Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Show
Diskon hingga 40% Untuk produk asuransi pilihan kamu Cek Premi Sekarang
UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memiliki tujuan untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah. UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah didalamnya mengatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Juga diatur juga mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Presiden Doktor Haji Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah diundangkan oleh Menkumham Andi Mattalatta pada tanggal 16 Juli 2008 di Jakarta. Agar setiap orang mengetahuinya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5687. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pertimbangan dalam UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah:
Dasar hukum UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah:
Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian internasional. Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal. Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha Bank Syariah berkembang cukup pesat. Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim. Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang komposisinya berimbang. Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan, apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank Syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank Syariah dalam undang-undang tersendiri. Berikut adalah isi UU 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bukan format asli: UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Pasal 3Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Pasal 4
Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas. Bagian Ketiga Anggaran DasarPasal 8Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:
Bagian Keempat Pendirian dan Kepemilikan Bank SyariahPasal 9
Pasal 10Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 11Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 12Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Pasal 13Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 14
Pasal 15Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14. Pasal 16
Pasal 17
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Pasal 19
Pasal 20
Pasal 21Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
Pasal 22Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain. Bagian Kedua Kelayakan Penyaluran DanaPasal 23
Bagian Ketiga Larangan Bagi Bank Syariah dan UUSPasal 24
Pasal 25Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
Pasal 26
Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 29
Pasal 30
Pasal 31
Bagian Ketiga Dewan Pengawas SyariahPasal 32
Bagian Keempat Penggunaan Tenaga Kerja AsingPasal 33
Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya. Pasal 37
Bagian Ketiga Kewajiban Pengelolaan RisikoPasal 38
Pasal 39Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS. Pasal 40
BAB VII RAHASIA BANKBagian Kesatu Cakupan Rahasia BankPasal 41Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. Bagian Kedua Pengecualian Rahasia BankPasal 42
Pasal 43
Pasal 44Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43. Pasal 45Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi Bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Pasal 46
Pasal 47Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut. Pasal 48Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut. Pasal 49Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan. BAB VIII PEMBINAAN DAN PENGAWASANPasal 50Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia. Pasal 51
Pasal 52
Pasal 53
Pasal 54
BAB IX PENYELESAIAN SENGKETAPasal 55
BAB X SANKSI ADMINISTRATIFPasal 56Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal 57
Pasal 58
BAB XI KETENTUAN PIDANAPasal 59
Pasal 60
Pasal 61Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 62
Pasal 63
Pasal 64Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 65Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Pasal 66
BAB XII KETENTUAN PERALIHANPasal 67
Pasal 68
BAB XIII KETENTUAN PENUTUPPasal 69Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 70Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Demikianlah isi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. |