Ceritakan secara singkat pelabuhan Sunda Kelapa sampai menjadi Jayakarta

KOMPAS.com - Fatahillah atau Faletehan, merupakan panglima pasukan Kerajaan Demak-Cirebon yang memimpin penaklukan Portugis di Sunda Kelapa pada 1527.

Setelah mengusir Portugis, ia menggganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti kota kemenangan.

Nama Faletehan didapat dari orang Portugis bernama Joao de Barros dalam bukunya yang berjudul Decadas da Asia.

Kendati demikian, asal-usulnya masih diperdebatkan oleh para ahli hingga saat ini.

Bahkan ada yang mengganggap bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama.

Benarkah Fatahillah merupakan orang yang sama dengan Sunan Gunung Jati?

Baca juga: Pangeran Jayakarta, Penguasa Jakarta yang Paling Diburu VOC

Asal-usul

Mengenai asal-usul dari Fatahillah terdapat banyak pendapat dan riwayat yang dikemukakan oleh para sejarawan.

Salah satu pendapat mengemukakan bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang memilih untuk hijrah ke Mekkah setelah tanahnya dikuasai Portugis.

Setelah beberapa tahun di Mekkah, Fatahillah kembali ke tanah air, tetapi bukan ke Aceh, melainkan ke Jawa, tepatnya di Kerajaan Demak.

Selain itu, ada pendapat yang meyakini bahwa Fatahillah adalah keturunan raja dari Arab dan masih keturunan Nabi Muhammad, yang kemudian menikahi putri Raja Pajajaran.

Pendapat lain menyebutkan bahwa Fatahillah lahir pada 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda dan Nyai Rara Santang.

Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda disebut sebagai pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim, sedangkan Nyai Rara Santang adalah putri Raja Pajajaran, Raden Manah Rasa.

Soal hubungan keluarga, banyak yang meyakini Fatahillah merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati.

Baca juga: Prabu Siliwangi, Raja Terhebat Kerajaan Pajajaran

Menaklukkan Sunda Kelapa

Terlepas dari perdebatan asal-usulnya, Fatahillah diakui sebagai panglima perang yang berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.

Para Sejarawan berpendapat bahwa Fatahillah menginjakkan kakinya di Jawa pada 1525, tepatnya di Tanah Sunda.

Kedatangannya disambut baik oleh Raja Sunda, Prabu Surawisesa, yang dikenal oleh Portugis sebagai Raja Samio.

Kerajaan Sunda pada saat itu telah melakukan kerja sama dengan Portugis guna melegitimasi kekuasaannya di Sunda Kelapa dari kekuatan politik Islam di wilayah Jawa atau Mataram.

Namun, Fatahillah menilai bahwa kehadiran Portugis di Sunda Kelapa merupakan ancaman bagi seluruh wilayah Nusantara, terutama Jawa.

Fatahillah kemudian pergi ke Demak dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Trenggono, penguasa Kerajaan Demak saat itu.

Baca juga: Sultan Trenggono, Raja Demak yang Menaklukkan Majapahit

Sultan Trenggono kemudian menikahkan adik perempuannya dengan Fatahillah.

Selain itu, Fatahillah juga diberikan kuasa terhadap ribuan prajurit untuk mengislamkan Sunda dan merebut Sunda Kelapa dari Portugis.

Dalam perjalanannya ke Sunda Kelapa, Fatahillah singgah di Kesultanan Cirebon untuk menggabungkan kekuatannya.

Fatahillah diperkirakan membawa 20 kapal yang mengangkut sekitar 1.500 pasukan di bawah pimpinannya.

Ekspedisi itu mulai dilancarkan pada 1526 dan berakhir pada 22 Juni 1527, ketika pasukannya berhasil mengalahkan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa.

Setelah berhasil mengusir Portugis, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.

Penaklukkan Fatahillah atas Portugis pada 22 Juni 1527 kemudian diperingati sebagai hari jadi Jakarta.

Baca juga: Perlawanan Demak terhadap Portugis

Hubungan dengan Sunan Gunung Jati

Sejarawan seperti Slamet Muljana dan Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan orang yang sama.

Mereka meyakini bahwa Fatahillah, selain sebagai penakluk Sunda Kelapa, juga sebagai seorang pedakwah agama Islam di Cirebon hingga akhir hayatnya pada 1570.

Namun, pendapat itu dibantah, bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua orang yang berbeda.

Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Fatahillah dan Sunan Gunung Jati yang berada di lokasi berbeda.

Selain itu, pendapat terkait sepak terjangnya juga berbeda. Fatahillah dikenal sebagai seorang panglima perang Demak.

Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah anggota dari Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Jawa.

Referensi:

  • Ali, Rahmat. (1995). Fatahillah Pahlawan Kota Jakarta. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta -

Selamat hari ulang tahun kota Jakarta. Tim detikcom pernah memproduksi video soal sejarah kota Jakarta yang dirilis pada 21 Juni 2020. Sejarah kota Jakarta sendiri berawal dari bandar tua bernama Sunda Kelapa, yang berganti menjadi Jayakarta oleh Fatahillah, mengalami perluasan wilayah saat bernama Batavia di era kolonial, menjadi Jakarta Tokubetsu Shi pada masa Jepang dan dikukuhkan menjadi Jakarta secara resmi pada tahun 1949.

Hari ulang tahun Jakarta yang jatuh tiap tanggal 22 Juni tidak lepas dari peristiwa perebutan Sunda Kelapa yang dilatari perebutan pengaruh jaringan perdagangan di wilayah pantai utara pulau Jawa yang terjadi pada 494 tahun lalu. Dua koalisi yang terlibat dalam peristiwa itu adalah kerajaan Sunda Pajajaran yang masih bercorak Hindu yang bekerja sama dengan Portugis, dan kekuatan Islam yakni Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon

Pada awal abad ke-16, Jakarta kala itu masih bernama Kalapa atau dikenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa yang terletak di muara sungai Ciliwung dan menjadi pelabuhan utama Kerajaan Pajajaran. Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso, menceritakan peristiwa perebutan bandar Sunda Kelapa itu dilatari persaingan antara kekuatan Islam dengan kekuatan non-Islam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Jadi jaringan perdagangan islam yang ada di nusantara terutama di Jawa ingin mengamankan seluruh daerah pantai utara Jawa dari kemungkinan kedatangan kekuatan yang bisa berpotensi membahayakan kekuatan Islam," ujar Bondan.

Saat itu, Sunda Kelapa sendiri dinilai merupakan pelabuhan yang strategis di pulau Jawa. Pasalnya, lokasi Sunda Kelapa berdekatan dengan Selat Sunda dan Selat Malaka yang bisa menghubungkan nusantara ke Samudera Hindia.

"Karena itu Sunda Kelapa memiliki arti yang sangat penting, karena Banten ketika itu belum berkembang menjadi pelabuhan besar. Dan karena itulah kemudian Sunda Kelapa harus jadi kota pelabuhan yang dikuasai pedagang muslim kalau ingin kegiatan perdagangan Islam di nusantara tetap bisa berkembang dan terhubung dengan dunia maritim di samudera Hindia, karena dia adalah pintu masuk yang dekat dengan selat Sunda," ujar dosen Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tersebut.

Bondan menyatakan saat itu kerajaan Pajajaran yang berpusat di wilayah Pakuan (Bogor) atau di pedalaman pulau Jawa bagian barat memiliki kontak hubungan dengan kekuatan yang ada di luar pulau Jawa, yakni Portugis yang pada tahun 1511 menguasai Malaka. Pajajaran yang juga merasa terancam dengan berkumpulnya jaringan perdagangan Islam di Jawa bagian tengah melihat Portugis bisa menjadi kekuatan yang membantu mereka menahan laju kekuatan Islam.

"Malaka ini adalah emporium, kota dagang besar yang menjadi pusat dari kegiatan perdagangan Islam di nusantara. Dengan dikalahkannya Malaka oleh Portugis, maka Pajajaran itu melihat bahwa Portugis inilah kekuatan selain muslim yang bisa mempertahankan eksistensi mereka di pedalaman Jawa Barat," ujar Bondan.

Dikutip dari buku "Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta" karangan ahli sejarah kota Jakarta, Adolf Heuken SJ, pada 1522, perjanjian antara Sunda dengan Portugis terjalin setelah seorang Portugis, Enrique Leme, mengunjungi Sunda Kelapa dengan membawa hadiah bagi Raja Sunda yang disebut Samiam atau Sangiang (lafal Portugis untuk Sang Hyang), yakni Raja Surawisesa.

Kemudian pada tanggal 21 Agustus 1522 suatu perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal dijalin. Dalam tulisannya, Heuken menyebut Perjanjian ini menjadi perjanjian internasional pertama di Indonesia. Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar yang dinamakan batu Padrao ditanam di pantai, sebagai tugu peringatan akan perjanjian.

Dalam perjanjian itu, orang Portugis mendapat izin untuk mendirikan sebuah gudang dan benteng di tepi Ciliwung. Sedangkan Pajajaran memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan perdagangan terutama lada, dan juga dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah.

Menurut Heuken, raja Pajajaran ingin sekali bersahabat dengan pelaut Portugis. Ia merasa terancam oleh Kesultanan Demak yang ekspansif, karena sudah merebut kota pelabuhannya yang kedua, yakni Banten. Sunda merasa terhimpit dan membutuhkan sekutu yang kuat.

Namun, perjanjian Sunda-Portugis itu juga kemudian mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, pada tahun 1527, Sultan Trenggana mengutus Fatahillah mengancam Kalapa dengan 1.452 orang tentara. Heuken menulis Fatahillah merupakan panglima pasukan Cirebon yang sebelumnya pada 1525/1526 ikut merebut atau bahkan memimpin serangan atas Banten.

Lebih lanjut, Bondan menyatakan Fatahillah bersama gabungan pasukan Islam relatif mudah menguasai Sunda Kelapa karena pihak Pajajaran masih dalam persiapan membangun pertahanan dan kerjasama dengan Portugis belum sempat terealisasi. Pasalnya, penyerangan itu terjadi sebelum tahapan pendirian benteng dan kerjasama militer antara Sunda-Portugis.

Saat kapal Portugis menghampiri Sunda Kelapa untuk melaksanakan kesepakatan, mereka belum mengetahui adanya pergantian kekuasaan di Sunda Kelapa.

"Jadi ketika mereka datang mereka ga tahu tuh kota pelabuhan sudah diduduki kekuatan Islam. Dan ini yang menyebabkan Portugis dengan mudah dipukul mundur. Kan mereka ga tahu, ini yang berkuasa di Sunda Kelapa siapa? Apakah dulu yang mengikat perjanjian atau bukan? Kan mereka ga kenal, mungkin ketika melihat orang-orangnya sama saja, orang-orang Indonesia, ya mereka anggap sama aja, lalu tiba-tiba diserang," jelas Bondan.

Setelah peristiwa itu, Fatahillah kemudian menjadikan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Islam dan menjadi rangkaian jaringan perdagangan Islam yang ada di pantai utara Jawa.

"Dengan berkuasanya kekuatan Islam kota Pelabuhan itu otomatis menjadi pelabuhan muslim, jadi itu merupakan rangkaian jaringan perdagangan muslim yang ada di pantai utara Jawa. Dan dengan itu, kerajaan Pakuan Pajajaran kehilangan aksesnya ke pesisir dan itu terputusnya mereka dengan dunia luar yang menyebabkan kekuatan Pakuan Pajajaran runtuh. Ini sekitar pertengahan abad ke-16, tahun 1527. Itu yang terjadi," ujarnya.

Sejumlah versi menyebut, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti "kemenangan yang sempurna." Meski demikian, Adolf Heuken menulis tidak ada dokumen yang menyebut pergantian nama menjadi Jayakarta. Menurutnya, nama Jakarta baru muncul dalam dokumen yang ditulis pada 1560 oleh Joao de Barros dalam Da Asia yang terbit pada tahun 1615.

Sementara itu, Bondan Kanumoyoso menyatakan kisah perubahan nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta masih menjadi kontroversi. Sebagai sejarawan, ia sendiri mengaku belum mendapat catatan sejarah yang memuaskan kenapa nama Jayakarta yang berasal dari bahasa sansekerta dipilih meski sudah berganti penguasa dan menjadi pelabuhan Islam.

"Jadi agak meragukan sebetulnya, apa yang sebetulnya terjadi ini perlu di cek. Kenapa kota itu masih dinamakan nama sanskrit, yang berbau pengaruh Hindu. Padahal penguasanya adalah Islam. Saya sendiri belum menemukan penjelasan yang cukup memuaskan ya. Mungkin harus riset tersendiri mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi kenapa dinamakan Jayakarta, karena Jayakarta itu bahasa sanskrit dan bukan bahasa Arab," jelas Bondan.

Sementara terkait tanggal lahir kota Jakarta, Bondan menyatakan hal itu ditetapkan berdasarkan keputusan politik pemerintah kota Jakarta setelah Indonesia merdeka. Pemilihan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jakarta diresmikan Wali Kota Jakarta Sudiro pada 1956 dan mengacu pada satu peristiwa di bandar tua bernama Sunda Kelapa ratusan tahun silam.

Simak Video "Pertempuran di Balik Hari Lahir Jakarta"


[Gambas:Video 20detik]
(hnf/hnf)