Jelaskan dengan singkat mengapa umar bin abdul aziz mendapat gelar khalifah rasyidin yang kelima

24 November 2020 - 9:34 am - 4 min read

105 views

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah dari Bani Umayyah yang mendapatkan gelar sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima. Beliau adalah cucu dari dari Khalifah Marwan bin Al-Hakam yang merupakan sepupu dari Khalifah Utsman bin Affan. Sedangkan ibunya adalah Laila, cucu dari Khalifah Umar bin Khattab.

Umar kecil hidup di Mesir karena ayahnya, Abdul Aziz adalah gubernur Mesir. Namun beranjak remaja, beliau pindah ke Madinah untuk menuntut ilmu. Rakyat Bani Umayyah mengenal Umar sebagai seseorang yang haus ilmu dan dekat dengan para ulama, perawi hadits, dan orang-orang soleh.

Pada tahun 705 M, sepupu Umar yaitu Al-Walid bin Abdul Malik naik menjadi Khalifah. Selain sepupu mereka juga merupakan saudara ipar karena Istri Umar adalah Fatimah, saudara perempuan Al-Walid. Sedangkan Al-Walid menikah dengan Ummul Banin saudara perempuan Umar.

Umar bin Abdul Aziz sebagai Gubernur Madinah

Jelaskan dengan singkat mengapa umar bin abdul aziz mendapat gelar khalifah rasyidin yang kelima

Pada masa Al-Walid, Umar menjadi gubernur Madinah yang wilayah kekuasaannya mencakup Makkah dan Thaif. Para Gubernur Madinah dari Bani Umayyah sebelumnya selalu berselisih dengan warga Madinah. Namun di bawah kepemimpinan Umar yang sebelumnya telah masyhur sebagai orang alim yang dekat dengan para ulama Madinah dan kesalehan serta kebijaksaan beliau, warga Madinah mulai membuka diri.

Baca juga: Kepemimpinan Islam Pada Masa Umar Bin Khattab

Beliau memimpin perjalanan haji dan menunjukkan dukungan kepada para ulama Madinah. Beliau juga membentuk Dewan Syura Madinah yang beranggotakan 10 Ulama untuk meminta pendapat dalam memutuskan perkara pemerintahan provinsi di Madinah. Sebagaimana pejabat negara Bani Umayyah lainnya, gaya hidup Umar saat menjadi gubernur sangatlah mewah, namun rakyat mencintainya karena kesalehan dan kebijaksaan beliau.

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz naik menjadi Khalifah ke delapan Bani Umayyah pada tahun 717 M saat berusia 34 tahun dan menjabat hingga tahun 720 M atau dalam jangka waktu dua setengah tahun. Namun di masa kekuasaan beliau yang singkat, beliau berhasil memberikan kesejahteraan yang luar biasa kepada rakyatnya dan membuatnya mendapat julukan Khulafaur Rasyidin yang kelima setelah Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Kehidupan Umar setelah menjadi khalifah sangatlah berbeda 180 derajat dibandingkan dengan saat beliau menjabat sebagai gubernur Madinah sebelumnya yang bergelimangan dengan kemewahan. Umar mengeluarkan seluruh hartanya dan memberikannya ke baitul maldan ia hidup dengan gaji 2 dirham per hari. Umar pun memberi pilihan kepada istrinya Fathimah binti Abdul Malik untuk tetap menjadi istrinya namun memberikan seluruh perhiasan mewahnya ke baitul mal atau tetap hidup dengan kemewahan namun tidak lagi menjadi istri Umar. Namun Fathimah adalah wanita mulia dengan hati yang bersih dengan keimanan memilih untuk mengikuti jejak suaminya dan hidup bersahaja sejak menjadi istri dari Khalifah.

Kebijakan Selama Umar menjadi Khalifah

Berikut beberapa kebijakan Umar bin Abdul Aziz saat beliau menjadi pemimpin Khilafah Bani Umayyah :

  1. Merombak struktur pejabat dan memilih pejabat berdasarkan kecakapan dan keshalihannya bukan koneksi sebagaimana sebelumnya. Dan mengawasi wilayah masing-masing gubernur dengan cermat
  2. Umar adalah seorang ulama’ yang mendorongnya untuk memperbaiki kehidupan sosial seperti melarang minuman keras, ketelanjangan di muka umum, dan menghapus pemandian umum yang bercampur antara laki-laki dan perempuan
  3. Membangun infrasturuktur berupa pembangunan kanal dan bangunan khusus untuk klinik kesehatan
  4. Memerintahkan pengumpulan hadits secara resmi karena khawatir akan hilangnya beberapa hadits
  5. Menghapus diskriminasi dengan menghapuskan jizyah bagi mualaf non Arab
  6. Menghapuskan tradisi Bani Umayyah yang mengharuskan khatib untuk mencela Khalifah Ali bin Abi Thalib pada khutbah Jum’at
  7. Melarang pejabat negara untuk berbisnis agar fokus pada mengurusi rakyat
  8. Mewajibkan pada para pejabat untuk mendengarkan setiap keluhan rakyat, jika tidak akan mendapatkan hukuman
  9. Mengembalikan tanah penggembalaan dan cagar alam yang semula menjadi milik bangsawan Bani Umayyah dan memanfaatkannya untuk rakyat miskin

Hubungan Nusantara dan Khilafah Bani Umayyah di Masa Umar bin Abdul Aziz

Raja Sriwijaya dari Nusantara pernah melakukan hubungan bilateral melalui surat kepada Bani Umayyah sebanyak dua kali. Surat pertama sampai kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Khalifah pertama Bani Umayyah dan surat kedua kepada Umar bin Abdul Aziz.

Abd Rabbih dalam karyanya Al-Iqdul Farid mendokumentasikan surat kedua Raja Sriwijaya yang berbunyi : “Dari Rajadiraja … yang keturunan seribu raja … kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak terlalu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Dan saya ingin anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya”

Wafatnya Umar bin Abdul Aziz

Beberapa kebijakan Umar ternyata membuat sebagian bangsawan Bani Umayyah terusik karena hak istimewa mereka lenyap. Akhirnya mereka menyuap salah satu budak bernama ‘Alas untuk meracuni makanan Khalifah dengan menjanjikan upah berupa 1.000 dinar dan kebebasan dirinya. Umar mengetahui rencana keji tersebut dan mengambil uang 1.000 dinar tersebut dan memasukkannya ke baitul mal sedangkan budak tersebut ia bebaskan.

Namun saat Umar dalam perjalanan pulang tugas negara dari Damaskus ke Aleppo, ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada Februari 720 M pada usia 37 tahun. Khalifah yang dicintai rakyatnya ini berpulang setelah menorehkan tinta emas nan harum dalam sejarah Kekhilafahan Bani Umayyah. Dan membuatnya dikenang banyak orang hingga saat ini.

'Umar bin 'Abdul 'Aziz (bahasa Arab: عمر بن عبد العزيز‎; 2 November 682 – 5 Februari 720),[1] atau juga disebut 'Umar II, adalah khalifah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). 'Umar berasal dari Bani Umayyah cabang Marwani. Dia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman.

Jelaskan dengan singkat mengapa umar bin abdul aziz mendapat gelar khalifah rasyidin yang kelima
'Umar bin 'Abdul 'Aziz
عمر بن عبد العزيزKhalifahBerkuasa22 September 717 – 5 Februari 720
(2 tahun, 137 hari)PendahuluSulaiman bin 'Abdul MalikPenerusYazid bin 'Abdul Malik

Lahir2 November 682
(26 Safar 63 H)
Madinah,[1] HijazWafat5 Februari 720
(20 Rajab 101 H) (37 tahun)[1]
Aleppo[1]Pemakaman

Dayr Sim'an, Aleppo

WangsaUmayyah (Marwani)
Nama dan tanggal periode
Kekhalifahan Umayyah: 661–750
Ayah'Abdul 'Aziz bin MarwanIbuLaila binti Ashim bin 'UmarPasanganFatimah binti 'Abdul MalikAnak'Abdul Malik bin 'UmarAgamaIslam

Meski masa kekuasaannya yang terbilang singkat, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan salah satu khalifah yang paling dikenal dalam sejarah Islam. Dia dipandang sebagai sosok yang saleh dan kerap disebut sebagai khulafaur rasyidin kelima.

'Umar lahir di Madinah[2][3] pada tahun 682. Sebagian sumber menyatakan bahwa dia lahir di Mesir. Ayahnya adalah 'Abdul-'Aziz, putra Khalifah Marwan bin al-Hakam yang merupakan sepupu Khalifah 'Utsman bin 'Affan. Ibunya adalah Laila, cucu Khalifah 'Umar bin Khattab.[4]

Menurut tradisi Sunni, keterkaitan silsilah antara 'Umar bin Abdul 'Aziz dengan 'Umar bin Khattab bermula pada suatu malam pada masa 'Umar bin Khattab. Saat sedang beronda malam, 'Umar bin Khattab mendengar percakapan antara seorang gadis dan ibunya dari keluarga pedagang susu. Sang gadis menolak mencampur susu dengan air sebagaimana yang diperintahkan ibunya lantaran terdapat larangan dari khalifah mengenai hal tersebut dan mengatakan bahwa Allah melihat perbuatan mereka meski 'Umar bin Khattab sendiri tidak mengetahui. Kagum akan kejujurannya, 'Umar memerintahkan salah seorang putranya, 'Ashim, untuk menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan ini, lahirlah Laila, ibunda 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.

'Umar lahir pada saat kekhalifahan dalam kepemimpinan Bani Sufyani, cabang Bani Umayyah yang merupakan keturunan Abu Sufyan bin Harb. Pada masa Khalifah Yazid, perasaan tidak suka dari penduduk Madinah terhadap Yazid meluas menjadi sentimen anti-Umayyah, sehingga semua anggota Bani Umayyah diusir dari Madinah.

Setelah masa kekhalifahan Mu'awiyah bin Yazid berakhir pada 684, kendali Umayyah atas kekhalifahan sempat runtuh dan banyak pihak berbalik mendukung 'Abdullah bin Zubair, khalifah pesaing Umayyah yang berpusat di Makkah. Umayyah kembali menguatkan pengaruhnya saat Marwan diangkat menjadi khalifah di Syria. Putra Marwan, 'Abdul-Malik, ditetapkan sebagai Gubernur Palestina dan putra mahkota, sedangkan putra Marwan yang lain, 'Abdul 'Aziz, ditetapkan sebagai Gubernur Mesir dan wakil putra mahkota.[5] Setelah Marwan mangkat, 'Abdul Malik menjadi khalifah, sedangkan kedudukan 'Abdul 'Aziz naik menjadi putra mahkota sekaligus masih tetap mempertahankan kepemimpinannya atas Mesir sebagai gubernur.

'Umar bin 'Abdul 'Aziz menghabiskan sebagian masa kecilnya di wilayah kekuasaan ayahnya di Mesir, utamanya di kota Helwan.[3] Meski begitu, dia menerima pendidikan di Madinah yang saat itu kepemimpinan kota tersebut sudah diambil alih kembali oleh pihak Umayyah pada 692. Menghabiskan masa mudanya di sana, 'Umar menjalin hubungan erat dengan orang-orang saleh dan perawi hadits.[3]

Di penghujung usia, 'Abdul Malik ingin agar takhta kelak diwariskan kepada putranya, Al-Walid, dan bukan kepada 'Abdul 'Aziz. 'Abdul 'Aziz menolak menyerahkan kedudukannya sebagai putra mahkota, tetapi perselisihan dapat dihindari lantaran 'Abdul 'Aziz wafat lebih dulu dari 'Abdul Malik. 'Abdul Malik kemudian menobatkan Al-Walid sebagai putra mahkota. Selain itu, 'Abdul Malik memanggil 'Umar ke Damaskus dan menikahkannya dengan putrinya sendiri, Fatimah.[3]

Al-Walid naik takhta pada 705 setelah ayahnya mangkat. Secara silsilah, Al-Walid dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz adalah sepupu. Melalui pernikahan, mereka berdua adalah saudara ipar. 'Umar menikah dengan Fatimah, saudari Al-Walid, dan Al-Walid merupakan suami Ummul Banin, saudari 'Umar.

Salah satu kebijakan Al-Walid adalah mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai gubernur Madinah.[3] Di masa sebelumnya, Madinah yang menolak kepemimpinan Umayyah ditundukkan secara paksa oleh pihak Umayyah pada Pertempuran al-Harrah pada masa Khalifah Yazid. Gubernur Madinah sebelumnya, Hisyam bin Ismail al-Makhzumi, dikenal sangat keras dalam memerintah. Penunjukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dimaksudkan untuk meredam ketegangan antara penduduk Madinah dengan pihak Umayyah dan menjembatani kedua belah pihak.[2] 'Umar mulai menjabat pada bulan Februari atau Maret tahun 706 dan wilayah kewenangannya kemudian diperluas ke Makkah dan Tha'if.[3]

'Umar juga kerap memimpin rombongan haji dan menunjukkan dukungan pada para ulama Madinah, khususnya Said bin al-Musayyib yang merupakan salah satu Tujuh Fuqaha Madinah.[3] 'Umar tidak membuat keputusan tanpa berdiskusi dengan Said terlebih dahulu,[6] salah satunya adalah masalah perluasan Masjid Nabawi. Khalifah Al-Walid memerintahkan perluasan masjid yang menjadikan rumah Nabi Muhammad harus turut direnovasi.[3] 'Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah sehingga banyak dari mereka yang menangis. Berkata Said bin al-Musayyib, "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui yang sesungguhnya tata cara hidupnya yang sederhana".[7]

Dalam menjalankan tugasnya, 'Umar membentuk sebuah dewan syura (musyawarah) yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Mereka yang ditunjuk sebagai anggota dewan syura Madinah adalah:[8]

  • Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq
  • Sulaiman bin Yasar
  • ‘Urwah bin az-Zubair bin 'Awwam
  • Kharijah bin Zaid bin Tsabit
  • ‘Ubaidallah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
  • Abu Bakar bin ‘Abdur-Rahman al-Makhzumi
  • Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsmah
  • Salim bin 'Abdullah bin 'Umar bin Khattab
  • ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar
  • ‘Abdullah bin ‘Amin bin Rabiah.

Enam nama pertama yang disebutkan termasuk Tujuh Fuqaha Madinah.

Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan keluhan-keluhan resmi ke Damaskus (ibukota kekhalifahan saat itu) berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah. 'Umar juga cenderung longgar dalam menghadapi para ulama yang kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Umayyah.[2] Dalam masalah pribadi, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz memiliki gaya hidup yang mewah saat menjadi gubernur.[3] Segala kebijakan yang diambil menjadikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pejabat yang terkenal akan kesalehan dan kebijaksanaannya.

Kemasyhuran 'Umar bin 'Abdul 'Aziz menjadikan kelompok syiah dari kawasan Iraq yang dipandang sebagai penentang Umayyah mencari suaka di Madinah lantaran mendapat penindasan dari gubernur tempat mereka berasal, Al-Hajjaj bin Yusuf.[9] 'Umar melayangkan surat kepada Al-Walid mengenai perbuatan Al-Hajjaj, tapi surat itu bocor dan diketahui Al-Hajjaj. Al-Hajjaj menanggapinya dengan mengatakan pada Al-Walid melalui surat bahwa semua kebijakan yang dia ambil dibuat untuk mengamankan keadaan negara, juga kemudian berbalik menyalahkan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz lantaran dipandang terlalu lemah dalam menghadapi para penentang yang dikhawatirkan akan melemahkan pengaruh Umayyah. Sebagai catatan, Al-Hajjaj adalah tangan kanan khalifah sejak masa 'Abdul Malik bin Marwan yang berkuasa selama lebih dari dua dekade. Pengaruh Al-Hajjaj semakin menguat pada masa Al-Walid lantaran Al-Walid merasa berutang budi pada Al-Hajjaj atas dukungannya. Sesuai saran Al-Hajjaj, Al-Walid memberhentikan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, kemudian mengangkat 'Utsman bin Hayyan sebagai Gubernur Makkah dan Khalid bin 'Abdullah sebagai Gubernur Madinah.[10]

Setelah dicopot jabatannya, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berada di istana Al-Walid di Damaskus.[3][11] Menurut sejarawan 'Abbasiyah Ahmad Al-Ya'qubi, 'Umar melakukan shalat jenazah pada Al-Walid saat dia mangkat pada 715.[12]

Sepeninggal Al-Walid, Sulaiman bin 'Abdul Malik yang merupakan adik kandungnya dinobatkan sebagai khalifah dan memimpin kekhalifahan dari Yerusalem (Al-Quds). Pada masanya, para pejabat yang berkuasa pada masa Al-Walid dilucuti satu-persatu dari jabatan mereka. Al-Hajjaj sudah meninggal tatkala Sulaiman naik takhta, tapi kerabat dan sekutunya diberhentikan dan mendapat hukuman. Di sisi lain, lawan politik mereka menempati berbagai kedudukan penting pada masa Sulaiman. Salah satu di antaranya adalah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.

Sulaiman yang juga merupakan sepupu 'Umar sangat memberikan penghormatan padanya.[11] Bersama seorang ulama tabi'in Raja' bin Haiwah, 'Umar menjadi penasihat utama Sulaiman. Dia mendampingi Sulaiman dalam memimpin rombongan haji pada 716 dan sampai kembalinya di Yerusalem. Tampaknya dia juga mendampingi Sulaiman di Dabiq saat kekhalifahan berperang melawan Kekaisaran Romawi.[3]

Pada awalnya, Sulaiman menunjuk salah seorang putranya, Ayyub, menjadi putra mahkota, tetapi Ayyub meninggal lebih dulu pada awal 717.[13] Sulaiman yang saat itu sakit keras kemudian berencana menunjuk putranya yang lain, Dawud, sebagai putra mahkota, tetapi Raja' bin Haiwah tidak sepakat dengan alasan bahwa Dawud sedang berperang di Konstantinopel dan tidak ada kejelasan mengenai kembalinya. Raja' mengusulkan agar mengangkat 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sebagai pewaris[3][14][15][16] sebab 'Umar dikenal sebagai salah satu tokoh yang bijaksana, cakap, dan saleh pada masa itu. Sulaiman menyepakati usulan tersebut. Namun demi menghindari perselisihan di dalam tubuh Umayyah antara pihak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dengan saudara-saudara Sulaiman, Sulaiman menetapkan saudaranya, Yazid, sebagai wakil putra mahkota. Hal ini bermakna bahwa setelah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, Yazid yang akan menjadi khalifah. Raja' yang dipasrahi urusan ini segera mengumpulkan anggota Bani Umayyah di masjid dan meminta mereka bersumpah setia untuk menerima wasiat Sulaiman yang masih dirahasiakan. Setelah mereka menyatakan kepatuhan, barulah Raja' mengumumkan bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz yang akan menjadi khalifah sepeninggal Sulaiman. Saudara Sulaiman yang lain, Hisyam, menentang keputusan tersebut, tetapi kemudian diancam akan dijatuhi hukuman, sehingga Hisyam patuh.[15] Saat berada di atas mimbar, 'Umar meminta agar Hisyam yang pertama kali memberikan sumpah setia (bai'at). Hisyam kemudian maju membai'atnya, diikuti hadirin yang lain.[17]

Namun menurut sejarawan Reinhard Eisener, peran Raja' dalam masalah ini dipandang "dilebih-lebihkan". Hal ini lantaran penunjukkan 'Umar dipandang sudah sesuai tradisi. Ayah 'Umar sendiri, 'Abdul 'Aziz, sebenarnya adalah putra mahkota dari ayah Sulaiman, Khalifah 'Abdul Malik.[18] Meski begitu, 'Abdul 'Aziz tidak mewarisi takhta lantaran meninggal lebih dulu dari 'Abdul Malik,[19] sehingga setelah 'Abdul Malik mangkat, tampuk kekhalifahan dialihkan ke putra-putra 'Abdul Malik.

Sulaiman mangkat pada September 717 dan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz didaulat sebagai khalifah tanpa penentangan berarti.[3]

'Umar dibai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at. Berbeda saat masih menjadi gubernur, gaya hidup 'Umar menjadi sangat sederhana pada saat menjadi khalifah. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[20] atau 60 dirham perbulan.

Segera setelah mendengar berita kematian Khalifah Sulaiman, 'Abdul 'Aziz yang merupakan putra Khalifah Al-Walid langsung bergegas menuju Damaskus beserta pasukannya, tanpa mengetahui pihak yang menggantikan Sulaiman. Sebagai catatan, Al-Walid pernah berusaha melepas posisi Sulaiman sebagai putra mahkota untuk diserahkan kepada 'Abdul 'Aziz, tetapi Al-Walid lebih dulu meninggal sebelum keinginannya diresmikan, sehingga Sulaiman yang pada akhirnya menjadi khalifah. 'Umar menyambut 'Abdul 'Aziz dengan tangan terbuka dan menyatakan siap untuk menyerahkan kekuasaan padanya jika itu kehendaknya. Mendengar jawabannya, 'Abdul 'Aziz membalas, "Tidak ada orang selainmu yang aku harapkan mengisi kekuasaan ini."[21]

Administrasi Provinsi

Segera setelah menjadi khalifah, 'Umar merombak ulang administrasi provinsi-provinsi di kekhalifahan.[3] Dia melakukan pemekaran atas provinsi di kawasan timur kekhalifahan yang dibentuk pada masa Khalifah 'Abdul Malik bin Marwan dan Al-Hajjaj bin Yusuf.[14] Gubernur yang ditunjuk Sulaiman untuk provinsi besar ini, Yazid bin Muhallab, diberhentikan dan ditahan lantaran tidak menyetorkan harta rampasan perang dari penaklukan sebelumnya atas kawasan Thabaristan ke kas perbendaharaan negara.[14][22] 'Umar kemudian menunjuk beberapa gubernur baru untuk beberapa provinsi. Perinciannya:[22]

  • Kawasan timur
    • Kufah: 'Abdul Hamid bin 'Abdurrahman bin Zaid bin Khattab (masih anggota keluarga 'Umar bin Khattab)
    • Basrah: 'Adi bin Arthah al-Fazari
    • Khorasan: Al-Jarrah bin 'Abdullah
    • Sindh: 'Amr bin Muslim al-Bahili
    • Mesopotamia Hulu: 'Umar bin Hubairah
  • Kawasan barat
    • Al-Andalusia (semenanjung Iberia): As-Samh bin Malik al-Khaulani
    • Ifriqiyah (Afrika Utara): Ismail bin 'Abdullah bin Abi al-Muhajir

Meski pejabat baru yang ditunjuk di kawasan timur ini dulunya pengikut Al-Hajjaj atau dari kelompok Qais, 'Umar menunjuk mereka atas dasar kecakapan, bukan lantaran mereka adalah lawan politik Khalifah Sulaiman.[22] Pilihannya untuk gubernur Al-Andalus dan Ifriqiyah berangkat dari pandangan 'Umar tentang netralitas mereka atas persaingan antara kelompok Qais dan Yamani, juga keadilan mereka terhadap pihak-pihak yang tertindas.[23] 'Umar tampak memilih orang cakap yang dapat dia kendalikan, menunjukkan niatnya untuk benar-benar melakukan pengawasan cermat atas tiap-tiap provinsi.[14] Sejarawan Wellhausen mencatat bahwa 'Umar tidak membiarkan para gubernur mengatur wilayah mereka sendiri hanya karena sudah menyetorkan pendapatan daerah ke pusat, tetapi secara aktif mengawasi administrasi para gubernurnya.[24]

Militer

 

Pengepungan Konstantinopel (717–718), digambarkan dalam terjemahan Kronik Manasses ke dalam bahasa Bulgaria pada abad ke-14.

Dalam urusan militer, 'Umar cenderung pasif bila dibandingkan pendahulunya, meskipun sejarawan Cobb mengaitkan sikap 'Umar dengan kekhawatiran akan menipisnya perbendaharaan negara.[3] Wellhausen menegaskan bahwa 'Umar tidak menyukai perang penaklukan, mengetahui bahwa mereka digaji bukan untuk kepentingan Allah, tetapi karena rampasan perang.[11] Segera setelah menjadi khalifah, dia memerintahkan agar pasukan Muslim yang dikomando oleh Maslamah bin 'Abdul-Malik segera ditarik dari pengepungan Konstantinopel dan mundur ke Malatya di kawasan Anatolia Timur/Armenia Barat. Terlepas dari penarikan tersebut, 'Umar terus melakukan serangan musim panas tahunan pada perbatasan Romawi, sebagai bagian dari kewajiban jihad. 'Umar tetap berada di Syria utara, sering kali tinggal di tanah miliknya di Khanasir, tempat dia membangun benteng.[3][25]

Pada suatu waktu pada tahun 717, 'Umar mengirim pasukan ke Azerbaijan selatan di bawah kepemimpinan Ibnu Hatim bin Nu'man al-Bahili untuk menumpas sekelompok bangsa Turki yang melakukan perusakan di kawasan tersebut. Pada 718, dia mengerahkan berturut-turut pasukan Iraq dan Syria untuk menekan pemberontakan Khawarij di Iraq, meski sebagian sumber menyatakan bahwa gerakan perlawanan ini diredam dengan diplomasi.[3] Di sepanjang perbatasan timur laut kekhalifahan, di Transoxiana, Islam sudah memiliki kedudukan mapan di beberapa kota, mencegah 'Umar untuk menarik pasukan Arab dari sana.[26] Meski demikian, dia mencegah untuk melakukan perluasan wilayah lebih jauh ke timur.[22] Pada masa kekuasaannya, pasukan Muslim yang berpusat di Al-Andalus menaklukkan kota Narbonne di kawasan Franka selatan.[27]

Pembaharuan

'Umar bin 'Abdul 'Aziz merupakan seorang ulama dan dia sendiri dikelilingi ulama-ulama besar seperti Muhammad bin Ka'ab dan Maiumun bin Mihran. Dia menawarkan tunjangan kepada para guru dan mendorong pendidikan. Melalui teladan pribadinya, dia menanamkan kesalehan, ketabahan, etika bisnis, dan kejujuran moral di masyarakat. Pembaharuan yang dia lakukan termasuk memperketat larangan minum-minuman keras, melarang ketelanjangan publik, menghapus pemandian umum campur laki-laki dan perempuan, dan pemberian dispensasi zakat yang adil. Dia memerintahkan pengerjaan berbagai bangunan umum di Persia, Khorasan, dan Afrika Utara, seperti pembangunan kanal, jalan, karavanserai, dan klinik kesehatan. 'Umar juga melanjutkan program kesejahteraan dari beberapa khalifah Umayyah terakhir dan memperluasnya, termasuk program-program untuk anak yatim dan orang miskin.[28]

'Umar juga dipuji lantaran memerintahkan pengumpulan resmi hadits yang pertama kali lantaran adanya kekhawatiran akan hilangnya sebagian hadits. Mereka yang diperintahkan 'Umar melaksanakan perintah tersebut antara lain Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan Ibnu Syihab az-Zuhri.[29]

Beberapa pembaharuan lain yang 'Umar lakukan:[30]

  • Melarang pejabat negara untuk berbisnis
  • Pekerja tanpa bayaran dianggap ilegal
  • Tanah penggembalaan dan cagar alam yang diperuntukkan bagi keluarga para pejabat tinggi dibagikan secara merata pada orang miskin dan tujuan budidaya.
  • Mendesak semua pejabat untuk mendengarkan keluhan orang-orang dan pada setiap kesempatan, diumumkan bahwa jika ada yang melihat petugas yang memperlakukan masyarakat tidak sebagaimana mestinya, dia harus melaporkannya dan sang pelapor akan diberikan hadiah mulai dari 100 hingga 300 dirham.

Pada masa sebelumnya, Bani Umayyah terkenal akan permusuhannya terhadap ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad) dan mengharuskan para khatib untuk melakukan celaan pada Khalifah 'Ali bin Abi Thalib pada khutbah shalat Jum'at. 'Umar bin 'Abdul 'Aziz kemudian memerintahkan agar kebiasaan itu dihapus.[31] Tanah Fadak yang dikuasai Bani Umayyah sejak masa Khalifah Marwan bin al-Hakam juga dikembalikan kepada Bani Hasyim. Sebagai catatan, tanah Fadak adalah tanah milik Nabi Muhammad di kawasan Khaibar yang berdasar perintah Nabi, hasil dari pengelolaannya diberikan kepada kalangan Bani Hasyim yang membutuhkan.

Pajak

 

Dirham perak 'Umar bin 'Abdul 'Aziz

Di masa khalifah Umayyah sebelumnya, Muslim Arab memiliki hak istimewa terkait keuangan daripada Muslim non-Arab. Mualaf dari kalangan non-Arab tetap diwajibkan membayar pajak jizyah seperti saat mereka belum masuk Islam. 'Umar kemudian menghapuskan kebijakan ini dan membebaskan semua Muslim dari pembayaran jizyah, tanpa memandang asal-usul mereka. Meski begitu, 'Umar juga membuat penjagaan agar keuangan negara tidak runtuh saat terjadi gelombang mualaf yang berakibat menyusutnya penerimaan jizyah.[32] Mualaf non-Arab tidak lagi membayar jizyah, tetapi tanah mereka menjadi tanah desa dan dikenakan kharaj atau cukai tanah.[33]

Dakwah

Mengikuti teladan Nabi Muhammad, 'Umar mengirim utusan ke Tiongkok dan Tibet dan mengajak pemimpin mereka memeluk Islam. Di masa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz inilah Islam berakar kuat dan diterima sebagian besar masyarakat Persia dan Mesir. Saat para pejabat mengeluhkan merosotnya pendapatan dari jizyah lantaran terjadinya gelombang mualaf, 'Umar membalas bahwa dia menerima tampuk kekhalifahan untuk mengajak orang-orang masuk Islam, bukan menjadi penagih pajak. Jumlah Muslim non-Arab yang semakin besar menjadikan pusat negara bergeser yang semula dari Madinah dan Damaskus menjadi Persia dan Mesir.[28]

'Umar juga mengajak raja-raja di India untuk memeluk Islam dan menjadi bawahan khalifah. Sebagai balasan, mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai raja. Beberapa raja menerima tawaran tersebut dan mulai mengadopsi nama Arab.[34]

Surat dari Raja Sriwijaya

Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan yang kedua kepada 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:[35]

Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

Kebijakan pembaharuan yang dilakukan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mengusik para bangsawan Umayyah karena hak istimewa mereka dihilangkan sebagai bagian dari pembaharuan yang dilakukan 'Umar. Hal ini mendorong mereka menyuap seorang budak milik 'Umar bernama Alas dengan uang sejumlah 1.000 dinar emas dan kebebasan dirinya agar mau meracuni makanan 'Umar. 'Umar yang mengetahui tindakan budaknya kemudian mengambil uang 1.000 dinar tersebut dan dimasukkan ke baitul mal, sedangkan Alas diperintahkan pergi sebagai orang merdeka.[36] Dalam perjalanannya pulang dari Damaskus ke Aleppo, atau saat berada di Khanasir, dia jatuh sakit. 'Umar mangkat antara tanggal 5 sampai 10 Februari 720 pada usia 37 tahun[37] di Dayr Sim'an di Aleppo barat laut.[38] 'Umar membeli sebidang tanah di desa dan menjadi tempat jenazahnya dikebumikan. Sisa-sisa makamnya masih terlihat, makamnya tidak diketahui secara pasti waktu pembuatannya.[39]

Sumber-sumber sejarah Muslim utamanya sepakat akan kesalehan 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dan dia dipandang sebagai seorang pemimpin Muslim teladan, menjadikannya kerap disejajarkan dengan empat khalifah rasyidah. Hal ini berseberangan dengan beberapa khalifah lain dari Bani Umayyah yang kerap dianggap sebagai perampas tak bertuhan dan zalim, sehingga mereka lebih dipandang sebagai seorang raja dan bukan khalifah sejati selayaknya 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Dalam pandangan sejarawan Hawting, penggambaran ini sebagian memang berangkat dari fakta-fakta sejarah serta sifat dan tindakan 'Umar, tetapi selain itu juga didasarkan atas "kebutuhan dan pandangan tradisi." Kennedy menyebut 'Umar sebagai "sosok paling membingungkan di antara penguasa Marwani". Menurut Hawting, sejarawan Jerman Julius Wellhausen menandai perubahan dalam studi Barat mengenai 'Umar yang awalnya dipandang sebagai "idealis yang tak praktis" beralih ke pandangan yang lebih modern sebagai "seorang saleh yang berusaha menyelesaikan masalah pada zamannya dengan jalan yang akan menyesuaikan kebutuhan dinastinya dan negara dengan tuntutan Islam."[32]

Seorang ulama sunni Mughal Syah Waliullah Dehlawi pada abad ke-18 menyatakan,[40] "Seorang mujaddid muncul di tiap akhir abad. Mujaddid pada abad pertama (hijriah) adalah imam ahlus-sunnah, 'Umar bin 'Abdul 'Aziz. Mujaddid abad kedua adalah imam ahlus-sunnah, Muhammad Idris Syafi'i (Imam Asy-Syafi'i). Mujaddid abad ketiga adalah imam ahlus-sunnah, Abu Hasan Asy'ari (Imam Asy'ari). Mujaddin abad keempat adalah Abu 'Abdullah Hakim Naisaburi.

Sepeninggal 'Umar bin 'Abdul 'Aziz, tampuk kekhalifahan diserahkan kepada sepupunya yang juga saudara seayah Khalifah Al-Walid dan Khalifah Sulaiman, Yazid bin 'Abdul-Malik.

Ayah'Abdul 'Aziz. Gubernur Mesir pada 686 sampai wafatnya pada 705. Wakil putra mahkota pada masa Khalifah Marwan. Putra mahkota pada masa Khalifah 'Abdul Malik.

  • KakekMarwan bin al-Hakam. Khalifah yang berkuasa pada 684 – 685.
  • NenekLaila binti Zabban. Berasal dari Bani Kalb.

IbuLaila. Juga kerap disebut Ummu 'Ashim.

  • Kakek'Ashim. Ahli fiqih, perawi hadits, dan tabi'in.
    • Kakek buyut'Umar bin Khattab. Khalifah yang berkuasa pada 634 – 644.
    • Nenek buyutJamilah binti Tsabit. Berasal dari Bani Aus.
  • NenekUmmu Ammarah[41]

Pasangan

  • Fatimah. Putri 'Abdul Malik bin Marwan, khalifah yang berkuasa pada 685 – 705.
  • Lamis binti 'Ali
  • Ummu 'Utsman binti Syu'aib

Putra

  • 'Abdul Malik
  • 'Abdul 'Aziz
  • 'Abdullah
  • Ibrahim
  • Ishaq
  • Ya'qub
  • Bakar
  • Al-Walid
  • Musa
  • 'Ashim
  • Yazid
  • Zaban
  • 'Abdullah

Putri

  • Aminah
  • Ummu Ammar
  • Ummu 'Abdullah

al-Hakam bin Abi al-Ash
Marwan bin al-Hakam, Khalifah Ummayah
(Marwan I)
Aminah binti 'Alqamah al-Kinaniyya
Abdul Aziz bin Marwan
Zabban bin al-Asbagh al-Kalbiyya
Laila binti Zabban
Umar bin Abdul Aziz
(Umar II)
Umar bin Khattab, Khulafaur Rasyidin
(Umar I)
Ashim bin Umar
Jamilah binti Thabit
Laila binti Ashim
(Ummu 'Ashim)

  1. ^ a b c d (Inggris) Umar II (Umayyad caliph). Britannica Online Encyclopedia.
  2. ^ a b c Wellhausen 1927, hlm. 267.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Cobb 2000, hlm. 821.
  4. ^ Cobb 2000, hlm. 821–822.
  5. ^ Kennedy 2016, hlm. 84.
  6. ^ Ibn Sa‘d tr. Bewley, 82.
  7. ^ Abdurrahman, Jamal (2007). Keagungan Generasi Salaf (disertai kisah-kisahnya) (dalam bahasa Indonesia). Darus Sunnah. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  8. ^ Hinds 1990, hlm. 133.
  9. ^ Kennedy 2004, hlm. 90.
  10. ^ Hinds 1990, hlm. 201–202.
  11. ^ a b c Wellhausen 1927, hlm. 268.
  12. ^ Biesterfeldt & Günther 2018, hlm. 1001.
  13. ^ Wellhausen 1927, hlm. 264.
  14. ^ a b c d Kennedy 2016, hlm. 106.
  15. ^ a b Hawting 2000, hlm. 72.
  16. ^ Wellhausen 1927, hlm. 265.
  17. ^ Powers 1990, hlm. 72–73.
  18. ^ Eisener 1997, hlm. 822.
  19. ^ Hawting 2000, hlm. 59.
  20. ^ (Arab) Jalaluddin Suyuthi (w. 911 H). Tarikh al-Khulafa[pranala nonaktif permanen] (Sejarah Para Khalifah).
  21. ^ Powers 1990, hlm. 74.
  22. ^ a b c d Wellhausen 1927, hlm. 269.
  23. ^ Wellhausen 1927, hlm. 269–270.
  24. ^ Wellhausen 1927, hlm. 270.
  25. ^ Powers 1989, hlm. 75, catatan 263.
  26. ^ Wellhausen 1927, hlm. 268–269.
  27. ^ Wellhausen 1927, hlm. 269, catatan 1.
  28. ^ a b "Omar bin Abdul Aziz". 11 Desember 2009. 
  29. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-11. Diakses tanggal 2006-09-28. 
  30. ^ "The Great Khalifah Umar ibn Abdul Aziz - TurnToIslam Islamic Forum & Social Network". www.turntoislam.com. 
  31. ^ Najeebabadi 2000, hlm. 198.
  32. ^ a b Hawting 2000, hlm. 77.
  33. ^ Kennedy 2004, hlm. 107.
  34. ^ Wink 2002, hlm. 207.
  35. ^ Azra, Azyumardi (2004). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (dalam bahasa Indonesia). Prenada Media. hlm. 27–28. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  36. ^ Najeebabadi 2000, hlm. 210.
  37. ^ Wellhausen 1927, hlm. 311.
  38. ^ Cobb 2000, hlm. 822.
  39. ^ Kennedy 2016, hlm. 107.
  40. ^ Izalat al-Khafa, hlm. 77 bagian 7.
  41. ^ Ibnu Watiniyah. Ibu Sekuat Seribu Lelaki. Puspa Swara. hlm. 17-18. ISBN 9791479925, 9789791479929. Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)

  • Biesterfeldt, Hinrich; Günther, Sebastian (2018). The Works of Ibn Wāḍiḥ al-Yaʿqūbī (Volume 3): An English Translation. Leiden: Brill. ISBN 978-90-04-35621-4. 
  • Cobb, P. M. (2000). "ʿUmar (II) b. ʿAbd al-ʿAzīz". Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. The Encyclopedia of Islam, New Edition, Volume X: T–U. Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 90-04-11211-1. 
  • Eisener, R. (1997). "Sulaymān b. ʿAbd al-Malik". Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. The Encyclopedia of Islam, New Edition, Volume IX: San–Sze. Leiden: E. J. Brill. hlm. 821–822. ISBN 90-04-10422-4. 
  • Hawting, G. R. (2000). The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661–750 (2nd Edition). London and New York: Routledge. ISBN 0-415-24072-7. 
  • Hinds, Martin, ed. (1990). The History of al-Ṭabarī, Volume XXIII: The Zenith of the Marwānid House: The Last Years of ʿAbd al-Malik and the Caliphate of al-Walīd, A.D. 700–715/A.H. 81–95. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-88706-721-1. 
  • Kennedy, Hugh N. (2004). The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Second). Harlow, UK: Pearson Education Ltd. ISBN 0-582-40525-4. 
  • Kennedy, Hugh N. (2016) [2004]. The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the 6th to the 11th Century (edisi ke-Third). London and New York: Routledge. ISBN 978-1-138-78760-5. 
  • Najeebabadi, Akbar Shah (2000). The History Of Islam; Volume Two. Riyadh, Arab Saudi: Darussalam. 
  • Powers, Stephan, ed. (1989). The History of al-Ṭabarī, Volume XXIV: The Empire in Transition: The Caliphates of Sulaymān, ʿUmar, and Yazīd, A.D. 715–724/A.H. 96–105. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-0072-2. 
  • Powers, David Stephan (1990). The History of al-Tabari, Vol. XXIV., The Empire in Transition; The Caliphates of Sulayman, ‘Umar, and Yazid. New York: State University of New York Press. 
  • Wellhausen, Julius (1927). The Arab Kingdom and its Fall. Diterjemahkan oleh Margaret Graham Weir. Calcutta: University of Calcutta. OCLC 752790641. 
  • Wink, André (2002) [first published 1996], Al-Hind: The Making of the Indo-Islamic World (edisi ke-Third), Brill, ISBN 978-0391041738 

Umar bin Abdul-Aziz

Marwani

Cabang kadet Bani Umayyah

Lahir: 2 November 682 Wafat: 4 Februari 720
Jabatan Islam Sunni
Didahului oleh:
Sulaiman bin 'Abdul Malik
Khalifah
22 September 717 – 5 Februari 720
Diteruskan oleh:
Yazid bin 'Abdul Malik

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Umar_bin_Abdul-Aziz&oldid=21053721"