Hal yang tidak pantas disampaikan dalam khotbah Jumat adalah

Jamaah salat di Masjid Cikini di Jalan Raden Saleh Jakarta tahun 1947. (Cas Oorthuys/Nederlands Fotomuseum/geheugenvannederland.nl).

KENDATI masih ada yang pakai bahasa Arab, sekarang khotbah Jumat di masjid-masjid umumnya pakai bahasa Indonesia. Pembahasa-lokalan (vernakularisasi) khotbah Jumat melalui proses yang panjang dan penuh perdebatan.

Pada masa-masa awal masuknya Islam, khotbah Jumat masih menggunakan bahasa yang dianggap bahasa suci bagi pemeluk agama Islam, yakni bahasa Arab. Hal itu berlangsung hingga awal abad ke-20. Setidaknya jika merujuk laporan Snouck Hurgronje berjudul “De Islam in Nederlandsch-Indie” (Islam di Hindia Belanda) dalam Groote Godsdiensten (1913).

“Berdekatan dengan mihrab itu biasanya terdapat mimbar tempat khatib (katip, ketip) setiap hari Jumat dan pada kedua hari raya resmi mengucapkan khotbah dalam bahasa Arab yang kerapkali tidak dimengerti baik olehnya maupun oleh pendengar-pendengarnya,” tulis Snouck.

Advertising

Advertising

Interaksi jaringan muslim di berbagai wilayah Islam dan pengalaman para intelektual yang belajar di wilayah Hijaz memancing keinginan ulama di Tanah Air untuk melakukan pembaruan. Wacana itu makin mengkristal seiring kemunculan organisasi Islam modern di Indonesia.

Perkembangan di dunia Islam juga mempengaruhi wacana tersebut. Di Turki, tahun 1926, Mustafa Kamal memutuskan bahwa khotbah Jumat tidak lagi diucapkan dalam bahasa Arab, namun bahasa Turki.

Bahan Perdebatan

Dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, G.F. Pijper mengulas penggunaan bahasa Jawa dalam khotbah Jumat yang muncul awal abad ke-20. Pijper mengutip hasil penelitian Kantoor voor Inlandse Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi) bahwa penggunaan bahasa lokal dalam khotbah Jumat bukan hal asing di beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Misalnya, sejak 1924, di Brebes, khotbah Jumat diucapkan dalam bahasa Arab dahulu, diikuti terjemahannya dalam bahasa Jawa.

Di Jawa Barat, kondisinya berbeda. Pijper mengajukan pertanyaan tertulis kepada penghulu kepala di Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya. Jawabannya yang didapat sama: mengganti khotbah dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Sunda bukanlah suatu kebiasaan. “Di antara mereka masih menambahkan pula bahwa ini terjadi di seluruh daerah Priangan,” tulis Pijper.

Pembahasa-lokalan khotbah Jumat memang bukan perkara sepele. Sebab, ini menyangkut fiqih atau hukum-hukum syariat terkait perbuatan manusia yang digali dari dalil-dalil terperinci. Tak heran jika isu ini kerap menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama.

Baca juga: Salat Jumat KAA yang Bersejarah

Dalam Wajah Baru Fiqh Pesantren, KH M.A. Sahal Mahfudh bercerita bahwa ayahnya, KH Mahfudh Salam, pernah terlibat perdebatan pendapat dengan KH Murtadlo dari Tuban mengenai hukum menerjemahkan khotbah Jumat ke dalam bahasa Jawa atau bahasa Indonesia.

“Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hanya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khotbah diterjemahkan sementara Kiai Mutadlo tidak,” tulis Sahal Mahfudh. “Sampai sekarang tradisi khotbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.”

Persoalan tersebut juga dibahas dalam Muktamar NU pertama di Surabaya pada 21 Oktober 1926. Pada prinsipnya, menerjemahkan khotbah Jumat, selain rukun-rukunnya, diperbolehkan sesuai kitab-kitab madzab Syafii. Muktamar memutuskan bahwa yang terbaik adalah khotbah dengan bahasa Arab, kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Faedahnya: hadirin mengerti petuah-petuah yang disampaikan dalam khotbah.

Organisasi-organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan Al-Irsyad setali tiga uang. Mereka mendorong penggunaan bahasa lokal, bahasa sehari-hari, dalam khotbah Jumat. Bagi mereka, maksud khotbah adalah memberikan nasehat kepada kaum muslimin mengenai masalah agama, sosial, dan tingkah laku moral. Karenanya harus menggunakan bahasa yang dimengerti pada pendengarnya.

Kehebohan

Di Sumatra, penggunaan bahasa Melayu dalam khotbah Jumat bahkan sudah dilakukan lebih dini. Di Nagari Halaban, menjelang tahun 1900, Syekh Abdullah menganjurkan penyampaian khotbah Jumat dalam bahasa lokal yang dimengerti masyarakat setempat. Pendapat ini mendapat tentangan keras dari sebagian ulama konservatif.

“Akhirnya khotbah Jumat dalam bahasa daerah di Halaban baru dilakukan sekitar tahun 1942 setelah berdirinya Muhammadiyah,” tulis Yulizal Yunus dkk. dalam Beberapa Ulama di Sumatera Barat.

Hal yang sama dilakukan Syekh Muhammad Thayib Umar. Pada 1918, dia mempelopori khotbah dalam bahasa Melayu, kecuali rukun-rukunnya, di Masjid Lantau Batu, Batu Sangkar. Menyusul kemudian di Sungayang dan pelosok Minangkabau lainnya. Dia berdalih, tujuan pokok khotbah Jumat adalah memberikan pelajaran dan nasehat keagamaan kepada umat. Dengan demikian pemakaian bahasa Melayu lebih sesuai dan dimengerti kaum muslimin di Minangkabau dibandingkan khotbah yang seluruhnya diucapkan dalam bahasa Arab. Langkah Thayib Umar juga mendapat tentangan dari kaum konservatif.

Syekh Abdullah dan Thayib Umar adalah segelintir Kaum Muda (golongan ulama reformis) yang memainkan peranan penting dalam gerakan Islam modern di Sumatra Barat dengan slogannya: “agama hanya untuk mereka yang dapat mengertinya.” Gerakan mereka ditentang elit tradisional atau Kaum Tua (ulama konservatif) dengan alasan penyampaian khotbah dalam bahasa Arab telah menjadi budaya dan kebiasaan di dalam masyarakat Sumatra Barat.

Baca juga: Bung Karno Marah Pada Ancaman Tak Salatkan Jenazah

Di Pulau Bangka, Sumatra, pembahasa-lokalan khotbah Jumat menimbulkan kehebohan. Pada 1927, dalam khotbah Jumat di Masjid Muntok, seorang guru agama reformis bernama Haji Bakri mengatakan: “Jika orang-orang yang mendengarkan khotbah itu tidak mengerti artinya, itu sama dengan mendengarkan suara kodok.” Rupanya ada golongan Islam yang tak terima atas ucapan tersebut dan menyampaikan keluhannya kepada pemerintah.

Di Sulawesi, pada awal abad ke-20 terbit sebuah risalah di tanah Bugis dengan judul al-Barahin al-Jaliyyah fisy tarati kaunil khutbah bil ‘Arabiyah karya Syekh As’ad Bugisi. Di dalam risalah yang ditulis dengan bahasa dan aksara Bugis ini disebutkan khotbah Jumat dengan bahasa ajam (selain Arab) ialah bid’ah, terlarang.

Haji Abdul Karim Amrullah atau popular dipanggil Inyiak Rasul, ulama Minangkabau yang juga ayah Buya Hamka, mendapat kiriman risalah itu beserta sepucuk surat dari kaum Muslimin Celebes yang meminta pendapatnya tentang masalah ini. Inyiak Rasul membalas surat itu dengan menulis buku bertajuk al-Kawakib ad-Durriyah li Bayan adam istirath khutbah bil ‘Arabiyah. Kesimpulannya, khotbah Jumat boleh disampaikan dalam bahasa ajamiyah (Indonesia). “Risalah ini kemudian dilatinkan oleh Hamka, dan diterbitkan dengan nafkah beliau sendiri di Medan, tahun 1940,” tulis Apria Putra dan Chairullah Ahmad dalam Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX.

Propaganda

Khotbah Jumat merupakan sarana dakwah. Namun pesan-pesan politik tak jarang masuk di dalamnya. Pemerintah kolonial mencurigai penggunaan khotbah Jumat sebagai alat propaganda komunis pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926-1927. Pemetaan besar-besaran pun dilakukan. Pelarangan khotbah terjadi di beberapa masjid di Jawa. Khatib-khatib yang dianggap berkolaborasi dengan gerakan komunis ditangkap dan dipenjara. Banyak dari mereka dibuang ke Boven Digul.

Apa yang dilakukan PKI bukan tanpa tanding. Seorang ulama di Padang bernama Syekh Abdul Hadi memberikan khotbah Jumat dalam bahasa Melayu, disaksikan polisi Hindia-Belanda, yang berisi ajakan untuk tidak ikut dalam gerakan komunis.

Ulama-ulama di Aceh juga memanfaatkan khotbah Jumat untuk mengelorakan perang sabil melawan Belanda. Tgk. Chik Kutakarang giat menyerukan kepada para ulama agar menggunakan bahasa Aceh, bukan bahasa Arab, dalam khotbah Jumat. Bahkan, seperti dikutip Imran T. Abdullah dalam “Ulama dan Hikayat Perang Sabil dalam Perang Belanda di Aceh”, Humaniora Vol. XII, No. 3/2000, Tgk. Chik Kutakarang menyebut: “… jika khotbah Jumat dengan bahasa Arab pada kaum Aceh, niscaya tidak sah khotbah atas qaul yang muktamad, karena maksud daripada khotbah itu mau’izat, yakni pengajaran, nasihat-nasihat. Maka tiada hasil mau’izat atas orang yang tiada tahu makna khotbah.”

Baca juga: Xiaojing, Arab Pegon Ala Cina

Di luar kaitannya dengan politik, sejauh itu pemerintah kolonial memang tak pernah campur tangan dalam urusan keagamaan. Ketika dihadapkan pada persoalan perselisihan mengenai khotbah Jumat, pemerintah cenderung bersikap hati-hati. Hal ini terjadi di Pasuruan, Jawa Timur.

Pada 1930, pemimpin Muhammadiyah mengajukan permohonan kepada pemerintah setempat agar khotbah Jumat dan Hari Raya diucapkan dalam bahasa pribumi. Wedana membawa persoalan ini dalam suatu rapat yang dihadiri sekira 500 orang terdiri atas pegawai pemerintah, pemimpin orang-orang Arab, ajung penghulu, dan wakil-wakil Muhammmadiyah.

Dalam rapat tersebut terjadi perdebatan antara wakil dari Muhammadiyah dan seorang guru mengaji. Wakil dari Muhammadiyah menjelaskan bahwa semua orang yang mendengarkan khotbah harus mengerti isinya. Khotbah mesti diterjemahkan ke dalam bahasa pribumi karena kebanyakan orang tak mengerti bahasa Arab. Sang guru mengaji tak setuju penggunaan bahasa daerah dalam khotbah. Alasannya, Nabi Muhammad melakukannya dengan bahasa Arab.

Wedana kemudian bertanya kepada semua yang hadir mengenai pendapat mereka. Ternyata semua setuju khotbah tetap disampaikan dalam bahasa Arab.

Sia-sia

Seiring waktu, perdebatan mengenai bahasa khotbah mereda. Ada pemahaman umum bahwa bahasa apapaun yang digunakan, penyampaian pesan dari khotbah jumat wajib dimengerti para pendengarnya. Selain itu, nasionalisme mendorong penggunaan bahasa Indonesia secara signifikan sejak 1950-an.

Dalam Muktamar ke-20 di Surabaya pada 8-13 September 1954, NU menegaskan boleh menerjemahkan khotbah Jumat selain rukun-rukunnya. H. Sulaiman Rasjid, kala itu kepala Jawatan Agama Republik Indonesia Jakarta yang kelak menjadi guru besar ilmu fiqih, menerbitkan buku Fiqih Islam (1955) yang menyebut khotbah Jumat di Indonesia harus diucapkan dalam bahasa Indonesia. “Jika seorang khatib mengucapkan khotbahnya dalam bahasa yang tidak dimengerti, maka tujuan khotbah itu sia-sia belaka,” tulisnya.

Kendati demikian, hingga kini, masih muncul pertanyaan bolehkah menggunakan bahasa Indonesia atau lokal dalam khotbah Jumat? Jawabannya: boleh, sepanjang rukun-rukun khotbah (membaca hamdalah, shalawat, wasiat takwa, ayat suci Alquran dan doa) tetap menggunakan bahasa Arab.

Yang menarik, akhir-akhir ini kegelisahan muncul akibat berkurangnya penggunaan bahasa daerah dalam khotbah Jumat. Ajip Rosidi, budayawan Sunda, misalnya pernah mengingatkan para khatib. Menurutnya, dengan tidak digunakannya bahasa Sunda dalam khotbah di Tatar Sunda, secara tidak langsung para khatib dan dai punya andil besar dalam “membunuh” bahasa Sunda.

Penulis adalah mahasiswa Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA