Deskripsikan sikap dan perilaku sehari-hari yang perlu dikembangkan pada masyarakat multikultural

Deskripsikan sikap dan perilaku sehari-hari yang perlu dikembangkan pada masyarakat multikultural

Oleh : Prof. Dr. H. Zainal Abidin, M.Ag.

“Damai itu indah” selogan ini seringkali kita dengar bahkan dijadikan motto untuk mendorong terciptanya keharmonisan antar sesama. Damai memiliki banyak arti. Damai dapat berarti sebuah keadaan tenang. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri. Damai dapat pula diartikan sebuah harmoni dalam kehidupan alami antar manusia di mana tidak ada perseturuan ataupun konflik,dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Konsepsi damai setiap orang berbeda sesuai dengan budaya dan lingkungan. Orang dengan budaya berbeda kadang-kadang tidak setuju dengan arti dari kata tersebut, dan juga orang dalam suatu budaya tertentu. Namun, secara sederhana, damai dalam kehidupan sosial dapat diartikan tidak adanya kekerasan atau perang dan sistem keadilan yang berlaku baik untuk pribadi maupun dalam sistem keadilan sosial politik secara menyeluruh.

Memelihara perdamaian tidak semudah membalikan telapak tangan. Butuh beberapa aspek,baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam meliputi dorongan diri sendiri untuk berperilaku damai, sedangkan dari luar adalah hal-hal yang mempengaruhi. Mengapa demikian? Ada faktor-faktor yang berpotensi dapat mempengaruhi seseorang bersikap anarkis dan radikal. Seperti pemberitaan-pemberitaan yang tidak independen dan akurat, kecanggihan teknologi untuk memprovokasi dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini, kekerasan tampaknya kian akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya beragam bentuk kekerasan, mulai dari konflik sosial,tawuran antar kampung atau antarsuku, geng motor,perkelahian pelajar hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kenyataan ini menandakan semakin memudarnya semangat perdamaian dalam kehidupan.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab, tergantung dari sudut pandang mana yang dipergunakan untuk memahaminya. Tidak mudah untuk mengurai dari berbagai faktor yang ada karena masing-masing faktor saling memiliki keterkaitan. Namun satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah bagaimana menghentikan, atau paling tidak mengurangi, agar kekerasan tidak semakin berkembang. Tanpa adanya usaha pencegahan, kekerasan akan semakin meluas dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial kemasyarakatan.

Membangun Budaya Damai Sejak Dini harus diciptakan. Ingat pepatah “bisa karena terbiasa”, jika selalu berupaya menciptakan kedamaian dan menjaganya maka ia akan menjadi suatu budaya. Memang untuk memulai suatu kebiasaan sangat sulit, harus dengan dipaksa-terpaksa-biasa-terbiasa dan akhirnya membudaya.

Membangun perdamaian sejati mesti sampai pada menciptakan budaya damai. Budaya damai itu menyangkut pola pikir, cara bersikap, perilaku, karakter, mentalitas, keyakinan, pola hubungan dengan pihak lain, tata kehidupan bersama yang ditandai dengan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kesetaraan, demokrasi, dan solidaritas. Budaya damai itu menyangkut bagaimana kita menata suatu kehidupan bermasyarakat baru yang bebas dari kekerasan, penindasan, monopoli, dan peminggiran.

Singkatnya, budaya damai itu adalah damai yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai budaya damai itu Deklarasi PBB (1998) menyatakan: budaya damai adalah seperangkat nilai, sikap, tradisi,cara-cara berperilaku dan jalan hidup yang merefleksikan dan menginspirasi :
Pertama, Respek terhadap hidup dan hak asasi manusia. Kedua, Penolakan terhadap semua kekerasan dalam segala bentuknya dan komitmen untuk mencegah konflik kekerasan dengan memecahkan akar penyebab melalui dialog dan negosiasi. Ketiga, Komitmen untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemenuhan kebutuhan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Keempat, Menghargai dan mengedepankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Kelima, Penerimaan atas hak-hak asasi setiap orang untuk kebebasan berekspresi,opini dan informasi. Keenam, Penghormatan terhadap prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, demokrasi,toleransi, solidaritas, kerjasama, pluralisme, keanekaragamanbudaya, dialog dan saling pengertian antar bangsa-bangsa, antar etnik,agama, budaya, dan kelompok-kelompok lain dan serta individuindividu.

Oleh karena itu, untuk membangun budaya damai harus dilakukan sejak dini melalui pembentukan karakter generasi muda. Dalam hal ini, tri pusat pendidikan (keluarga, lembaga pendidikan dan lingkungan) harus berjalan seiring dan saling mendukung dalam membangun budaya damai.Keluarga adalah tempat dimana generasi berkembang. Di keluarga itulah, secara berangsur-angsur anak-anak membentuk sikap hidup. Di sana pula merupakan tempat pembibitan dasar-dasar kebudayaan yang kelak akan
mampu dianut oleh generasi tersebut.Oleh karena itu, keluarga merupakan tempat yang paling tepat untuk membangun budaya damai. Sebab, keluarga memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.

Jika ditelusuri secara mendalam, budaya kekerasan dapat tumbuh berkembang dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga, misalnya, memiliki andil dalam mewariskan budaya kekerasan kepada anak-anak. Bahkan, mungkin tidak pernah kita sadari bahwa memaksakan kehendak secara semena-mena kepada anak, tanpa mendengar apa kehendak dan keinginan sang anak, adalah juga bagian dari pola pembudayaan kekerasan (non-fisik). Dalam pemilihan sekolah anak misalnya, sangat besar kemungkinan terjadi kekerasan non fisik ini. Anak-anak bersekolah hampir selalu atas keinginan orangtuanya. Akibatnya, anak diharuskan untuk patuh dan tunduk kepada sekolah pilihan orang tua tanpa dapat ditawar lagi.

Di era sekarang ini, terutama di daerah perkotaan, peran keluarga semakin berkurang karena masing-masing orang tua sibuk dengan pekerjaan. Akibatnya, anak-anak tidak memperoleh kasih sayang dan perhatian yang cukup. Belum lagi media massa, khususnya televisi,banyak mempertontonkan tayangan berbau kekerasan. Singkat kata, televisilah yang lebih banyak menanamkan nilai-nilai perilaku kepada anak dibanding orang tua.
Selanjutnya, lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi) juga memilikan peran signifikan dalam membentuk budaya damai. Hal ini karena sebagai proses dan kondisi yang dihasilkan melalui praktik sosial,maka budaya damai hanya mungkin terjadi melalui pendidikan perdamaian,yaitu suatu pendidikan yang menekankan anak untuk hidup secara damai dengan lingkungan hidup dan sesama manusia. Dalam pendidikan perdamaian, sejak dini anak-anak diajarkan untuk tidak melakukan diskriminasi dan penghinaan terhadap orang lain. Sebaliknya anak-anak didorong untuk memiliki rasa toleransi dan mencintai sesama manusia dan lingkungannya.

Dalam konteks Indonesia, yang sangat majemuk, maka pendidikanberbasis multikultural menjadi sangat strategis. Dengan pendidikan semacam ini maka peserta didik dapat mengelola kemajemukan secara kreatif. Melalui pendidikan multikultural diharapkan konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa di masa depan.

Pendidikan berbasis multikultural layak dikembangkan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat pendidikan dasar sampai denganpendidikan menengah. Pendidikan berbasis Multikultural sebaiknya dapat dikembangkan ke dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah rawan konflik sosial). Pendidikan berbasis multikultural akan menjadi sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat secara luas. Melalui pendidikan berbasis multikultural,sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untukmemahami dan menghargai keberagaman. Pertama, pendidikan berbasis multikultural selayaknya dipandangsebagai program pendidikan, dalam makna pendidikan (education) bukan kegiatan persekolahan (schooling) atau sekedar menjadi program-program sekolah formal. Kedua, selayaknya pendidikan berbasis multikultural ini jangan sampai menyamakan pandangan bahwa kebudayaan sebagai kelompok etnik. Oleh karena individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan.

Ketiga, dengan pengembangan pendidikan berbasis multicultural pada pendidikan di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara konseptual antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial dalam kelompok etnik tertentu.

Nama : Zuliadi Prabowo
NIM : 2301965353

Multi artinya banyak, sedangkan kulturalisme artinya aliran/ideologi budaya. Multikulturalisme berarti pandangan yang mengakomodasi banyak aliran atau ideology budaya. Multikulturalisme mengkonsepkan pandangan terhadap keanekaragaman kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya di dalam realitas masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial, praktik budaya, adat-kebiasaan, dan filosofi politik yang dianut dalam konteks tertentu. Multikulturalisme tidak bertujuan untuk menciptakan keseragaman ala monisme atau pun penciptaan budaya universal ala pluralisme. Multkulturalisme lebih maju dari monisme dan pluralisme.

            Mencermati hakikat eksistensi-faktual masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa dengan berbagai latar belakang primordial yang tumbuh di dalamnya, maka Indonesia sungguh tak mungkin mengadopsi monokulturalisme sebagai perekat hidup kita bersama yang serba beraneka ini. Kita pun tak cukup hanya sampai pada paradigma pluralisme. Sebab pluralisme hanya barulah pada tahap standar bagi sikap penolakan kita akan paradigm monisme-monokultur atau homogenitas dalam hidup berbangsa/bernegara. Kita mau berlangkah lebih jauh, lebih tinggi, lebih lebar dan lebih dalam menuju apa yang disebut multikulturalisme itu. Mengapa multikulturalisme? Karena di dalam multikulturalisme kita mengakui dan menghormati perbedaan sosial dan unsur-unsur latar budaya kita sebagai suatu rahmat, suatu anugerah, suatu kekayaan, suatu hadiah. Kita tidak melihat atribut identitas perbedaan kita sebagai ancaman atau petaka-katastrofis sosial. Multikulturalisme adalah hadiah Tuhan bagi kita yang mengaku orang Indonesia sebagai satu-satunya nation state dengan etnis terbanyak menyebar di seantero ribuan pulau negeri ini.

Indonesia patut diklaim sebagai realitas bangsa yang pluralistis atau heterogen. Dalam kondisi pluralistik inilah setiap kita menenun dan merajut hidup bersama menuju peningkatan kualitas kehidupan lebih baik. Dan jalan terbaik untuk merajut hidup kita ke arah lebih baik itu yakni jalan budaya. Bingkai kebudayan ditaruh pada kesadaran tiap orang yang selalu berkepentingan untuk merajut hidup yang lebih baik dan mengusahakan jalan kebudayaan sebagai “in leading a good life‟ (Sutrisno: 2011, hal. 148). Di jalan budaya itulah kita Indonesia bisa bertahan hidup sebagai nation state di planet bumi yang sudah berusia 4 miliaran tahun ini.

Indonesia patut menerapkan filosofi multikulturalisme karena Indonesia sungguh kaya akan perbedaan. Indonesia berbeda dalam aspek etnis, budaya, agama dan ras. Ini semuanya terjadi karena negeri kita memiliki kondisi geografis, iklim dan lingkungan alam yang berbeda-beda. Jawa beda dengan Sumatera. Kalimantan beda dengan Sulawesi. Papua beda dengan Jawa. Flores beda dengan Sumatera. Timor beda dengan Bali dst. Semuanya ini memungkinkan suku-etnis di Indonesia berbeda dalam dimensi sosio-budaya (agama/spiritual, adat-tradisi, kebiasaan, pola pikir, pola perilaku dll). Multikulturalisme perlu terus disadari, dihayati dan diperjuangkan dalam praksis hidup harian meng-Indonesia menuju kebaikan bersama sebagai negara bangsa.

            Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, membuktikan bahwa Indonesia sangat membutuhkan pengamalan paham multikulturalisme karena sangat banyaknya keberagaman. Banyaknya suku-suku yang tersebar di ribuan pulau di Indonesia dengan berbagai agama, bahasa, budaya, dan kehidupan sosialnya adalah anugrah Tuhan yang harus kita syukuri dan kita jaga.

Walaupun demikian, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita bersama. Sebagai contoh belum terakomodirnya kepercayaan pada Ketuhanan atau religiositas identitas-identitas kultural etnik, religi-religi lokal karena secara formal agama yang diakui hanya 5: Islam; Kristen; Katolik dan Kristen Protestan; Hindu; Budha. Selain itu budaya materialisasi pada masyarakat yang semakin melekat yang menjadikan ekonomisasi dengan prinsip untung nomor satu serta politisasi kebenaran absolut identitas suatu kelompok adalah hal-hal yang menjadi tantangan kita bersama.  

Adanya beberapa hal tersebut yang menjadi pekerjaan rumah bersama bangsa Indonesia harus dihadapi dengan bijak, baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Lalu, bagaimana peran generasi muda Indonesia dalam menghadapi hal-hal diatas? Bagaimana pendidikan dapat membantu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi multikulturalisme? Pendidikan multikultur merupakan pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada generasi muda agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, terbiasa hidup berdampingan dalam keragaman watak dan kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat. Ada lima alasan mengapa pendidikan multikultur diperlukan yaitu:

  1. Perubahan kehidupan manusia Indonesia yang disebabkan oleh kemajuan ekonomi memperbesar jurang sosial antara kelompok atas dan kelompok bawah.
  2. Adanya perpindahan dan mobilitas penduduk yang cukup tinggi yang menyebabkan adanya pertemuan yang sering dan intens antara kelompok dengan budaya yang berbeda.
  3. Semakin terbukanya daerah-daerah pedesaan.
  4. Berbagai konflik sosial-budaya yang muncul akhir-akhir ini memperlihatkan adanya kesalahpahaman budaya yang sangat besar antar-kelompok yang bertikai.
  5. Menghapus mitos dan tafsiran sejarah yang tidak menguntungkan bagi persatuan bangsa.

Oleh karena itu, pengembangan pendekatan multikultural harus didasarkan pada tiga prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan sebagai dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya di lingkungan pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar para pemuda.

Pendidikan moral juga harus ikut dikemas dalam pendidikan multikultur. Dalam membentuk perilaku moral seseorang, proses belajar memegang peranan penting. Untuk itu, pengaruh lingkungan sebagai tempat melakukan proses belajar sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral. Sayangnya, pendidikan moral dan pembentukan moral tidak lagi menjadi komitmen. Orientasi dan perilaku moral dikesampingkan dan digantikan oleh kecerdasan pikiran, keahlian dan berbagai perilaku tampil di lapisan luar.

Dalam pendidikan multikultur, nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan perlu ditanamkan. Kelompok tertentu diharapkan tidak merasa lebih tinggi dari kelompok lain. Untuk itu, kerja belajar kooperatif dan kolaboratif dikembangkan secara aktif dalam memberikan kesadaran akan kesetaraan dan kebersamaan tersebut. Kegiatan seperti itu akan membiasakan untuk berinteraksi dengan kelompok lain yang memiliki perbedaan. Kondisi ini memaksa seseorang untuk lebih memahami kelompok lain maupun orang lain agar tujuan dapat tercapai dengan baik.

Kesadaran nilai kemanusiaan juga menjadi hal yang penting. Pemahaman akan adanya eksistensi manusia secara utuh juga diperlukan. Memahami manusia dengan keberadaanya perlu menyadari bahwa manusia memiliki kemerdekaan yang perlu dihargai.