Jelaskan perkembangan seni sastra pada masa pendudukan Jepang

  1. Home /
  2. Archives /
  3. Vol 1 No 1 (2014): Seuneubok Lada /
  4. Articles

Karya sastra pada masa pendudukan Jepang menjadi catatan tersendiri dalam sejarah kesastraan di Indonesia.Karya sastra tidak hanya sebagai ungkapan ekpresi dari sastrawan belaka, akan tetapi sudah menjadi mediauntuk komunikasi massa untuk masyarakat penikmatnya. Pokok permasalahan tulisan ini adalah bagaimanapemerintah pendudukan Jepang melakukan propaganda melalui karya sastra dan bagaimana karya sastra kritikterhadap pemerintah pendudukan Jepang. Karya sastra menjadi salah satu media atau alat propaganda bagipemerintah. Karya sastra menjadi salah satu alat propaganda pemerintah untuk mendapatkan simpati darimasyarakat Indonesia. Melalui Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) dibawah Sedenbu (DepartemenPropaganda), pemerintah serius untuk melakukan propaganda dengan memanfaatkan karya sastra meskipuntidak banyak jumlahnya. Meskipun demikian, ternyata tidak semua karya sastra menjadi bagian propagandapemerintah karena isinya berupa kritikan. Tentu saja tidak terpublikasikan secara resmi dan hanya beredar di

kalangan terbatas saja dan diterbitkan setelah kemerdekaan Indonesia.


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang meliputi berbagai macam karya sastra yang berada di Indonesia. Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk pada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan bahasa melayu (dimana bahasa Indonesia adalah turunannya).

            Dalam sejarah sastra terdapat periodisasi sastra. Periode sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain. Secara urutan waktu terbagi atas angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan zaman Jepang, angkatan ‘45, tahun 1950-an, angkatan 66, tahun 1970-an, tahun 1980-an, tahun 1990-an, tahun2000-sekarang (milenium).

            Dalam makalah ini, kami akan membahas sastra pada zaman Jepang. Pada sastra zaman Jepang relatif singkat dan ternyata  menghasilkan karya-karya sastra yang perlu mendapat perhatian tersendiri, sastra Indonesia di masa Jepang berlangsung lebih kurang 3,5 tahun. Waktu yang amat singkat bagi pertumbuan suatu kebudayaan. Akan tetapi, dilihat dari peranan sastra masa itu bagi pengembangan selanjutnya, maka sastra Indonesia dimasa Jepang perlu diberi tempat tersendiri dalam sejarah sastra Indonesia.

            Dilihat dari pertumbuhan kebudayaan Indonesia, zaman Jepang adalah penempaan pengalaman hidup dengan berbagai penderitaan sehingga memungkinkan timbulnya keragaman dan kedewasaan sastra kemudian. dalam kajian ini yang dimaksud dengan kesusastraan di masa Jepang ialah kegiatan dan cipta sastra yang terwujud dalam masa Jepang, dan mempunyai sifat-sifat khas masa tersebut. Oleh karena itu secara singkat dapat dikatakan bahwa kesusastraan dimasa Jepang ini menunjukan adanya tendensi zaman.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana latar belakang kesusastraan zaman Jepang?

2.      Bagaiman situasi sastra Indonesia zaman Jepang?

3.      Bagaimana karakteristik kesusastraan zaman Jepang?

4.      Siapa saja pengarang dan hasil karya sastranya pada zaman Jepang?

5.      Bagaimana perkembangan cerita pendek pada zaman Jepang?

6.      Bagaimana perkembangan drama pada zaman Jepang?

C.    Tujuan penulisan

1.      Mendeskripsikan kesusastraan zaman Jepang.

2.      Mendeskripsikan situasi sastra Indonesia pada zaman Jepang.

3.      Mendeskripsikan karakteristik kesusastraan zaman Jepang.

4.      Mendeskripsikan pengarang dan hasil karya sastranya pada zaman Jepang.

5.      Mendeskripsikan perkembangan cerita pendek pada zaman Jepang.

6.      Mendeskripsikan perkembangan drama pada zaman Jepang.

BAB II

PEMBAHASAN

Zaman Jepang merupakan jembatan atau pemisah antara angkatan pujangga baru dengan angkatan ’45. Munculnya zaman Jepang ini karena Jepang datang ke Indonesia yang menggeser Belanda.

A.    Latar Belakang

Munculnya zaman Jepang mulai tahun 1942 yaitu bersamaan Jepang ke Indonesia dan Jepang berkuasa di negeri ini. Menurut Jassin (1967: 68), pada zaman ini para pengarang beserta seniman dikumpulkan oleh Jepang di kantor pusat kebudayaan Jepang yang dinamakan keimin bunka sidosho. Lembaga ini diketuai oleh Armijn Pane dengan penasihat Bangsa Jepang bernama Sakai. Anggota-anggota lembaga tersebut antar lain: Sutomo Jauhar Arifin, Usmar Ismail, dan Inu Kertapati.Jepang mempunyai tujuan terselubung untuk mengumpulkan para pengarang dan para seniman tersebut, yaitu mereka diminta membuat lagu-lagu, lukisan, slogan, sajak dan sandiwara serta film yang digunakan sebagai alat propaganda Jepang. Usaha dan kegiatan harus dipropagandakan itu antara lain: menanam biji jarak, giat menambah produksi, bekerja keras di pabrik, sanggup masuk barisan jibaku tai (barisan berani mati), membantu perang Asia Timur Raya, dan lain-lain. Kantor pusat kebudayaan didirikan untuk berkumpulnya para sastrawan dan menampung propaganda Jepang, serta sebagai badan sensor penerbitan. Dalam hal ini, Jepang bermaksud menguasai Asia dengan semboyan 3A. Perkumpulan sandiwara disatukan dibawah POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa). Jepang menyampaikan propagandanya lewat pengetahuan kebudayaan yang bernaung dalam kantor pusat kebudayaan. Lewat pengetahuan kebudayaan tersebut dapat melancarkan jiwa propaganda orang-orang bumi untuk bekerja giat dan bekerja di pabrik-pabrik.

            Hasil karya sastra zaman Jepang dapat dilihat dari segi bentuk dan bahasa. Karya sastra dilihat dari segi bentuk adalah bentuk karya sastra yang dihasilkan berupa cerpen, puisi, sajak, dan drama. Jika melihat bentuk-bentuk karya tersebut, umumnya berbentuk pendek dan singkat. Hal ini disebabkan pengaruh kondisi saat itu, yaitu masyarakat dituntut untuk bekerja keras, cepat, dan singkat dalam segala hal. Dari segi bahasa, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dalam segala hal bidang maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat karena Bahasa Indonesia diharuskan dipakai di sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi dan dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan Bahasa Indonesia ketika itu bisa dikatakan sedikit dipaksakan, agar dalam waktu yang secepatya-cepatnya menjadi alat komunikasi yang dapat digunakan ke seluruh plosok untuk semua bidang. Pemerintah Jepang bermaksud untuk mengerahkan tenaga bangsa Indonesia untuk Perang Asia Timur Raya sampai dari desa-desa yang jauh terpencil sekalipun, mereka merasa perlu menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akhirnya meluas penggunaanya ke segala penjuru Nusantara, sedangkan semakin banyak orang Indonesia mengalami suatu perasaan yang selama ini belum dikenalnya dengan mendalam, yaitu perasaan nasionalisme melalui penggunaan Bahasa Indonesia. Bertambah lama jalannya perang, bertambah banyak orang Indonesia yang memakai Bahasa Indonesia, maka bertambah kuat pulalah terasa hubungan antara sesamanya. Bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi serta wahana integrasi bangsa Indonesia.

            Genre atau bentuk karya sastra drama mendapat perhatian dari pemerintah Jepang, sehingga mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan, Jepang menganggap bahwa bentuk drama mirip dengan pertunjukan ketoprak sehingga tepat dijadikan sebagai alat propaganda. Jepang melihat bahwa masyarakat zaman ini senang dengan kesenian tersebut dan tidak asing lagi, sehingga mereka mudah memahami pesan yang disampaikan lewat cerita. Pertujukan drama didukung oleh Jepang, terutama masalah biaya dan film-film Barat dilarang.

            Pada zaman Jepang dikenal adanya sastra tersimpan dan tersiar. Karya sastra tersimpan adalah hasil karya sastra pengarang yang disimpan sejak tahun 1940-an sehingga berhasil terbit pada zaman Jepang. Sedangkan sastra tersiar adalah sastra yang berhasil diterbitkan baik lewat diri sendiri. Penerbitan yang ada pada zaman Jepang adalah Panji Pustaka dan majalah Kebudayaan Timur.

            Pada masa penjajahan Jepang kita melihat semakin banyak jumlah orang yang menulis sajak dan cerpen, demikian juga sandiwara. Sedangkan Roman kurang ditulis. Kehidupan kacau dalam bidang ekonomi juga mengajarkan para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dengan kata-kata, setiap kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme yang menjadi ciri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan. Ekonomisasi kata dan bahasa itu tampak jelas sekali. Bahkan cara penulisan pun disederhanakan. Dalam memilih materi untuk menulis sastra menjadi lebih sederhana. Yang menjadi perhatian para pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik ataupun kehiduapan yang rumit, melainkan kenyataan sehari-hari yang tampak karena benar-benar terjadi.

Pada majalah Djawa Baroeterdapat juga dua kisah sandiwara yakni yang berjudul “Perkawinan 25 Tahun” karya Takamura Sasaki dan “Kuli dan Romusha” karya J. Hutagalung. Drama berjudul “Perkawinan 25 Tahun”karyaTakamura Sasaki berceritatentangupayaanak-anaksebuahkeluarga di Jepanguntukmerayakanperkawinanperak orang tuanya. Sang ayah berada di Indonesia sementara sang ibubesertaanak-anaknyatinggal di Tokyo. Sebagaikejutanperayaanadalahsiaran radio langsungdari Batavia dimana sang ayah yang berpidato, Sementara drama “KulidanRomusha” karya J. Hutagalungberceritatentangseorangdokter Indonesia yang menjadidokterromushadi Deli.

B.     Situasi Sastra Indonesia di Masa Jepang

Banyak pengarang angkatan ’45 yang mulai berakar pada sastra Indonesia di masa Jepang, antara lain: Chairil Anwar, Idrus, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Macam-macam sikap pengarang bangsa kita menerima kedatangan Jepang. Sikap itu dapat diketahui dari sastra yang mereka hasilkan. Ada beberapa pengarang yang menyambut kedatangan Jepang di Indonesia dengan gembira dan penuh harapan, walaupun kemudian mereka menyadari apa maksud Jepang yang sebenarnya. Disamping itu, ada beberapa pengarang yang sejak semula curiga terhadap maksud kedatangan Jepang di Indonesia. Mereka tidak mudah menerima propaganda Jepang yang menyatakan diri sebagai “saudara tua” bangsa Indonesia. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia hampir semua perkumpulan dilarang, kecuali perkumpulan-perkumpulan yang didirikan atau yang seizin pemerintah seperti PUTERA (Pusat Tentara Rakyat) yang dipimpin oleh Bung Karno.

Pada zaman Jepang penerbitan majalah sangat terbatas jumlahnya. Pujangga Baru tidak lagi terbit. Majalah sastra dan kebudayaan yang penting pada waktu itu antara lain Kebudayaan Timur, yaitu majalah resmi yang diterbitkan oleh Pusat Kebudayaan, Panca Raya, dan Panji Pustaka.

C.    Karakteristik Kesusastraan pada Zaman Jepang

1.      Genre yang muncul berupa cerpen, puisi, dan drama. Selain itu muncul sajak, sandiwara, dan film.

2.      Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.

3.      Corak karya sastranya tersimpan dan tersiar.

4.      Umumnya sastra tersiar pada masa itu tidak terlepas dari unsur tendens, yaitu tendens membantu perang Jepang, bahkan sering unsur tendens itu begitu jelas sehingga berubah sifat menjadi propaganda, seperti pada dua novel, yaitu Palawija karangan Karim Halim dan Cinta Tanah Air karangan Nur Sutan Iskandar. Sedangkan sastra tersiar yang tidak mengandung tendens, umumnya menyatakan maksud isinya dalam bentuk simbolik atau bersifat pelarian dari realitas kehidupan yang pahit, dapat dipandang bersifat simbolik karena berlaku pada dunia binatang. Sedangkan yang dimaksud pelarian adalah pelarian kepada Tuhan.

5.      Kritik selalu muncul bila tidak ada keseimbangan antara penguasa dan masyarakat serta ada hak dan martabat manusia yang dilecehkan.

Contohnya, Dengar Keluhan Pohon Mangga, Corat Coret di Bawah Tanah, dan Taufan di Atas Asia.

6.      Tidak muncul adanya angkatan, karena tidak ada cita-cita yang sama yang akan diperjuangkan.

7.      Bersifat realistis (romantik-realistis). Hal ini disebabkan corak romantik pada masa itu langsung berhubungan dengan kenyataan hidup yang pahit, yang penuh dengan penderitaan.

D.    Pengarang dan Hasil Karyanya

Para pengarang sastra zaman Jepang tidak sebanyak pengarang periode sebelumnya. Para tokoh zaman Jepang antara lain: Idrus, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, dan Amal Hamzah.

Para pengarang dan hasil karyanya:

1.      Idrus

Hasil karyanya:

-          Corat-coret di Bawah Tanah

-          Dokter Bisma

-          Keluarga Surono

-          Kejahatan Membalas Dendam (drama)

-          Dengarkan Keluhan Pohon Mangga

-          Kota – Harmoni

-          Sanyo

-          Heiho

-          Okh... Okh… Okh

2.      Usmar Ismail

Hasil karyanya:

-          Puntung Berasap (kumpulan sajak)

-          Diserang Rasa (sajak)

-          Ayahku Pulang

-          Mutiara dari Nusa Laut

-          Tempat yang Kosong

-          Sedih dan Gembira (kumpulan drama)

-          Cahaya Merdeka (sajak)

3.      Rosihan Anwar

Hasil karyanya:

-          Radio Masyarakat (cerpen)

-          Lukisan (sajak)

-          Raja Kecil

-          Bajak Laut di Selat Malaka

-          Keyakinan (sajak)

-          Lahir dan Batin (sajak)

4.      Amal Hamzah

Hasil karyanya:

-          Gita Nyali (terjemahan dari bahasa India, karya R. Tagore)

-          Pembebasan Pertama (Kumpulan Sajak dan Cerpen)

-          Buku dan Penulis (drama)

-          Tuan Amin (drama)

-          Teropong (cerpen)

-          Bingkai Retak (cerpen).

5.      Abu Hanifah (El-Hakim)

Hasil karyanya:

-          Taufan di Atas Asia

-          Dokter Rimba

-          Imtelek Istimewa

-          Dewi Reni

-          Isnan Kamil

-          Rogaya

-          Mambang Laut

6.      Maria Amin

Hasil karyanya:

-          Kapal Udara

-          Tengoklah Dunia Sana

-          Kekasihku Semua

7.      Nursjamsu

Hasil karyanya:

-          Terawang (cepen)

-          Membayar Utang (sajak)

8.      Bakri Siregar

Hasil karyanya:

-          Di Tepi Ka’bah

9.      MS. Ashar

Hasil karyanya:

-          Bunglon.

E.     Perkembangan Cerita Pendek pada Zaman Jepang

Pada zaman Jepang ini cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa pengarang baru muncul. Sayembara pengarang cerpen diadakan dalam majalah-majalah yang terbit saat ini seperti Pandji Pustaka, Djawa Baroe, dan lain-lain cerpen banyak diberi tempat.

Cerpen Usmar Ismail dan Rosihan Anwar telah disebut-sebut. Selain mereka, pada zaman Jepang itu H.B Jassin (lahir di Gorontalo, 31 Juli, 1817) juga mebulis cerpen. Cerpen yang berjudul ‘Anak Laut’ kemudian bersama dengan cerpen-cerpen buah tangan beberapa pengarang lain diterbitkan secara bersama Pancaran Cinta (1946). ‘Anak Laut’ bukanlah cerpen Jassin yang pertama. Tetapi mungkin cerpennya yang terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen yang dimuat dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain yang berjudul ‘Nasib Volontaire’ (1941). Pada masa sesudahnya Jassin lebih mencurahkan perhatian kepada penulisan kritik dan esai sastra sambil menyelenggarakan dokumentasi sastra modern.

Pengarang cerpen lain yang muncul pada zaman Jepang Bakrie Siregar (lahir di Langsa, Aceh tahun 1922). Cerpen yang pertama berjudul ‘Di Tepi Kawah’ mendapat hadiah pertama sayembara mengarang cerpen. Cerpen itu melukiskan kehidupan di tepi kawah yang jauh dari masyarakat umum, tempat sepasang suami-istri melarikan diri. Cerpen itu merupakan cerpen pelarian. Lukisan alam gunung berapi dan kawah sangat indah dan teliti ditulis Bakri, kemudian ‘Di Tepi Kawah’ di bukukan dengan Jejak Langkah (1953). Cerpen-cerpen yang dimuat dalam buku itupun semuanya melukiskan kesepian dan pelarian dari dunia ramai disertai dengan humor yang berat dan tidak menarik.

Pada masa sesudah perang Bakri masih ada juga yang menulis cerpen. Tetapi perannya sebagai pemimpin lembaga seni sastra Lekra lebih banyak dicurahkan kepada penulisan karangan-karangan yang berupa kritik, polemik, dan semacamnya. Ia menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964) yang baru selesai satu jilid.

F.      Perkembangan Drama pada Zaman Jepang

Penulisan drama pada zaman Jepang ini boleh dikatakan sangat subur. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan rombongan-rombongan sandiwara yang berkumpul dalam Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armin Pane. Memang tidak semua lakon yang dimainkannya itu benar-benar bernilai sebagai sastra, tetapi kegiatan semacam itu tidak boleh tidak memberikan dorongan juga kepada pengarang untuk menulis lakon sandiwara.

Beberapa nama pengarang yang banyak membuat sandiwara pada zaman Jepang ialah Armijn Pane, Usmar Ismail, Abu Hanifah (yang mempergunakan nama samara El Hakim), Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi, dan lain-lain. Amir Hamzah mmenulis beberapa sandiwara ejekan melecehkan para seniman yang menjadi budak Jepang tentu saja tidak mungkin dimainkan pada masa itu.

Armijn Pane yang pada masa sebelum perang menulis “Lukisan Masa, Barang Tiada Berharga” dan lain-lain. Pada zaman Jepang ini menulis beberapa buah sandiwara lagi. Semua sandiwara yang dituliskannya itu kemudian dibukukan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1953). Di dalamnya  selain yang ditulis Armijn Pane pada masa sebelum perang dan masa Jepang ada juga yang ditulis segera sesudah proklamasi kemerdekaan, berjudul “Antara Bumi dan Langit” yang mempermasalahkan kedudukan kaum indo di alam Indonesia Merdeka.

Usmar Ismail yang namanya sudah kita sebut dalam hubungan penulisan sajak dan cerpen, pada zaman Jepang ini menyadur Chichi Kaeru karangan Kikuchi Kwan, seorang pengarang Jepang menjadi “Ayahku Pulang”. Disamping itu ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat kepulauan Maluku yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda berjudul “Mutiara dan Nusa Laut”, keduanya tidak pernah diterbitkan menjadi buku tetapi berkali-kali dimainkan oleh penggemar menjadi sebuah film yang disutradarai sendiri, berjudul Dosa Tak Berampun (1950). Drama-drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan ialah “Mekar Melati” dan “Tempat yang Kosong”.

Abu Hanifah (El Hakim) lahir 1906 di Padang Panjang. Pada zaman Jepang menulis beberapa drama yang kemudian dibubuhkan menjadi Taufan Di Atas Asia (19490. Ada empat buah drama yang dibuat dalam buku ini, yaitu ‘Taufan Di Atas Asia’ dalam empat bagian, ‘Intelek Istimewa’ dalam tiga bagian, ‘Dewi Reni’ dalam tiga babak dan ‘Insan Kamil’ dalam tiga babak. Pada masa sesudah merdeka, ia masih menulis dua buah drama lagi yaitu ‘Rogaya’ dalam empat babak dan ‘Mambang Laut’ tiga babak. Keduanya belum dibukukan.

Dalam drama-drama El Hakim terasa dasar-dasar agama Islam dan kecenderungan memilih timur dalam pertarungan antara Timur dan Barat yang dianggapnya sebagai pertentangan antara idealism dan materialism.

Selain menulis drama, ia juga menulis roman berjudul Dokter Rimbu (1952), tetapi kegiatan di lapangan politik lebih banyak menarik minatnya. Ia pernah menjadi menteri serta menerjemahkan sejumlah buku yang berhubungan dengan persoalan-persoalan politik.

Idrus pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama, diantaranya “Kejahatan Membalas Dendam” yang kemudian dimuat dalam bukunya dari Avemaria Ke Jalan Lain Ke Roma (1948), Jibaku Aceh (1945), Keluarga Surono (1948), dan Doktor Bisma (1945). Dalam  ‘Kejahatan Membalas Dendam’, ia melukiskan perjuangan pengarang muda, meskipun si pengarang kolot hendak main guna-guna segala.

Kotot Sukardi menulis sandiwara ‘Bende Mataram’ yang berlatar belakang masa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwara ini kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka bersama-sama dengan sebuah sandiwara pula karanga Inu Kertapati berjudul ‘Sumping Sareng Pati’ dengan judul ‘Bende Mataram’ (1945). Juga sandiwara karangan Inu Kertapati mengambil latar peristiwa sejarah yang lampau, tempat kejadiannya di Bali pada akhir abad yang lalu ketika Belanda hendak menyerbu ke sana.

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Kedatangan Bangsa Jepang di Indonesia tidak begitu saja diterima oleh para pengarang di Indonesia. Ada yang awalnya menerima tetapi ada juga yang tidak menerima kedatangan Jepang. Macam-macam sikap pengarang ini sudah tercermin melalui hasil karya masing-masing pengarang. Karya-karya sastra yang muncul pada zaman Jepang yaitu drama, cerpen, puisi, film, sajak, dan sandiwara. Corak karya sastranya adalah tersimpan dan tersiar. Sastra yang tersimpan cenderung bersifat kritik dan sindiran, sedangkan karya sastra yang tersiar lebih bersifat propaganda.

DAFTAR PUSTAKA

Ida Lestari dan Dwi Sulistyo Rini. 2012. Pertumbuhan dan Pekembangan SastraIndonesia Modern. Malang: Misykat.

Rosidi, Ajip. 2013.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Sarwadi. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: GAMA MEDIA.

AjiSetyanto,FitrianaPuspitaDewi. BENTUK PROPAGANDA JEPANG DI BIDANG SASTRA PADA MAJALAH DJAWA BAROESEMASA KEPENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA 1942-1945.http://fib.ub.ac.id/wrp-con/uploads/Journal-Aurora-April2015-_Aji-Setyanto_.pdf.JIA,Vol. 2No. 1 April 2015: 47-59. Diakses tanggal 06 Oktober 2017.



Page 2