Jelaskan apa yang dimaksud dengan manusia sebagai makhluk yang unik dan multidimensi

BAB II

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK

MULTI DIMESIONAL

Bebicara tentang manusia sebagai makhluk multidimesional, Drijarkara dalam bukunya Filsafat manusia (1969:7)>Manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri dan juga menghadapi(menghadapi kodrat). Manusia merupakan kesatuan dengan alam, tapi juga berjarak dengannya. Manusia bisa melakukan apa saja terhadap alam tidak seperti hewan. Lalu manusia selalu berubah dalam situasi, karena dia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia maka ia menyejarah. Banyak arti dari manusia, ini bukti bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional.[1]

Dari sudut sejarah filsafat, Socrates dapat dinilai sebagai filusuf Yunani pertama yang begitu serius dan intensif menjadikan manusia sebagai salah satu tema sentral dalam pememikiran.

Seorang ulama  dan pemikir muslim berkebangsaan Iran, Murtadha Muthahhari dengan pijakan Alquran telah memformulasikan sisi positif manusia. Kedalam telaah yang mengacu pada sumber naqli Islam tersebut menjadi tidak terlalu berlebihan untuk menyatakan identifikasi beliau relative representative terhadap pandangan Islam tentang manusia. “Manusia adalah khalifah Tuhan di Bumi, manusia merupakan makhluk yang mempunyai inteligensi yang paling tinggi, manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan, manusia dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsure surgawi yang luhur, manusia merupakan makhluk pilihan, manusia bersifat bebas dan merdeka.

Mengetengahkan secara paralel sisi positif dan sisi negative manusia sekaligus dengan okjektif merupakan dan seharusnya selalu menjadi karakter kemanusiaan. Ini  sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia seperti dinyatakan oleh Blaise Pascal bahwa manusia, adalah bahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang, dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai manusia. Manusia dalam pengertian yang ada dalam dirinya terdapat unsure positif sekaligus negative , memang tepat disebut sebagai makhluk ganda atau monodualis. Dengan segala potensi keunggulan, kelebihan yang ada padanya, manusia dapat mencapai manusia derajat yang paling tinggi.[2]

Reinhold Niebuhr pernah mengatakan bahwa manusia itu merupakan problema yang membingunkan. Manusia merupakan problema bagi dirinya sendiri. Apakah manusia merupakan anak kecil di dunia ini tak ubahnya seperti binatang dan hanya dapat memberi respons kepada naluri serta keinginan-keinginan kebinatangaannya? Atau apakah manusia itu mempunyai tempat yanga unik dan istimewa di dunia ini, karena ia mempunyai akal yang dapat melakukan interprestasi atau mengungkapkan arti dalam proses kehidupan dan sejarah? Manusia adalah sebagian dari alam dan mengambil bagian dalam cara bertindak.[3]

Secara sederhana hakikat manusia adalah merupakan makhluk dimensional yang mempunyai kelebihan dari pada makhluk lainnya. Manusia mempunyai kelebihan serta kehendak yang telah ada pada dirinya, dan juga manusia bagian dari alam yang melakukan apapun terhadap alam ia mempunyai tepat yang unik  dan istimewa berinterprestasi di dunia ini. Manusia merupakan titipan Tuhan keatas Bumi untuk melestarikan apa yang ada pada Bumi.

  1. A.    Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Manusia dilahirkan berpotensi sebagai makhluk sosial(hidup bersama dengan orang lain). Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia.[4]

Setelah ditekankan hak-hak manusia atas dasar martabatnya sekarang harus diperhatikan, bahwa manusia juga oleh kodratnya adalah makhluk sosial. Semua manusia saling berhubungan dan mempersatukan dalam keseluruhan sosial (masyarakat); dan masyarakat ditunjukan kepada semua kepentingan anggotanya.[5] Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari pengaruh orang lain. Selama manusia hidup ia tidak akan lepa dari pengaruh masyarakat, dirumah, disekolah, dan di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai makhluk social, yaitu makhluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari manusia lain.[6]

August Comte (1875) mepelajari pendekatan evolusionis dalam sosiologi. Comte menaruh perhatian besar pada gejala social masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai suatu orde( susunan yang tetap dan tertib). Orde itu muncul karena adanya kenyataan bahwa manusia sebagai makhluk social saling membutuhkan dan saling melengkapi. Tiap manusia dan kelompok manusia memiliki tugas dan kewajiban sendiri. Masyarakat disusun berdasarkan prinsip pembagian tugas. Jadi orde adalah keadaan normal yang bertumpu pada sifat social manusia.[7]

Dalam konteks social yang disebut masyarakat, setiap orang akan mengenal orang lain oleh karena itu perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk social, juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk mencari kawan atau teman. Manusia dikatakan juga sebagai makhluk social, karena manusia tidak akan hidup sebagai manusia kalau tidak hidup ditengah-tengah manusia.[8]

  1. B.    Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Manusia sebagai makhluk budaya. Dilihat dari pengertian, budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa , dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengubah dan mengelolah alam.[9]

Manusia hidup bereksistensi pada bidangnya. Karena bidang ruang selalu dalam proses waktu, maka secara nalurilah semua eksistensi ( hidup ) berhadapan dengan masalah Masalah yang menghadang kemudian diberi respons oleh manusia dan itulah kebudayaan.[10]

Manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan. Namun mempengaruhi kebudayaan, minsalnya kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu dipengaruhi apa yang kita makan  dan bagaimana cara kita makan adalah bagian dari kebudayaan kita.[11]

Keseluruhan ini mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan hal-hal yang lebih halus dalam kehidupan. Karena itu, bagi seorang ilmu social tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhana kebudayaan itu dan setiap manusia adalah makhluk berbudaya.[12]

  1. C.    Manusia Sebagai makhluk Sejarah(History)

Memasuki pengertian yang hakiki melalui pengertian-pengertian umum maupun spesifik untuk memahami hakikat sejarah. Ternyata berdasarkan pelacak akar kata sejarah secara historis, ditemukan bahwa kata dari sejarah sesungguhnya mula-mula berasal dari bahasa Arab, yaitu “Syajaratun” yang dapat dibaca Syajarah yang berarti “pohon kayu”.

Namun pengertian semacam ini tidak bisa dipahami secara biologis. Tanpaknya, kalau istilah sejarah dengan istilah-istilah yang ada dalam bahasa nusantara, ditemukan beberapa kata yang pengertiannya kurang lebih mengandung arti sejarah. Untuk kepentingan ini, defenisi yang dikemukakan secara kuantitatif relative, karena pada dasarnya secara sistematis pengertian etimolgis dan terminologis lebih dimasudkan sebagai pengatar untuk sampai pada subtansi sejarah, yakni apa yang mejadi esensi dan nilai-nilai hakiki sejarah itu.

Sehubungan dengan itu, sejarah selalu berkaitan dengan masa lalu, dilakukan oleh manusia sebagai makhluk social, dan disajikan secara ilmiah. Pengertian lain mengenai sejarah dapat dikutip, “semua peristiwa masa yang lampau adalah sejarah (sejarah sebagai kenyataan)”. Defenisi yang filosofis juga dikemukakan “ sejarah adalah bentuk rohaniah dimana suatu kebudayaan mempertanggungjawabkan masa yang lampau”.

Secara praktis sejarah telah menempuh perjalanan yang amat panjang. Sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, sejarah telah ada sejak manusia mulai bereksistensi dipermukaan bumi.[13]

Jadi disini hakikat dari sejarah itu sendiri terlahir karna adanya manusia, karna manusia yang berperan didalam sejarah itu sendiri. Manusia merupakan subjek sekaligus objek dalam sejarah tersebut. Karna manusialah segalanya diatas bumi ini.

[2] Juraid Abdul Latief, Manusia, filsafat, dan Sejarah. PT Bumi Aksara, Jakarta 2006, hal.15, 20, 21

[3] M. Rasidi, persoalan-persoalan filsafat. PT  Bulan Bintang, Jakarta 1984, hal. 30

[5] Josef Boumans, Telaah Sosial- Pastoral Tentang Manusia, Celesty Hieronika, Jakarta 2000, hal. 160

[6] Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Kencana Media Group, Jakarta 2007, hal.67

[7] Usman Pelly, Asih Menanti, Teori Social Budaya, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan 1994, hal. 54-55

[8] Ibid, Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, hal. 67-68

[9] Ibid, Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, hal.27

[10] Ibid, Juraid Abdul Latief, Manusia, filsafat, dan Sejarah, hal. 23

[11] T.O. Ihromi, Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, hal. 18-19

[12] Ibid, T.O. Ihromi, Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, hal.18

[13] Ibid, Juraid Abdul Latief, Manusia, filsafat, dan Sejarah, hal.39-41

Satu jargon yang cukup menggugah yaitu, “Manusia adalah makhluk sosial bukan makluk media sosial” sangat menarik bukan?. Pembicaraan tentang manusia sudah tidak tabu lagi, baik di era kolonial maupun era milenial.

Dari zaman baheula hingga sekarang, interpretasi  terkait manusia yang dikemukakan para ahli sangatlah banyak. Kata yang tidak asing terdengar oleh kita adalah manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk  sosial. Dikatakan makhluk individu karena ia memiliki karakter yang unik (dibekali akal) berbeda dengan makhluk lain. Dengan itu ia bisa bebas melakukan sesuatu  sesuai kehendaknya.

Dikatakan makhluk sosial, karena ia membutuhkan makhluk lain. Aristoteles  mengemukakan bahwa manusia membutuhkan kebersamaan dalam keberlangsungan hidup, selalu ingin bergaul, dan berkumpul (kategori Zoon Politicon).

Terlepas dari hal itu, manusia  dalam bahasa arab disebut insan yang berarti lupa, dalam bahasa Sanskerta disebut “Manu”, dalam bahasa latin disebut “Mens” yang berarti berakal, berpikir atau berakal budi yang mampu menguasai makhluk lain.

Menurut Omar Muhammad Al-Toumy[1]; manusia adalah makhluk yang paling mulia, makhluk berpikir, makhluk yang memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi biologis, rohani, dan akal.

Pertama, secara biologis menurut Sokrates, manusia adalah makhluk hidup yang berkaki dua, tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar.

Kedua, manusia dalam dimensi kerohanian merupakan konsep jiwa yang berfariasi dan terdiri dari dua unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan. Hal ini didefinisikan oleh  Kees  Bertens.

Ketiga, ada istilah “الإنسان حيوان التاطق” (manusia adalah hewan yang berbicara). Maksudnya adalah makhluk yang diberi akal untuk berfikir.

Manusia adalah makhluk (isim maf’ul) berasal dari kata khalqun , atinya diciptakan.  Sesuatu yang diciptakan tentu ada yang menciptakan. Umat islam percaya bahawa yang menciptakan itu adalah Dzat yang maha tunggal yaitu Allah SWT.

Oleh karena itu, manusia adalah makhluk atau yang diciptakan, maka harus siap mengemban tugas yang diberikan oleh sang pencipta. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Adz-Dzaariat ayat 56, “Tidaklah aku ciptakan Jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepaku” .

Manusia dalam Konsep Khalqun (ciptaan)

Dilihat dari asal kata manusia dalam konsep khalqun,  dapat diartikan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik, rupa, jasad dan sesuatu yang bersifat material.  Sebaik apapun bentuk manusia dan sejelek apapun ia, kita tidak boleh mengkritik, mencela, apalagi menghina karena, semua adalah  qudrat Allah SWT untuk hamba-Nya.

Baca Juga  Rukun Islam Rukun Perdamaian

Manusia sangatlah beragam cirinya, ada yang putih, hitam, kurus, gemuk,  dan lain sebagainya. Jika ada salah satu dari hamba-Nya menghina makhluq (manusia) lain, seperti ucapan; “Kok hidungnya pesek ya, dasar hitam jelek bau lagi!”.  Sedang ucapan itu terdengar olehnya, lalu ia measa tersakiti (terzalimi), maka hal tersebut sangat fatal akibatnya.

Aneh rasanya, manusia yang notabenenya sebagai makhluk (yang diciptakan) meremehkan atau menghina makhluk lain. Karena yang diciptakan tidaklah pantas merasa lebih hebat (sombong) atau merasa lebih baik dari lainnya, sebab adanya sesuatu yang diciptakan dimuka bumi pasti ada yang menciptakan. Maka, kesombongan selayaknya hanya milik Allah SWT, Karena posisinya sebagai Sang Khalik (Pencipta).

Manusia dalam Konsep Khuluqun (akhlak)

Dalam konteks khuluqun (akhlaq), tentu berbeda halnya dengan  khalqun (ciptaan), karena sejatinya akhlak (Khuluq) bersifat pribadi (bathin , baik buruknya  bisa dirubah tergantung dari orang itu sendiri, Sedangkan khalqun bersifat fisik (Dzahir) yang terlihat jelas dan tidak bisa dirubah (meskipun bisa melakukan operasi plastik ).

Secara bahasa akhlak berarti tingkah laku, perangai,  tabiat, atau etika. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali akhlak adalah tingkah laku yang melekat pada diri seseorang dan dapat memicu perbuatan  baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.

Jika memahami manusia dari posisi ini, maka pujian, celaan, sanjungan adalah sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. Seperti ungkapan yang menyatakan, “Si A akhlaknya kurang baik, tidak sopan, dan lain-lain”. Toh, melontarkan pernyataan tersebut tidak dengan maksud menghina manusia dalam ciptaan fisik.

Perlu digaris bawahi bahwa kita boleh membenci sifat, watak, ataupun prilaku seseorang, namun tidak halnya membenci orangnya. Tentunya, jika kita  merasa tidak memiliki etika, moral, ataupun akhlak, maka kita lebih  bisa mengevaluasi dan mengintrospeksi diri menjadi pribadi yang lebih baik.

Baca Juga  Mana yang Lebih Penting, Ibadah atau Akhlak?

Dua sudut pandang yang berbeda pada manusia yaitu fisik (khalqun) dan akhlak (khuluqun), memang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang dapat mengasilkan sesuatu yang tampak dalam diri seseorang, seperti tutur kata, perbuatan atau tingkah laku, watak, dan ilmu pengetahuan.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan manusia sebagai makhluk yang unik dan multidimensi