Pendidikan nasional memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, karena itu, dalam penerimaan peserta didik tidak dibenarkan adanya pembedaan atas dasar jenis kelamin, agama, suku, ras, latar belakang sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, kecuali dalam satuan pendidikan yang memiliki kekhususan. Misalnya, satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan atas dasar kewanitaan dibenarkan untuk menerima hanya wanita sebagai peserta didik dan tidak menerima pria. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan agama tertentu dibenarkan untuk menerima hanya penganut agama yang bersangkutan. sumber: pixabayKesadaran pendidikan menjadi hal yang penting sebagaimana yang diatur pada Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam masa hidupnya. Pendidikan baik formal maupun non formal menjadi penting dalam menunjang kehidupan seseorang di masa depan, khususnya pekerjaan. Dikutip dari Jurnal Pendidikan Islam dengan judul Rendahnya Kesadaran Masyarakat Terhadap Pendidikan di Desa Tegallega, banyak dari masyarakat kurang mementingkan pendidikan karena mereka mempertanyakan “untuk apa sekolah?” dan berpikir bahwa sekolah tidak diperlukan ketika seseorang sudah bisa mencari uang. Pendidikan Hak Penting setiap Warga NegaraBerlandaskan Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, pendidikan menjadi hak dan penting bagi setiap warga negara. Peningkatan taraf dan mutu kehidupan bangsa akan terus diupayakan menurut pasal tersebut. Oleh karena itu, persepsi masyarakat mengenai ketidakpentingan sekolah harus diubah. Masyarakat harus sadar mengenai kepentingan pendidikan untuk menunjang kehidupannya di masa depan. Peningkatan kesadaran pendidikan di Indonesia sebagai bukti implementasi Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 dapat dilakukan melalui sosialisasi dan peningkatan sarana belajar. Sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan diperlukan untuk mengubah persepsi masyarakat akan ketidakpentingan pendidikan. Melalui program sosialisasi, masyarakat diharapkan dapat sadar bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan kemampuan diri dan kekuatan individu. Sarana belajar juga diperlukan dalam peningkatan kesadaran pendidikan di Indonesia. Dikutip dari Jurnal Cemerlang dengan judul (2015) Pengaruh Sarana Belajar Terhadap Minat Belajar Siswa Kelas VIII SMP Negeri 4 Tenggarong, sarana belajar merupakan peralatan belajar yang dibutuhkan dalam proses belajar agar pencapaian tujuan belajar dapat berjalan dengan lancar, teratur, efektif, dan efisien. Pemanfaatan sarana belajar tidak hanya membantu dalam peningkatan kesadaran pendidikan, tetapi dapat memperjelas informasi sehingga proses dan hasil belajar meningkat, mengajak untuk menimbulkan motivasi belajar yang mana individu dapat belajar sendiri sesuai dengan kemampuannya masing-masing, serta memberikan pengalaman kepada individu mengenai lingkungan mereka sehingga muncul interaksi antara individu, guru, dan masyarakat. (CL) Jakarta - Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung kebebasan hak asasi penduduknya, termasuk aturan agama. Hal ini tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Demokratis artinya bersifat demokrasi, maka negara demokratis adalah negara yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan bagi semua warga negara. Dalam konteks agama, Indonesia juga memiliki konstitusi yang menjadi jaminan bahwa warga negara Indonesia memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya. Jaminan ini tegas termuat dalam berbagai pasal yang membahas mengenai kebebasan beragama. Pasal-pasal ini merupakan wacana kebebasan beragama yang sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan terus mengalami perkembangan. Salah satunya pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Kandungan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini adalah pasal hak asasi manusia (HAM) yang tegas dan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-3 berbunyi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya". Alinea ini memiliki arti keyakinan bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan yang diraih bukan hasil perjuangan rakyat semata, tetapi juga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, alinea ke-4 memuat tentang kedaulatan Indonesia yang tercantum dalam Pancasila, dengan kalimat pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat ketentuan ini, bukan berarti Indonesia adalah negara yang didasarkan oleh agama tertentu. Sebaliknya, Indonesia adalah negara multikultural yang di dalamnya memiliki berbagai suku, budaya, adat istiadat, dan agama. Agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia sangat beragam. Seperti yang detikers ketahui, ada penduduk penganut agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Lalu, bagaimana implementasi dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945 mengenai kebebasan beragama ini? Dikutip dari artikel Relasi Antara Agama dan Negara Menurut Konstitusi Indonesia dan Problematikanya yang ditulis Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Muhammadiyah Malang, Cekli Setya Pratiwi, SH.,LL.M. untuk mewujudkan kehendak konsitusi tersbut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 22 UU tersebut menyebutkan: "Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama." Lebih lanjut lagi, Indonesia sebagai negara yang menjamin hak kebebasan beragama meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 UU 12/2005 dinyatakan bahwa: 1. Setiap negara berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran. 2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral 4. Negara pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.. Tak lupa, ada kewajiban yang harus dijalani menurut pasal tersebut. Diantaranya seperti kewajiban untuk menghargai semua umat beragama, menjaga kerukunan antar umat beragama, menghormati orang yang beribadah, serta saling membantu dan kerja sama antar umat beragama. Nah, setelah detikers mengetahui hak kebebasan beragama seperti dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, apa sudah siap melaksanakan kewajibannya? Agar persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tetap terjaga, jadilah warga negara yang baik dengan menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang, ya. (pal/pal)
Oleh Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud p.hD PNPS dari masa ke masa Tarik menarik antara tafsir tentang kebebasan beragama dan penodaan agama bukanlah hal yang sama sekali baru dan mengalami pasang surut sesuai dengan konteks, kepentingan dan masanya. Kebebasan beragama dibatasi oleh kategori dan definisi penodaan agama begitupun juga sebaliknya. Meskipun tentu saja diskusi tentang hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara-negara lain tempat dimana agama mendapatkan “perhatian yang lebih” seperti halnya di Malaysia, Singapura . Indonesia memiliki konstitusi yang memberikan jaminan bahwa warga negara Indonesia memilik hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan tersebut tegas termuat dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Muatan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini menjadi salah satu pasalHAM yang tegas dan diatur di dalam UUD RI 1945, yang berbeda dengan keberadaan hak asasi yang lainnya. Pernyataan jaminan di dalam pasal tersebut, mengindikasikan bahwa negara memiliki kepentingan yang signifikan untuk memberikan . Pemaknaan terhadap pengaturan kebebasan beragama dan perlindungan di Indonesia sudah pasti memberikan dampak yuridis bagi munculnya peraturan perundang-undangan. Ada dua pertanyaan yang muncul mengenai implementasi dari ketentuan konstitusi tersebut,yaitu bagaimana negara sebagai pelindung wajib memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk beragama (atau berkeyakinan) dan bebas mengembangkan ibadahnya. Artinya negara sebagai subyek yang memiliki kuasa dan kewenangan mengatur harus dapat memberikan ruang yang luas dan sekaligus juga menyediakan kenyamanan perlindungan atas hak bebas beragama serta kegiatan beribadahnya. , bagaimana kemudian negara dalam rangka memberikan jaminan untuk bebas beragama pada saat yang bersamaan juga harusmampu menjadi pihak yang memberikan pedoman atau koridor pelaksanaan kegiatan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) UUD RI 1945, dengan tanpa menciderai makna kebebasan beragama itu sendiri.Konsep pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat (law and order) yang kemudian menjadi entry point bagi negara atau pemerintah untuk mengaturnya. Tabel 1 Peraturan Hukum di Indonesia:
Peraturan lain dari negara yang mengindikasikan adanya ‘batasan ‘ dan menjadi koridor bagi bagi wacana kebebasan beragama adalah; Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 yang kemudian disahkan dan ditetapkan dan kita kenal dengan nama Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Kehidupan Beragama di Indonesiayaitu berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu” Semula peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden (PNPS) yang dikeluarkan pada tahun 1965 dan kemudian pada tahun 1969 diangkat menjadi UU dengan UU No. 5 Tahun 1969. Secara factual juga pernah di- di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimenangkan, maka UU ini masih memiliki kekuatan hukum dan masih berlaku sampai saat ini. Tabel 2 Pendapat Pemohon vs Pendapat Hakim MK tentang berbagai aspek terkait UU No.1/PNPS/1965
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan fakta hukum dalam persidangan, MK memberikan Amar Putusan bahwa “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.” Dengan demikian UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya memiliki kekuatan hukum yang mengikat kepada setiap orang. Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik Keputusan Mahkamah Konstitusi ini bersifat final, tidak boleh lagi dilakukan upaya banding dan karenanya mengikat. Tetapi dalam waktu yang sama, putusan ini juga menyodorkan sebuah saran agar Indonesia menyempurnakan UU itu dari segi teknis perundangannya, dan dari segi substansinya agar tidak menimbulkanmultitafsir. Meskipun konsekwensinya rekomendasi tersebut akan mengantarkan masyarakat Indonesia kepada perdebatan yang selalu berulang yaitu: apakah memang negara perlu dan berwenang mengatur hal-hal terkait agama atau tidak, perdebatan yang terkait dengan apakah agama itu masuk dalam wilayah private (forum internuum) ataukah wilayah public (forum externuum). Sebagian masyarakat memang kesulitan untuk membedakan antara pengaturan umat beragama yang dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama ataukahini hanyalan pengelolaan atau pengaturan ‘lalu lintas’ masyarakat penganut agama dalam suatu negara. Tak banyak yang melihat sisi perbedaan tersebut. UU No.1/PNPS/1965 sesungguhnya mengatur pencegahan penodaan agama bukan dalam rangka pemurnian agama, melainkan dalam rangka pemeliharaan ketentraman beragama dan persatuan nasional, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan UU tersebut. Jadi, penodaan agama disini adalah penyebaran paham menyimpang yang telah mencapai tingkat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Adapun pemahaman keagamaan menyimpang yang dimiliki oleh orang-perorang dan tidak menyebabkan gangguan ketertiban masyarakat sebenarnya banyak juga terjadi sehari-hari, dan tidak perlu diperhatikan oleh negara, meskipun mungkin itu menjadi perhatian para pemuka agama. Dengan kata lain, muara dari masalah penodaan agama yang menjadi entry point bagi intervensi negara bukanlah pada penyimpangan ajaran itu sendiri melainkan pada terganggunya ketentraman umat beragama dan ketentraman masyarakat. Dari uraian di atas terlihat bahwa meskipun terjadi silang pendapat mengenai kebebasan beragama dan penodaan agama, sesungguhnya terjadi kesamaan muara yaitu perlunya ketentraman dan ketertibanmasyarakat dan upaya agar hal tersebut sama sekali tidak terganggu. Dengan demikian, mungkin persoalannya lebih baik digeser kepada masalah implementasi-nya. Daripada berdebat mengenai apakah negara mempunyai wewenang untuk mengatur penodaan agama ataukah membatasi kebebasan beragama; lebih baik kita berdebat bagaimana ketentraman dan ketertiban masyarakat dapat kita jaga dari berbagai kemungkinan persoalan-persoalan ekonomi, politik, maupun ketegangan dan konflik dalam kehidupan beragama. Hal tersebut akan jauh lebih produktif. Undang-undang Perlindungan Umat beragama; a middle way Secara faktual sejarah pengaturan oleh suatu negara untuk mencegah terjadinya penistaan, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, merupakan produk sejarah peradaban manusia yang panjang. Bukan hanya di negara-negara Muslim seperti Indonesia, tetapi juga di negara-negara Kristen seperti di Eropa. Gagasan untuk menghapuskan UU Penodaan Agama pada umumnya tidak tuntas karena masih harus menyediakan satu ruang yang memang secara objektif harus diatur, yaitu mengenai pernyataan kebencian, dalam hal ini pernyataan kebencian karena agama. Di beberapa negara, pelarangan pernyataan kebencian inilah yang diatur UU dengan menggunakan berbagai istilah seperti “hate speech” atau “hate propaganda,” termasuk negara-negara maju di Eropa yang juga mengambil jalan keluar dengan cara ini. Pelarangan ujaran kebencian di Indonesia bukanlah hal yang sederhana. Banyak pihak menghawatirkan penegakan hukum terhadap ujaran kebencian akan mengulang represi masa lalu di mana isu SARA digunakan sebagai alat penguasa untuk menekan lawan politik. Selain itu poblem pendefinisian dan sistem perundang-undangan juga bisa menghadirkan kontroversi. Undang-undang perlindungan Agama yang tengah di godok oleh kementerian agama diasumsikan akan menjawab beberapa tantangan persoalan keagamaan yang semakin kompleks dan rumit dari waktu ke waktu. Karena regulasi setingkat UU yang terkait kerukunan dan perlindungan umat beragama masih sangat minim. Hingga saat ini hanya ada UU no 1/1974 tentang penodaan agama. Bahkan definisi tentang “agama” sendiri tidak ditemukan rujukannya secara legal formal dalam UU manapun.Adapun semangat yang dibangun dalam pembuatan UU tersebut diwarnai dengan semangat perlindungan, Pelayanan dan penghormatan bukan mengontrol dan belenggu. Sebenarnya sejak tahun 2003 pemerintah melalui kementerian agama telah berupaya menyusun Rancangan UU tentang Kerukunan Umat Beragama. UU ini memuat substansi yang terdapat dalam beberapa peraturan menteri antara lain tentang; pengaturan rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan luar negeri, pemakaman jenazah, dan lain sebagainya. Draft RUU yang telah dihasilkan oleh kementerian agama ini walaupun didukung oleh kalangan mayoritas seperti majelis ulama indonesia, dan lain-lain, proses pengesahannya menjadi UU mendapat hambatan dan tantangan dari beberapa kalangan. Pada tahun 2009, upaya penyusunan RUU KUB kemudian ini diambil alih oleh DPR menjadi RUU inisiatif DPR. Draft RUU ini kemudian disusun oleh DPR, namun substansinya juga tidak mengalami banyak perubangan dan masih sama dengan draft yang dibuat oleh pemerintah. Akan tetapi senasib dengan sebelumnya, RUU versi DPR ini juga mendapat tentangan dari banyak kalangan. Hingga berakhirnya masa bakti DPR RI 2009-2014 RUU KUB ini juga tidak kunjung disahkan Pada tanggal 21 s.d. 23 Desember 2011 di Hotel Kawanua, Jakarta, Pusat Kerukunan Umat Beragama menyelenggarakan Worskhop Untuk Menyikapi Kehendak Masyarakat Tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan. Workshop ini bertujuan untuk mendengar pandangan-pandangan dari tokoh agama dan masyarakat terkait RUU KUB yang sedang digodok oleh DPR. Dalam kegiatan ini hadir wakil-wakil dari 6 majelis agama, serta beberapa akademisi/pakar. Dalam workshop ini para wakil dari majelis agama menyampaikan pandangan-padangannya, baik yang pro maupun yang kontra terhadap RUU KUB. Bergantinya menteri agama dan suksesi pemerintahan dari SBY kepada Presiden Jokowi kemudianmemberi harapan cukup besar bagi proses penyusunan RUU ini. Pada tanggal 18 September 2014 di Hotel Mercure, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menggelar Focus Group Discussion Peta permasalahan pelayanan negara terhadap umat beragama. Hasil dari FGD ini kemudian dilanjutkan dengan ekspose terbuka pada tanggal 20 September 2014 di Gedung Auditorium Kementerian Agama Jl. HM. Thamrin. Hasil dari FGD ini antara lain merekomendasikan untuk menyusun Rancangan UU Perlindungan Umat Beragama. Disamping itu beberapa hal yang juga dibahas dalam FGD tersebut yaitu penanganan negara dalam Penyelesaian Kasus-kasus keagamaan. Table 3 Beberapa kasus keagamaan
Jika sebelumnya RUU Kerukunan Umat Beragama mendapat banyak tentangan dari kalangan minoritas, maka gagasan RUU Perlindungan umat beragama ini justru mendapat sambutan yang lebih baik. Beberapa pihak dari kalangan minoritas menganggap RUU perlindungan umat beragama justru lebih sejalan dengan nafas konstitusi. Menteri Agama sendiri telah berjanji untuk merampungkan penyusunan RUU PUB ini dalam waktu beberapa bulan kedepan. Seiring berjalannya proses pembuatan RUU KUB kemudian berganti nama menjadi RUU Perlindungan Umat Beragama. Pergantian nama tersebut sejalan dengan spirit untuk melindungi hak dan kewajiban umat beragama terutama terhadap minoritas. Hal tersebut diatas juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2014 yang bertema “Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Berbagai Daerah”. Penelitian tersebut mengungkap beberapa permasalahan berikut: pertama, bagaimana pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; kedua, bagaimana bentuk pengaturannya; danketiga, aspek-aspek apa saja yang perlu diatur. Penelitian dengan metode kualitatif ini dilakukan di tujuh kota dalam provinsi yang berbeda, yakni: Medan, DKI Jakarya, Palangkaraya, Surabaya, Denpasar, Ambon dan Jayapura. Penelitian di berbagai kota di atas menyimpulkan berikut: (1) Para pemuka agama pada umumnya memandang pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dari hasil angket terbukti (91,12 %) pemuka agama setuju pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan; (2) Perihal kewenangan pengaturanya, pemerintah mempunyai wewenang untuk mengaturnya. Dari hasil angket terlihat (83,17 %) pemuka agama setuju yang berwenang mengatur adalah pemerintah; (3) Bentuk pengaturannya, para pemuka agama pada umumnya menghendaki bentuk undang-undang agar memiliki kekuatan hukum dan ditaati umat beragama, di samping secara psikologis memberikan rasa nyaman bagi kalangan umat beragama karena mereka merasa setara di depan hukum. Hal ini diperkuat oleh hasil angket bahwa (67,33 %) pemuka agama setuju regulasi yang dibuat hendaknya berupa undang-undang; (4) Para pemuka agama pada umumnya memandang kesembilan aspek hubungan antarumat beragama yang mempengaruhi kerukunan, perlu diatur karena rawan terhadap kemungkinan timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Kesembilan aspek dimaksud adalah: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, penodaan agama dan pemakaman jenazah. Beberapa pemuka agama yang lain memandang, pengaturan terhadap aspek-aspek di atas diperlukan jika mengganggu ketertiban umum. Sementara beberapa yang lain berpendapat bahwa pengaturan tentang penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat merupakan pelanggaran HAM. Senada dengan penelitian di atas pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2013 juga diadakan penelitian tentang “Penodaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam Pusatdan Daerah”. Penelitian tersebut dilakukan atas dasar kontroversi terhadap keberadaan PNPS, karena bagi para pemuka agama Undang-undang ini dijadikan dasar untuk menetapkan suatu aliran atau paham keagamaan yang dipandang telah menodai suatu agama sehingga perlu dibubarkan dan atau dilarang. Sedangkan bagi kelompok aktivis Hak-hak Asasi Manusia (HAM) undang-undang ini dianggap dapat menghalangi kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-undang, dapat menjadi alat pembenaran bagi perilaku penodaan dan bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. Lokasi penelitian dilakukan di delapan provinsi, yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada kriteria wilayah yang banyak terjadi kasus penistaan/penodaan agama dan wilayah yang relatif sedikit terjadi kasus penistaan/penodaan agama. Tujuan penelitian tersebut adalah: pertama, untuk mengetahui dan menganalisis pandangan pemuka agama terhadap isi UU No.1/PNPS/1965. Kedua, untuk mengetahui dan menganalisis konsep-konsep ”penistaan/penodaan agama” yang berupa penafsiran, kegiatan (yang dianggap menyimpang) menurut pemuka agama Islam. Ketiga, untuk mengetahui dan menganalisis pandangan pemuka agama Islam tentang hukuman yang harus diberikan kepada mereka yang berbuat tindakan penodaan agama. Keempat, untuk mengetahui dan menganalisis pokok-pokok ajaran agama Islam dan kaitannya dengan penistaan/penodaan agama dari perspektif pemuka agama Islam. Dan, kelima, untuk mengetahui pelaksanaan UU No.1/PNPS/ Tahun 1965 oleh aparat pemerintah di daerah. Ahirnya berdasarkan temuan lapangan, diperoleh informasi sebagai berikut: 1) Sebagian besar informan (pemuka agama Islam) belum mengetahui dan belum pernah membaca dan mengkaji secara mendalam isi UU No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun demikian para informan mengetahui keberadaan UU tersebut, 2) Mengenai konsep Pemahaman pemuka agama Islam tentang definisi penistaan/penodaan agama, sebagian besar pemuka agama Islam menyatakan perlu adanya definisi yang lebih tegas mengenai istilah penistaan/penodaan agama. Termasuk di sini adalah isi pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 yang menyebutkan bahwa: “setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dalam konteks ini, terdapat tiga pandangan di kalangan pemuka agama Islam.Pertama, isi pasal 1 tersebut sudah cukup jelas dan lugas. Kedua, perlu ada revisi terhadap isi pasal tersebut.Ketiga, setuju terhadap definisi penistaan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: ”Penistaan agama adalah perbuatan sengaja yang dilakukan dengan tujuan untuk melukai, menghina suatu agama dan perbuatan tersebut merupakan kejahatan, 3)Mengenai pengertian “penafsiran” dan “kebebasan berpendapat” para pemuka agama Islam menyatakan bahwa penafsiran itu berbeda dengan kebebasan berpendapat. Hal itu dikarenakan penafsiran harus memenuhi kaidah ilmu tafsir. Sedangkan dalam hal berpendapat, setiap orang mempunyai kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam undang-undang, 4) Mengenai pengertian di ”muka umum”, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa definisi di muka umum adalah ketika suatu pendapat atau pernyataan disampaikan di hadapan publik, baik langsung maupun tidak langsung (media massa), kecuali dalam forum kajian ilmiah, 5) Mengenai aliran kepercayaan, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukan agama, ia adalah produk kebudayaan yang bersumber dari tradisi local, 6) Mengenai agama di luar enam agama yang disebutkan dalam UU No. 1/PNPS/1965, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa mereka harus diberi hak hidup dan dilindungi sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29, 7) Mengenai kriteria yang dapat dianggap menodai agama, para pemuka agama Islam menyatakan bahwa kriteria penodaan agama harus memenuhi unsur sebagai berikut: disengaja; unsur kebencian terhadap agama lain; menghina dan melecehkan; mencemooh dan memaki; mengolok-olok. Selanjutnya pandangan pemuka agama Islam terhadap siapa yang paling berhak menentukan bentuk penistaan/penodaan agama, pemuka agama Islam menyatakan bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang berhak menentukan bentuk penodaan agama dengan tetap memperhatikan pandangan dari pemuka agama Islam di MUI dan ormas Islam. Meskipun demikian terdapat pandangan lain yang menyatakan bahwa MUI yang paling otoritatif dalam menentukan bentuk penistaan/penodaan agama. Closing remarks Terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Di samping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Dalam konteks itulah sebuah regulasi perlu di hadirkan, karena tanpa regulasi maka pengelolaan atas keragaman menjadi riskan. Jakarta, 9 januari 2015 Sumber : Penulis : Editor : |