَبَلَةِ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Orang-orang Jahiliyyah biasa melakukan jual beli daging binatang sembelihan (dan akan dibayar) sampai unta melahirkan anak yang dikandungnya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka.” [HR. Muslim]

Gambarannya yaitu seseorang menjual barang dengan harga yang ditangguhkan sampai unta melahirkan anak yang dikandungnya atau sampai unta mengandung anaknya. Batas waktu pembayaran akan tiba setelah binatang yang dikandung telah dilahirkan.

Hikmah diharamkannya jual beli ini karena mengandung unsur gharar sebab tidak diketahuinya secara jelas waktu pembayarannya.

Baca Juga  Petunjuk Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Dalam Jual Beli

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَسْلَفَ فِى شَيْئٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ.

“Barangsiapa meminjam atau menghutang sesuatu, maka hendaklah ia menghutangkannya dengan takaran tertentu (yang sudah jelas) hingga batas waktu tertentu.” [HR. Al-Bu-khari]

JUAL BELI TALJI-AH
Makna talji-ah ialah seseorang takut miliknya akan diambil atau dirampas secara zhalim dan semena-mena, lalu ia melakukan kesepakatan kepada seseorang sehingga ia menampakkan bahwa barang itu telah ia beli darinya agar miliknya selamat dari rampasan tersebut.

Kesepakatan mereka berdua untuk tidak melakukan jual beli yang sebenarnya, menyebabkan jual beli seperti ini menjadi bathil apabila keduanya menetapkan talji-ah atau nampaknya keterangan yang menunjukkan hal tersebut.

Jika keduanya berselisih, misalnya salah seorang dari mereka berkata, “Jual beli ini benar-benar jual beli tanpa ada unsur sandiwara,” sedangkan yang lainnya berkata, “Jual beli ini hanya sandiwara saja,” maka jual beli ini boleh namun harus disertai sumpah bagi yang mengingkarinya.

Al-Muwaffiq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jual beli talji-ah adalah jual beli yang bathil, dan inilah madzhab al-Hanabilah, karena kedua orang yang melakukan akad tidak bermaksud melakukan jual beli, maka tidak sah akad dari mereka berdua. Hukum mereka berdua seperti dua orang yang sedang bercanda.

Madzhab Syafi’iyyah memandang sahnya jual beli ini, karena rukun-rukun dan syarat-syaratnya telah sempurna.

Pendapat yang aku (penulis) condong kepadanya ialah pendapat yang menyatakan bathilnya jual beli ini, karena orang pertama hanya bermaksud menjaga hartanya kepada orang lain dan keduanya pun sepakat untuk itu. Ketika terjadi perselisihan antara kedua belah pihak, maka akan menjadi jual beli yang sebenarnya dengan disertai sumpah bagi yang mengingkari. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ.

“Mendatangkan bukti adalah kewajiban bagi orang yang mengklaim (menggugat) sedangkan sumpah adalah kewajiban bagi orang yang mengingkarinya.”

Jual beli ini akan sah jika keduanya menjalankan jual beli ini di antara keduanya berdasarkan kesepakatan jual beli setelah hilangnya ketakutan.

[Disalin dari Kitab Al-Buyuu’: Al-Jaa-izu minhaa wa Mamnuu’ Penulis Syaikh ‘Isa bin Ibrahim ad-Duwaisy, Judul dalam Bahasa Indonesia Jual Beli Yang Dibolehkan Dan Yang Dilarang, Penerjemah Ruslan Nurhadi, Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M]

  1. Home
  2. /
  3. Fiqih : Jual Beli
  4. /
  5. Jual Beli Mukhadharah, Jual...