Golongan tua yang didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan adalah

Jakarta -

Peristiwa Rengasdengklok merupakan salah satu peristiwa penting menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan RI. Peristiwa ini diawali dengan ketidakcocokan pendapat antara golongan tua dan golongan muda.

Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1945. Namun, detikers juga perlu mengetahui latar belakang peristiwa tersebut.

Menurut buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Terpadu 2B SMP Kelas VIII karya Anwar Kurnia, bersamaan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, para pemuda yang dipimpin Chaerul Saleh mengadakan pertemuan di Gedung Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur No. 17 Jakarta. Kini, gedung tersebut merupakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Pertemuan ini terjadi pada 15 Agustus 1945 pada pukul 20.00 WIB. Dari agenda tersebut, didapatkan beberapa keputusan, yaitu:

1. Mendesak Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan hari itu juga.

2. Menunjuk Tikana, Darwis, dan Subadio untuk menemui Soekarno-Hatta dan menyampaikan keputusan rapat. Namun dengan catatan, kemerdekaan tidak diproklamasikan melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

3. Membagi tugas kepada mahasiswa, pelajar, dan pemuda di seluruh Jakarta untuk merebut kekuasaan dari Jepang.

Sesuai keputusan tersebut, pada 22.00 WIB Wikana dan yang lain menemui Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, yang merupakan kediaman Soekarno. Ketika Wikana menyampaikan bahwa proklamasi harus dilaksanakan pada 16 Agustus 1945, Soekarno menolak.

Alasannya, ia tidak dapat melepas tanggung jawab sebagai ketua PPKI dan akan menanyakan hal tersebut pada wakil-wakil PPKI di keesokan harinya. Dari sinilah peristiwa Rengasdengklok dimulai.

Bagaimana peristiwa Rengasdengklok terjadi?

Terhadap penolakan tersebut, golongan muda tidak berputus asa. Mereka kembali bertemu di Asrama Baperpi di Jalan Cikini Nomor 71 Jakarta pada pukul 24.00 WIB.

Dari pertemuan tersebut, mereka memutuskan untuk membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya, adalah menjauhkan kedua tokoh tersebut dari tekanan atau pengaruh Jepang.

Sebagaimana rencana, tanggal 16 Agustus 1945 pada pukul 04.00 WIB, Soekarno-Hatta dibawa para pemuda yang dipimpin oleh Slodanco Singgih ke Rengasdengklok. Para pemuda menyampaikan alasan pada kedua tokoh tersebut bahwa semangat rakyat menyongsong kemerdekaan yang meluap dapat mengancam keduanya jika masih berada di Jakarta.

Setelah berdebat, Soekarno-Hatta akhirnya menerima alasan para pemuda.

Soekarno berangkat ke Rengasdengklok bersama Ibu Fatmawati dan Guntur yang kala itu masih bayi. Sementara Moh. Hatta dan pengawalnya ada di mobil lain.

Demi tidak dicurigai Jepang, Soekarno-Hatta dan para pengawal mereka memakai seragam Peta dan menuju rumah Jiu Kie Song di Rengasdengklok.

Ketika berada di Rengasdengklok, para pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk melaksanakan proklamasi yang terlepas dari pengrauh Jepang. Namun, kehendak tersebut tidak terlaksana dan para pemuda segan untuk terus mendesak.

Akhirnya, Syodanco Singgih berusaha berbicara kembali dengan Soekarno hingga ia setuju bahwa proklamasi akan diadakan tanpa campur tangan Jepang.

Soekarno setuju melakukannya dengan catatan, akan dilakukan jika sudah kembali ke Jakarta. Sehingga, para pemuda segera berencana kembali ke Jakarta.

Pada waktu yang bersamaan, diadakan juga pertemuan di Jakarta antara golongan tua yang diwakili Ahmad Soebarjo dan golongan muda yang diwakili Wikana. Keduanya bersepakat bahwa proklamasi harus dilakukan di Jakarta.

Kemudian, Ahmad Soebarjo menjemput Soekarno dari Rengasdengklok. Rombongan ini diantar Yusuf Kunto dari golongan pemuda dan Sudiro yang merupakan sekretarisnya.

Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 pukul 17.30 WIB. Ketika itu, Ahmad Soebarjo menjamin dengan nyawanya bahwa proklamasi akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945. Dengan jaminan itu, para pemuda bersedia melepaskan Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta.

(nwy/nwy)

Suara.com - Tepat hari ini Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan atau HUT RI ke-76. Di balik usia lebih dari tiga perempat abad ini, sudahkah kita tahu siapa saja tokoh nasional proklamasi kemerdekaan Indonesia?

Kebanyakan masyarakat Indonesia cenderung lebih mengenal Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai proklamator Indonesia. Tapi ada juga nama Sutan Sjahrir dan Achmad Soebardjo yang jasanya tidak kalah besar bagi kemerdekaan Indonesia.

Mengutip Ruang Guru, Selasa [17/8/2021] berikut profil 4 tokoh nasional proklamasi kemerdekaan Indonesia.

1. Ir. Soekarno

Baca Juga: HUT ke-76 RI, Kalimantan Barat Diprediksi Hujan Lebat Disertai Angin

Presiden Soekarno [Instagram Soekarno_Presidenku]

Sosok besar yang namanya sudah tidak asing, Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. Lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Soekarno yang lebih akrab disapa Bung Karno punya banyak peran di bidang politik sejak masa pergerakan nasional hingga masa kemerdekaan.

Setelah pernah diasingkan sementara, Soekarno didesak oleh golongan muda agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki baru saja dibom oleh Sekutu [Amerika Serikat].

Oleh karena itu, menurut pengamatan golongan muda, saat itu merupakan saat yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para golongan muda akhirnya memindahkan Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.

Keesokan harinya, tepat pada 17 Agustus 1945 pukul 10:00 WIB, meski dalam keadaan sakit, Soekarno dengan suara lantang membacakan teks proklamasi yang merupakan tanda Indonesia telah merdeka.

Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970. Bung Karno dikukuhkan sebagai Pahlawan Proklamator berdasarkan Keputusan Presiden No. 081/TK/1986 tanggal 23 Oktober 1986. Di tahun 2012, Soekarno juga dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden No. 83/2012.

Baca Juga: Kisah Heroik Operasi Dwikora Kopral Soetoyo Tahun 1963-1966 di Kaltim

2. Moh. Hatta

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Terjadi perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua menginginkan proklamasi kemerdekaan dilakukan secara terstruktur serta mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Sedangkan Chaerul Saleh, Sukarni, dan pemuda lain menginginkan agar kemerdekaan segera diploklamirkan.

Selain diamankan, Soekarno juga didesak oleh kaum muda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, karena Jepang sudah tidak punya kekuatan lagi setelah kalah dalam perang dunia II, setelah Hiroshima dan Nagasaki dibombardir. Akhirnya terjadi suatu kesepakatan antara kedua golongan, dimana kemerdekaan akan diploklamirkan keesokan harinya, 17 Agustus 1945.

Belajar dari Sejarah

Sebelumnya di tahun 1908, merupakan awal kebangkitan pemuda Indonesia untuk turut berjuang demi bangsa dan negaranya dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Organisasi tersebut menjadi wadah perjuangan pemuda-pemuda Indonesia untuk meraih kemerdekaan.

Dua puluh tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928, dibacakan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II yang merupakan bukti komitmen para pemuda Indonesia yang mengakui bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, berbangsa yang satu, bangsa Indonesia dan  menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Pasca kemerdekaan di tahun 1945, perjuangan para pemuda Indonesia tidak berhenti di sini saja, di saat kemerdekaan itu sudah di ada tangan. Ancaman dan agresi dari negara-negara yang mengganggu rumah tangga Indonesia berhasil ditumpas. Peristiwa 10 November Surabaya, arek-arek Suroboyo yang dengan gagah beraninya melawan sekutu.

Kemudian terbunuhnya Jenderal Wallaby, dan berakhir pada perobekan bendera Belanda yang berwarna Merah, Putih, Biru dan meninggalkan warna merah dan putih. Sang Saka Merah Putih di Hotel Yamato Surabaya, sebelumnya Surabaya diancam akan diluluhlantahkan jika mereka tidak menyerahkan senjata rampasan sambil mengibarkan bendera putih. Bung Tomo lewat pidatonya di RRI, mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan Surabaya, “lebih baik mati daripada menyerah”.

Sejarah memang telah terukir di catatan Indonesia. Namun catatan yang telah diukir dengan tinta darah, keringat, air mata, penderitaan dan semangat juang ini akan luntur dimakan zaman yang kian modern, dan akan sia-sia jika tidak dihayati, dipelajari dan diaplikasikan di kehidupan sekarang. “Experience is the best teacher”. 

Sehingga dari sejarah perjuangan pemuda Indonesia dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini bisa menjadi guru yang terbaik dalam mendidik kita dalam mengisi kemerdekaan yang telah berusia 65 tahun ini bukan hanya sekedar tahu dan hafal sejarah Indonesia melalui buku-buku sekolah, dan mendapatkan nilai 100 pada pelajaran sejarah di sekolah.

Tua Vs Muda

Dari sejarah peristiwa Rengasdengklok di tahun 1945, kita banyak belajar. Golongan tua seakan-akan menunggu kemerdekaan itu, melalui PPKI yang merupakan bentukan Jepang. Sedangkan golongan muda mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan itu, dan kemerdekaan itu adalah perjuangan kita bersama bukan pemberian Jepang.

Alon-alon asal kelakon itulah kiranya sosok golongan tua saat itu, mencari aman dan menunggu waktu yang tepat, dan golongan muda memiliki sifat untuk meraih secepatnya apa yang diinginkan. Biarpun begitu keduanya memiliki kekurangan dan kebaikan serta karakter tersendiri. Golongan tua yang diibaratkan kereta api yang perlahan dan pelan yang penting aman, sedangkan golongan muda adalah kereta “ekspres” yang siap menempuh resiko demi apa yang didapatkan.

Pemuda masa kini

Benjamine Fine dalam bukunya 1.000.000 Deliquents, mengatakan "a generation who will one day become our national leader". Sehingga golongan muda merupakan pilar yang penting bagi bangsa ini. Pilar yang akan kokoh jika dibangun sejak dini dengan kuat pula, pembimbingan, pengaderan pemuda-pemuda Indonesia untuk dipersiapkan sebagai penerus bangsa ini sangatlah diperlukan.

Jangan sampai sejak dini pemuda di Indonesia sudah tidak menyukai bangsanya sendiri. Lebih bangga dengan negara lain melebihi kebanggaan terhadap negerinya. Cinta pada bangsa lain melebihi cinta kepada bangsa Indonesia, dan jangan sampai pemuda-pemuda Indonesia terjerumus pada penjajahan secara moral penjajahan lewat teknologi yang akhirnya menjadi lubang jebakan bagi kita semua.

Jika pemuda sudah memiliki karakter yang kuat dan bersahaja, nantinya ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh para pemuda, maka kekuasaan akan dijalankan dengan penuh kebaikan dan manfaat bagi semuanya. Namun jika pemuda sudah tidak memiliki sikap yang kurang baik, nantinya ketika menjadi pemimpin akan menjadi pemimpin yang kurang baik pula.

Pemerintah harus lebih mengucurkan dana yang lebih untuk program pendidikan pemuda Indonesia ini. Sehingga nantinya pendidikan bisa menjadi modal para pemuda untuk nantinya bisa terjun dalam permasalahan di Indonesia. Pemerintah harus membuka matanya lebar-lebar untuk melihat potensi generasi muda yang begitu luar biasanya, sering memenangkan kejuaraan olimpiade sains di tingkat internasional, dapat membuat kendaraan yang ramah lingkungan dan irit bahan bakar seperti sapu angin yang menyabet juara urban concept pada Shell Eco-Marathon Asia 2010, merupakan bukti potensi generasi muda yang begitu luar biasa dan menjadi asset bangsa ini.

Jangan sampai karya yang mereka buat juga tidak berarti apa-apa. Diperlukan pula proses hak paten bagi karya mereka. Jangan sampai mereka karya-karya mereka dimiliki negara lain, dan yang paling buruk adalah kurangnya kepedulian terhadap bangsa dan negara, sangat sedikit kader-kader muda yang peduli dengan masalah bangsa ini, malah lebih tertarik pada kehidupan hedonis mereka.

Mahasiswa yang merupakan salah satu representasi pemuda Indonesia juga harus melakukan fungsi dan peran mahasiswanya, sebagai Agent of Change, Moral Force, Iron Stock, dan Sosial Control. Janganlah menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, namun jadilah mahasiswa yang luar biasa dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Mari pemuda Indonesia bangkit! Kita isi kemerdekaan yang telah berusia 65 tahun ini dengan kepedulian kita, dan karya kita, ingat di masa lalu pemuda adalah ujung tombak perjuangan Indonesia, dan akan berlanjut hingga kini. Marilah menjadi pemuda yang sesungguhnya.

Mukti Mulyawan
Mahasiswa D3 Teknik Kimia angkatan 2009

Kasus COVID-19 Melonjak di Korsel hingga China, Indonesia Perlu Waspada?

Oleh Liputan6.com pada 16 Agu 2021, 16:19 WIB

Diperbarui 16 Agu 2021, 16:19 WIB

Perbesar

Sukarno, Hatta, dan rumah tempat mereka "diamankan" di Rengasdengklok

Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1945. Peristiwa ini dikenal karena penculikan Sukarno-Hatta oleh golongan muda dengan tujuan untuk segera melaksanakan proklamasi.

Golongan muda tersebut diwakili oleh Wikana, Sukarni, Chairul Saleh, Asmara Hadi, Subadio Sastrosatomo, Sajuti Melik, dan lainnya yang menculik Sukarno-Hata dengan dorongan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Rengasdengklok dipilih menjadi tempat penculikan S\ukarno-Hatta karena tempat tersebut sudah sepenuhnya dikuasai oleh Pembela Tanah Air [PETA].

Sukarno-Hatta bersepakat dengan kelompok pemuda tentang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tempat ini.

Sebelum penculikan terjadi, adanya pertengkaran dan perdebatan perbedaan pendapat antara golongan muda dengan Sukarno-Hatta.

Rapat ini terjadi 15 Agustus 1945 di rumah Soekarno Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.

Penculikan terjadi karena golongan muda menganggap posisi Sukarno-Hatta sangat mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh Jepang.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Perbesar

Foto presiden pertama Indonesia di Rumah Pengasingan Sukarno dan Mohammad Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Kamis [16/8]. Rumah ini menjadi tempat penyusunan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. [Merdeka.com/Iqbal Nugroho]

Setelah adanya perbedaan pendapat antara golongan muda dengan Sukarno-Hatta, Wikana dan Darwis menuju ke salah satu markas golongan muda di Jalan Cikini 71.

Kemudian golongan muda mengadakan rapat di Jalan Menteng 31 yang tempatnya lebih luar, rapat ini juga diikuti oleh kelompok Soekarni dan PETA, di kutip dari Antara.

Karena adanya perbedaan pendapat tersebut, golongan muda menganggap posisi Sukarno-Hatta mudah dipengaruhi dan terpengaruh oleh Jepang.

"Salah satu pemuda, yaitu Johar Noor, kemudian mengusulkan untuk menculik Sukarno-Hatta. Pemuda yang lain setuju. Kemudian dipilih Rengasdengklok yang menjadi salah satu markas PET," kata sejarawan Rusdhi Hoesein, dilansir Antara.

Sutan Syahrir tidak setuju dengan rencana tersebut setelah mendengarnya dari Soebadio yang tidak hadir rapat. Tetapi dengan keputusan sudah dibuat, Sutan tidak bisa berbuat apa-apa

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Perbesar

Sukarno dan Hatta adalah 2 nama yang tak bisa dipisahkan dari kemerdekaan negeri ini.

Pukul 04.30 pada 16 Agustus 1945, Sukarno-Hatta dijemput golongan muda dari rumah masing-masing. Golongan muda membagi dua tugas untuk menjemput Soekarno dan Hatta.

Fatmawati, istri Soekarno menggambarkan para golongan muda yang menjemput suaminya dengan berpakaian seram, terlihat membawa pistol dan sebagian membawa sebilah pisau.

"Dengan gaya jagoannya, dia [salah seorang pemuda] mencabut pisaunya dengan mata terbelalak berseru, 'Berpakaianlah Bung.., sudah tiba waktunya. Aku mengenal salah satu di antara mereka, di antaranya Sukarni,'" ucap Fatmawati.

Golongan muda mendesak Sukarno-Hatta untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno menolak untuk mengumumkannya.

Adanya desas-desus kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Dunia ke-II yang sudah terdengar, tetapi belum ada pernyataan resmi tentang kekalahan itu.

Fatmawati ikut dengan Sukarno menggunakan mobil Fiat hitam yang meluncur ke sebuah tempat yang tidak diketahuinya.

Dalam gambarannya tempat tersebut seperti pos penjagaan. Diketahui lokasi tersebut berada di Jatinegara.

Saat dalam perjalanan, ketersediaan susu anak Fatmawati, Guntur tertinggal. Akhirnya mobil Fiat tersebut mengambil susu tersebut di Pegangsaan.

Sukarno-Hatta bersama keluarga dipindahkan ke sebuah truk yang disopiri Iding. Alasan golongan muda memindahkan karena sedan terlalu besar untuk melewati jalan menuju tujuan akhir.

Ternyata itu merupakan siasat Sukarni dan yang lainnya agar supir tersebut tidak tahu akan dibawa kemana Sukarno-Hatta.

Sukarno-Hatta tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 07.00 disambut oleh seluruh anggota PETA. Dibawa ke rumah milik seorang pemimpin PETA Djiaw Kie Siong, Rengasdengklok agar mudah mendeteksi pergerakan tentara Jepang jika menuju tempat itu.

Sukarno-Hatta di bawa ke sebuah ruangan berlantai papan, tanpa meja dan kursi. Hanya ada tikar pandan. Rupanya temat ini merupakan ruang tidur para prajurit PETA.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Perbesar

Dalam foto itu, senyum Sukarno dan Mao merekah. Bung Karno terlihat sedang mengancingkan kantong baju Mao. [Liputan6.com/Raden Trimutia Hatta]

Soebardjo mendapat laporan dari sekretarisnya pukul 08.00 WIB bahwa Sukarno-Hatta hilang dari Jakarta.

Setelah itu Soebardjo menelpon Markas Angkatan Laut Jepang untuk memberitahu Laksamana Muda Tadashi Maeda bahwa Sukarno-Hatta hilang.

Soebardjo khawatir Sukarno-Hataa diculik penguasa militer Jepang dan keselamatannya terancam, karena itulah Soebardjo meminta bantuan Maeda. Lalu Maeda memerintahkan Nishijima mencari informasi.

Nishijima mendatangi Wikana dirumahnya dan bertanya tentang keberadaan Sukarno-Hatta. Wikana terlihat gugup dan gelisah ketika menjawab ketidaktahuannya mengenai keberadaan Sukarno-Hatta.

Dengan desakannya, Wikana mengatakan gerakan kemerdekaan harus diperjuangkan, bukan sebagai upah yang diterima dari orang lain, meskipun harus dicapai dengan kekerasan.

Wikana menyatakan akan mendatangkan Soekarno-Hatta asalkan keselamatan mereka terjamin Maeda. Maeda akan mendukung proklmasi kemerdekaan Indonesia. Kemudian Soebardjo membujuk mengembalikan Sukarno-Hatta ke Jakarta dengan memberikan jaminan bahwa kemerdekaan Indonesia akan segera terlaksana.

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Perbesar

Rumah Pengasingan Bung Karno - Hatta di Kampung Bojong Tugu, Kelurahan Rengasdengklok. [dok. disparbud.jabarprov.go.id]

Kesepakatan yang terjadi di Jakarta antara golongan tua yang di wakili Ahmad Soebardjo dengan golongan muda yang diwakili Wikana. Kedua golongan tersebut sepakat proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan di Jakarta.

Dengan kesepakatan tersebut, Ahmad Soebardjo dijemput oleh Soebardjo untuk kembali ke Jakarta.

Soebardjo menjanjikan kepada golongan muda yang berada di Rengasdengklok bahwa Proklamasi kemerdekaan Indonesia akan di laksanakan pada 17 Agustus 1945 paling lambat pukul 12.00 WIB.

Dengan jaminan proklamasi kemerdekaan tersebut, Soekarno Hatta diizinkan kembali ke Jakarta. Dan akhirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno dengan didampingi Hatta pada Jumat,17 Agustus 1945.

[Lesty Subamin]

Lanjutkan Membaca ↓

Video yang berhubungan