Show
Keberagaman adalah hal mutlak di Indonesia. Seperti yang Anda tahu, terdapat banyak suku, ras, agama, etnik dan keberagaman lain yang justru membuat Indonesia makin “kaya”. Oleh karenanya, Regina Pacis percaya bahwa keberagaman ini adalah suatu hal baik. Manfaat keberagaman di lingkungan sekolah justru akan semakin mendukung proses belajar dan mengajar, seperti dalam hal menumbuhkan rasa saling menghormati, memahami perbedaan, meningkatkan toleransi, dan lainnya. Siswa akan memahami beragam perbedaanAdanya perbedaan yang datang dari berbagai suku, budaya, agama, ras, dan etnik tentunya akan memberikan pembelajaran pada siswa bahwa Indonesia kaya akan keberagaman. Manfaat keberagaman di lingkungan sekolah ini akan menjadi contoh nyata kepada siswa bahwa meskipun ada banyak suku dan ras, kita semua tetap bisa rukun dan bersatu. Misalnya, kebanyakan siswa yang tinggal di Kota Jakarta cenderung lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia maupun Betawi. Lalu, ketika berada di sekolah, ia bertemu dengan teman yang berasal dari suku Jawa dan Sunda. Maka, secara otomatis di antara anak-anak ini terdapat beragam perbedaan kebiasaan maupun bahasa. Dengan memahami adanya perbedaan ini, maka akan muncul penerimaan bahwa setiap individu memiliki karakteristik masing-masing. Memupuk rasa saling menghormatiManfaat keberagaman di lingkungan sekolah secara lebih lanjut akan memupuk rasa saling menghormati. Siswa telah mengerti bahwa adanya keunikan dalam hal agama, suku, ras, etnik dan lain sebagainya menghasilkan banyak perbedaan. Namun, bukan berarti perbedaan tersebut buruk. Sebaliknya, perbedaan itulah yang menguatkan dan menyatukan Indonesia. Oleh karena itu, siswa akan mengerti bahwa keberagaman harus dihormati, serta tidak mengejek maupun memaksa. Memunculkan toleransiLingkungan sekolah yang majemuk, terdiri dari berbagai macam budaya, etnik, hingga agama, akan menuntut siswa untuk dapat saling menghormati. Setelah siswa bisa menghormati, maka berikutnya ia akan dapat memupuk rasa toleransi dalam dirinya. Ketika ia sudah memiliki rasa toleransi, maka ia dapat menerima dan menghargai berbagai keragaman tersebut. Inilah manfaat keberagaman di lingkungan sekolah, di mana siswa dapat belajar hal baru, termasuk saling menerima kebiasaan dan pilihan orang lain. Bisa belajar mengenai budaya lainSisi positif adanya keanekaan di lingkungan sekolah bisa pula menjadi pembelajaran siswa tentang budaya, adat, dan etnik dari kelompok lain. Ini merupakan pengetahuan yang berharga dan tidak semua anak bisa mengalami tinggal di lingkungan yang beragam. Dengan adanya keberagaman adat istiadat, bahasa, dan kebudayaan di dalam lingkungan sekolah, siswa secara nyata dikenalkan langsung dengan budaya lain. Ujungnya, wawasan budayanya akan semakin bertambah. Belajar bersosialisasiLingkup sekolah merupakan lingkungan di mana siswa dapat berlatih untuk bersosialisasi dengan lebih banyak orang selain anggota keluarga di rumah. Ia akan berinteraksi dengan teman satu kelas, kakak kelas, adik tingkat, guru, penjaga kantin, satpam, dan warga sekolah lain. Bila keberagaman budaya tercipta di lingkungan sekolah, maka kemampuan bersosialisasi siswa akan makin terasah. Misalnya, ia bertemu dengan teman yang berasal dari luar Jakarta dan kebetulan memiliki suku berbeda. Maka, ia secara tidak langsung akan menyesuaikan sikap dan serta caranya berkomunikasi agar bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan temannya ini. Ke depannya, ia akan terlatih untuk menjalin pertemanan dengan banyak siswa dari latar belakang beragam. Kemajemukan di lingkungan sekolah memang terbukti bisa menjadi pembelajaran sekaligus latihan bagi siswa agar dapat memahami serta menghormati latar belakang setiap orang. Siswa akan jadi orang yang terbuka, serta mampu berteman dengan siswa lain meski bukan berasal dari suku maupun ras yang sama. Manfaat keberagaman di lingkungan sekolah akan membangun karakter anak sebagai orang yang menghargai pilihan orang lain serta selalu membawa kedamaian pada lingkungan sekitar.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang memiliki keragaman budaya. Dengan latar belakang kesukuan, agama maupun ras yang berbedabeda. Selain memiliki beragam budaya yang khas, juga memiliki 1.128 lebih suku bangsa yang bermukim di ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke. Fenomena kemajemukan Indonesia terlihat dari jumlah, komposisi dan sebaran penduduk berdasarkan aspek-aspek sosial budaya. Dilihat dari komposisi penduduknya, Suku Jawa terbesar mencapai 40,2% dari populasi penduduk Indonesia. Diikuti Suku Sunda (15,5%), Suku Batak (3,6%), suku asal Sulawesi selain Suku Makassar, Bugis, Minahasa dan Gorontalo, serta Suku Madura (3,03%). Dilihat dari pemeluk agamanya, Islam yang terbesar (87,18%), diikuti Kristen (6,96%), Katolik (2,91%), Hindu (1,69%), Budha (0,72%), Kong Hu Cu (0,05), dan agama lainnya. Keragaman juga terlihat dari bahasa daerahnya. Yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian dan rumah tangga 79,5%, bahasa Indonesia 19,9% dan sisanya 0,3% menggunakan bahasa asing. Selain kemajemukan budaya, kesatuan bangsa Indonesia juga didasari oleh kesatuan pandangan, ideologi serta falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara. Yang secara holistik_ tercermin dalam sila-sila Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Dan secara eksplisit tercantum dalam lambing negara yang bertuliskan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna “beraneka ragam (suku bangsa, agama, bahasa) namun tetap satu (Indonesia). Meskipun berbeda, namun tetap sama di bidang hukum, hak dan kewajiban serta kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan. Indonesia adalah negara multikultural, tapi bukan negara multikulturalis. Karena itu multikulturalisme tidak menjadi solusi dalam pengelolaan keragaman di Indonesia. Beberapa kategori multikulturalisme justru menjadi problem di Indonesia. Multikulturisme akibat keberadaan masyarakat yang beragam, sebenarnya memiliki ekses negatif berupa potensi konflik sosial. Sebagai akibat perbedaan yang terdapat dalam masyarakat karena nilai-nilai budaya yang dilatarbelakangi sosio kultural. Multikulturalisme juga akan menimbulkan perilaku eksklusif berupa kecenderungan memisahkan diri dari masyarakat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan mendominasi masyarakat lainnya. Nilai negative lain yang harus dihindari adalah pandangan deskriminatif berupa sikap membeda-bedakan perlakuan sesama anggota masyarakat yang dapat menimbulkan prasangka bersifat subjektif karena munculnya sifat/watak dari suatu golongan. Meskipun konflik terkadang sering didominasi oleh isu-isu yang lebih bersifat politik dan ekonomi, namun konflik karena ekses keragaman budaya tetap harus menjadi perhatian utama. Jika tidak, kondisi masyarakat yang beragam sangat mudah terpecah dengan isu-isu menyangkut agama, kebudayaan, ras dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, konflik rasial dan konflik agama yang pernah terjadi selama ini cepat sekali membesar dan membutuhkan penanganan serius dari pemerintah. Konflik yang pernah terjadi mengakibatkan perubahan norma-norma sosial, pola-pola sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, serta susunan kekuasa an dan wewenang. Yang dibutuhkan dalam situasi seperti itu adalah sikap toleransi. Sikap yang menghormati perbedaan luasnya pandangan manusia karena faktor yang memengaruhinya dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai masyarakat atau lainnya. Juga sikap menghargai perbedaan sesuai norma dan hukum yang berlaku di masyarakat dan negara; tidak membicarakan keburukan orang lain tanpa alasan atau pembuktian; memahami perasaan orang lain. Selain itu, berbicara santun sesuai norma kesopanan atau adat; toleransi saat umat lain beribadah sesuai norma agama; tidak memaksakan kehendak; menerima perbedaan dengan saling memahami dan menjalin keberagaman Indonesia; serta menghargai hak pribadi orang lain termasuk pilihan menentukan agama dan kepercayaannya. Selain berpeluang menimbulkan konflik sosial, keberagaman dan kemajemukan budaya juga berpotensi menimbulkan perubahan sosial. Menurut Selo Soemardjan, perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilainilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. John Lewis Gillin dan John Philip Gillin melihat perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideolog, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Contoh perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah demonstrasi. Perubahan sosial budaya lainnya adalah modernisasi yang merujuk pada sebuah transformasi dari keadaan yang kurang maju atau kurang berkembang ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih berkembang, maju, dan makmur. Modernisasi tidak sekadar menyangkut aspek material, melainkan juga aspek imateriel seperti pola pikir, tingkah laku, dan lain sebagainya. Juga fenomena globalisasi memengaruhi seluruh aspek penting kehidupan, termasuk sosial budaya. Selo Soemardjan menyebut globalisasi sebagai terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antarmasyarakat di seluruh dunia untuk mengikuti sebuah sistem dan kaidah yang sama. Bagaimana agar tidak terjadi gesekan dalam keberagaman budaya? Proses asilimilasi menjadi penting. Asimilasi adalah proses perpaduan dua kebudayaan atau lebih yang terjadi di dalam kehidupan masyakat, hingga membentuk kebudayaan baru yang bisa diterima berbagai pihak. Menurut Koentjaraningrat (1996), asimilasi adalah proses perubahan sosial dalam masyarakat yang terjadi karena adanya perkembangan dan hubungan interaksi sosial yang terus menerus dan serius. Kondisi ini mendorong masyarakat membaurkan kebudayaan yang ada dalam upaya mengakomodasi semua pihak dalam menata bentuk keteraturan sosial yang sudah ada. Ciri asimilasi adalah berkurangnya perbedaan karena adanya usaha untuk mengurangi dan menghilangkan perbedaan antarindividu atau kelompok, mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama. Namun perlu disadari, dalam asimilasi juga terdapat faktor penghambat berupa: masih adanya kebudayaan dalam masyarakat yang terisolasi dari perkembangan zaman atau memilih untuk menutup diri dan tetap kokoh dengan pendiriannya; minimnya wawasan dan pengetahuan tentang beragam kemajuan yang ada; serta terdapatnya prasangka negatif dalam masyarakat terhadap kelompok pendatang baru. Selain asimilasi, ada proses akulturasi atau proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu (Koentjaraningrat: 2003:155). Akulturasi adalah cara yang sangat efektif dalam proses penyatuan Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI). Apalagi Indonesia adalah Negara kepulauan. Apabila keberagaman budaya tidak disertai faktor pemersatu, dikhawatirkan akan timbul gesekan atau benturan. Apalagi jika budaya hoaks tak terbendung. Maka relevan apa yang disampaikan Khasdyah Dwi Dewi Setyoningtias jika akulturasi budaya adalah hal yang sangat tepat untuk menyatukan bangsa Indonesia. Tanpa adanya akulturasi budaya, masyarakat Indonesia akan runyam dengan sendirinya, karena sifat etnosentrisme masyarakat Indonesia masih tinggi. Kemajemukan budaya Indonesia juga memunculkan pluralisme. Pendekatan pluralisme dapat dilakukan melalui penyerbukan silang antarbudaya Pendekatan ini telah dicetuskan Eddie Lembong, tokoh keturunan etnis Tionghoa dan pendiri Yayasan Nabil (Nation Building). Dalam mendekati pluralism di Indonesia ide penyerbukan silang antarbudaya, menempatkan keragaman budaya Indonesia dapat dikelola sebagai suatu strategi dalam mengelola pluralisme di Indonesia. Budaya-budaya yang unggul diserbuk-silangkan dengan budaya unggul etnis lain sehingga muncullah satu budaya alternatif. Penyerbukan silang antarbudaya (cross cultural fertilization) berbeda dengan ide multikulturalisme. Selanjutnya, dibutuhkan restorasi. Karena menurut Masrudi Ahmad Sukaepa, hal paling berharga yang dimiliki bangsa kita adalah keragaman budaya dan kepribadian yang luhur. Jika itu hilang, maka kehidupan bangsa akan rapuh dan mudah goyah karena invasi negara lain. Kita terjebak dalam hegemoni mental yang menyebabkan gaya hidup individualistis dan hedonisme, sehingga inti kebangsaan hilang. Kehidupan berbangsa tidak tenteram karena dikuasai budaya atau gaya hidup bangsa asing. Itulah sebabnya restorasi budaya menjadi sangat urgen dan relevan. Bahkan, menjadi kebutuhan bangsa dalam situasi kekinian yang sudah mulai bergeser dari kaidah hidup yang luhur. Restorasi akan mengembalikan tata hidup menjadi pilihan yang niscaya. Setidaknya budaya yang lahir dari kearifan lokal akan mendistorsi transformasi budaya asing yang begitu kuat menggerus kepribadian dasar bangsa kita yang ramah, saling menghargai, persaudaraan yang kuat, bergotong royong, menjunjung keadilan, beradab dan pastinya berketuhanan Yang Maha Esa. Terkait dengan keberagaman budaya ini, para pendiri bangsa telah menyadari akan menjadi masalah krusial dan sensitif. Untuk membentenginya yakni dengan mengokohkan Pancasila sebagai ideologi serta menjaga tradisi lokal yang menjadi akar budaya sumber nilai-nilai luhur bangsa kita. Tanpa menjaga dan memeliharanya, kita tinggal menunggu waktu tumbangnya karena tidak memiliki lagi akar yang kuat. Sebelum negara ini berdiri, Mpu Tantular bahkan telah mencoba memaknai keberagaman. Kemajemukan telah menginspirasi lahirnya konsep pluralisme. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan atas kemajemukan bangsa. Keragaman termasuk dalam berkeyakinan harus dipahami, bukan diper tentangkan. Kalau tidak, akan menimbulkan kebencian yang menyulut perpecahan seperti pengalaman di Perancis kini. Ironis memang, yang sebelumnya Perancis ter kenal sebagai negara mode, seni dan terbuka untuk pendatang. Sekarang tertimpa prahara karena gesekan antaragama. Kini Perancis tidak lagi kota ramah, tapi penuh amarah. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita semua. *) Pemerhati Masalah Ekonomi dan Kemanusiaan, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama, Universitas Muhammadiyah Bandung Editor : Gora Kunjana ()
Baca berita lainnya di GOOGLE NEWS |