Red: Agung Sasongko REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada satu hal menarik dari perdagangan di kalangan Muslim. Terlepas dari sudut pandang ekonomi, para pedagang Muslim mengambil peran sebagai penyebar Islam, terutama ke nusantara dan negara sekitar di Asia Tenggara. Terdapat empat teori pembawa Islam hingga tiba di nusantara. Teori Gujarat memandang orang Arab bermazhab Syafi’i yang telah lama bermukim di Gujarat sekitar abad ketujuhlah pelaku utamanya. Para pedagang Gujarat inilah yang membawa Islam ke nusantara. Namun, kemudian teori yang dicetuskan sejarawan Belanda J Pijnapel dan diamini orientalis Belanda Snouck Hurgronje tersebut dibantah oleh cendekiawan Muslim, Hamka. Buya Hamka menjelaskan teori Arab yang menentang teori Gujarat. Menurutnya, Islam masuk ke nusantara melalui proses langsung dari Arab, lebih tepatnya Makkah. Proses yang berlangsung pada Abad ketujuh Masehi tersebut melalui jalur perdagangan Indonesia-Arab yang memang telah terjalin jauh sebelum abad tersebut. Bahkan, motivasi awal kedatangan Arab ke nusantara, menurut Buya Hamka, bukanlah ekonomi, melainkan dakwah Islam murni. Teori ini mirip teori sufi oleh AH Johns yang menyebutkan para musafir sufilah pelaku Islamisasi Indonesia. Beda pula dengan teori Parsi. Sejarawan Hoesein Djajadiningrat merumuskan, kedatangan Islam ke nusantara berasal dari negeri Parsi atau Persia, yang kini merupakan wilayah Iran. Banyaknya tradisi Syiah, seperti Asyura di Indonesia, menguatkan teori tersebut. Terdapat pula teori Cina. Teori tersebut menyatakan, perantau Cinalah yang membawa Islam ke Indonesia. Sebagaimana era Hindu-Buddha, pedagang Tionghoa telah biasa berbaur dengan masyarakat Indonesia. Meski teori beragam, keempatnya meyakini para pedaganglah yang membawa Islam ke nusantara. Sejarawan Universitas Indonesia DR Bondan Kanumoyoso menuturkan, peran pedagang sangat strategis dalam penyebaran Islam di nusantara dan Asia Tenggara. Tak jelas apakah ulama ikut serta dalam perdagangan. Namun, menurutnya, para pedagang yang datang merupakan Muslim yang taat. "Jangan membuat dikotomi antara pedagang dan ulama. Pedagang ini motor penggerak penyebaran Islam di Asia Tenggara," tuturnya.n
10 masjid raksasa. ©Reuters
JABAR | 7 Januari 2021 08:15 Reporter : Novi Fuji Astuti Merdeka.com - Masuknya Islam di Indonesia dipelopori oleh pedagang-pedagang yang berasal dari Gujarat, India. Proses perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer, melainkan penyebaran Islam dilakukan secara damai dan melalui berbagai jalur seperti perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. Kedatangan Islam di Indonesia telah membawa tamaddun (kemajuan) dan kecerdasan. Islam telah banyak mengubah kehidupan-kehidupan sosial budaya dan tradisi kerohanian di masyarakat Indonesia. Dengan pengaruh ajaran Islam, Indonesia menjadi lebih maju dalam bidang perdagangan terutama dalam hubungannya dengan perdagangan internasional dengan Timur Tengah. Khususnya bangsa Arab, Persia, dan India. Berkat para pedagang muslim inilah kemudian Islam diperkenalkan dengan cara bertahap dan perlahan ajaran Islam bertoleran serta persamaan derajat antara sesama makhluk. Hal ini menarik bagi masyarakat Indonesia mengingat selama ini kebudayaan Hindu-Budha justru lebih menekankan pada perbedaan derajat atau kasta. Sampai pada akhirnya sebagian besar masyarakat di Indonesia memeluk agama Islam. Namun ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai datangnya Islam ke Indonesia. Berikut ini informasi mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia, lengkap dengan perkembangannya telah dirangkum dari lib.ui.ac.id: 2 dari 4 halaman
Teori Gujarat merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang Islamisasi di Indonesia. Dinamakan teori Gujarat karena berpatokan pada pandang bahwa masuknya Islam ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat. Ada dugaan bahwa pencipta dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje. Teori ini berpaku pada kenyataan mengenai hubungan India dengan Indonesia yang sudah lama terjalin, serta inskripsi tertua mengenai Islam yang terdapat di Sumatera, membuktikan bahwa hubungan antara Sumatera dan India sangat erat. Dapat disimpulkan bahwa para ahli menyatakan pendapat tersebut menganut kebudayaan Hindu, membuat seakan-akan segala perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya serta agama di Indonesia tidak lepas dari pengaruh India. 3 dari 4 halaman
Teori ini sendiri dicetuskan oleh Hamka di dalam pidatonya saat Dies Natalis di PTAIN ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958. Dalam hal ini Hamka berpendapat bahwa ia menolak pandangan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat. Hamka menolak pendapat yang mengatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-13, sebab pada kenyataannya pada tersebut di Indonesia sudah berdiri suatu politik Islam. Jadi sudah barang tentu Islam telah masuk ke Indonesia jauh sebelumnya, yakni sekitar abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah. Jika dihubungkan dengan penjelasan dari studi kepustakaan Arab kuno, disebutkan al-Hind sebagai India atau pulau-pulau Cina. Maka besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai di Indonesia. Bahkan Arab sebagai bangsa asing pertama kali sampai di Nusantara. 4 dari 4 halaman
Pencetus teori Persia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke Indonesia dan berkembang, berasal dari Persia yang singgah ke Gujarat yang terjadi sekitar abad ke-13. Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah. Dalam teori ini lebih memutuskan kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam di Indonesia, dan disinyalir memiliki persamaan dengan Persia. Di antaranya sebagai berikut:
11:20
Bagaimana cara masuk dan tersebarnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia?
Sejarah mencatat bahwa kaum pedagang memegang peranan penting dalam persebaran agama dan kebudayaan Islam. Letak Indonesia yang strategis menyebabkan timbulnya bandar-bandar perdagangan yang turut membantu mempercepat persebaran tersebut. Di samping itu, cara lain yang turut berperan ialah melalui dakwah yang dilakukan para mubaligh. 1. Peranan Kaum Pedagang Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang Indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan. Pada waktu itu, pertemuan antar pedagang bukan pekerjaan yang mudah karena berbagai faktor, seperti:
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Gujarat, Persia, Mekkah/Arab yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lamakelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir. Baca juga: Jalur Masuk dan Peta Jalur Penyebaran Islam ke Indonesia 😊 Di samping melalui jalur perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan melalui jalur perkawinan. Para pedagang muslim menikah dengan penduduk Indonesia. Setelah menikah, kemudian mereka ikut memeluk agama Islam. Bahkan, keluarga mereka akhirnya memeluk agama Islam.
2. Peranan Bandar-Bandar di Indonesia
Di bandar-bandar inilah para pedagang beragama Islam memperkenalkan Islam kepada para pedagang lain ataupun kepada penduduk setempat. Dengan demikian, bandar menjadi pintu masuk dan pusat penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kalau kita lihat letak geografis kota-kota pusat kerajaan yang bercorak Islam pada umunya terletak di pesisir-pesisir dan muara sungai. Dalam perkembangannya, bandar-bandar tersebut umumnya tumbuh menjadi kota bahkan ada yang menjadi kerajaan, seperti Perlak, Samudra Pasai, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore. Banyak pemimpin bandar yang memeluk agama Islam. Akibatnya, rakyatnya pun kemudian banyak memeluk agama Islam.
Suasana Kegiatan Perdagangan di Pasar Banten Pada Abad XVI Pasar merupakan salah satu pusat kegiatan manusia. Di tempat itu, setiap orang melakukan interaksi dengan semua orang yang dijumpai tanpa membedakan asal dan agamanya. Bahkan, setiap orang dapat memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru, termasuk pengetahuan tentang agama Islam.
Dalam perkembangannya, kota pelabuhan memegang peranan penting penyebaran Islam di kepulauan Indonesia. Kota pelabuhan merupakan tempat bertemunya para pedagang. Mereka kadang-kadang harus menginap, apabila barang dagangannya belum laku seluruhnya. Pada waktu bermalam, banyak kegiatan yang dilakukan para pedagang muslim, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran Islam. Misalnya, melaksanakan sholat dan membaca kitab suci Al-Qur’an (mengaji). Kegiatan pedagang muslim kemudian ditiru oleh para pedagang Indonesia. Bahkan, tidak sedikit di antara pedagang Indonesia yang sengaja belajar agama Islam. Beberapa fungsi kota pelabuhan adalah sebagai berikut:
Pada umunya, bandar-bandar tersebut kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan. Misalnya, Samudra Pasai, Perlak, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banjarmasin, Gowa, Ternate, dan Tidore.
3. Peranan Para Wali dan Ulama Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh Wali songo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan. Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali tersebut adalah seperti berikut.
Selain Wali Songo, ada juga nama-nama ulama lain yang menyebarkan agama Islam di daerah-daerah tertentu, di antaranya sebagai berikut.
Golongan Pembawa dan Penerima Islam di Indonesia
1. Golongan Pembawa Islam di Indonesia Golongan penerima Islam di Indonesia sebagai berikut: a) Para Pedagang Para pedagang Nusantara tertarik terhadap Islam karena para pedagang muslim dapat menunjukkan sifat-sifat dan tingkah laku yang baik. Selain itu, para pedagang itu rata-rata memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Para pedagang Nusantara belajar tentang Islam dari para pedagang muslim, bahkan beberapa di antaranya datang sendiri ke negeri asal agama tersebut, yaitu Arab. b) Para Bangsawan Di antara pedagang Nusantara yang berhubungan dengan para pedagang muslim adalah penguasa daerah pantai, misalnya adipati atau punggawa kerajaan. Mereka termasuk dalam golongan bangsawan. Para bangsawan itu memegang peranan dalam menentukan kebijaksanaan perdagangan dan pelayaran. Mereka juga pemilik kapal dan saham dalam kegiatan perdagangan.
Seperti telah diuraikan di depan, pada saat itu pusat-pusat kerajaan Hindu, seperti Sriwijaya dan Majapahit mengalami kekacauan politik. Hal ini menimbulkan keinginan para adipati di pesisir untuk melepaskan diri dan mengadakan hubungan dengan pedagang muslim. Pada kesempatan itu pula, raja-raja dan bangsawan Nusantara memeluk agama Islam. Penerimaan masyarakat terhadap ajaran agama Islam juga dipengaruhi oleh isi ajaran Islam yang memiliki beberapa kelebihan, seperti:
Penyebaran Islam di Indonesia (Nusantara) Pengaruh Islam diduga pertama-tama masuk ke Pulau Sumatra melalui pelabuhan Barus yang terletak di pesisir barat Sumatra. Nah, dari pulau ini aktivitas bergerak ke pelabuhan Lamuri, Perlak, dan Samudera Pasai. Kamu pasti telah mengetahui mengapa daerah-daerah ini yang menjadi kawasan di Indonesia yang pertama-tama terpengaruh agama dan kebudayaan Islam. Dari Pasai, Islam kemudian berkembang ke Pariaman (Sumatra Barat), Malaka, Tapanuli, Riau, Minangkabau, Kerinci, dan Sumatra Selatan. Pengaruh agama dan kebudayaan Islam mulai menemukan bentuknya, ketika pada tahun 840 Masehi Perlak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Sultan yang pertama adalah Alauddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Setelah Perlak, menyusul Kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada abad XIII oleh Marah Silu. Ia diangkat menjadi raja Islam oleh Syekh Ismail (seorang ulama dari Dinasti Mamalik di Mesir) dengan gelar ”Malikus Saleh”. Gelar ini diambil dari nama pendiri Dinasti Mamalik di Mesir yaitu ”Al Malikush Shaleh Ayub”. Dinasti Pasai memerintah sampai tahun 1406 Masehi. Tampak bahwa pengaruh Asia Barat dalam penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia masih kuat sampai abad XV. Dari Samudera Pasai, agama Islam dibawa ke wilayah lain di Sumatra oleh Syah Baharuddin. Raden Rahmat dan Minak Kumala (raja Kerajaan Lampung) membawa Islam ke Sumatra Selatan. Raden Samudera atau Sultan Suryanullah membawa Islam ke Banjarmasin (Kalimantan Selatan), sementara yang ke Kalimantan Timur dibawa oleh seorang Arab dari Malaka yang menikah dengan putri raja. Syekh Samsuddin membawa Islam ke Kalimantan Barat. Pembawa Islam ke wilayah Maluku, Ternate, dan Nusa Tenggara adalah Sunan Giri. Datuk ri Bandang membawa Islam ke Sulawesi. Fenomena menarik terjadi di Pulau Jawa. Penyebaran agama dan kebudayaan Islam di pulau ini dilakukan oleh sekelompok yang kelak dikenal Wali Songo. Akan tetapi, ulama pertama yang datang dan menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim. Apa yang dapat kita temukan dari fenomena tersebut? Setelah abad XV penyebaran agama dan kebudayaan Islam di Indonesia dilakukan oleh ulama-ulama lokal. Pusat penyebaran pada awalnya Kerajaan Samudera Pasai kemudian berpindah dan berkembang ke berbagai daerah di Indonesia baik di daerah pesisir maupun di pedalaman. Pedagang-pedagang Islam pada umumnya tinggal selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan akhirnya menetap di wilayah Nusantara. Pedagang-pedagang tersebut kemudian mendirikan daerah tempat tinggal tersendiri yang mayoritas dihuni oleh kelompok etnis mereka.
Berikut ini beberapa kelompok masyarakat Islam yang terbentuk pada masa perkembangan Islam di Indonesia. Di antara orang Arab Hadramaut yang menjadi ulama dan tokoh masyarakat antara lain Sayid Husein Abu Bakar al-Aidrus (wafat tahun 1798 di Jakarta), Sayid Abdurahman bin Abu Bakar al-Habsyi (wafat tahun 1853), Salim bin Abdullah bin Sunair (wafat tahun 1854), dan Sayid Usman bin Akil bin Yahya al-Alawi (wafat tahun 1913). Dari generasi ke generasi, keturunan Arab Hadramaut ternyata dapat bersosialisasi dan bermasyarakat dengan penduduk Indonesia lainnya. Mereka beraktivitas dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, sebagian besar dari mereka terjun di dunia perdagangan (kain, batik, minyak wangi, dan lain-lain). 2. Kampung Pekojan Pergaulan antara pedagang Gujarat dengan masyarakat Indonesia memunculkan sebuah perkampungan yang disebut pekojan. Hingga saat ini, beberapa kota di Indonesia di dalamnya terdapat Kampung Pekojan. Pekojan berasal dari kata koja yang artinya pedagang Gujarat. Sebagian dari pedagang tersebut menikah dengan wanita Indonesia, terutama putri-putri raja atau bangsawan. Oleh karena pernikahan itu, banyak keluarga raja atau bangsawan yang masuk Islam, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya. 3. Komunitas Muslim Cina di Nusantara Awal kedatangan muslim Cina di Nusantara tidak dapat diketahui secara tepat. Sebagai agama, Islam masuk dan berkembang di negeri Cina melalui jalur perdagangan, dan masuk melalui ”jalan sutra” mulai abad VII. Saat itu kekhalifahan Islam yang berada di bawah kepemimpinan Usman bin Affan (557–656 M) telah mengirim utusannya yang pertama ke Cina pada tahun 651 Masehi. Muslim Cina di Nusantara berasal dari imigran muslim asal Cina yang kemudian menetap atau imigran Cina yang memeluk Islam karena interaksi antaretnis di Nusantara. Pada umumnya mereka datang ke Nusantara untuk meningkatkan taraf hidupnya. Jadi, bukan untuk menyampaikan Islam atau berdakwah. Mereka berasal dari Zhangzhou, Quanzhou, dan Guandong. Meskipun kedatangan etnis Cina muslim bukan untuk berdakwah, keberadaan mereka berdampak dalam perkembangan dakwah. Salah satunya karena adanya proses asimilasi dan perkawinan dengan penduduk setempat.Demikian pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Cheng Ho ke Nusantara pada abad XV. Latar belakang pelayaran Cheng Ho adalah perdagangan serta mempererat hubungan antara Cina dan negaranegara Asia Afrika. Muslim Cina di Nusantara sudah berbaur dengan penduduk setempat. Akan tetapi, pada masa kolonial Belanda, mereka dimasukkan dalam golongan Timur Asing sehingga terpisah dengan penduduk setempat. Pada masa pergerakan kemerdekaan, muslim Cina ikut pula berjuang. Salah satu perannya adalah menjadi peserta dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Related Posts : |