Jika ada hujan lebat yang membahayakan Shalat Berjamaah

Jumat, 19 Juni 2020  /  6:46 pm

Sejumlah jamaah Masjid sedang menunaikan shalat berjamaah Foto: Repro google.id

KENDARI, TELISIK.ID - Hujan kini melanda sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk kabupaten/kota di Sultra. Sehingga, cukup menghambat aktivitas masyarakat, termasuk dalam beribadah.

Namun, di tengah kondisi tersebut bolehkah seorang muslim menjamak salatnya karena hujan? Berikut penjelasan dari Ulama Ahli Fiqih, Muhammad Siddiq Al Jawi dalam website fissilmi-kaffah.com yang dikelolanya.

Menurutnya, para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menjamak salat karena hujan. Seperti ulama Hanafiyah salat jamak secara umum tidak boleh, termasuk salat jamak karena hujan.

Karena menurut ulama Hanafiyyah waktu-waktu salat (mawaqit as sholah) telah ditetapkan berdasarkan Hadits Mutawatir, sehingga waktu-waktu salat tidak boleh ditinggalkan dengan dalil-dalil takhsis (pengecualian) yang hanya berupa Hadits Ahad.

Ulama Hanafiyyah hanya membolehkan salat jamak dalam satu keadaan saja, yaitu salat jamak taqdim antara Zuhur dan Asar khusus bagi jamaah haji pada hari Arafah, dan salat jamak ta`khir antara Magrib dan Isya khusus bagi jamaah haji pada malam Muzdalifah.

Mereka berhujjah dengan hadits Ash Shahihain, bahwa Ibu Mas’ud RA berkata l, ”Demi [Dzat] yang tak ada tuhan selainnya, tidaklah pernah Rasulullah SAW salat kecuali pada waktunya, kecuali dua salat saja (yang dikerjakan di luar waktunya), yaitu jamak Zuhur dan Asar di Arafah, dan jamak Magrib dan Isya’ di Jama’” (yaitu maksudnya di Muzdalifah).”  (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu,  2/503).

Sedangkan jumhur ulama, yaitu ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah membolehkan menjamak salat karena hujan berdasarkan hadits-hadits sahih.

Baca juga: Pemkot Kendari Izinkan Bioskop dan Hiburan Lain Dibuka, ini Syaratnya

Namun, jumhur ulama berbeda pendapat dalam cabang-cabang hukum masalah ini. Misalnya, Ulama Syafi’iyyah membolehkan menjamak Salat Zuhur dan Asar, juga Salat Magrib dan Isya.

Adapun ulama Malikiyyah dan Hanabilah, hanya membolehkan menjamak Salat Zuhur dan Asar saja, tidak membolehkan menjamak Salat Magrib dan Isya.

Dari segi jamak takdim dan jamak ta`khir, ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah membolehkan jamak taqdim saja, tidak membolehkan jamak ta`khir.

Sedang ulama Hanabilah membolehkan jamak takdim dan juga jamak ta`khir. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 56-57, Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 289-290; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/505).

Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, juga menurut satu pendapat di kalangan ulama Hanabilah, kebolehan menjamak salat karena hujan hanya khusus bagi mereka yang salat jamaah di masjid. Jadi tidak boleh menjamak salat bagi mereka yang salat sendirian (munfarid) atau salat jamaah di rumah.

Sedang menurut pendapat yang lebih rajih (al arjah) di kalangan ulama Hanabilah, menjamak salat karena hujan secara umum boleh bagi mereka baik yang salat jamaah di masjid maupun yang salat sendirian di rumah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 291).

Setelah mengkaji dalil-dalilnya, menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan menjamak salat karena hujan. Dalilnya antara lain hadits Ash Shahihain dari Ibnu Abbas RA bahwasanya, "Rasululullah SAW telah mengimami salat bersama kami di Madinah menjamak Salat Zuhur dan Asar semuanya, dan Salat Magrib dan Isya semuanya.” Imam Muslim menambahkan,”(salat jamak itu dilakukan) tanpa alasan adanya ketakutan atau alasan dalam perjalanan.” (HR Bukhari & Muslim)

Baca juga: Kurban Bukan Sekedar Ibadah, Ustadz Faris BQ: Menggerakkan Ekonomi Umat

Imam Malik dan Imam Syafi’i mensyarah hadits di atas dengan mengatakan,”Saya melihat salat jamak tersebut dilakukan Nabi SAW karena adanya udzur (keringanan) berupa hujan.” (araa dzaalika bi ‘udzril mathar). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 15 hlm. 290).

Adapun pendapat ulama Hanafiyah yang tak membolehkan salat jamak karena hujan dengan alasan Hadits Ahad tak boleh mengecualikan Hadits Mutawatir, tidak dapat diterima. Karena Hadits Ahad sesungguhnya boleh mengecualikan Hadits Mutawatir, sebab hadits adalah sumber hukum (dalil syar’i), baik Hadits Mutawatir maupun Hadits Ahad.

Dengan kata lain, kebolehan Hadits Ahad mentakhsis Hadits Mutawatir, dikarenakan kedua jenis hadits tersebut sama-sama merupakan wahyu Allah walaupun hanya wahyu dari segi makna. (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/503; Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 3 hlm. 259; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz I hlm. 252).

Hadits Ibnu Mas’ud RA yang menafikan adanya sholat jamak oleh Nabi SAW kecuali di Arafah dan Muzdalifah, tidak dapat diamalkan karena ia hadits yang marjuuh (lemah secara tarjih). Sebab hadits Ibnu Mas’ud RA itu bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas RA yang menetapkan Nabi SAW melakukan salat jamak di Madinah (di luar Arafah dan Muzdalifah).

Hadits Ibnu Abbas RA ini dianggap lebih rajih (kuat) daripada hadits Ibnu Mas’ud RA, berdasarkan kaidah tarjih menurut jumhur ulama bahwa dalil yang menetapkan adanya sesuatu, lebih kuat daripada dalil yang menafikan adanya sesuatu. (Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz 3 hlm. 494; Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, juz 2 hlm. 1197).

Adapun dari segi salat apa saja yang boleh dijamak, dari segi jamak taqdim dan jamak ta`khir, juga dari segi apakah harus dilakukan secara berjamaah di masjid, kami cenderung kepada pendapat Imam Taqiyuddin An Nabhani yang mengatakan salat jamak karena hujan dibolehkan secara mutlak. Artinya, boleh dilakukan untuk menjamak Salat Zuhur dan Asar, juga Salat Magrib dan Isya`, boleh dilakukan secara jamak takdim atau juga jamak ta`khir, dan secara umum boleh bagi mereka baik yang sholat jamaah di masjid maupun yang salat sendirian di rumah. (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 41; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkamis Sholah, 2/343).

Baca juga: TKA China ke Sultra, Gerindra Ingatkan Pemerintah Bahaya Budaya Komunis

Kemutlakan hukum tersebut disimpulkan berdasarkan dalil-dalil yang mutlak pula, sesuai kaidah ushuliyah yang berbunyi, dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan. (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208).

Dalil-dalil hadits yang mutlak tersebut, hanya menyebut satu sebab saja untuk bolehnya menjamak salat karena hujan tanpa menyebut kesulitan (masyaqqah) sebagai sebab bolehnya salat jamak karena hujan. (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 40-41; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkamis Sholah, 2/343).

Imam Taqiyuddin An Nabhani juga mengatakan bahwa tidak disyaratkan hujan sedang turun pada saat takbiratul ihram, tapi disyaratkan waktu salat itu adalah waktu hujan turun (yauma mathiirin), misalnya sedang mendung.

Adapun dalilnya adalah hadits Jabir bin Zaid RA, "Dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas,” Bahwasanya Nabi SAW salat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat, menjamak Zuhur dan Asar, Magrib dan Isya.’ Maka berkatalah Ayyub [kepada Jabir] jamak yang dilakukan Nabi SAW mungkin dalam malam berhujan (lailatin mathiiratin). Jabir menjawab,”Bisa jadi.” (HR Bukhari).

Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan kata malam berhujan (lailatin mathiiratin) dalam hadits tersebut dengan berkata,“Yang dimaksud dengan kata lailatin mathiiratin adalah bahwa waktunya adalah waktu hujan, bukan berarti hujan sedang turun pada saat takbiratul ihram.” (Ali Raghib, Ahkamus Sholah, hlm. 40-41).

"Kesimpulannya, salat jamak karena hujan boleh secara mutlak. Maksudnya, boleh untuk menjamak Salat Zuhur dan Asar, juga salat Magrib dan Isya`, boleh dilakukan secara jamak takdim atau jamak ta`khir, dan boleh pula dilakukan baik berjamaah di masjid maupun sendirian di rumah. Wallahu a’lam," tutupnya.

Reporter: Fitrah Nugraha

Editor: Sumarlin

Salat Jamak Hujan Deras Hukum Fikih Islam

Ditulis Oleh : Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.

MADANINEWS.ID, JAKARTA — Shalat Jumat merupakan ritual wajib bagi Muslim laki-laki di setiap minggunya. Salah satu hikmah disyariatkannya Jumat adalah menjaga kerukunan dan kekompakan di antara sesama Muslim. Minimal satu kali dalam seminggu mereka bisa bertemu dan bertatap muka setelah setiap harinya sibuk dengan profesi dan pekerjaan masing-masing.  

Sebegitu pentingnya Jumatan, hingga Nabi menyabdakan bahwa orang yang meninggalkan Jumat tiga kali beturut-turut, Allah membekukan hatinya. Ketika hati sudah beku, pertanda susah menerima nasihat dan kebenaran—semoga Allah melindungi kita darinya. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, syariat membolehkan shalat Jumat di suatu daerah ditiadakan. Berikut ini penjelasannya.

Pertama, jumlah jamaah Jumat tidak memenuhi kuota. Minimal jumlah jamaah Jumat yang mengesahkan Jumatan menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i adalah 40 laki-laki Muslim (sudah termasuk imam) daerah setempat yang bertempat tinggal tetap.

Jika kuota jamaah Jumat tidak mencapai jumlah tersebut, misalnya di daerah minoritas Muslim, maka Jumatan boleh ditiadakan. Warga Muslim setempat tidak berkewajiban Jumatan.   Guru besar ulama mazhab Syafi’i, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan:

  فإن كانوا أقل من أربعين أو أهل خيام مثلا ونداء بلد الجمعة يبلغهم لزمتهم وإن لم يبلغهم فلا لخبر الجمعة على من سمع النداء رواه أبو داود بإسناد ضعيف لكن ذكر له البيهقي شاهدا بإسناد جيد

  “Bila mereka kurang dari 40 orang atau statusnya penduduk perkemahan, sementara adzan tempat berlangsungnya Jumat sampai pada mereka, maka wajib bagi mereka untuk berjumatan (ke daerah tetangga tersebut), bila tidak terdengar adzan, maka tidak wajib Jumatan. Karena hadits Nabi, shalat Jumat wajib atas orang yang mendengar adzan. Hadits riwayat Abu Daud dengan sanad yang lemah, namun Imam al-Baihaqi menyebutkan dalil pendukung bagi hadits tersebut dengan sanad yang baik (hasan).” (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 263).  

Kedua, hujan lebat. Disebutkan dalam Shahih Muslim:  

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: ” إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ “، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ»  

“Dari Abdillah bin Abbas, beliau berkata kepada juru adzannya di hari-hari penuh hujan, ‘Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lâ ilâha illallâh, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alash shalâh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan shallû fî buyûtikum (shalatlah di rumah-rumah kalian).’ Juru adzan berkata, ‘Sepertinya orang-orang mengingkari pandangan tersebut.’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Apakah engkau merasa aneh dengan ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya Jumatan adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di lelumpuran dan jalan yang rawan terpeleset’.” (HR Muslim).

  Hadits tersebut menunjukan bahwa hujan menjadi sebab diringankannya urusan jamaah dan Jumatan. Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam penjelasan hadits di atas:

  هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الأعذار  

“Hadits ini menunjukan diringankannya urusan jamaah disebabkan hujan dan sejenisnya dari beberapa uzur” (Syekh al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hal. 207).  

Hujan bisa menjadi uzur atau alasan untuk tidak digelarnya shalat Jumat bila memberatkan seseorang keluar rumah. Sehingga, tidak termasuk uzur bila hanya gerimis-gerimis kecil, atau hujan lebat tapi ada kemudahan akses untuk sampai ke masjid.   Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

  ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن

  “Dan disyaratkan ada masyaqqah (hal yang memberatkan) dengan keluar saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak dimaafkan hujan yang ringan dan lebat bila ia dapat berjalan di bawah atap” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473).  

Ketiga, becek yang parah. Menurut pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i, becek yang parah termasuk uzur, karena haditsnya Ibnu Abbas dalam riwayatnya Imam Muslim di atas. Alasan lainnya, becek yang parah lebih besar taraf masyaqqah-nya dari hujan. Yang dimaksud becek parah adalah kondisi becek yang rawan mengakibatkan kotornya pakaian dan kaki.  

Syekh al-Damiri mengatakan:  

(وكذا وحل شديد على الصحيح) فهو عذر وحده ليلا ونهارا، لحديث ابن عباس المتقدم، ولأنه أشق من المطر. والثاني: لا؛ لإمكان الاحتراز عنه بالنعال ونحوها. والمراد بـ (الوحل الشديد): الذي لا يؤمن معه التلويث وإن لم يكن متفاحشا.  

“Demikian pula becek yang parah menurut pendapat yang shahih, maka termasuk uzur di malam dan siang hari, karena hadit riwayat Ibnu Abbas yang terdahulu, dan karena becek lebih berat dari hujan. Menurut pendapat kedua, bukan uzur, karena bisa dihindari dengan memakai sandal dan semisalnya. Maksud dari becek parah adalah becek yang tidak aman besertaan dengannya mengotori meski tidak sampai pada taraf yang sangat parah” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, al-Najm al-Wahhaj, juz 2, hal. 339).  

Keempat, angin kencang. Para ahli fiqih sebenarnya membatasi keringanan shalat jamaah pada alasan angin yang terjadi di malam hari, sedangkan angin kencang di siang hari tidak termasuk uzur karena taraf masyaqqah-nya masih di bawah angin kencang di malam hari.

Sehingga, hal ini tidak bisa diterapkan dalam bab Jumat yang notabenenya dilaksanakan di siang hari (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, juz 3, hal. 46, cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut Lebanon).

  Bila mencermati alasan tersebut, tidak menutup kemungkinan bila terjadi angin sangat kencang yang taraf masyaqqah-nya sebanding atau bahkan melebihi angin kencang di malam hari, juga bisa menjadi uzur meninggalkan Jumat.  

Hujan lebat, becek parah, dan angin kencang menjadi uzur sekiranya mengakibatkan masyaqqah (kondisi memberatkan) yang menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Syekh al-Qalyubi mengatakan:

  قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.

  “Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jamaah (dan Jumat) kecuali karena uzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Membuat alasan dengan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260).

  Peniadaan Jumatan karena Virus/Penyakit

Selain faktor yang telah disebutkan di atas, sebetulnya masih ada beberapa penyebab diperbolehkan meninggalkan Jumatan, namun tidak berlaku umum untuk seluruh warga Muslim setempat, melainkan dikembalikan kepada individu setiap orang, tidak bisa digeneralisasikan.

Para pakar fiqih mengategorikannya dalam uzur yang khusus, yaitu uzur yang hanya berlaku untuk personal, bukan jamaah.   Seperti sakit atau khawatir tertular penyakit bagi diri sendiri, hal ini dapat menjadi uzur yang memperbolehkan meninggalkan Jumat dan jamaah, sebagaimana penjelasan yang dipaparkan dalam referensi berikut ini:

  ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض.

  “Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jumat dan jamaah karena khawatir terkena sakit” (Syekh al-Mardawi, al-Inshaf, juz 4, hal. 464).  

Referensi dari mazhab Hanbali tersebut secara tegas menstatuskan kekhawatiran tertimpa penyakit sebagai uzur Jumat dan jamaah. Hanya saja, referensi tersebut hanya berlaku dalam konteks individu. Artinya, tidak berlaku umum untuk setiap orang, harus melihat kondisi imunitas masing-masing dan seberapa kuat potensi bahaya menularnya sebuah penyakit agar bisa sampai pada taraf “khauf/ kekhawatiran”.   Yang dimaksud “khauf” dalam umumnya redaksi fiqih, tidak sebatas kekhawatiran tanpa dasar, namun disertai indikasi yang mengantarkan kepada zhan (dugaan) atau yakin dapat mengganggu kesehatan sesuai petunjuk medis.  

Hal lain yang menjadi penyebab bolehnya meninggalkan Jumat bagi individu adalah risiko menularnya sebuah penyakit ke jamaah lain. Misalnya penderita lepra atau kusta, ia tidak terkena kewajiban Jumat, bahkan wajib dikarantina, diberi tempat khusus agar penyakitnya tidak menular ke orang sehat dan pemerintah atau orang Muslim yang kaya memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan hidupnya.

Namun sekali lagi, kasus tersebut kembalinya kepada individu, yaitu uzur meninggalkan Jumatan hanya berlaku untuk warga yang positif mengidap penyakit menular, tidak berlaku untuk semua warga (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).

  Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat yang memperkenankan peniadaan Jumatan secara massal saat wabah virus menjangkit, langkah yang ditempuh seharusnya mengidentifikasi setiap warga apakah positif terkena virus atau aman darinya, bukan menggeneralisasi libur Jumatan secara massal tanpa memilah dan memilih.

Muslim yang positif terkena virus (yang bisa menular lewat kedekatan fisik), wajib diisolasi dan dilarang Jumatan, sementara warga Muslim yang sehat tetap berkewajiban Jumatan selama tak khawatir terdampak virus berdasarkan informasi medis.   Merujuk kepada kaidah fiqih bahwa:

  اليقين لا يزال بالشك

  “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”  

Dalam konteks peliburan Jumatan secara massal, kewajiban Jumatan sudah jelas dan tidak bisa ditunda-tunda, sementara uzur yang membolehkan untuk meninggalkannya masih diragukan.   Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.