Di Indonesia lembaga yang berhak melakukan constitutional review adalah

Judicial Review

Menurut Nurul Qamar dalam Jurnal Konstitusi Vol I Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi (hal.2), judicial review dapat dipahami sebagai suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditunjuk oleh konstitusi (dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis.[1]

Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) terdapat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

  3. Undang-Undang (“UU”)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”);

  4. Peraturan Pemerintah (“PP”);

  5. Peraturan Presiden (“Perpres”);

  6. Peraturan Daerah Provinsi (“Perda Provinsi”); dan

  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kab/Kota”).

Namun, dari keseluruhan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan judicial review terhadapnya. Pelaksanaan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di atas oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didistribusikan kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (“MA”), dan Mahkamah Konstitusi (“MK”).

Lembaga yang Berwenang Melakukan Judicial Review

Berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), MA berwenang, antara lain, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Ketentuan-ketentuan tersebut juga kembali diatur dalam Pasal 9 UU 12/2011, yang berbunyi:

  1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; dan

  2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Alternatif Selain Judicial Review

Mejawab pertanyaan Anda, adakah alternatif hukum yang dapat digunakan sebagai upaya untuk membatalkan suatu UU atau setidaknya substansi tertentu dalam suatu UU selain judicial review?

Sistem hukum Indonesia mengenal legislative review dan executive review. Legislative review dan executive review adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu undang-undang melalui lembaga legislatif atau lembaga eksekutif berdasarkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut sebagaimana yang diatur dalam konstitusi pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dan UU 12/2011.

Yang mana dalam UU 12/2011 disebutkan apabila sebuah rancangan perubahan undang-undang berasal dari pemerintah disebut sebagai usulan Pemerintah dan apabila perubahan undang-undang berasal dari DPR disebut sebagai hak inisiatif DPR. Secara sederhana proses dalam legislative review dan executive review merupakan proses pembentukan undang-undang biasa, baik untuk membentuk baru maupun mengubah undang-undang yang telah ada.

Ulasan selengkapnya mengenai legislative review silakan simak artikel Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012.

[1] Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012, hal. 2.

Dalam suatu Negara konsep tentang constitusional review tentunya terdapat perbedaan, perbedaan itu juga dilatarbelakangi melalui sejarah dan pengalaman-pengalaman dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan di masing-masing Negara. Dalam beberapa Negara ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusionalitas kepada lembaga Mahkamah Konstitusi, ada pula tugas itu yang diserahkan kepada lembaga yang sudah ada, yakni Mahkamah Agung, namun ada pula fungsi pengujian itu diserahkan kepada badan-badan khusus (bukan lembaga peradilan yang sudah ada), serta terdapat pula suatu Negara yang tidak menganut fungsi pengujian semacam itu.

Perkembangan sistem pengujian konstitusional berkembang di Negara-negara Demokratis yang selalu disambut antusias baik dari sisi praktek, dunia akademis maupun oleh kekuasaan kehakiman dalam suatu Negara. Hal juga dipengaruhi oleh adanya keinginan dari Negara hukum modern yang ingin menerapkan prinsip check and balance dalam melaksanakan tugas fungsi dan wewenang pejabat pemerintahan.

Konsep Constitusional review atau pengujian konstitusional harus dibedakan dengan istilah Judicial review, alasannya adalah pertama Constitusional review selain dapat dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung Undang-Undang Dasar suatu Negara memberikan kewenangannya. Kedua, Judicial review lebih luas cakupannya, yakni mencakup legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedang Constitusional review hanya mencakup konstitusionalitas terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian Constitusional review atau pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh lembaga apa saja, tergantung konstitusi mengamanatkannya.

Constitusional review atau pengujian konstitusional tidak selalu dilakukan oleh lembaga peradilan ‘court’ sebagai lembaga hokum, akan tetapi juga dilakukan oleh Dewan Konstitusi seperti di Perancis. Kalau dipakai istilah Judicial Review berarti dengan sendirinya lembaga yang menjadi subjek adalah Pengadilan (lembaga Judicial), namun cakupan Judicial lebih luas, tidak hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, akan tetapi juga menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang.

Jika hak uji ‘toetsingrecht’ diberikan kepada lembaga legislative, maka disebut sebagai legislative review, jika dilakukan oleh Pemerintah maka disebut sebagai ‘ekskutive review’. Begitu juga apabila pengujian itu dilakukan tehadap norma hokum yang bersifat abstrak dan umum ‘general and abstract norm’ secara ‘posteriori’ maka disebut Judicial Review, namun apabila pengujian dilakukan terhadap rancangan Undang-Undang yang telah disahkan oleh parlemen namun belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka pengujian seperti itu disebut sebagai Judicial Preview.

Jika pengujian terhadap Undang-Undang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar maka dinamakan sebagai ‘constitutional review’ yakni mengenai konstitusionalitas dari norma hokum yang diuji (judicial review on the constitution of law), namun apabila Undang-Undang yang digunakan sebagai batu uji terhadap peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang maka dapat disebut sebagai (judicial review on the legality of regulation). Begitu juga terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) yang berarti produk regeling, maka itu termasuk dalam pengujian dalam konteks Hukum Tata Negara, sebaliknya apabila norma hokum itu bersifat konkrit dan individual maka termasuk dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.

Ide Negara Hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (the protection of fundamenta rights) merupakan cikal-bakal lahirnya konsep constitutional review sebagai konsekwensi dari system pemerintahan demokratis modern. Dalam system constitutional review itu terdapat 2 (dua) tugas pokok, Pertama, untuk menjamin berfungsinya perimbangan lembaga ekskutif, legislative dan yudikatif. Kedua untuk melindungi seluruh individu warga Negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang telah dijamin oleh Konstitusi.

  1. Perkembangan Sebelum Abad ke – 19

Pada sistem hukum Yunani Kuno di Kerajaan Athena membedakan antara ‘nomos’ dengan ‘psephisma’ yang kurang lebih di zaman sekarang mencerminkan perbedaan antara constitutional law dengan decree. Pada masa itu prinsip yang yang diterapkan secara tegas bahwa ’psephisma’ (decree), apapun isinya tidak boleh bertentangan dengan “nomoi” baik dalam bentuk dan substansinya. Akibatnya apabila ’psephisma’ bertentangan dengan “nomoi”, Pertama para legislator yang memprakarsai pembentukan peraturan dimaksud diancam dengan tanggung jawab pidana (criminal liability), yang member hak kepada public untuk bertindak (public right of action). Kedua ’psephisma’ yang bertentangan dengan “nomoi” itu dianggap tidak berlaku lagi (void).

Selain itu juga dengan diterapkannya di Kerajaan Jerman pada sekitar tahun 1180 dimana banyak terdapat sengketa kewenangan diantara para individu penguasa yang sebagian bahkan berkenaan dengan pelanggaran hak-hak individu. Berbagai aspek constitutional review muncul pada masa pemerintahan Jerman hingga pada akhirnya berlakunya Konstitusi Weimar yang kemudian dikenal sebagai constitutional review dalam sejarah hukum Perancis pada abad ke – 13. Portugal juga memperkenalkan constitutional review dalam Kitab Hukum Philip (Philip’s Code) pada abad 17.

Sesudah pecahnya revolusi Perancis pada abad 18 yang mengangkat ide-ide kebebasan yang kemudian direpresentasikan melalui lembaga parlemen yang merupakan wakil dari rakyat pada saat itu. Bahkan pada abad 1748 Montesquieu telah mnggagas pemisahan kekuasaan Negara secara ketat (strict separation of governmental power), meskipun hal itu menyebabkan lembaga kehakiman turun wibawa. Pandangan yang cenderung meremehkan pengadilan ini didukung oleh dominannya pengruh J.J Rousseau ygn beranggapan bahwa kehendak seluruh rakyat itu menjelma hanya melalui proses legislasi yang ditetapkan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen baru.

Lembaga parlemen sebagaimana disebut diatas bertugas menentukan apakah ‘royal decress’ akan diberlakukan sebagai hukum (loi). Terlepas dari konteks politik yang melatarbelakanginya, karakter yang dilakukan oleh parlement sebagimana tersebut diatas adalah merupakan ciri dari Judicial Review, yang mana juga didalamnya terdapat doktrin yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menilai dan menentukan berlaku atau tidaknya norma hukum dengan prinsip-prinsip yang lebih tinggi, sebaliknya menurut kaum reformist pada saat itu yang mana harus mengutamakan kehendak rakyat yang berdaulat, karna itu hakim harus tunduk kepada kehendak rakyat yang diatur dalam Undang-Undang yang ditetepakan oleh wakil mereka di Parlemen.

Dalam perkembangannya perdebatan masalah Judicial review dan constitutional review di Perancis yakni antara yang mengutamakan supremasi parlemen dan supremasi konstitusi. Pada tahun 1945 – 1946 dalam rangka penyusunan rancangan Konstitusi Perancis, gagasan tentang constitutional review kembali menguat, meskipun pada akhirnya pada tahun 1958 baru dapat diterima secara luas di masyarakat, itupun dengan pembatasan yang sangat ketat, sehingga dapat dikatakan Dewan Konstitusi di Perancis lebih bercorak Politik daripada Hukum.

  1. Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat

Kasus ini berawal dari kalahnya John Adam dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan yang keduanya yang dikalahkan oleh Thomas Jefferson. Pada saat itu John Adam membuat keputusan-keputusan untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya satu hari sebelum masa jabatannya habis. Pada detik-detik menjelang jam 00.00 tengah malam tanggal 3 bulan maret 1801 Presiden John Adam dibantu oleh John Marshall (secretary of State) yang telah resmi sebagai Ketua Mahkamah Agung dengan tetap merangkap sebagai secretary of State menyiapkan dokumen-dokumen pengangkatan beberapa orang untuk menjadi hakim dan duta besar, diantaranya William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe dana William Harper.

namun kopi surat pengangkatan mereka belum sempat diserahterimakan sebagaimana mestinya. keesokan harinya tanggal 4 Maret 1801 ketika Presiden terpilih Thomas Jefferson mulai masuk kantor surat-surat itu ditahan oleh James Madison (secretary of State) yang baru diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson menggantikan John Marshall. atas dasar itulah kemudian William Marbury dan kawan-kawan memalui kuasa hukumnya yakni Charles Lee mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall yakni tuntutannya adalah memerintahkan kepada Pemerintah agar melaksanakan tugas yang dikenal sebagai ’writ of mandamus’ dalam rangka menyerahkan surat pengangkatan itu.

Namun Pemerintahan Thomas Jefferson menolak untuk memberikan keterangan yang diminta Mahkamah Agung, malah kongres yang dikuasai oleh Thomas Jefferson mengesahkan Undang-Undang yang menunda seluruh persidangan Mahkamah Agung selama lebih dari 1 tahun. pada persidangan kemudian muncul pro dan kontra dalam masyarakat Amerika Serikat dalam menanggapi kasus marbury versus Madison. Akan tetapi Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall dalam Putusannya membenarkan bahwa pemerintahan John Adam telah melakukan semua persyaratan ygn ditentukan oleh hukum dan berhak atas surat pengangkatan mereka menurut hukum. namun Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat pengangkatan yang dimaksud, karena Mahkamah Agung berpendapat pengeluaran ’writ of mandamus’ sebagaimana ditentukan oleh section 13 dari judiciary Act bertentangan dengan Aricle III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Lebih dari itu Mahkamah Agung juga membatalkan Undang-Undang yang mengatur tentang ’writ of mandamus’ yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Dengan itulah maka sebenarnya karakter Judicial review telah berlaku dan diterapkan di Amerika Serikat sebelum abad 19.

  1. Pertengahan Abad ke – 19 dan Awal Abad ke – 20

Setelah terjadinya kasus Marbury versus Madison, pemikiran mengenai Judicial review banyak dibicarakan oleh ahli-ahli hukum di daratan Eropa. Bahkan ahli hukum Inggris sendiri yang mengagungkan prinsip kedaulatan rakyat dengan supremasi parlemennya yang dikembangkan oleh JJ. Rousseau dan Baron Montesquieu mulai mengkaji tentang judicial and constitutional review yang dikembangkan oleh John Marshall.

Pada akhir abad ke – 19 George Jellinek mengembangkan agar Mahkamah Agung dapat ditambahkan kewenangan untuk melakukan judicial review, sehingga Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa juridis yang berhubungan dengan perlindungan atas hak-hak politik warga Negara. Sebaliknya dikarenakan di Negara-negara bagian terdapat berbagai putusan berkaitan dengan constitutional complain, maka mendorong Hans Kelsens untuk membentuk mahkamah yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung Federal Austria. Sementara di Negara lain seperti Swis, Norwegia, Rumania dan lain-lain, muncul pula berbagai perkembangan baru mengenai constitutional review atau judicial review.

Kebalikannya di Inggris yang menganut sistem hukum modern justru tidak mengenal constitutional review atau judicial review sama sekali. Dalam perkembanganya sejarah hukum di Inggris mengandung berbagai element constitutional review, misalnya prinsip supremasi konstitusi yang sudah ada sejak tahun 1610 dan sangat berpengaruh terhadap tradisi hukum di Inggris. Contoh yang lain adalah mengenai persoalan mekanisme impeachment yang berasal dari masa-masa akhir abad Pertengahan. Di Perancis parlemen sebagai corong kedaulatan rakyat (supremasi parlemen), sehingga hakim tidak boleh menilai Undang-Undang, lagipula Perancislah yang menjadi contoh pelembagaan ide perwakilan rakyat yang berbentuk parlemen. Bahkan kata parlemen itu berasal dari Parlemen berasal dari bahasa Perancis ‘le parle’ yang berarti ’to speak’ atau berbicara. Oleh karena itu perkembangan constitutional review di Eropa continental, Perancis, Inggris dan Belanda selalu menolak terhadap penilaian lembaga peradilan terhadap Undang-undang buatan parlemen.

  1. Perkembangan di antara dua Perang Dunia

perkembangan pada masa diantara Perang Dunia peranan Austria sangat menonjol karena telah memprakarsai berdirinya institusi verfassungsgerichtshoft (mahkamah konstitusi) yang mandiri diluar Mahkamah Agung yakni Hans Kelsen, untuk itu model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal itu diajukan Kelsen ketika diangkat menjadi anggota Chancelery dalam rangka pembaharuan Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920, gagasan itu yang kemudian diadopsi menjadi Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920. Lembaga inilah yang disebut sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi pertama yang dibentuk di dunia yang memiliki kewenangan ekslusif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Kemudian pola ini diikuti oleh Negara-negara lain sebelum kurun waktu terjadinya perang dunia II, salahsatunya adalah Cekoslovakia (1920), Liechtenstein (staatsgerichtshof, 1925), Yunani (1927), Mesir (1941), Spanyol (1931) dan Irlandia (1937). Sayangnya selama Perang Dunia II kegiatan Mahkamah Konstitusi menjadi terhenti dikarenakan perhatian dunia tercurahkan untuk Perang Dunia II.

  1. Perkembangan Sesudah Perang Dunia II

dari segi sejarah supremasi konstitusi berhadap-hadapan dengan supremasi parlemen, dalam sistem pengujian konstitutionalitas konstitusi maka yang supreme itu adalah konstittusi (the idea of the supremacy of the constitution). untuk menjamin supremasi hukum tertinggi tersebut (the supreme law of the land) diperlukan lembaga tersendiri yang terbebas dari kekuasaan lain yakni eksutif dan legislative. Dianutnya pengujian konstitusi itu juga berkaitan dengan pengertian bahwa kekuasaan harus dipisahkan secara horizontal (horizontal separation of power) antar state organ yang sederajat guna terciptanya prinsip check and balances, disamping pengujian kkonstitusional juga dikaitkan dengan berlakunya prinsip pemisahan kekuasaan secara vertical (vertical separation of power).

Sistem pengujian constitutional sebenarnya berkembang pada Negara-negara federal dimana dianggap penting untuk mengontrol parlemen federal dalam hubungannya dengan Negara-negara bagian, halite berkaitan dengan alasan sejarah akibat perang dan fasisme (perang dunia) yang melahirkan pentingnya mekanisme constitutional review dalam rangka penerapan demokrasi.

disaping alasan historis juga muncul alasan-alasan yang bersifat kelembagaan dan politik. Bahwa dengan adanya constitutional review maka akan melindungi konstitusi dari kekuatan yang dominan baik dari ekskutif maupun legislative, sehingga pemerintah benar-benar akan melaksanakan wewenangnya berdasarkan konstitusi. Untuk kelembagaannya harus dipisahkan dari kekuasaan yang bersifat ekskutif dan legislative, yakni melalui pelembagaan tersendiri ataupun pelembagaan terhadap kekuasaan kehakiman yang sudah ada yakni Mahkamah Agung. Dengan demikian teks konstitusi yang bersifat kabur mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam praktik yang lebih konkrit (practical application).

Secara filosofi maka pemikiran konsep demokrasi modern jika dikaitkan dengan ide pengujian konstitusional maka dapat menyerasikan antara cita-cita hukum alam dengan konkritnya hukum positif, pendek kata dengan konstitusionalisme modern sekarang, natural law kembali mendapatkan tempat berpijak yang realistis dan kontemporer. oelh karena itu setelah berakhirnya Perang Dunia II banyak Negara yang menerima dan mempraktikkan ide ini dalam sistem ketatanegaraannya, selain memang untuk mengantisipasi adanya kasus-kasus constitutional review seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

  1. Perkembangan Pada Dasawarsa 1970-an dan sesudahnya

Pada dasawarsa ini ditandai adanya perubahan politik di berbagai Eropa Selatan yang telah menerapkan konsep pengujian konstitusional yang sebelumnya berlaku rejim kediktatoran. perubahan itu terjadi di Yunani (1968), Spanyo (1978), dan Portugal (1976). Pada waktu yang sama juga diterapkan di Siprus (1960), republic Turki (1961 dan 1963) dan Negara lain di belahan dunia.

  1. Pengujian di Negara Demokrasi Baru

Perkembanga pengujian konstitusional selain berkembang di Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada tahun 1980-an dan 1990-an juga terjadi di Eropa Timur dan Negara-negara yang krisis Konstitusi seperti Afrika Selatan, Korea Selatan dan Thailand dan terakhir Indonesia. Perkembangan yang mengejutkan adalah pengujian constitutional pada Negara-negara bekas jajahan Komunis yang berubah menjadi Demokrasi.

Dalam sistem Negara Komunis yang tercermin dalam struktur kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Tertinggi di semua Negara Komunis dihapuskan, dan diganti dengan sistem pemisahan kekuasaan demi terciptanya check and balaces. Disamping dihapusnya supremation of parlement juga dihapusnya sistem the concentratation dan the centralitation of powers.

  1. Negara-negara eks Komunis Eropa Timur

Runtuhnya Uni Soviet yang kemudian terpecah belah menjadi Negara-negara yang merdeka dan berdaulat dan mengadopsi konsep Demokrasi, sehingga hampir keseluruhan membentuk lembaga Mahakamah Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung. Dalam studi yang dilakukan oleh Herman Schwatz terhadap Mahkamah Konstitusi diberbagai Negara Eropa Timur bekas Komunis maka diamil kesimpulan sama-sama memebentuk Mahkamah Konstitusi pada kurun waktu tahun 1990-an. Pada masa itu Mahkamah Konstitusi berhasil menempatkan sebagai pendatang baru yang menjanjikan perbaikan terhadap (i) pembagian peran antar kekuasaan cabang kekuasaan Negara, (ii) terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan hukum yang diwarisi oleh rejim sosialis komunis sebelumnya, (iv) penguatan rule of law, (v) pembangunan tradisi independensi imparsialitas peradilan, (vi) timbulnya kecenderungan judicial activism.

BAGIAN KEDUA

BERBAGAI MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

Judicial Review di Amerika Serikat (doktrim John Marshall) dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai the Guardian of the Constitution. Judicial Review juga dilakukan pada semua lapisan pengadilan yang ada di Amerika, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri. Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar bersifat spesifik dan termasuk dalam kategori a posteriori review, sedangkan Mahkamah Agung menyediakan untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam yang tersebar putusan hanya mengikat para pihak yang bersengketa, kecuali dalam kerangka prinsip stare decisis. Pada dasarnya putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu Undang-undang bersidat deklaratotir dan retrospektif.

Pengujian konstitusi di Amerika Serikat berbeda dengan Austria, yakni Amerika Serikat menganut sistem commont law atau hukum buatan hakim, tidak seperti di tradisi civil law yang mengharuskan berdasarkan Undang-Undang. oleh karena itu judicial review dan constitutional review tidak memerlukan lembaga tersendiri, cukup melalui lembaga Mahkamah Agung.

  1. Model Austria (Continental Model)

Model Austria dapat disebut juga sebagai Continental Model yang dikembangkan oleh pemikiran Hans Kelsen (1919-1920). Model ini sangat berhubungan antara supremasi konstitusi dengan supremasi parlemen, yakni supremasi parlemen harus diimbangi oleh prinsip konstitusi, sehingga asas kedaulatan rakyat yang tercermin di Parlemen tidak menyimpang dari konstitusi. Peroses pengujian konstitusionalitas dalam model ini berdiri sendiri dengan hakim khusus yang memiliki keahlian di bidang ini yang memungkinkan menguji norma yang bersifat abstrak dan juga norma yang bersifat konkrit, bahkan dapat berupa norma yang bersifat a posteriori ataupun norma a priori.

Putusan Mahkamah konstitusi model ini bersifat erga omnes yang bersifat mutlak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Ciri umum dari sistem ini adalah :

  • constitutional review diterapkan dalam keadaan yang beragam, tergantung sistem yang berlaku di tiap Negara
  • Badan pelaksana pengujian berdiri sendiri, tidak bercampur aduk dengan mahkamah Agung
  • Perkara constitutional complain penyelesaian permasalahannya denga mengadakan pemisahan antara mekanisme constitutional review dari mekanisme yang berlaku di pengailan-pengadilan biasa.
  • jaminan kemandirian dibidang administratif dfinansial dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi
  • terdapat spesialisasi kewenangan dalam institusi pelaksana
  • adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan parlemen
  • hakim dipilih oleh lembaga politik
  • putusan disamping bersifat juridis juga bersifat politis dan fakultatif
  • Bersifat represif.
  1. Model “Constitutionla Council” Perancis (Conseil Constitutionnel)

Conseil Constitutionnel melengkapai lembaga peradilam tertinggi bidang hukum administrasi yang sudah ada sebelumnya yakni “Conseil d’Etat”. Conseil Constitutionnel dilaksanakan oleh dewan konstitusi bukan peradilan konstitusi. Akan tetapi dalam perkembangannya pengujian konstitusionalitas juga dilakukan oleh kamar khusus dari Mahkamah Agung yang bersifat konsultatif. meskipun demikian dalam bidang tertentu yang berhubungan dengan Pemilu pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Agung dapat bersifat represif.

Komposisi keanggotaan Mahkamah Agung adalah terdiri dari ahli-ahli hukum, namun tidak pada Conseil Constitutionnel yang terdiri dari politisi dan birokrat meskipun sebagian besar juga ahli hukum, sehingga lemabag ini disebut semi peradilan. Yang diujipun adalah rancangan Undang-undang yang telah disahkan tapi belum diundangkan. Negara-negara yang pernah dijajah oleh Perancis seperti di Asia dan Benua Afrika lembaga pengawal konstitusinya disebut dengan Dewan Konstitusi.

  1. Model Campuran Amerika dan Kontinental

Model ini adalah campuran antara Amerika dan Eropa Kontinental dan unsur-unsrunya, baik terkonsentrasi maupun satu kesatuan. Dalam sistem ini dapat terpusat di Mahkamah Konstitusi dapat pula pada Mahkamah Agung ataupun pada lembaga tertentu dalam lembaga peradilan yang ada. Para hakim diberikan kewenangan yang luas menurut keyakinannya untuk tidak menerapkan sesuatu aturan hukum yang dinilainya bertentangan dengan konstitusi.

  1. Model Pengujian oleh Special Chambers

Pada model ini terdapat lembaga tersendiri yang menjalankan fungsi konstitusionalitas, tidak pada lembaga Mahkamah Konstitusi, tidak pula pada Mahkamah Agung.

Model Belgia adalah model langka, fungsi pengujian konstitusionalnya tumbuh dan berkembang dalam konsepsi arbitase. Lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas Undang-Undang bukan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung ataupun Dewan Konstitusi, melainkan adalah lembaga yang disebut sebagai lembaga Arbitrase (Court Of Arbitration). Dalam perkembangannya Mahkamah Arbitrase ini melengkapi diri dengan kewenangan baru yakni fungsi constitusional review atas berbagai produk legislative, untuk itu fungsi pengadilan arbitrase di Belgia dapat dikaitkan dengan constitutional arbitratation.

  1. Model Tanpa Judicial Review

Model ini terdapat di Eropa, yakni Kerajaan Inggris dan Belanda yang berpendirian bahwa judicial review tidak seharusnya dilakukan. Kalaupun ide judicial review diterapkan, maka pengujian hal semacam itu hanya sebatas dikenal dalam hukum administrasi Negara. Undang-undang di Belanda dianggap tidak dapat digangu gugat, dan hakim bukan pada posisi menilai Undang-undang. Begitu juga di Inggris tradisi yang dianut adalah common law berdasarkan presedent dan doktrin judge-made law peranan hakim sangat menonjol dalam membuat hukum. Di inggris karena Undang-undang yang disahkan oleh parlemen yang terdiri dari 2 kamar yakni House of Lord dan house of Commons dinilai tidak boleh diuji oleh kekusaan kehakiman, karena secara simbolis parlemen lebih tinggi daripada kekuasaan kehakiman. Lagipula di Inggris tidak terdapat naskah konstitusi yang terkodifikasi sebagaimana yang dianut oleh Negara-negara demokrasi konstitusional.

Hanya saja dalam perkembanganya pernah terjadi pengujian konstitusional, tapi sifatnya hanya prefentif atau untuk pencegahan. Sementara di kerajaan Belanda mirip dengan Inggris, hanya saja ratu atau raja Belanda tidak memiliki kedudukan simbolik sebagai ketua majelis tinggi Belanda. Doktrin yang dianut Belanda adalah bahwa Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat oleh hakim, karna hakim dianggap mulut Undang-Undang, dan tidak dapat bertindak menilai, mengubah, membuat dan membatalkan Undang-Undang.

Negara yang tidak memiliki judicial review belum tentu tidak memiliki mekanisme constitutional review. Bisa saja dalam suatu Negara tidak mengenal pengujian konstitusional oleh lembaga peradilan, akan tetapi mengenal pengujian konstitusional oleh lembaga legislative sendiri ayau badan-badan terkait dengan kekuasaan legislative. Sebagian besar dalam tradisi lembaga komunis menganut sistem ini, karna di Negara komunis berlaku doktrin supremasi of parlement, yakni kedaulatan rakyat secara kolektif terwakilkan melalui Dewan rakyat Tertinggi, sehingga Lembaga Tertinggi itulah yang berhak melakukan penafsir, pembuat, perubah Undang-Undang.

Model ini tidak mesti dapat dikaitkan dengan constitutional review, ia dapat saja terkait atau dikaitkan dan tidak dapat terkait sama sekali. Contoh yang paling gampang berlaku di Indonesia yakni melalui Undang-Undang 32 tahun 2004 yakni memberikan kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri diberi kewenangan untuk menyatakan batal atau mebatalkan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepada Daerah dengan persetujuan DPRD. Pengujian ini tidak dilakukan oleh lembaga Peradilan, akan tetapi dilakukan oleh Pemerintah, terlepas dari kenyataan bahwa telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Alat ukur yang digunakan lembaga penguji adalah bukan Undang-Undang Dasar, akan tetapi hanya Undang-Undang, untuk itu tidak dapat dikatakan sebagai constitutional review. Namun apabila kemudian dipaksakan oleh Pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah terhadap Undang-undang Dasar, bukan tidak mungkin suatu kali Pemerintahpun akan melakukan penafsiran yang memperluas kewenangannya dengan menguji Peraturan Daerah terhadap Undang-undang Dasar.

  1. Model International Judicial Review

Model ini berkembang pada akhir abad ke 20 adalah dengan munculnya bentuk organisasi bernama European Community dan European Union. Pada organisasi tersebut terdapat konstitusi terdapat pula Undang-undang Dasar, dan apabila dilanggar oleh warga Negara dari Negara anggota mana saja maka akan ditangkap dan dijadikan tersangka dan diadili oleh Pengadilan Eropa, untuk itu Supremasi konstitusi bagi Negara anggota menjadi kabur, diatas konstitusi masing-masing Negara masih ada Konstitusi Eropa.

  1. Centralized System Versus Decentralized System

Contoh dari Centralized System adalah tidak semua hakimdisemua tingkatan pengadilan dapat melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan sistem yang memberikan kewenangan pengadilan biasa atau setiap hakim disetiap tingkat pengadilan baik terkait dengan perkara tertentu yang disebut dengan decentralized system. Dengan demikian decentralized system adalah sistem pengujian konstitusional berdasarkan pemegang kewenangannya apakah memiliki secara ekslusif atau tersentralisasi pada lembaga atau hakim tertentu atau daopat dilakukan oleh setiap hakim disemua forum peradilan.

Dalam sistem ini memberikan kewenangan kepada semua tingkatan pengadilan untuk memutuskan konstitutusionalitas suatu aturan hukum. Jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas Undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menytakan bahwa aundang-undang tersebut tidak menerapknanya. Biasanya model ini berdidir sendiri tapi menjadi bagian dari perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim di suatu pengadilan. Model ini biasanya berkembang dalam kerangka common law yang memberikan ruang bagi hakim untuk pembuatan hukum.

Centralized System adalah sistem pengujian yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan konstitusional khusus, bukan kepada pengadilan biasa. Sistem ini ada berdasarkan pemikiran Hans Kelsen yang menyatakan fungsi legislasi akan berjalan dengan baik apabila terdapat lembaga penjaga dan pengontrol konstitusi. Ini kemuadian yang dikenal dengan The Kelsenian Model. Model Centralized System juga dapat berbentuk Conseil Constitutionnel seperti di Perancis, juga dapat terdapat special chamber.

BAGIAN KETIGA

TIGA MODEL UTAMA PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

Dari model-model yang ada, maka sebenarnya tiga model ini yang paling penting dan mempengaruhi model-model pengujian konstitusional di berbagai Negara. Karena perbedaaan pengalaman penerapan antara Amerika dengan Eropa maka terdapat perbedaan dalam penerapannya. Kalau di Amerika dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka di Eropa dilakukan oleh lembaga yang berdiri sendiri yakni Mahkamah Konstitusi. Para hakim di Eropa juga memiliki kedudukan khusus, karena bersifat bukan hakim karir, sedangkan di Amerika berasal dari hakim karir.

  1. Model Kelsenian (the kelsenian model)

Gagasan ini muncul atas dasar untuk memastikan bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Untuk itu menurut Hans Kelsen posisi hakim dalam pengadilan ini harus diisi oleh orang-orang yang benar-benar netral yang sebagian besar berasal dari akademisi. Mahkamah konstitusi menurut hans Kelsen juga diharapkan berfungsi sebagai a negative legialator yang berwenang mengesampingkan dan membatalkan Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi. Namun dalam perkembangannya banyak juga diantara Negara penganut paham parlementer beralih menjadi legialator posisitif, karena banyaknya Undang-Undang yang telah dibatalkan oleh lembaga ini.

  1. Pengangkatan dan Masa jabatan Hakim

Baik Perancis dan Jerman hakim konstitusi dan Dewan Konstitusinya diangkata dalam 1 kali jabatan, yaitu untuk 9 tahun untuk Perancis dan 12 tahun untuk Jerman. Prosedur pengangkatannyapun murni bersifat politis, dimana Presiden Republik, Ketua majelis Nasional dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang uantuk menjadi anggota Dewan Konstitusi setiap 3 tahun sekali. Di Jerman prosedurnya lebih rincidimana hakim konstitusi diajukan oleh Partai Politik dan dipilih di Parlemen atas dasar consensus yang luas dikalangan anggota parlemen. Dewan Konstitusi Perancis apabila dibandingkan dengan mahkamah Konstitusi jerman labih politis. Dewan Konstitusi mencerinkan lembaga politik daripada hukum. Sebaliknya Mhkamah Konstitusi Federal Jerman dianggap lebih bebas dari unsure politik.

  1. Pengujian Abstrak versus Konkrit A Priori versus A Posteriori

Dewan Konstitusi Perancis memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang secara A Priori atau bersifat prefentif, yang berhak mengajukan dibatasi hanya Presiden, Perdana Menteri, Ketua Parlemen, ketua Senat dan 60 orang anggota parlemen atau senator. Sehingga dalam praktek dapat dikatakan bahwa Dewan Konstitusi Perancis ini mirip seolah perluasan saja dari ruang persidangan Parlemen. Sementara mahkamah Konstitusi Jerman dapat melakukan pengujian baik atas norma yang bersifat konrit maupun yang bersifat abstrak dan baik bersifat Priori maupun A Posteriori.

  1. Interpretasi Hukum dan Politik

Dalam sistem Eropa baik Jerman maupun Perancis, para hakim konstitusi maupun councellor DEwan Konstitusi tidak perlu terikat dengan memahami norma-norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Meskipun prinsip penafsiran yang digunakan berbeda antar kedua negaradan berkalinan pula dengan Amerika Serika, tetapi beberapa elemen yang sama. Di Perancis Dewan Konstitusi kadang dikritik karena dinilai berkembang terlalu jauh melampaui apa yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Sementara di Jerman juga berkembang bahwa penafsiran Mahkamah Konstitusi terlalu jauh. Namun demikian bagaimanapun juga pengujian konstitusionalitas oleh Mahakamah Konstitusi Jerman dan mahkamah Agung Amerika lebih kokoh keberadaanya daripada DewanKonstitusi Perancis.

  1. Mahkamah Agung Amerika Serikat

mahakamah Agung Amerika Serikat adalah lembaga yang pertma kali melakukan judicial review terhadap undang-undang hasil buatan parlemen. Kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Amerika Serikat sendiri diatur sangat sedikit apabila dibandingkan dengan cabang kekuasaan uyang lain. Pada sebelum adanya putusan yang dilalukan John Marshall dalam kasus Marbury versus Medison lembaga Mahkamah Agung di Amerika kurang berwibawa, namun setelah adanya putusan atas kasus tersebut lembaga peradilan di Amerika berubah menjadi berwibawa, dikarenakan lembaga peradilan mampu berhadapan dengan pemerintah, bahakan karena peristiwa sejarah itu John Marshall dianggap sebagai hakim agung terbesar dalam sejarah Amerika Serikat sampai dengan sekarang.

Kongres Amerika Serikat berwenang menentukan jumlah anggota mahkamah Agung dari waktu kewaktu yang jumlahnya terus meningkat. Sekarang jumlah hakim adalah 9 orang, 8 orang anggota dan 1 orang Chief Justice. Para hakim jabatannya seumur hidup, namun jika menghendaki dapat menikmati masa pension pada umur 70 tahun sesudah mengbdi 10 tahun sebagai hakim Mahkamah Agung Federal atau pada usia 65 tahun sesudah 15 tahun mengabdi. Setiap hakim biasanya dapat mengangkat 4 orang “law clerk” (staf administrasi hukum), mereka dapat berasal dari lulusan terbaik dari Universitas terkemuka. Disamping itu ketua Mahkamah Agung dapat mengangkat administrative Assistant, Court Counsel, Curator, Director of Data System, Public Information Officer, dan lain-lain.

  1. Mahkamah Konstitusi Austria

Mahkamah Konstitusi ini biasa disebut sebagai The Kelsenian Court. Cukup berbeda dengan yang ada di Amerika, dikarena lembaga ini berdiri sendiri. Mahkamah konstitusi ini yang disebut sebagai Mahkamah Konstitusi pertama yang ada di dunia. Susunan hakim terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, 12 orang anggota, dan 6 orang pengganti yang dari kesemuanya adalah sarjana hukum dengan minimum pengalaman di bidang hukum adalah 10 tahun. Dalam menangani perkara selalu ada 1 hakim yang ditetapkan sebagai permanent permanent untuk jangka waktu 3 tahun. Para hakim diangkat dengan Keputusan Presiden Federal atas usul atau pencalonan yang diajukan oleh 3 lembaga yakni Pemerintah Federal, Dewan Nasional dan Dewan Federal. Berbeda dari Hakim Mahkamah Konstitusi lain yang ada di dunia mereka tidak dapat dikatakan sebagai pekerjaan penuh waktu. Sambil bekerja sebagai hakim mereka dapat bekerja seperti biasa pada institusi awal seperti jaksa, guru besar atau hakim.

Kewenangan Mahkamah tercatat terdapat 9 (sembilan) kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Austria. diantaranya :

  1. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang

Kewenangan ini adalah hal yang pokok dalam konsep jucial review atau constitutional review. Yang diuji adalah norma hukum abstrak. Permohonannya pun dapat dilakukan oleh lembaga Negara ataupun individu warga Negara. Persyaratan untuk mengajukan jucial review pun sangat ketat, yakni ada kerugian yang actual, gangguan secara langsung, dengan tingkat yang tinggi, dan upaya untuk mengembalikan kerugian yang diderita.

  1. Pengujian Legalitas peraturan di Bawah UU

Mahkamah Konstitusi di Austria berwenang dapat menyatakan tidak sah peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal ataupun Negara bagian atas permintaan perorangan atau warga Negara. Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan bertindak atas inisiatifnya sendiridengan alasan prejudiciality yaitu pada saat menangani perkara terkait dengan perundang-undangan tertentu. dalam putusannya Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak mengikat suatu peraturan, bahkan dapat memberikan tenggang waktu untuk mengadakan revisi.

  1. Pengujian Perjanjian Internasional

Dikarenakan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Austria Perjanjian Internasional dapat dijadikan hukum nasional baik memalui Undang-Undang ataupun cukup melalui Peraturan Pemerintah. untuk itu Mahkamah Konstitusi Austria berwenang menguji Perjanjian Internasional yang telah dijadikan hukum nasional.

  1. Perselisihan Pemilihan umum

Mahkamah Konstitusi Austria menurut konstitusi dapat mengadili legalitas hasil pemilu, dan berdasarkan kewenangannya untuk menentukan perolehan atau hilangnya kursi lembaga perwakilan rakyat.

Mahkamah Konstitusi Austria dapat meng- ImpeachmentPejabat tertinggi Negara atas kelalaiannya tidak memenuhi kewajiban hukum atau pelanggaran hukum yang dilakukan pada masa jabatannya.

  1. Kewenangan sebagai Pengadilan Administrasi khusus yang terkait dengan ”Constitutional Complain” individu warga Negara

Dalam keadaan tertentu Mahkamah Konstitusi Austria dapat berfungsi sebagai Pengadilan Administrasi Negara, yakni terhadap keputusan konkrit yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.

  1. Sengketa Kewenangan dan Pendapatan Keuangan antar Negara Bagian dengan Federal

Mahkamah Konstitusi Austria juga memiliki kewenangan memutus sengketa yang berkaitan dengan kekuangan Negara, baik Negara Federasi, Negara bagian yang tunduk pada jurisdiksi pengadilan biasa ataupun pengadilan tata usaha Negara.

  1. Kewenangan memberikan Penafsiran UUD

Mahkamah Konstitusi Austria dapat memberikan pendapat hukum terkait tafsir konstitusi tidak hanya berlaku bagi Negara federal, akan tetapi berlaku pada Negara bagian yang putusannya bersidat final, mengikat dan wajib dilaksanakan.

  1. Dewan Konstitusi Perancis

Counseil Constitutionnel Perancis (Dewan Konstitusi) model Perancis keberadaannya setelah disahkannya Konstitusi Republik Kelima Perancis tahun 1958. Sebelumnya telah ada lembaga peradilan yang disebut Counseil d’Etat (Peradilan Administrasi), akan tetapi tidak ada hubungannya antar satu dengan yang lainnya. Counseil Constitutionnel beranggotakan 9 orang anggota untuk masa jabatan 9 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Anggota Dewan dapat diganti selama 3 tahun sekali sebanyak 3 orang. 3 orang dipilih Presiden, 3 oleh Ketua Majelis Nasional dan 3 lainnya oleh Ketua Senat. Selain itu Mantan Presiden Republik yang diangkat menjadi seorang anggota Dewan dapat terus menjabat untuk seumur hidup.

Anggota Dewan Konstitusi ini sebagian besar berasal dari politisi. Ketentuan lain yang juga penting adalah pemilihan Ketua Dewan Konstitusi juga ditentukan oleh Presiden Republik. Ketua Dewan Konstitusi ini memegang suara kunci apabila dilakukan secara voting dan seri. Untuk pengesahan Undang-Undang rancangan Undang-Undang dapat diajukan kepada Dewan Konstitusi oleh Presiden republik, Perdana Menteri atau salah satu dari Kamar parlemen. selain kewenangan itu Dewan Konstitusi juga berwenang memeriksa dan memutus mengenai legalitas hasil pemilihan Presiden dan menyelanggarakan referendum serta duduk tidaknya anggota wakil rakyat dalam parlemen. Sedangkan kewenangan yang ketiga adalah kewenangan bersifat konsultatif, yakni apabila diminta oleh Presiden dalam hal-hal yang bersifat darurat.

Mengenai hakikat dan akibat hukum dari putusan Dewan Konstitusi berisi persetujuan atas dasar ketentuan hukum materiel yang berlaku dan prosedur hukum formal menurut tahap-tahap procedural yang berlaku, analisis dalil-dalil hukum dari semua pihak terkait, dan perumusan prinsip-prinsip yang berlaku terhadap perkara terkait untuk menjawab permintaan yang diajukan oleh Pemohon. Sedangkan akibat hukum dari putusan dapat dikemukakan bahwa putusan Dewan Konstitusi Perancis mengikat semua lembaga. Sedangkan putusan konstitutionalitas suatu peraturan dapat menyebabkan peraturan yang bersangkutan sebagian di revisi.