CATATAN SEPUTAR HUKUM PERSAINGAN USAHAOleh SHIDARTA (Januari 2013) Show Aspek hukum persaingan usaha yang dimaksud dalam tulisan ini terkait dengan aspek hukum material dan formal. Kedua pasangan dimensi hukum ini tidak dapat dipisahkan mengingat keduanya sangat penting untuk dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena demikian luasnya aspek hukum persaingan usaha itu (dengan segala kompleksitas teoretis dan praktisnya). Hukum persaingan usaha mulai banyak dibicarakan seiring dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini disahkan tanggal 5 Maret 1999, tetapi baru efektif berlaku satu tahun kemudian. Judul undang-undang ini memang cukup panjang karena berangkat dari hasil kompromi Pemerintah dan DPR saat itu. DPR menginginkan nama UU Antimonopoli untuk menunjukkan ada dorongan keras mengatasi ketidakadilan ekonomi akibat ulah kelompok usaha-usaha besar era Orde Baru. Sementara Pemerintah lebih menyukai nama UU Persaingan Usaha yang Sehat untuk menekankan tugas Pemerintah menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi semua pihak. Ada banyak terminologi yang diintroduksi dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Sebagian di antaranya dapat dilihat dalam ketentuan umumnya. Namun, untuk menyamakan persepsi ada beberapa diantaranya yang perlu dikemukakan. Pertama, undang-undang ini membedakan istilah monopoli dan praktek monopoli. Kata monopoli adalah kata yang bermakna netral, yaitu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Penguasaan demikian tidak harus berarti negatif. Ada jenis monopoli tertentu yang tidak bisa dihindari demi alasan efisiensi (natural monopoly) atau karena dilindungi oleh undang-undang (statutory monopoly). Yang dilarang adalah praktek monopoli, yang oleh undang-undang ini diartikan sebagai monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Jadi, monopoli bisa berdampak positif dan bisa negatif. Sayangnya, UU No. 5 Tahun 1999 tidak cukup konsisten untuk menggunakan pembedaan dua istilah di atas. Hal itu terlihat dari pemakaian judul Bagian Pertama dari Bab IV tentang Kegiatan yang Dilarang. Di situ dicantumkan istilah monopoli sebagai salah satu jenis kegiatan yang dilarang, yang seharusnya tertulis praktek monopoli. Kedua, sekalipun UU No. 5 Tahun 1999 sering diberi nama lain sebagai UU Antimonopoli, pada dasarnya monopoli hanya salah satu jenis kegiatan yang disebut-sebut dalam undang-undang ini. Di samping ada bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang, juga ada bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang. Penyebutan UU Antimonopoliseperti gagasan DPR saat ituuntuk menyebut UU No. 5 Tahun 1999, dengan demikian, menjadi kurang tepat. Akan lebih baik jika digunakan istilah UU Larangan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Antipersaingan Curang. Filosofi UU No. 5 Tahun 1999Aturan hukum untuk persaingan usaha sesungguhnya telah lama ada. Dalam KUHP, misalnya, dalam Pasal 382 bis. Pasal ini menyatakan, Barangsiapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi pesaing-pesaingnya atau pesaing-pesaing orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pasal 382 bis KUHP sesungguhnya telah merepresentasikan, kendati belum utuh, tentang filosofi hukum persaingan usaha. Di sini jelas bahwa hukum persaingan usaha tidak antipersaingan. Justru, hukum persaingan usaha mengoptimalkan kompetisi agar tidak ada penyalahgunaan posisi dominan oleh seorang atau sekelompok pelaku usaha terhadap pelaku usaha yang lain. KUHP tidak memberikan sistem pengaturan yang utuh tentang persaingan usaha karena dasar pendekatannya memang murni dari aspek hukum pidana semata. Pendekatan sistematis tentang hukum persaingan usaha baru diletakkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang ini relatif singkat, hanya terdiri dari 11 bab dengan 53 pasal. Namun, undang-undang yang ditelurkan melalui hak inisiatif DPR ini diklaim telah memenuhi standar internasional antara lain dengan mengikuti pedoman dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan dirumuskan berkat bantuan para konsultan dari Jerman. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 5 Tahun 1999 memang membawa semangat liberalisme perdagangan dunia yang menggebu-gebu pasca terbentuknya WTO dan bekerjanya ekonomi pasar. Liberalisasi perdagangan memimpikan ada perlakuan yang adil bagi para pelaku usaha dengan tidak lagi mengenal batas-batas negara. Untuk itu iklim persaingan usaha mutlak perlu karena akan mampu mengurangi beban negara, menguntungkan konsumen, dan memberi kepastian bagi investor. Semangat demikian juga tertuang dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 5 Tahun 1999. Menurut Rahardi Ramelan, tatkala rancangan undang-undang ini dibawa ke DPR, semangat yang muncul pada saat itu adakah dekonsentrasi usaha. Itulah sebabnya, penggabungan dan peleburan usaha (seperti merger, akuisisi, buy-out, atau istilah lain untuk aneka aliansi strategis), dianggap sebagai hal-hal yang harus dijauhi (diatur dalam Pasal 28 dan 29). Ada semangat lain yang muncul sebagai filosofi UU No. 5 Tahun 1999, yaitu bahwa undang-undang ini diharapkan dapat disempurnakan melalui pendekatan kasuistik. Artinya, substansi UU No. 5 Tahun 1999 itu tidak usah terlalu detail karena selanjutnya akan dilengkapi melalui putusan-putusan KPPU. Dengan demikian, untuk dapat memahami konsep-konsep hukum persaingan usaha di Indonesia dan perkembangannya, pendekatan kasuistik juga sangat perlu dilakukan. Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of ReasonPendekatan per se illegal dan rule of reason adalah konsep klasik dalam hukum persaingan usaha. Kedua pendekatan ini juga berlaku pada UU No. 5 Tahun 1999, sehingga ada bentuk perjanjian atau kegiatan yang per se, namun ada juga bentuk perjanjian atau kegiatan yang rule of reason. Secara sederhana, kedua pendekatan itu dapat disandingkan dengan delik formal dan delik material. Pada delik formal, unsur-unsur pidananya sudah dianggap lengkap begitu perbuatannya itu selesai dilakukan, sehingga tidak perlu ada pembuktian lebih lanjut. Pada delik material, unsur-unsur itu belum lengkap jika syarat akibat perbuatan itu tidak tercakup di dalamnya. Tindak pidana pembunuhan (Pasal 338 KUHP) adalah contoh jenis delik material karena akibatnya harus berupa kehilangan nyawa. Jika belum ada korban yang mati, belum dapat disebut pembunuhan. Pada hakikatnya, semua tindakan yang terlarang secara per se diasumsikan mengandung konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan rule of reason. Misalnya, Pasal 5 Ayat (1) tentang perjanjian penetapan harga: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Pasal ini dimasukkan dalam kategori terlarang secara per se. Pendekatan per se dan rule of reason sebenarnya tidak cukup jelas diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Biasanya indikator yang dipakai adalah ada atau tidaknya anak kalimat dalam rumusan suatu pasal, yakni jika terdapat kata-kata patut diduga atau yang dapat mengakibatkan. Pasal 5 Ayat (1) di atas tidak mencantumkan anak kalimat tersebut, sehingga termasuk per se. Lain halnya dengan Pasal 7 yang berbunyi: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Kata dapat yang digunakan dalam pasal-pasal UU No. 5 Tahun 1999 sengaja dipakai antara lain untuk menunjukkan bahwa pelanggaran sudah dinyatakan terjadi jika perbuatan itu memang berpotensi merusak persaingan. Jadi, dengan kata dapat di sini bisa berarti bahwa akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan (perjanjian/kegiatan) tadi tidak perlu eksis terlebih dulu. Anatomi UU No. 5 Tahun 1999Terminologi yang ditampilkan untuk menunjuk kepada bentuk-bentuk perjanjian atau kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini sebenarnya tidak tersusun secara sistematis. Pengertian suatu istilah seringkali tumpang tindih dengan istilah lainnya. Kartel untuk mengontrol harga, misalnya, dapat saja berarti sama dengan penetapan harga (price fixing). Perjanjian tertutup (exclusive dealing) bisa saja isinya merupakan pemboikotan. Tabel berikut ini akan membantu kita dalam menyederhanakan pengertian tentang jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 tersebut. Sifat pendekatan per se atau rule of reason yang disebutkan pada tiap-tiap bentuk perjanjian/kegiatan adalah asumsi sementara dengan sekadar melihat pada indikator rumusan kalimat pasal-pasal yang mengaturnya. Perjanjian yang dilarang
Perjanjian untuk menguasai produksi dan/atau pemasaran barang atau menguasai penggunaan jasa oleh 2 s.d. 3 pelaku usaha atau 2 s.d. 3 kelompok pelaku usaha tertentu. Contoh: Produksi mie instan yang dipasarkan di Indonesia, 75% berasal dari kelompok pelaku usaha A, B, dan C. Ini berarti keterikatan pelaku usaha A, B, dan C itu sudah oligopoli.
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur harga. Hal ini bisa juga disebut kartel harga. Contoh: beberapa perusahaan taksi sepakat bersama-sama menaikkan tarif. Catatan: penetapan harga adalah salah satu bentuk perjanjian pengaturan harga. Di luar itu ada bentuk perjanjian price discrimination (diskriminasi terhadap pesaing), predatory pricing (banting harga), dan resale price maintenance (mengatur harga jual kembali atas suatu produk).
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, untuk berbagi wilayah pemasaran. Contoh: perusahaan A hanya menjual produknya di Jawa Tengah dan perusahaan B hanya di Jawa Timur.
Perjanjian di antara beberapa pelaku usaha untuk: a) menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry barrier); b) membatasi ruang gerak pelaku usaha lain untuk menjual atau membeli suatu produk. Contoh: Asosiasi produsen rokok bersepakat dengan asosiasi petani tembakau agar para petani menjual tembakau mereka kepada produsen rokok anggota asosiasi itu saja.
Perjanjian di antara pelaku usaha yang seharusnya bersaing, sehingga terjadi koordinasi (kolusi) untuk mengatur kuota produksi, dan/atau alokasi pasar. Kartel juga bisa dilakukan untuk harga (menjadi price fixing). Contoh: beberapa perusahaan semen sepakat untuk mengu-rangi produksi selama 2 bulan agar pasokan menipis
Perjanjian kerja sama di antara pelaku usaha dengan cara menggabungkan diri menjadi perseroan lebih besar, tetapi eksistensi perusahaan masing-masing tetap ada. Contoh: Dua pelaku usaha yang bersaingan (A dan B) menyatakan penggabungan perusahaan mereka, tapi sebenar-nya A dan B tetap dikelola sebagai dua perusahaan tersendiri.
Perjanjian untuk menguasai penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu pasar oleh 2 s.d. 3 pelaku usaha atau 2 s.d. 3 kelompok pelaku usaha tertentu. Contoh: Perusahaan mie A, B, dan C bersama-sama berjanji untuk menyerap 75% pasokan terigu nasional.
Perjanjian di antara perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu rangkaian jenjang produksi barang tertentu, namun semuanya berada dalam kontrol satu tangan (satu afiliasi), untuk secara bersama-sama memenangkan persaingan secara tidak sehat. Contoh: Satu perusahaan di hulu mengakuisisi perusahaan di hilirnya. Akuisisi ini menyebabkan terjadi posisi dominan, yang kemudian disalahgunakan untuk memenangkan persaingan secara tidak sehat.
Perjanjian di antara pemasok dan penjual produk untuk memastikan pelaku usaha lainnya tidak diberi akses memperoleh pasokan yang sama atau barang itu tidak dijual ke pihak tertentu. Contoh: Perjanjian antara produsen terigu A dan produsen mie B, bahwa jenis terigu yang dijual kepada B tidak boleh dijual kepada pelaku usaha lain.
Semua bentuk perjanjian yang dilarang tidak hanya dilakukan antarsesama pelaku usaha dalam negeri, tetapi juga dengan pelaku usaha dari luar negeri. Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan menguasai atas produksi dan/atau pemasaran barang atau menguasai penggunaan jasa oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tertentu. Contoh: Produksi mie instan yang dipasarkan di Indonesia, 50% berasal dari kelompok pelaku usaha A. Ini berarti pelaku usaha A sudah monopoli (tetapi belum tentu melakukan praktek monopoli).
Kegiatan menguasai atas penerimaan pasokan barang/jasa dalam suatu pasar oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha tertentu. Contoh: Perusahaan mie A sendirian telah menyerap 50% produksi terigu yang ada di suatu pasar.
Ada beberapa kegiatan yang termasuk kategori kegiatan penguasaan pasar yang dilarang: a) menolak/menghalangi masuknya pelaku usaha baru (entry barier); b) menghalangi konsumen berhubungan dengan pelaku usaha saingannya; c) membatasi peredaran/penjualan barang/jasa pelaku usaha lain; d) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha lain; e) menjual rugi (banting harga). Contoh: Pelaku usaha A menetapkan biaya produksi secara tidak jujur, sehingga harga jual produknya di bawah biaya produksi sebenarnya.
Kegiatan (konspirasi) dalam rangka memenangkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat, dalam bentuk:
Contoh: pelaku usaha bersekongkol dengan pimpinan proyek agar dimenangkan dalam tender. Atau, pelaku usaha yang satu dibayar oleh pelaku usaha yang lain untuk sengaja mengalah dalam tender. Bab V UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang posisi dominan. Undang-undang ini mengartikan posisi dominan sebagai keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Rumusan tersebut menggunakan dua pendekatan. Pertama, posisi dominan dilihat dari pangsa pasar yang dimiliki satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha terhadap pelaku usaha saingannya (kriteria struktur pasar). Kedua, adalah dengan melihat kemampuannya untuk memimpin penentuan harga barang/jasa sehingga apa yang dilakukannya menjadi acuan bagi pelaku-pelaku usaha pesaingnya (kriteria perilaku). UU No. 5 Tahun 1999 mengkombinasikan penggunaan dua pendekatan ini bersama-sama. Pasal 25 Ayat (2) menyatakan, satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ada dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha, posisi dominannya ditentukan dari penguasaan pangsa pasar sebesar 75% atau lebih. Posisi demikian berpotensi mengakibatkan si pelaku usaha tidak lagi mempunyai pesaing yang berarti dalam pasar yang bersangkutan. Namun, posisi dominan tidak serta merta merupakan pelanggaran. Yang penting, posisi dominan ini tidak disalahgunakan. Perilaku penyalahgunaan posisi dominan dinyatakan dalam Pasal 25 Ayat (1) yaitu jika pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung:
Untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, undang-undang melarang perbuatan rangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris, pemilikan saham pada beberapa perusahaan barang/jasa sejenis. Juga penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan, ikut menjadi perhatian UU No. 5 Tahun 1999 ini. Semua perbuatan yang menuju ke posisi dominan tersebut wajib memperhatikan akibat-akibatnya terhadap persaingan usaha. Terlepas dari itu semua, UU No. 5 Tahun 1999 membuat pengecualian-pengecualian. Hal ini diatur dalam Bab IX tentang Ketentuan Umum. Ada sembilan bentuk pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50, seperti perjanjian di bidang hak kekayaan intelektual, perjanjian keagenan, perjanjian untuk tujuan ekspor, kegiatan usaha kecil dan koperasi. Badan-badan usaha milik negara dan atau badan usaha/lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah, tetap dimungkinkan untuk memonopoli barang/jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, sepanjang hal itu diatur dengan undang-undang. SanksiUU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang diintroduksi dalam undang-undang ini, yaitu tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan. Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) yang lembaganya akan dijelaskan kemudian, hanya berwenang memberikan sanksi tindakan administratif. Sementara pidana pokok dan pidana tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini peradilan. Yang dimaksud dengan tindakan administratif adalah:
Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan KPPU itu bersinggungan dengan semua pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, semua pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif. Deskripsinya adalah sebagai berikut: No Pasal Uraian PIDANA POKOK PIDANA TAM-BAHAN ADMI-NIS- TRATIF 1 2 3 1 Ps. 4OligopoliYa Ya Ya 2 Ps. 5Penetapan hargaYa Ya Ya 3 Ps. 6Diskriminasi hargaYa Ya Ya 4 Ps. 7Penetapan di bawah harga pasarYa Ya Ya 5 Ps. 8Penetapan harga maksimalYa Ya Ya 6 Ps. 9Pembagian wilayahYa Ya Ya 7 Ps. 10PemboikotanYa Ya Ya 8 Ps. 11KartelYa Ya Ya 9 Ps. 12TrustYa Ya Ya 10 Ps. 13OligopsoniYa Ya Ya 11 Ps. 14Integrasi vertikalYa Ya Ya 12 Ps. 15Perjanjian tertutupYa Ya Ya 13 Ya Ya Ya 14 Ps. 17MonopoliYa Ya Ya 15 Ps. 18MonopsoniYa Ya Ya 16 Ps. 19Penguasaan pasarYa Ya Ya 17 Ps. 20Jual rugiYa Ya Ya 18 Ps. 21Penetapan biaya secara curangYa Ya Ya 19 Ps. 22Sekongkol tenderYa Ya Ya 20 Ps. 23Sekongkol informasi rahasiaYa Ya Ya 21 Ps. 24Sekongkol hambat pesaingYa Ya Ya 22 Ps. 25Penyalahgunaan posisi dominanYa Ya Ya 23 Ps. 26Jabatan rangkapYa Ya Ya 24 Ps. 27Pemilikan sahamYa Ya Ya 25 Ps. 28Gabung, lebur, ambil alihYa Ya Ya 26 Ps. 41Hambat penyelidik/pemeriksaYa Ya Ya Keterangan:Pidana pokok 1: denda Rp 25 milyar s.d. Rp 100 milyar atau kurungan pengganti denda selama 6 bulan. Pidana pokok 2: denda Rp 5 milyar s.d. Rp 25 milyar atau kurungan pengganti denda selama 5 bulan. Pidana pokok 3: denda Rp 1 milyar s.d. Rp 5 milyar atau kurungan pengganti denda selama 3 bulan. Pidana tambahan:
Lembaga KPPUKomisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga baru yang diperkenalkan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pembentukannya secara resmi melalui Kepres No. 75 Tahun 1999 dengan melalui serangkaian tahap pemilihan yang cukup alot melibatkan Pemerintah dan DPR. KPPU berkedudukan di Jakarta, tetapi boleh membuka perwakilan di ibukota provinsi. Organisasi KPPU hanya terdiri dari anggota dan sekretariat. Jumlah anggota seluruhnya (termasuk seorang ketua dan seorang wakil) paling sedikit sembilan orang. Keanggotaan KPPU periode yang pertama (20002005) ada 11 orang, dan mereka masih mungkin dipilih untuk satu periode berikutnya. Kewenangan dan tugas KPPU adalah seperti tabel berikut ini. Kewenangan Tugas
PenutupHukum persaingan usaha, khususnya terkait dengan dimensi hukum acaranya, terbilang masih baru diperkenalkan. Masih banyak celah yang perlu disempurnakan atas bidang hukum ini. Perma No. 3 Tahun 2005 misalnya, juga menyadari celah-celah itu, sehingga ditegaskan dalam ketentuan penutupnya bahwa kecuali ditentukan lain dalam Perma itu, maka semua ketentuan hukum acara perdata yang berlaku, diterapkan pula terhadap Pengadilan Negeri (yang memeriksa suatu kasus keberatan). Terlepas dari itu semua, selain keharusan meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang terkait, KPPU sendiri sesunguhnya diharapkan dapat mengambil inisiatif menutupi celah-celah kelemahan tadi, mengingat dirinya memang memiliki kewenangan sebagai self-regulatory body. (***) Published at : 20 January 2013 Updated at : 16 April 2017 Related ContentSHARE THIS
|