Jelaskan hubungan antara pembentukan kepribadian dengan kebudayaan masyarakat

Sosialisasi merupakan proses belajar yang dilakukan oleh individu untuk berbuat atau bertingkah laku berdasarkan patokan yang terdapat dan diakui dalam masyarakat. Dalam proses sosialisasi terdapat lima faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia yaitu:

  1. Sifat dasar, sifat dasar ini berupa karakter, watak serta sifat emosional yang diwarisi seseorang dari ayah dan ibunya.
  2. Lingkungan prenatal, perkembangan menjadi embrio  dalam rahim ibu untuk beberapa waktu. Pada masa ini, seseorang mendapat pengaruh-pengaruh baik langsung maupun tidak langsung dari sang ibu.
  3. Perbedaan perorangan, setiap manusia satu orang dengan orang lainnya tidak ada yang sama, misalnya: ciri-ciri fisik, ciri-ciri mental, emosional personal dan sosial.
  4. Lingkungan, kondisi di sekitar individu baik lingkungan alam, kebudayaan, dan masyarakat yang dapat memengaruhi proses sosialisasi. Kondisi lingkungan tidak menentukan dalam proses sosialisasi, namun dapat memengaruhi dan membatasi proses sosialisasi.
  5. Motivasi.

Secara tidak langsung, proses sosialisasi mampu membentuk kepribadian individu dan baik buruknya kepribadian seseorang ditentukan oleh proses sosialisasi yang dialami individu tersebut. 

tirto.id - Watak dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh kepribadiannya.

Sebagai misal, seorang anak yang lahir dan tumbuh di lingkungan religius, lazimnya tindak-tanduknya pun bernuansa agamis.

Keluarga dan lingkungan tersebut berpengaruh pada proses pembentukan kepribadian anak.

Namun, kepribadian tersebut tidak hanya lahir dari reaksi individu terhadap lingkungannya, melainkan juga proses interaksi antara keduanya.

Secara definitif, kepribadian adalah ciri dan watak seseorang yang konsisten yang memberikan suatu identitas sebagai individu yang khas, sebagaimana dikutip dari buku Sosiologi (2008) yang ditulis Tjipto Subadi.

Dalam tinjauan sosiologi, kepribadian merupakan bentuk personalitas yang dinamis. Artinya, kepribadian terus berubah dan berkembang seiring berjalan waktu.

Konsep kepribadian yang dinamis ini dicetuskan oleh Erik Erikson dari teori psiko-sosialnya bahwa terdapat delapan tahap perkembangan manusia, dimulai dengan kelahiran dan diakhiri dengan kematian, sebagaimana dilansir dari Lumen Learning.

Faktor Pembentuk Kepribadian

Dalam pembentukan kepribadian, terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya sebagai berikut:

1. Warisan biologis

Warisan biologis ini muncul dari genetik atau keturunan. Misalnya, bentuk tubuh tinggi atau pendek, kurus atau gemuk.

Bahkan, dari beberapa penelitian, sebagian penyakit dan watak tertentu juga diwariskan kepada anak-anak di dalam suatu garis keturunan.

2. Lingkungan fisik/alam

Lingkungan tempat seseorang tinggal juga berpengaruh kepada kepribadian individu. Seseorang yang tinggal di alam tropis lazimnya berbeda kepribadiannya dengan yang tinggal di padang pasir.

3. Kebudayaan masyarakat setempat

Kebudayaan yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian dapat berupa budaya khusus daerah atau etnis tertentu, cara hidup yang berbeda antara desa dengan kota, dan lain sebagainya.

Selain itu, kelas sosial, agama, dan pekerjaan masing-masing individu juga berpengaruh membentuk watak dan personalitas seseorang.

4. Pengalaman kelompok

Kepribadian juga dipengaruhi dari hubungan sosial dan pengalaman kelompok, misalnya dengan siapa seseorang bergaul dan berinteraksi, dan lain sebagainya.

5. Pengalaman unik

Setiap orang memiliki pengalaman unik masing-masing yang memengaruhi kepribadiannya. Setiap pengalaman tersebut pasti berbeda.

Kendati kejadiannya sama, namun selalu ada makna dan penafsiran berbeda terkait pengalaman tersebut.

Pembentukan Kepribadian Dipengaruhi Media Sosialisasi

Pembentukan kepribadian dalam tinjauan sosiologi dipengaruhi oleh media-media sosialisasi yang ada dalam hidup individu.

Secara umum, terdapat lima media sosialisasi yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian seseorang, yaitu (1) media sosialisasi keluarga; (2) media sosialisasi teman sebaya; (3) media sosialisasi sekolah; (4) media sosialisasi lingkungan kerja; dan (5) media sosialisasi media massa.

Dalam modul Sosialisasi (2017) yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dijelaskan masing-masing media sosialisasi sebagai berikut:

1. Media sosialisasi keluarga

Keluarga punya pengaruh signifikan dalam pembentukan kepribadian anak. Bagaimanapun juga, sejak lahir pertama kali, seorang bayi berinteraksi dengan ibu atau ayahnya.

Dari situ, ia belajar dari pengamatannya, meniru, dan melakukan banyak hal melalui tuntunan dari pengasuh dan keluarganya.

2. Media sosialisasi teman sepermainan

Teman sebaya dan sepermainan memiliki pengaruh penting dalam membentuk kepribadian individu, terutama kepribadian remaja.

Dari kelompok pertemanan, seseorang merasa aman dan dianggap penting dalam kelompok tersebut.

Karena manusia adalah makhluk sosial, kelompok pertemanan merupakan tempat yang sesuai untuk menyalurkan rasa kecewa, takut, khawatir, tertekan, gembira yang mungkin tidak disalurkan di dalam keluarga.

3. Media sosialisasi sekolah

Sekolah merupakan institusi penting yang mempengaruhi kepribadian anak. Dari sekolah, seorang siswa belajar menyerap nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

4. Media sosialisasi lingkungan kerja

Lingkungan kerja berpengaruh dalam pembentukan kepribadian individu. Di lingkungan kerja, ia berinteraksi dengan rekan kerja, atasan, dan kolega kerja lainnya.

5. Media massa sebagai media sosialisasi

Media massa adalah instrumen lain yang berpengaruh membentuk kepribadian seseorang.

Dari media massa, diperoleh nilai-nilai dan norma yang diterima oleh masyarakat tersebut. Selain itu, media massa juga lazimnya adalah representasi umum dari suatu kelompok masyarakat.

Melalui media sosialisasi itu, seseorang akan melalui beberapa tahapan sosialisasi yang perlahan-lahan akan membentuk kepribadiannya.

Tahapan proses sosialisasi tersebut terdiri dari empat tahapan sebagai berikut:

  1. Tahap persiapan (preparatory stage)
  2. Tahap meniru (play stage)
  3. Tahap siap bertindak (game stage)
  4. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage)
Untuk menjadi sebuah watak dan kepribadian, harus terbentuk suatu kebiasaan yang terjadi melalui pengulangan hingga beberapa kali.

Pengulangan tersebut menjadikan perilaku tadi mengendap dan diterima oleh individu bersangkutan.

Baca juga:

  • Apa Itu Kepribadian dan Unsur-unsurnya dalam Antropologi
  • Mengenal Tipe Kepribadian MBTI Test dan Artinya: ISTJ hingga ENTJ

Baca juga artikel terkait KEPRIBADIAN MANUSIA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/tha)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Jika kebudayaan merupakan pola-pola yang mengatur tiap anggotanya yang merupakan sosok yang memiliki kepribadian masing-masing, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, kepribadian manusia akan ditentukan oleh budayanya karena ia harus menyesuaikan diri dengan pola-pola pikir dan tingkah laku yang ada. Kedua, masyarakat dan kebudayaannya merupakan abstraksi daripada perilaku manusia. “Kepribadian masing-masing manusia mencerminkan kepribadian bangsa”, begitulah kita sering mendengarnya.

Menurut M. Newcomb, kepribadian merupakan organisasi sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perikelakuan. Kepribadian menunjuk pada organisasi dari sikap-sikap seseorang untuk berbuat, mengetahui, berpikir, dan merasakan secara khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Oleh karena kepribadian tersebut merupakan abstraksi individu dan kelakuannya sebagaimana halnya dengan masyarakat dan kebudayaan, ketiga aspek tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu dan lainnya.

Sementara itu, menurut Roucek and Warren, kepribadian adalah organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologi yang mendasari perilaku individu-individu. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.

Perkembangan kebudayaan sering berkaitan dengan karakter dan kepribadian individu. Istilah “karakter” juga menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu memiliki perbedaan. Dalam istilah modern, tekanan pada istilah perbedaan (distinctiveness) atau individualitas (individuality) cenderung membuat kita menyamakan antara istilah “karakter” dengan “personalitas” (kepribadian). Memiliki karakter berarti pemiliki kepribadian.

Karakter diartikan sebagai totalitas nilai yang mengarahkan manusia dalam menjalani hidupnya. Jadi, karakter berkaitan dengan sistem nilai yang dimiliki oleh seseorang. Orang yang matang dan dewasa biasanya menunjukkan konsistensi dalam karakternya. Ini merupakan akibat keterlibatannya secara aktif dalam proses pembangunan karakter. Jadi, karakter dibentuk oleh pengalaman dan pergumulan hidup. Pada akhirnya, tatanan dan situasi kehidupanlah yang menentukan terbentuknya karakter masyarakat kita.

Dicanangkannya pendidikan karakter—oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Mei (Peringatan Hari Pendidikan Nasional) 2010—di tengah-tengah masyarakat tanpa karakter merupakan rencana yang mulia, tetapi pada kenyataannya akan berhadapan dengan realitas kekuatan besar yang menghambat sekaligus mengarahkan karakter bangsa ini. Kita bisa melihat kondisi bangsa ini dan bagaimana karakter masyarakat kita saat ini. Corak produksi kapitalisme pasar bebas (neoliberalisme) telah menyeruak dengan budaya dan gaya hidup yang ditawarkannya. Akan tetapi, karena elite borjuis Indonesia lagi-lagi tidak kuat dan kreatif, secara nyata selalu kalah dengan borjuis kapitalis (pemodal) asing yang kuat dan konsisten ide-ide liberalnya—sementara masyarakat semirenaissans Indonesia mendorong untuk berpikir setengah feodal dan setengah liberal.

Atau, pada kenyataannya, Indonesia telah terjerat pada sistem ekonomi liberal, tetapi karakter, semangat, dan budayanya masih feodal (kuno). Oleh karena itu, tidak aneh jika sebagian besar budaya masyarakatnya juga terbelah, di satu sisi liberal, di sisi lain feodal. Kita bisa menjumpai banyak pribadi yang dalam kesehariannya liberal (minum-minuman, melakukan seks bebas, dan lain-lain), tapi pada saat yang sama dia juga menjalani ibadah agama secara rutin—dan tak ada yang mengingatkan keterpecahbelahan pribadi atau filsafat itu, pribadi orang-orang Indonesia itu, terutama Jawa.

Cuek pada mana yang benar dan mana yang salah: semua, baik benar atau salah, dijalani. Manifestasi konkretnya dalam watak bisa kita lihat dari watak elite dan masyarakat kita, yaitu ketidakkonsistenan dalam bertindak, kompromis, dan suka konsensus bukan berdasarkan strategi dan taktik objektif untuk kepentingan rakyat demi kepentingannya sendiri dan golongan. Hal lainnya adalah kecenderungan untuk menyatu-nyatukan atau menyamakan dua hal atau lebih yang jelas-jelas berbeda. Juga, kecenderungan kejiwaan yang tak malas untuk membedakan mana-yang benar dan mana yang salah. Jadi, tak perlu mencari tahu mana yang benar dan mana yang salah, jika bisa dikompromikan, mengapa tidak? Mengapa tidak diambil dari perbedaan itu titik temunya saja, tak perlu untuk membeda-bedakannya. Ini cerminan masyarakat plin-plan, tidak konsisten, memukul rata, tak percaya pada kebenaran, tak punya prinsip. Di tingkatan ini, masyarakat Indonesia tak punya karakter!

Karakter itu dibentuk oleh pengetahuan sekaligus praktik keseharian berupa interaksi manusia dengan dunia nyata. Apa yang masuk dalam dirinya (melalui pemahamannya), entah itu informasi, kata-kata, konsep akan suatu hal, atau cara pandang yang diterimanya akan memengaruhi sikapnya. Termasuk juga internalisasi gaya hidup, gaya bicara, dan gaya bertingkah laku yang didapat di masyarakat. Hal itu akan membentuk karakternya. Yang paling penting sebenarnya adalah bagaimana kita melihat nilai-nilai yang sedang diterima anak-anak dan generasi kita dalam kehidupan ini.

Kadang kita juga berbicara tentang kecerdasan apa yang paling dibutuhkan. Di tengah-tengah situasi masyarakat yang mengalami krisis material-ekonomi akibat kontradiksi hubungan kapitalismeneoliberalisme, tentu kita harus kian memaksimalkan strategi untuk membangun karakter pada anak-anak dan generasi kita karena kehidupan sekarang ini sangat rentan akan krisis nilai-nilai. Yang utama adalah nilai kemajuan, produktivitas, dan sosialitas yang berusaha dihilangkan oleh kapitalisme. Nilai-nilai produktivitas yang mendorong suatu masyarakat untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai solidaritas, watak ingin tahu, dan kritis seakan telah menghilang.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA