Bapak, Ibu, Saudara, Pemirsa Mimbar Kristen Kementerian Agama dan umat Kristen Indonesia yang saya kasihi. Renungan hari ini mengangkat tema: “Berdamai Dengan Diri Sendiri.” Show
“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1 Yohanes 1:9) Bapak, Ibu, Saudara yang kekasih di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Apakah syarat untuk berdamai dengan diri sendiri? Syaratnya adalah harus berani mengaku dosa di hadapan Tuhan. Lalu apa yang dikatakan berdamai dengan diri sendiri itu? Berdamai dengan diri sendiri adalah orang yang mampu menjaga tingkat kedamaian dan kesejahteraan di dalam hidupnya tanpa dipengaruhi oleh keadaan apapun, baik di dalam maupun di luar kehidupannya. Bapak, Ibu dan Saudara. Ada beberapa prinsip mengalami damai sejahtera. Pertama, di mana ada kekudusan dan kebenaran, di situlah ada damai sejahtera (Yesaya 57:51). Kedua, damai sejahtera hanya ada di dalam diri Tuhan Yesus Kristus (Efesus 2:14). Dan ketiga, damai sejahtera tidak akan pernah terjadi jikalau hal baik dan hal jahat tetap bersatu. Bapak, Ibu dan Saudara. Mengapa orang sulit berdamai dengan diri sendiri? Hari ini, mari kita belajar, mengapa orang sulit berdamai dengan diri sendiri. Pertama, karena masih keras kepala. Dalam Kejadian 4:6-7 dijelaskan: “Firman TUHAN kepada Kain: "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya." Alasan pertama mengapa kita sulit berdamai dengan diri sendiri adalah karena keras kepala atau tegar tengkuk. Orang yang keras kepala, tidak mau menurut nasihat manusia. Penyebab keras kepala adalah selalu menutupi kekurangannya dan selalu menutupi kesalahannya. Akibatnya adalah orang yang memiliki sikap keras kepala itu sulit diajak berdiskusi, sulit diajak ngomong baik-baik dan sulit memiliki teman atau sahabat. Padahal, seorang pembawa damai itu adalah orang yang selalu setia kepada Firman Tuhan dan menjadikan Firman itu sebagai landasan hidup walau banyak yang harus dihadapi dalam tantangan. Pembawa damai adalah orang yang berani menghadapi semua persoalan dan kesulitan yang ada tanpa berniat untuk menghindar apalagi lari dari kenyataan yang dihadapi. Pembawa damai adalah mereka yang berani mengambil keputusan dalam situasi sulit apapun agar tidak terjerat dalam lingkaran kesulitan yang berlarut-larut. Saudara, kalau damai itu definisinya seperti itu sementara pembawa damai belum berdamai dengan diri sendiri, mana mungkin akan terjadi kedamaian? Alasan kedua mengapa orang sulit berdamai dengan dirinya sendiri adalah karena masih hidup dalam kesombongan dan keangkuhan. Dalam Yesaya 2:11 dijelaskan, “Manusia yang sombong akan direndahkan, dan orang yang angkuh akan ditundukkan; dan hanya Tuhan sajalah yang Maha Tinggi pada hari itu.” Orang sombong hanya menghargai dirinya sendiri dan secara berlebihan, orang sombong maunya dianggap hebat dari yang lain, orang sombong suka merendahkan orang lain dan tidak mau menghargai orang lain. Padahal, pembawa damai itu berarti hanya berniat untuk selalu berbuat kebaikan bagi sesamanya. Pembawa damai itu berarti orang yang rela berkorban menahan diri walaupun harus menderita dan yang penting tidak terjadi keributan atau kekacauan. Pembawa damai selalu mengutamakan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan diri sendiri. Kalau damai itu definisinya atau artinya begitu sementara yang membawa damai belum mengalami damai pribadi, yaitu masih ada suatu kesombongan, mana mungkin damai itu akan terjadi. Alasan ketiga mengapa orang sulit berdamai dengan diri sendiri, karena masih hidup dalam kemunafikan. Dalam 1 Yohanes 4:20 dijelaskan, “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Orang munafik selalu mengatakan yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Orang munafik selalu ingin terlihat baik, sementara dia itu adalah tidak baik. Orang munafik adalah orang yang bermuka dua. Padahal, pembawa damai itu ibarat pertemuan orang yang saling berjabat tangan atau salaman, hingga ada keinginan untuk merasakan damai. Tidak ada kesombongan, kebohongan, benci, dan gosip di setiap percakapan dalam pertemuan tersebut. Bahkan, percakapan yang terjadi hanya menyenangkan hati tanpa ada unsur ketidakbaikan. Pembawa damai adalah orang yang selalu pro aktif untuk melakukan yang baik, selalu menyelesaikan setiap masalah dan persoalan yang ada. Pembawa damai adalah orang yang tidak pernah kecil hati pada saat orang lain tidak menghargai apa yang ia lakukan, meski dia telah melakukannya dengan penuh pengorbanan dan perjuangan keras. Kalau pengertian damai yang seperti itu sementara pembawa damai masih munafik, apakah akan terjadi damai? Tidak mungkin. Bapak, Ibu dan Saudaraku. Oleh sebab itu, agar dapat berdamai dengan diri sendiri, maka kita harus berhenti hidup dari keras kepala, berhenti hidup dari kesombongan dan keangkuhan, berhenti hidup dari kemunafikan. Bapak, Ibu dan Saudara. Keberadaan orang percaya seharusnya selalu membawa damai bagi semua orang. Sebab, membawa damai berarti mengekspresikan kasih Allah. Bukan sebaliknya, kita justru menjadi batu sandungan dan membuat orang lain kecewa dan sakit hati. Bukti bahwa kita sudah menjalankan tugas pendamaian adalah ketika hidup kita sudah menjadi kesaksian bagi banyak orang. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” Oleh karena itu, libatkan selalu Allah dalam langkah kehidupan kita, maka sebutan anak-anak Allah akan menjadi predikat dalam kehidupan kita. Kalau kita disebut anak-anak Allah, maka kita adalah ahli waris di dalam kerajaan Sorga. Oleh sebab itu, marilah kita terus-menerus mengoreksi diri kita, membereskan hidup kita, senantiasa bertobat secara sungguh-sungguh, tetap memelihara iman kepada Tuhan Yesus dan hubungan kasih dengan sesame, supaya hubungan kita dengan Tuhan semakin akrab, semakin karib sehingga Tuhan sayang kepada kita. Amin. Pdt. Hariyadi, M.Th. (Ketua Sinode Gereja Anugerah Injil Sepenuh) (sumber: kemenag.go.id) Bab 2: ‘Damai Sejahtera-Ku Kuberikan Kepadamu’
Bab 2 “Kedamaian dapat datang kepada individu hanya melalui penyerahan diri tanpa syarat—penyerahan diri kepada-Nya yang adalah Raja Damai, yang memiliki kuasa untuk menganugerahkan kedamaian.”
Salah seorang teman sejawat Presiden Howard W. Hunter dalam Kuorum Dua Belas Rasul menggambarkan dia sebagai seorang yang “memiliki kesabaran luar biasa yang datang dari kedamaian batiniah yang besar.”1 Presiden Hunter sering berbicara tentang kedamaian batin, mengajarkan bahwa seseorang dapat menerimanya hanya dengan berpaling kepada Allah—dengan memercayai-Nya, menjalankan iman, dan berusaha melakukan kehendak-Nya. Kedamaian seperti itu menolong mendukung dia melalui banyak masa yang sulit. Pada akhir tahun 1975 seorang dokter merekomendasikan operasi otak untuk istri Presiden Hunter, Claire. Presiden Hunter bergumul mengenai apakah operasi tersebut merupakan yang terbaik bagi Claire, karena itu akan melemahkan tubuhnya yang rentan dan mungkin tidak akan memperbaiki kondisinya. Dia pergi ke bait suci, berunding dengan para anggota keluarga, dan segera merasakan bahwa operasi tersebut memberikan harapan terbaik untuk memberikan pertolongan bagi Claire. Menggambarkan perasaannya pada hari operasi, dia menulis: “Saya bersamanya hingga ke pintu-pintu ruang operasi, memberikan kecupan kepadanya, dan dia dibawa melalui pintu-pintu itu. Sementara waktu berlalu, saya menunggu dan bertanya-tanya .… Tiba-tiba rasa cemas yang tegang berubah menjadi perasaan damai. Saya tahu bahwa keputusan yang benar telah dibuat dan bahwa doa-doa saya telah dijawab.”2 Pada tahun 1989, Presiden Hunter memiliki pengalaman lain di mana dia merasakan kedamaian di saat yang sulit. Dia berada di Yerusalem untuk mendedikasikan Pusat Yerusalem untuk Kajian Timur Dekat Universitas Brigham Young. Beberapa kelompok telah memprotes keberadaan Gereja di Yerusalem, dan sebagian orang telah mengancam dengan kekerasan. Salah seorang pembicara dalam pendedikasian tersebut adalah Penatua Boyd K. Packer dari Kuorum Dua Belas, yang belakangan menuturkan insiden ini: “Sewaktu saya berbicara, ada sedikit keributan di belakang aula. Pria-pria berpakaian seragam militer telah memasuki ruangan. Mereka mengirimkan sebuah catatan kepada Presiden Hunter. Saya berpaling dan meminta petunjuk. Dia berkata, ‘Ada ancaman bom. Apakah Anda takut?’ Saya berkata, “Tidak.’ Dia berkata, ‘Saya juga tidak; silakan selesaikan ceramah Anda.’”3 Kebaktian pendedikasian diteruskan tanpa insiden; tidak ada bom. Dalam situasi-situasi seperti ini, Presiden Hunter percaya pada janji kedamaian ini dari Juruselamat, yang sering dia kutip: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu: dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yohanes 14:27). Kita harus “memfokuskan pandangan kita kepada Yesus” dan tidak pernah “memalingkan fokus pandangan kita dari Dia kepada siapa kita harus percaya.” 1 Dalam meramalkan kelahiran Kristus lebih dari 700 tahun sebelum itu terjadi, Nabi Yesaya menggunakan sebutan-sebutan yang mengungkapkan kekaguman yang luar biasa .… Salah satu dari sebutan-sebutan ini yang khususnya menarik di dunia kita saat ini adalah “Raja Damai” (Yesaya 9:6). “Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan,” dinyatakan Yesaya (ayat 7). Betapa ini merupakan harapan yang menggetarkan hati bagi dunia yang sudah bosan dengan perang dan terbebani dosa!4 Kedamaian yang dirindukan dunia adalah saat dihentikannya perseteruan; tetapi manusia tidak menyadari bahwa kedamaian adalah keadaan keberadaan yang datang kepada manusia hanya dengan ketentuan dan syarat yang ditetapkan oleh Allah, dan tidak dengan cara lain. Dalam mazmur di Kitab Yesaya terdapat kata-kata ini: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya.” (Yesaya26:3). Kedamaian sempurna yang disebutkan oleh Yesaya ini datang kepada seseorang hanya melalui suatu kepercayaan kepada Allah. Ini tidak dipahami oleh dunia yang tidak percaya. Pada kesempatan terakhir ketika Yesus mengadakan perjamuan malam bersama Dua Belas, Dia membasuh kaki mereka, memecah-memecahkan roti bagi mereka, dan mengedarkan cawan kepada mereka; kemudian, setelah Yudas pergi dari tengah-tengah mereka, Guru berbicara kepada mereka berkepanjangan. Di antaranya, Dia memberi tahu tentang kematian-Nya yang akan segera datang dan tentang pusaka warisan yang Dia tinggalkan bagi mereka masing-masing. Dia tidak mengumpulkan barang, harta benda, tidak pula kekayaan. Catatan tersebut memberi tahu kita bahwa tidak ada harta milik selain pakaian yang Dia kenakan, dan pada keesokan harinya setelah penyaliban ini pun akan dibagi-bagi oleh para serdadu, yang akan mengundi untuk jubah-Nya. Pusaka warisan-Nya diberikan kepada para murid-Nya dalam bentuk kata-kata yang sederhana namun dalam ini: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yohanes 14:27). Dia menggunakan bentuk salam dan doa orang Yahudi: “Damai Sejahtera-Ku Kuberikan Kepadamu” Ucapan salam dan pusaka warisan ini bukan untuk mereka ambil dalam arti biasa, karena Dia berfirman, “… apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” Bukan harapan kosong, bukan sekadar upacara basa-basi, sebagaimana orang dunia menggunakan kata-kata tersebut sebagai masalah budaya; tetapi sebagai pemrakarsa dan Raja Damai, Dia memberikannya kepada mereka. Dia melimpahkannya kepada mereka dan berfirman, “Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Dalam beberapa jam mereka akan mengalami masalah, tetapi dengan kedamaian-Nya mereka dapat mengatasi rasa takut dan tetap berdiri teguh. Pernyataan-Nya yang terakhir kepada mereka sebelum menutup doa pada malam yang mengesankan itu adalah ini: “… dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33.).5 2 Hanya ada satu tangan yang membimbing di alam semesta, hanya satu terang yang benar-benar sempurna, satu mercusuar yang tidak pernah gagal bagi dunia. Terang itu adalah Yesus Kristus, terang dan hidup dunia, terang yang oleh seorang nabi Kitab Mormon gambarkan sebagai “terang yang tanpa akhir, yang tidak pernah dapat digelapkan.” (Mosia 16:9). Sewaktu kita mencari pantai keselamatan dan kedamaian, baik kita wanita dan pria secara individu, keluarga, komunitas, ataupun bangsa, Kristus adalah satu-satunya mercusuar yang padanya kita dapat pada akhirnya bersandar. Dia adalah yang mengatakan tentang misi-Nya, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” (Yohanes 14:6) .… Pertimbangkan, misalnya, petunjuk ini dari Kristus kepada para murid-Nya. Dia berfirman, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5:44). Pikirkan manfaat apa yang akan diberikan petuah ini saja terhadap lingkungan tempat tinggal Anda dan saya, di komunitas di mana Anda dan anak-anak Anda tinggal, di negara-negara yang membentuk keluarga global kita yang besar. Saya menyadari ajaran ini menimbulkan tantangan yang signifikan, tetapi pastinya ini merupakan tantangan yang lebih ramah daripada tugas-tugas menakutkan yang ditimbulkan bagi kita oleh peperangan dan kemiskinan serta rasa sakit yang terus dihadapi dunia.6 Ketika kita berusaha menolong mereka yang telah menyakiti kita, ketika kita berdoa bagi mereka yang telah dengan curang memanfaatkan kita, kehidupan kita dapat menjadi indah. Kita dapat memiliki kedamaian ketika kita mencapai kesatuan dengan Roh dan dengan satu sama lain sewaktu kita melayani Tuhan dan menaati perintah-perintah-Nya.7 Dunia tempat kita tinggal, apakah dekat rumah ataupun jauh, membutuhkan Injil Yesus Kristus. Injil menyediakan satu-satunya jalan bagi dunia mengenal kedamaian .… Kita membutuhkan dunia yang lebih damai, tumbuh dari keluarga dan lingkungan serta komunitas yang lebih damai. Untuk memperoleh dan memupuk kedamaian semacam itu, “kita haruslah mengasihi sesama, bahkan musuh-musuh kita seperti juga teman-teman kita” [Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Joseph Smith (2007), 457] .… Kita perlu mengulurkan tangan persahabatan. Kita perlu menjadi lebih baik hati, lebih lemah lembut, lebih mengampuni, dan lebih lambat untuk marah.8 Cara utama Allah bertindak adalah melalui bujukan dan kesabaran serta kepanjangsabaran, bukan melalui pemaksaan dan konfrontasi langsung. Dia bertindak melalui ajakan yang lembut dan melalui bujukan yang manis.9 Tidak ada janji kedamaian kepada mereka yang menolak Allah, kepada mereka yang tidak mau menaati perintah-perintah-Nya, atau kepada mereka yang melanggar hukum-hukum-Nya. Nabi Yesaya berbicara tentang kemerosotan dan korupsi para pemimpin dan kemudian melanjutkan dalam petuah-petuahnya dengan mengatakan: “Tetapi orang-orang fasik adalah seperti laut yang berombak-ombak sebab tidak dapat tetap tenang, dan arusnya menimbulkan sampah dan lumpur. Tiada damai bagi orang-orang fasik itu, firman Allahku.” (Yesaya 57:20–21) .… … Pengabaian terhadap Juruselamat atau kegagalan menaati perintah-perintah Allah mendatangkan kegelisahan, gejolak batin, dan perselisihan. Ini adalah kebalikan dari kedamaian. Kedamaian dapat datang kepada individu hanya melalui penyerahan diri tanpa syarat—penyerahan diri kepada-Nya yang adalah Raja Damai, yang memiliki kuasa untuk menganugerahkan kedamaian.10 Kesulitan-kesulitan dunia yang sering diungkapkan dalam berita utama surat kabar yang mengejutkan hendaknya mengingatkan kita untuk mengupayakan kedamaian yang datang dari menjalankan asas-asas sederhana Injil Kristus. Kelompok minoritas yang menyusahkan tidak akan mengganggu ketenangan jiwa kita jika kita mengasihi sesama kita dan memiliki iman pada kurban pendamaian Juruselamat dan kepastian tenang yang Dia berikan tentang kehidupan abadi. Di mana kita menemukan iman seperti itu di dunia yang bergejolak? Tuhan berfirman, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetuk, baginya pintu dibukakan.” (Lukas 11:9–10).11 Tampaknya bahwa dua kebenaran kekal harus diterima oleh semua orang jika kita ingin menemukan kedamaian di dunia ini dan kehidupan kekal di dunia yang akan datang. (1) Bahwa Yesus adalah Kristus, Putra kekal sejati dari Bapa Surgawi kita, yang datang ke bumi untuk tujuan yang jelas menebus umat manusia dari dosa serta kubur, dan bahwa Dia hidup untuk membawa kita kembali ke hadirat Bapa. (2) Bahwa Joseph Smith adalah Nabi-Nya, dibangkitkan di zaman akhir ini untuk memulihkan kebenaran yang telah hilang bagi umat manusia karena pelanggaran. Jika semua orang mau menerima dan menjalankan dua kebenaran dasar ini, kedamaian akan didatangkan ke dunia.12 Jika Anda, Anda sendiri, melawan … godaan-godaan dan memutuskan untuk berusaha setiap hari, untuk menjalankan Hukum Panen dengan pemikiran dan kebiasaan yang bermoral serta bersih, dengan melakukan segala urusan secara lurus dan jujur, dengan integritas dan kesungguhan dalam penelaahan Anda, dengan puasa, doa, dan ibadat, Anda akan menuai panen kebebasan dan kedamaian batin serta kemakmuran.13 Kehidupan yang dipenuhi dengan pelayanan yang tak mementingkan diri juga akan dipenuhi dengan kedamaian yang melampaui pemahaman .… Kedamaian ini dapat datang hanya melalui menjalankan asas-asas Injil. Asas-asas ini merupakan program dari Sang Raja Damai.14 Begitu banyak di dunia kita yang dimaksudkan untuk menghancurkan … kedamaian pribadi melalui dosa dan godaan yang ribuan jenisnya. Kita berdoa agar kehidupan para Orang Suci akan dijalankan selaras dengan teladan ideal yang diberikan bagi kita oleh Yesus dari Nazaret. Kita berdoa agar upaya-upaya Setan akan dikalahkan, agar kehidupan pribadi dapat menjadi damai dan tenteram, agar keluarga-keluarga dapat menjadi dekat dan peduli dengan setiap anggota, agar lingkungan dan pasak, cabang serta distrik dapat membentuk tubuh Kritus yang agung, memenuhi setiap kebutuhan, meredakan setiap nyeri, menyembuhkan setiap luka sampai seluruh dunia, seperti yang dimohonkan oleh Nefi, akan “maju terus dengan ketabahan di dalam Kristus, memiliki kecemerlangan harapan yang sempurna, dan kasih bagi Allah dan bagi semua orang .… “Saudara-saudara terkasihku,” Nefi melanjutkan, “inilah jalannya; dan tidak ada jalan lain.” (2 Nefi 31:20–21).15
wanita mengurapi kaki Kristus “Kehidupan yang dipenuhi dengan pelayanan yang tak mementingkan diri juga akan dipenuhi dengan kedamaian yang melampaui pemahaman.” 3 Juruselamat dapat menolong kita menemukan kedamaian terlepas dari kekacauan di sekitar kita.Yesus tidak dikecualikan dari kesedihan dan rasa sakit serta kepedihan dan hajaran. Tidak ada lidah yang dapat mengutarakan beban tak terkatakan yang Dia tanggung, demikian juga kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk memahami uraian Nabi Yesaya tentang Dia sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan.” (Yesaya 53:3). Kapal-Nya terombang-ambing dalam sebagian besar kehidupan-Nya, dan, setidaknya dari sudut pandang fana, itu karam secara parah ditepi pantai Kalvari yang berbatu. Kita diminta untuk tidak melihat kehidupan dengan sudut pandang fana; dengan sudut pandang rohani kita mengetahui sesuatu yang sangat berbeda telah terjadi di atas salib. Kedamaian berada pada bibir dan dalam hati Juruselamat terlepas betapa pun parahnya badai mengamuk. Semoga kita demikian adanya—dalam hati kita sendiri, di rumah kita sendiri, di negara-negara kita di dunia, dan bahkan dalam hajaran-hajaran yang dihadapi dari waktu ke waktu oleh Gereja. Kita hendaknya tidak berharap untuk melewati kehidupan secara individu atau secara kolektif tanpa sejumlah pertentangan.16 Seseorang mungkin hidup di lingkungan yang indah dan damai tetapi, karena pertengkaran dan perpecahan internal, berada dalam kondisi yang terus-menerus bergejolak. Sebaliknya, seseorang mungkin berada di tengah-tengah kehancuran total dan pertumpahan darah akibat perang namun memiliki ketenteraman dari kedamaian tak terucapkan. Jika kita mencari bantuan dari manusia dan cara-cara dunia, kita akan menemukan kekacauan dan kebingungan. Jika kita mau berpaling kepada Allah, kita akan menemukan kedamaian bagi jiwa yang resah. Ini diperjelas oleh firman Juruselamat: “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan” (Yohanes 16:33); dan dalam pusaka warisan-Nya kepada Dua Belas dan kepada seluruh umat manusia, Dia berfirman, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu: tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu .…” (Yohanes 14:27). Kita dapat menemukan kedamaian ini sekarang di dunia yang penuh konflik hanya jika kita mau menerima karunia besar-Nya dan ajakan-Nya lebih lanjut: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Matius 11:28–29). Kedamaian ini melindungi kita dari gejolak duniawi. Pengetahuan bahwa Allah hidup, bahwa kita adalah anak-anak-Nya, dan bahwa Dia mengasihi kita menyejukkan hati yang susah. Jawaban atas pencarian itu terletak pada iman kepada Allah dan kepada Putra-Nya, Yesus Kristus. Ini akan mendatangkan kedamaian kepada kita sekarang dan dalam kekekalan sesudahnya.17 Di dunia ini dengan kekacauan dan kemajuan duniawi yang sibuk, kita perlu kembali pada kesederhanaan Kristus .… Kita perlu menelaah dasar-dasar kebenaran sederhana yang diajarkan oleh Guru dan menghilangkan apa yang kontroversial. Iman kita kepada Allah harus nyata dan tidak spekulatif. Injil Yesus Kristus yang dipulihkan bisa menjadi pengaruh yang dinamis, yang mendalam, dan penerimaan sejati memberi kita pengalaman yang bermakna dan religius. Salah satu kekuatan besar agama Mormon adalah diterapkannya kepercayaan ini ke dalam pemikiran dan tingkah laku sehari-hari. Ini menggantikan kekacauan dan kebingungan dengan kedamaian dan ketenangan.18 4 Dengan memusatkan pandangan kita kepada Yesus, kita dapat menang atas unsur-unsur yang akan menghancurkan kedamaian.Izinkan saya mengingat kembali salah satu cerita besar tentang kemenangan Kristus atas apa yang tampaknya menguji kita dan mencobai kita serta mendatangkan rasa takut ke dalam hati kita. Sewaktu para murid Kristus berangkat dalam salah satu perjalanan yang sering mereka lakukan menyeberangi Danau Galilea, malamnya gelap dan cuacanya buruk serta berbadai. Ombaknya bergejolak dan anginnya bertiup kencang, dan orang-orang yang fana dan lemah ini ketakutan. Sayangnya tiada seorang pun bersama mereka untuk menenangkan dan menyelamatkan mereka, karena Yesus telah ditinggalkan sendirian di tepi danau. Sebagaimana biasanya, Dia mengawasi mereka. Dia mengasihi mereka dan peduli kepada mereka. Di saat kecemasan mereka yang terhebat mereka menengok dan melihat dalam kegelapan sosok dengan jubah yang melambai-lambai, sedang berjalan menuju mereka di bibir danau. Mereka berteriak dengan ketakutan saat melihat pemandangan tersebut, mengira bahwa itu adalah hantu yang berjalan di atas ombak. Dan menembus badai dan kegelapan bagi mereka—sebagaimana begitu sering bagi kita, ketika, di tengah-tengah kegelapan kehidupan, laut tampak sedemikian besarnya dan perahu kita sedemikian kecilnya—datanglah suara kedamaian yang luar biasa dan meyakinkan kembali dengan pernyataan sederhana ini, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut.” Petrus berseru, “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Dan jawaban Kristus kepadanya adalah sama dengan kepada kita semua: “Datanglah.” Petrus melompati sisi perahu dan ke dalam ombak yang bergejolak, dan sementara matanya tertuju kepada Tuhan, angin mungkin mengibaskan rambutnya dan percikan air mungkin membasahi jubahnya, tetapi semuanya baik-baik saja. Hanya ketika dengan iman yang goyah dia melepaskan pandangannya dari Guru untuk melihat gelombang yang bergejolak serta laut yang gelap di bawah dirinya, hanya ketika itu dia mulai tenggelam. Lagi, seperti sebagian besar dari kita, dia berseru, “Tuhan, tolonglah aku.” Dan Yesus pun tidak mengabaikannya. Dia mengulurkan tangan-Nya dan memegang murid yang tenggelam itu dengan hardikan lembut, “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” Kemudian aman di atas perahu kecil mereka, mereka melihat angin berhenti dan deburan ombak menjadi reda. Segera mereka berada di tempat berlindung mereka, pelabuhan yang aman, di mana semua orang berharap akan berada kelak. Awak perahu seperti juga para murid-Nya dipenuhi dengan ketakjuban yang dalam. Sebagian dari mereka memanggil Dia dengan sebutan yang saya nyatakan hari ini: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.” (Diadaptasi dari Farrar, The Life of Christ, hlm.310–313; lihat Matius 14:22–33). Adalah keyakinan teguh saya bahwa jika sebagai individu, sebagai keluarga, komunitas, dan bangsa, kita dapat, seperti Petrus, memfokuskan pandangan kita kepada Yesus, kita juga dapat berjalan dengan kemenangan di atas “gelombang ketidakpercayaan yang menggunung” dan tetap “tak gentar takut di tengah meningkatnya hembusan angin keraguan.” Tetapi jika kita memalingkan fokus pandangan kita dari Dia kepada siapa kita harus percaya, sebagaimana ini begitu mudah dilakukan dan dunia begitu sangat tergoda untuk melakukannya, jika kita memandang pada kuasa dan amukan dari unsur-unsur yang menakutkan dan menghancurkan di sekitar kita alih-alih kepada Dia yang dapat menolong dan menyelamatkan kita, maka tak terelakkan lagi kita akan tenggelam dalam lautan konflik serta dukacita dan keputusasaan. Pada saat-saat seperti itu ketika kita merasakan air bah mengancam untuk menenggelamkan kita dan kedalaman air akan menelan perahu iman kita yang terombang-ambing, saya berdoa semoga kita selalu mendengarkan di tengah-tengah badai dan kegelapan tuturan manis Juruselamat dunia: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Matius 14:27).19
Mazmur 46:11; 85:8; Yesaya 32:17; Markus 4:36–40; Roma 8:6; Galatia 5:22–23; Filipi 4:9; Mosia 4:3; A&P 19:23; 59:23; 88:125 Undanglah anggota kelas untuk memilih salah satu bagian dalam bab yang ingin mereka bahas dan untuk membentuk sebuah kelompok bersama yang lainnya yang memilih bagian yang sama. Imbaulah setiap kelompok untuk membahas pertanyaan terkait pada akhir bab. Catatan
|