Jelaskan mengapa Pancasila sebagai ideologi negara tidak perlu diperdebatkan lagi

Ignasius Jonan.

Jakarta - Pancasila merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu, Pancasila harus senantiasa dijaga, dipelihara dan diimplementasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pancasila sudah final menjadi falsafah dan dasar negara Republik Indonesia.

Hal ini terungkap dalam pembukaan Konferensi Nasional (Konfernas) Umat Katolik Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Atma Jaya, Jakarta, Sabtu (12/8). Konfernas bertajuk "Revitalisasi Pancasila" dibuka Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Anton Bunjamin dengan keynote speaker Menteri ESDM, Ignasius Jonan. Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Ryamizard Ryacudu, Menkominfo Rudiantara, dan penggerak Gerakan Sosial Pancasila, Bambang Ismawan, juga menyampaikan materi dalam acara tersebut.

Sekjen KWI Mgr Anton Bunjamin menegaskan bahwa Pancasila sudah final, tidak perlu diperdebatkan lagi untuk menjadi falsafah hidup dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila telah terbukti menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam.

"Kita tidak perlu lagi mempersoalkan Pancasila karena nilai-nilai Pancasila berakar dari budaya bangsa kita sehingga terbukti Pancasila menjadi wadah pemersatu bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan multikultutal. Yang perlu kita lakukan adalah menjiwai dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Anton Bunjamin.

Pernyataan Anton diperkuat oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Menurut Jonan, nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi dan menghargai keberagaman harus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia.

"Penting bagi kita bagaimana mewujudkan nilai-nilai Pancasila, seperti toleransi, menghargai keberagaman karena sejak dari awal Indonesia sudah plural," tegasnya.

Suasana Konferensi Nasional Umat Katolik Indonesia di Jakarta.

Jonan juga mengatakan bahwa bukan saatnya lagi masyarakat Indonesia membicarakan perbedaan dan menonjolkannya. Masyarakat harus bisa menghargai satu sama lain untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila agar Indonesia tetap kuat, sejahtera, dan makmur.

"Misalnya, dalam promosi atau pengisian jabatan, jangan lagi lihat unsur SARA, tetapi harus berdasarkan kompetensi dan kualitas orang, sehingga kita bisa menempatkan orang sesuai dengan keahliannya," katanya.

Jonan juga berpesan kepada umat Katolik agar benar-benar mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian hidup. Moto "100 persen Indonesia, 100 persen Katolik" jangan hanya jadi kata semata, tetapi harus dijiwai dan diimplementasikan.

Sementara itu, Ryamizard Ryacudu mengingatkan akan ancaman modernisme dan globalisasi terhadap bangsa Indonsia. Menurutnya, di era modernisme dan globalisasi, berbagai ideologi masuk Indonesia dan mengancam keberadaan ideologi negara, yaitu Pancasila.

"Jika kita tidak kuat, maka kita akan mudah dirasuki oleh ideologi-ideologi lain, seperti liberalisme, komunisme, dan radikalisme Islam yang mengancam keutuhan dan ketahanan bangsa," ungkapnya.

Karena itu, Ryamizard menilai perlu merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk memperkuat jati diri bangsa. Pancasila harus menjadi pandangan hidup dan dasar negara, sehingga bangsa Indonesia tidak kehilangan roh.

"Kalau ideologi-ideologi lain itu dibuat manusia, tetapi Pancasila ditemukan oleh presiden pertama Bung Karno sebagai rahmat dari Tuhan. Pancasila itu bersifat batin sehingga tidak bisa dikalahkan oleh ideologi lain. Intinya, kita harus menjiwai dan mengimplementasikan Pancasila dalam sikap dan tingkah laku masyarakat Indonesia," pungkasnya.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: BeritaSatu.com


Anak Muda Butuh Perwujudan Nilai dalam Bentuk Kekinian

JAKARTA, KOMPAS – Kaum muda meyakini Pancasila merupakan solusi terbaik untuk mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi bagsa Indonesia. Kini, yang dibutuhkan adalah semakin membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia yang beragam.

Pembumian kembali nilai-nilai Pancasila ini menjadi penting karena, berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas, ada kecenderungan perbedaan cara pandang terhadap Pancasila dan kondisi bangsa antara generasi tua dan muda (Kompas, 30/5).

Generasi tua didefinisikan berusia 35 tahun ke atas, sedangkan kelompok muda mulai berusia 17 tahun hingga 35 tahun. Dasar pengelempokan ini bertolak saat gerakan reformasi pada tahun 1998-1999, di mana mereka yang kini masuk usia tua saat itu sudah berumur 17 tahun.

Dalam jajak pendapat itu, kelompok muda dan kelompok tua sama-sama memiliki persetujuan dan penerimaan yang kuat terhadap Pancasila. Namun, penafsiran suara responden muda lebih skeptis-kritis.

Sebanyak 61,8 persen responden muda ingin agar penafsiran Pancasila tidak bersifat final dari negara. Dari kelompok tua, persetujuan atas penafsiran ulang Pancasila disuarakan “hanya” 47,9 persen responden.

Sejalan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, sejumlah anak muda yang dihubungi Kompas (30/5) sepakat nilai-nilai luhur yang ada di Pancasila tak perlu diperdebatkan kembali.

“Pancasila hadir bukan hanya untuk masa lalu, melainkan juga untuk sekarang dan sepanjang hayat bangsa ini,” kata Dellie Threesyadinda (26), atlet panahan yang meraih medali emas di SEA Games Myanmar 2013.

Dalam perjalanan kariernya, Dellie amat merasakan kehadiran sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. “Ketika berlomba di luar, tidak ada lagi status (asal) kami dari daerah mana. Kami semua terpilih mewakili Indonesia dan sangat bangga dengan itu. Inilah Persatuan Indonesia,” ujarnya.

Sila ketiga Pancaila menurut Khairul Anshar, programmer Indonesia yang juga penggagas gerakan kerelawanan daring Kawal Pilkada, juga menjadi solusi terbaik bagi bangsa Indonesia yang sangat beragam. Dengan Pancasila, keberagaman tidak dipandang sebagai sebuah kendala atau masalah, tetapi menjadi potensi untuk bisa saling menolong ataupun saling bertukar kelebihan.

“Nilai ini menjadi lebih relevan kini karena saya melihat ada kecenderungan orang memaksakan kehendak, memaksakan nilai kepada golongan yang berbeda nilai keyakinannya. Dengan Pancasila, seharusnya itu tak peru terjadi,” tutur Khairul.

Bupati Trenggalek Emil Elistianto Dardak bahkan menyebut perlu ada gerakan bersama oleh masyarakat, terutama untuk melawan kelompok tertentu yang tindakannya cenderung mengarah ke disintegrasi.

Sementara itu, pengajar filsafat Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai penulis dan penyanyi, Saras Dewi (33), melihat, relevansi sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. “Setiap manusia pasti ingin dipahami dan dihargai. Jika tatanan sosial sudah menghargai dan memahami perbedaan indiidu, dengan mendirinya terciptanya tenggang rasa antarwarga. Hal ini mencegah ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan. Ini modal utama untuk membangun masyarakat beradab,” katanya.

Sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, lanjut Sarah, amat terasa dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hendaknya dikelola untuk kemakmuran seluruh rakyat. Karena itu, aspek berkelanjutan jangan dilupakan. Ini juga relevan dengan kesenjangan sosial yang tak sepantasnya diatasi secara represif atau berpihak pada pemodal.

Pegangan hidup

Sutradara muda Fajar Nugros sepakat, anak muda Indonesia masih menganggap Pancasila relevan sebagai pegangan hidup berbangsa. Namun, perwujudan nilai-nilai tiap sila perlu dirumuskan dalam bentuk yang lebih kekinian agar anak muda Indonesia tak merasa ideologi negara tersebut telah suang.

Saat ini, anak muda seperti kehilangan pegangan karena nilai-nilai tiap sila dalam Pancasila tidak dirumuskan dalam bentuk yang lebih kekinian. Padahal, kemajemukan bangsa Indonesia tetap terajut dan terjaga dengan baik karena selama ini karena Pancaila jadi pegangan.

“Kelima sila dalam Pancasila ini harus diterapkan dalam bentuk lain, cari cara yang lebih modern, karena nilai-nilai Pancasila tetap relevan sampai sekarang. Ini yang harus diajarkan kembali di sekolah-sekolah. Founding fathers kita cukup visioner dan futuristik ketika mereka merumuskan Pancasila agar kita tetap hidup sebagai satu bangsa seperti sekarang ini,”kata Fajar.

Dalam diskusi bertajuk “Bicara Buku dengan Wakil Rakyat di Bandung, kemarin, pengajar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Stephanus Djunatan, menuturkan, presiden pertama RI Soekarno merumuskan Pancasila berdasarkan gaya hidup masyarakat saat itu. Ini membuat segenap tokoh bangsa pada saat itu mudah menerima rumusan Soekarno itu untuk dijadikan sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Pancasila pun menjadi perekat bangsa, bahkan menjadi modal utama dalam melawan kolonialisme dan imperialisme.

Perubahan terjadi ketika Pancasila hanya dipandang sebagai ideology. “Kita sering kali memandang Pancasila di awing-awang, sebatas ideologi, sebatas ide atau gagasan. Nilai-nilai Pancasila tidak pernah diimplementasikan menjadi bagian dari gaya hidup,” katanya.

Kondisi ini terjadi antara lain karena antara lain karena masyarakat lebih mudah menerima nilai-nilai dari luar yang bukan bagian dari nilai bangsa ini. Apalagi, di tengah pesatnya teknologi informasi dan komunikasi yang membuat nilai dari luar dengan mudah masuk ke dalam negeri.

Padahal, pengajar Universitas Pendidikan Indonesia, Encep Syarief, mengibaratkan Pancasila sebagai kompas atau bintang penerang dan Indonesia sebagai bahteranya.

“Dengan kata lain, jika bangsa ini melupakan Pancasila, melupakan nilai persaudaraan, gotong royong, dan nilai lain di Pancasila, kemudian lebih peduli pada kepentingan diri sendiri atau egoism, pragmatism, dan hedonism, akan sulit bagi bangsa ini untuk bisa mengatasi persoalan yang dihadapinya,” tambahnya.

Anggota DPR, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, bahkan menilai Pancasila sebabagi sebuah keajaiban. “Dari Pancasila kita tahu sudah punya keadilan sosial, kita tahu harus menjaga persatuan, dan kita tahu hidup dalam bangsa yang masyarakatnya menyakini Tuhan Yang Maha Esa. Lalu ada juga kepastian penegakan hukum, dan lainnya,” katanya.

Ketua Umum Parta Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menuturkan, pengalaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berpolitik masa kini dapat dilakukan melaui kesadaran anak muda untuk berpolitik secara bersih dan tidak memanfaatkan partai politik hanya sebagai kendaraan menuju kursi kekuasaan.

Lewat politik, anak muda dapat berkontribusi meningkatkan kesadaran masyarakat terkait isu kemanusiaan, persatuan, keberagaman, dan keadilan.

“Politik yang mengamalkan Pancasila contohnya adalah politik yang berpartisipasi dalam budaya gotong royong dan kepedulian terhadap isu sosial di sekitar. Dengan terjun ke dunia politik langsung, anak-anak muda bisa membantu merancang kebijakan yang lebih mencerminkan nilai-nilai Pancasila,” kata Grace.

Sumber: Headline Kompas – Selasa, 31 Mei 2016

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA