Cerita tentang perayaan hari suci Siwaratri terdapat dalam Kekawin

MENJELANG dan menyambut pelaksanakan brata-Siwaratri, umat Hindu di tanah air diingatkan dengan kisah seorang pemburu bernama Lubdhaka.  Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini adalah mengapa seorang Luddhaka, yang hanya pemburu binatang,  bisa memasuki Siwa-laya (kediaman/ istana Bhatara Siwa) hanya karena melek (jagra/atanghi) semalam suntuk pada saat Siwaratri (malam pemujaan kehadapan Siwa), sementara orang yang tekun melaksanakan agama dan kewajiban belum tentu beruntung bisa memasuki alam Tuhan? Bahkan, roh pemburu Lubdhaka memicu perang dasyat antara bala tentara pasukan Bhatara Yama dan Bhatara Siwa di kahyangan. Mpu Tanakung menghadirkan tokoh kontroversial ini dalam teks Kakawin Siwaratri-kalpa, sebuah karya sastra yang menjadi sumber terpenting dalam pelaksanaan Siwaratri-puja di Indonesia. Oleh karena tokoh sentralnya adalah Lubdhaka, masyarakat luas mengenal karya ini juga dengan sebutan Kakawin Lubdhaka. Kakawin ini populer di kalangan masyarakat, dibaca setiap saat, khususnya pada malam pemujaan ke hadapan Dewa Siwa. Pertunjukan wayang kulit yang digelar pada malam tersebut biasanya mengambil tema yang bersumber dari teks ini. Upaya-upaya menyalin kembali pada lontar, melakukan transliterasi, penerjemahan, dan pengkajian teks ini, serta penerbitannya dilakukan oleh berbagai kalangan di Bali dan Lombok.  Semuanya menandakan bahwa teks ini bukan sekedar sebuah karya sastra Kawi, namun berperan sangat besar di dalam kehidupan rohani masyarakat Hindu di tanah air.
Ceramah, diskusi atau perenungan menyangkut pemaknaan brata-Siwaratri (Siwarjani) terus dilakukan mengingat pentingnya brata/vrata (puasa/pantangan) di dalam kehidupan agama dan spiritual. Banyak hal di balik ajaran Siwa-ratri yang menarik untuk direnungkan di tengah gempuran paham materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang tengah melanda dunia. Pada Siwaratri umat Hindu patut melakukan Siwasmarana/Siwasmrti (meditasi Siwa), Siwabhakti/Siwarcana/ Siwastuti (pemujaan kepada Siwa), atau Siwatattwadharana (memusatkan pikiran jati diri Siwa),  yang penting artinya di tengah gempuran gaya hidup manusia modern yang membawa manusia semakin jauh dari jati dirinya. Ajaran teks ini dapat dijadikan pegangan agar kehidupan rohani dan duniawi berjalan dengan baik, sehingga manusia berhasil sampai ke tujuan hidup tertinggi (Maha-purusa-artha), yaitu Moksa (pembebasan dari segala bentuk ikatan).
Ada satu aspek yang belum menjadi perhatian dalam rangka pendalaman makna Siwaratri tersebut, yaitu anugraha (anugerah). Artikel ini mencoba membahas pengertian dan fungsi anugraha dari perspektif Siwa-tattwa (metafisika ajaran Siwa) dan implikasinya terhadap kehidupan sekarang. Pembicaraan Siwa-tattwa di dalam teks Kakawin Siwaratri-kalpa menjadi tumpuan utama. Tradisi Saiwa di India juga sedikit disinggung untuk memperjelas pemahaman terhadap konsep anugraha yang sangat penting, tidak hanya di dalam kehidupan rohani, namun juga duniawi.

Pengertian Anugraha


Anugraha (bahasa Sanskerta) bermakna anugerah, kebaikan, menghadiahkan keuntungan/kebaikan, mempromosikan atau meningkatkan kebaikan/kemuliaan . Jika seseorang mendapatkan anugraha berarti ia mendapatkan kebaikan/kemuliaan/ kehebatan tertentu dari seseorang yang lebih tinggi status/kedudukannya atau lebih berkuasa. Tidak pernah orang yang lebih rendah/nista atau hina memberikan anugraha kepada orang yang lebih tinggi status atau kedudukannya di dalam kehidupan rohani atau duniawi di masyarakat. Secara implisit di sini nampak jelas bahwa kualitas kerohanian seseorang ditentukan oleh tingkat kesucian, kejujuran dan ketaatannya memegang suatu keyakinan. Anugraha berasal dari atas kepada yang lebih rendah untuk dimanfaatkan menuju yang lebih tinggi/mulia atau kebaikan/kemuliaan/kesejahteraan dunia. Apalagi jika anugraha dari Bhatara Siwa. Anugraha mengisyaratkan jalan yang jika dilaksanakan akan berhasil; atau kalau pun mendapat rintangan, rintangan tersebut tidaklah begitu berarti karena kekuatan anugraha. Namun sebelum mendapat anugraha, biasanya dialami cobaan, rintangan, atau hambatan yang membuat orang semakin dewasa dalam menghadapi kehidupan. Jika seseorang teguh (Bali: pagêh), berketetapan hati dan tahan terhadap berbagai godaan dan cobaan, maka yang bersangkutan dapat memperoleh keberhasilan.
Kata lain yang sering bersinonim dengan anugraha dalam tradisi India adalah Krpa (bahasa Sanskerta). Ada tiga jenis Krpa, yaitu (1) Sadhana-krpa [anugraha diterima karena usaha sendiri (Upaya)], (2) Guru-krpa (anugraha dan tuntunan dari seorang guru kerokhanian), dan (3) Divya-krpa (anugraha dari Tuhan).  Siwa-tattwa di dalam teks-teks tutur atau Kawya, selain kata ‘Anugraha’, ‘Sreddha’  juga dipakai. Yang ketiga nampaknya mempunyai nilai tertinggi karena sekaligus merupakan jalan menuju alam Bhatara Siwa (Siwa-loka). Alasan utama digunakannya kata anugraha barangkali karena anugraha sebagai salah satu fungsi kosmis atau kemahakuasaan Siwa, sementara Krpa sudah melebar kepada upaya-upaya sendiri dan keterlibatan/campur tangan guru kerohanian. Dalam konteks Indonesia, ketiga jenis Krpa ini dalam prakteknya ada, walaupun batasan secara eksplisit belum ditemukan di dalam teks-teks tattwa/tutur berbahasa Jawa-kuno atau Jawa-Bali.
Dalam konteks Siwa-tattwa di Indonesia, anugraha adalah anugrah atau pemberian jalan kemanunggalan Atman (roh) dengan Paramatma (roh maha agung, yaitu Tuhan) oleh Bhatara Siwa. Oleh karena itu, anugraha senantiasa diimpi-impikan oleh pengikut paham Saiwa agar suatu saat bisa diperoleh, sehingga orang selalu berusaha untuk mencapai titik tersebut. Di samping anugraha diberikan oleh Tuhan (Bhatara Siwa), dewa atau roh-roh suci, anugraha juga bisa diberikan oleh orang suci, misalnya Sadhaka [orang yang melaksanakan disiplin spiritual (Sadhana)]. Sadhaka dianggap sebagai perwujudan/manifestasi Siwa yang nyata di dunia. Ia memperagakan ajaran Siwa (Siwa-sasana/Siwopadesa) dalam kehidupan sehari-hari. Karena ketaatannya ini, Sadhaka mengenakan busana/atribut menyerupai dewa Siwa. Pikiran, perkataan dan perbuatannya adalah wujud nyata Sastra, karenanya sering disebut sebagai Sastra-paraga atau Weda-paraga. Sadhaka menjadi pusat kesadaran masyarakat Hindu karena dari diri dan pengetahuannya ia membimbing dan menyinari kegelapan (awidya) manusia. Disebut Surya (matahari) karena ia sebagai simbol pengetahuan, kecerdasan, energi dan kehidupan alam semesta.
Pada hakikatnya anugraha bersifat rahasya (rahasia). Dalam konteks Lubdhaka hanya Bhatara Siwa-lah yang tahu. Bhatara Yama yang biasa mencatat semua perbuatan manusia pun tidak tahu, apalagi manusia biasa. Oleh karena kerahasiaannya, setiap pengikut paham Saiwa ingin mendapatkannya. Berbagai upaya dilakukan agar yang rahasya tersebut tidak menjadi rahasya lagi.

Anugraha sebagai Jalan Pembebasan


Dalam tradisi Saiwa di India, konsep anugraha mendapatkan perhatian yang sangat besar. Boleh dikatakan paham Saiwa-lah yang telah membahas konsep ini secara lebih mendalam dibandingkan dengan tradisi lain, misalnya Weda. Tradisi Saiwa di India menempatkan anugraha sebagai prinsip metafisika (tattwa) yang sejajar dengan tattwa-tattwa lainnya. Lebih khusus lagi, anugraha adalah salah satu fungsi kemahakuasaan Tuhan. Hal ini muncul pada tataran Nama-rupa (nama dan bentuk) anugraha yang pada intinya adalah bentuk kekuatan (Sakti) Siwa. Oleh karena berupa Sakti, anugraha bisa menghancurkan segala bentuk ke-papa-an manusia. Sekalipun ada beberapa perbedaan menyangkut kemunculan dan status metafisika Sakti ini, nampaknya semua mazab Saiwa sepakat bahwa baik Tri-murti (tiga bentuk) maupun Pañca-krtya (lima aktivitas) adalah bentuk-bentuk Sakti (kekuatan) Siwa.
Tiga tradisi besar Saiwa yang relevan disebutkan dalam konteks ini adalah (1) tradisi Saiwa-Pasupata (abad ke-4 M), sebuah tradisi Saiwa tertua yang berkembang hampir di semua wilayah India dan juga menyebar ke Asia Tenggara, (2) Saiwa Kasmir (disebut juga Trika atau Pratyabhijña) di wilayah pegunungan Himalaya (abad ke-9), dan (3) Saiwa-Siddhanta di India Selatan (Tamil Nadu) (abad ke-13 M). Dari segi jumlah pemeluk dan persebaran geografisnya, Saiwa-Siddhanta adalah tadisi Saiwa terbesar. Ketiga tradisi ini menempatkan anugraha sebagai salah satu prinsip metafisika yang membentuk konsep Pañca-krtya, yaitu lima aktivitas Siwa yang tak pernah berhenti, terdiri dari: (1) manifestasi atau penciptaan (Srsti), (2) pemeliharaan atas penciptaan (Sthiti), (3) menarik kembali semua manifestasi ke asalnya (Samhara), (4) membungkus/mengaburkan jiwa/Atman sehingga jiwa/Atman mengalami kegelapan (Avidya/Ajñana) (fungsi ini disebut Vilaya/nigraha/Tirobhawa), dan (5) memberikan anugerah (anugraha). Tiga fungsi pertama identik dengan Tri-murti, walaupun istilah yang digunakan berbeda. Siwa sebagai prinsip (tattwa) tertinggi, absolut, kebenaran, sumber segalanya dan menjadi tujuan akhir perjalanan roh/jiwa melakukan lima aktivitas yang tidak pernah berhenti dan terjadi pada setiap saat. Setiap saat ada penciptaan, setiap saat pula ada penarikan kembali ke asalnya (Pralina). Dunia ini diberlanjutkan melalui kelima fungsi kemahakuasaan Siwa tadi.
Yang perlu dibicarakan dalam konteks pemaknaan Siwaratri adalah keberadaan dua fungsi kosmis terakhir Siwa, yaitu Vilaya/nigraha/Tirobhawa dan Anugraha, sekalipun dua konsep ini tidak menjadi bagian dari konsep Tri-murti di dalam Siwa-tattwa di Indonesia. Dua konsep ini merupakan pengembangan dan sekaligus wujud kegelisahan kreatif para filosof paham Saiwa sejak kira-kira abad ke-9 (jika dihitung kemunculan tradisi Saiwa monistik di Kasmir yang dipelopori oleh Vasugupta dalam Siwa-sutra). Dapat dikatakan bahwa penambahan konsep fungsional Siwa ini, dipandang dari perspektif sejarah evolusi pemikiran manusia, merupakan penyempurnaan konsep Tri-murti yang dikembangkan oleh tradisi Purana dan Itihasa (sebagai bagian tradisi Weda) pada masa-masa sebelumnya (kira-kira abad ke-4 sampai ke-7 M). Keadaan ini juga menguatkan adanya pengaruh tradisi Purana di dalam Siwa-tattwa di Indonesia. Di dalam konsep Tri-murti ini, fungsi-fungsi Bhatara Siwa belum menampakkan bagaimana manusia diciptakan dan bagaimana dia bisa mencapai tujuan tertinggi. Sepertinya, dunia dan segala isinya tercipta dibiarkan begitu saja.
Di sini kata ‘nigraha’ dan ‘anugraha’ tepat sekali direnungkan agar bisa memahami Siwa-tattwa secara lebih komprehensif. Yang pertama (yaitu nigraha) bermakna membungkus, menyelimuti, menyeret, atau menyebabkan Siwa yang murni, berkesadaran, berkecerdasan, kebahagiaan dan sifat-sifat mulai Siwa lainnya menjadi terbelenggu/terkaburkan kecerdasan-Nya ke dalam dunia fenomenal (Samsara). Siwa sebagai kekuatan kosmis menjadi Siwa (atau tepatnya jiwa/atman) yang bersemayam di dalam diri setiap makhluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. jiwa-jiwa ini mengalami penderitaan dalam lingkaran lahir-hidup-mati. Pada hakikatnya keduanya sama, namun kondisi psiko-fisik jiwa berbeda dari Siwa yang maha agung (Parama-siwa/Para-siwa). Yang satu bersifat empirik atau material, mengalami siklus kelahiran-kematian (Samsara), sedangkan yang lain bersifat trans-impirik atau spiritual, tidak terpengarui oleh dinamika dunia fenomenal sekalipun beliau menjadikan dunia ini. Belenggu (bandha) menyebabkan manusia papa, karena ia lupa dengan jati dirinya sebagai Siwa. papa artinya kondisi rohani ketika manusia mengalami kebahagiaan dan penderitaan (sukha-duhkha) yang relatif. papa adalah sebutan bagi manusia yang dibelenggu oleh indriya-indriya dan objek-objeknya serta pikirannya, sehinga ia disebut sebagai orang-orang yang aturu atau tidur, lupa akan hakikat jati-dirinya (tan mengêt ri jatinya). Dalam keadaan seperti ini, Bhatara Siwa tidak membiarkan manusia terbelenggu di dalam kegelapan rohani. Umat manusia dibantu dan diberi jalan atau ajaran beraneka-rupa yang dapat diambil sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Manusia di bawah bimbingan guru spiritual, tinggal memilih jalan yang cocok dengannya, karena manusia tidak boleh hidup tanpa tujuan khususnya yang tertinggi (yang disebut Moksa). Tapa-brata adalah landasan yoga yang mampu membawa manusia naik menuju Siwalaya. Dengan demikian Siwa-tattwa adalah jalan ke-moksa-an (Moksa-marga) dan Siwa-sasana/Siwopadesa adalah Moksa-sastra (ajaran pembebasan). Para Saiwa wajib mempelajari Siwa-sasana/Siwopadesa (ajaran Siwa). Ibarat memasuki sebuah rumah (yaitu Siwalaya), maka Siwa-sasana/Siwopadesa adalah kuncinya.
Ada satu fungsi ketuhanan yang terakhir, yaitu anugraha. Artinya di samping Tuhan Siwa menyebabkan jiwa terbelenggu karena keterlibatan Maya-tattwa (pinsip material/ketakkekalan) dalam proses penciptaan dunia, Bhatara Siwa sebagai kekuatan tertinggi adalah penganugerah (Anugrahanta), sebuah istilah kerokhanian yang digunakan di dalam tradisi Siwa-Pasupata. Jika dengan fungsi nigraha membawa manusia turun ke bawah ke lembah penderitaan (samsara), anugraha pada sisi lainnya membawa manusia naik menuju dan manunggal serta lebur dengan Siwa. Anugraha membebaskan manusia dari belenggu kelahiran-kematian atau, dengan kata lain, anugraha adalah jalan pembebasan. Dua fungsi terakhir ini, yaitu nigraha dan anugraha khusus menangani jiwa/atman (roh); sementara tiga pertama berkaitan dengan penciptaan alam semesta (jagat/bhuwana).
Di tangan para filosof, Acarya, Rsi Saiwa, khususnya di India Selatan, konsep Pañca-krtya (lima aktivitas) ini telah berhasil dimanifestasikan sebagai konsep Siwa sebagai penari kosmis (disebut Siwa-nataraja) , yaitu sejak dinasti Cola berkuasa pada abad ke 13 M. Setiap elemen di dalam arca atau ikonografi Siwa-nataraja mangandung simbol yang sarat makna . Patung atau arca-arca Siwa-nataraja menjadi ciri khas kuil-kuil (mandira) di India Selatan. Hampir semua musium di India mempunyai koleksi arca Siwa-nataraja ini.
Berbeda dari konsep Adwaita-Wedanta, sebuah sistem filsafat India oleh Samkaracarya, yang menyatakan bahwa Brahman hanya sebagai kesadaran pasif (hanya sebagai Saksi saja), Siwa-Tattwa di India, khususnya Kashmir, dan Siwa-tattva dalam teks-teks tutur, menyatakan bahwa Bhatara Siwa disamping sebagai kesadaran murni juga sebagai sinar (prakasa) yang aktif . Ketika mulai mencipta, kesadaran tersebut bergetar memancar, mengembang dari yang satu menjadi banyak, dari yang halus (sukmma) menjadi kasar (sthula) dari satu (eka) menjadi banyak (aneka) dan akhirnya menjadi dunia dengan segala isinya ini. Dengan demikian dunia ini pada intinya adalah sinar Siwa dan riil sebagai sinar Siwa. Memahami dunia fenomenal sesungguhnya juga memahami Siwa. Artinya, memahami suatu akibat/hasil pada dasarnya juga memahami penyebab, karena antara sebab dan akibat berhubungan erat, sekalipun ada perbedaan pendapat di kalangan filosof mengenai bagaimana hubungan sebab-akibat terjadi tersebut. Tidak ada akibat tanpa sebab. Memahami sebab (oleh karena ia tidak bisa diraba/dipegang/dipahami) bisa dengan cara mengkaji akibat/hasil. Jika Siwa adalah sinar maka dunia ini pun secara ontologis merupakan bentuk sinar/cahaya Bhatara Siwa. Berbeda dengan Adwaita-wedanta, dunia ini tidak dipandang sebagai maya (ilusi yang tidak riil) tetapi sebagai wujud kesadaran sinar, refleksi dari hakikat Bhatara Siwa yang Sat (ke-ada-an), Cit (kesadaran), Ananda (kebahagiaan).
Kesadaran yang bergetar gemerlapan, mengembang dan menguncup ini disimbolkan dengan konsep Siwa sebagai penari kosmis, yaitu Siwa Nataraja, dimana setiap elemen ikonografis Nataraja mengandung simbol filsafati. Di dalam teks-teks tutur, misalnya Wrhaspati-tattwa, kesadaran agung Bhatara Siwa dilukiskan sebagai bunga padma yang bercahaya gemerlapan bagaikan sejuta matahari. Di dalam tradisi Saiwa di Indonesia (baca: Bali) konsep mengembang (bahasa Bali: ngêbêk) dan menguncup (bahasa Bali: ngingkup/ngingkês) ini juga ada di dalam berbagai tataran kehidupan, misalnya yajña (korban suci), seni tari/tabuh dan sebagainya; namun tidak membentuk konsep Pañca-krtya. Konsep Padma-mêkar dan Padma-kuñcup ini bisa dilihat nyata dalam Upacara yajña terbesar, Eka-dasa-rudra [dilaksanakan ketika tahun Saka jatuh pada angka 00 (Rah Windu, Têngêk Windu)] di pura Bêsakih, Bali . Padma-mêkar dan Padma-kuñcup merupakan wujud sinar/cahaya yang mengembang/emisi dan menguncup/menyerap ke pusatnya. Dalam konteks pulau Bali sebagai Padma-bhuwana atau Padma-mandala, pura Bêsakih dianggap sebagai pusatnya. Daun-daun Padma berada di luarnya mulai dari konsep Catur-lawa (empat kelopak), Asta-dala (delapan kelopak) maupun Sahasra-dala (seribu kelopak) membentuk lingkaran-lingkaran berlapis terstruktur dari lingkaran paling dalam/halus hingga luar/kasar, menjaga kesucian dan kemakmuran/kesejahteraan dunia.
Oleh karena dasar metafisika ini, dalam ajaran Siwa-tattwa yang lebih banyak ditekankan adalah papa (kenistaan), bukan dosa (kesalahan) . Manusia lahir karena ke-papa-annya. Hanya perbuatan punya yang bisa membantu ia lepas dari keadaan papa atau papa-naraka. Sebab dosa bisa dilakukan ketika manusia itu dalam keadaan papa. Akar perbuatan dosa atau adharma (ketidakbenaran)/asusila (perbuatan melanggar norma, etika) yang lebih dulu dicari dan dipecahkan dari pada tindakan menghilangkan/menghapus/melebur dosa. Papa bisa diatasi dengan karma (tindakan/kerja) dalam bentuk punya. Perbuatan-perbuatan yang digolongkan punya adalah dharma) (kebenaran, hukum, yasa (pemujaan), dan kerti (pengabdian kepada masyarakat). Di sini nampak jelas bahwa perbuatan manusia mempunyai akarnya pada landasan metafisika.

Siwaratri-kalpa: brata sebagai Landasan Anugraha


Aspek-apek tattwa (metafisika), susila (etika) dan upacara (ritual) Siwaratri-puja (pemujaan pada malam Siwa) terungkap di sini walaupun unsur Rasa (estetika) dominan. Pada intinya susastra kakawin ini menempatkan kemuliaan/keagungan anugraha sebagai klimaks perjalanan rohani manusia. Anugraha mengatasi semua jalan yang ditempuh manusia. Suatu jalan (marga/yoga) bisa ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan hidup manusia (purusartha) berkat anugraha dan karenanya langkah awal dan terakhir adalah adanya pemberian anugraha oleh Bhatara Siwa. Semua jalan kerokhanian bermuara atau mengambil puncaknya pada jñana (pengetahuan rohani) tepatnya samyagjñana  (pengetahuan ke-sama-an) dan hanya dengan samyagjñana penunggalan atman (roh) dengan Paramatman (roh maha agung) bisa terwujud. Hal ini beralasan karena sesungguhnya Bhatara Siwa pada hakikatnya adalah Cit (kesadaran murni universal), Prakasa (cahaya/sinar), Sundaram (keindahan), disamping Sat (ke-ada-an), Satyam (kebenaran) dan Anandam (kebahagiaan). Cit adalah sinar; dan sinar adalah bentuk lain dari pada jñana. Jñana, apapun jenisnya, apakah Para-jñana/-widya (pengetahuan rohani yang lebih tinggi) atau Apara-jñana/-widya (pengetahuan rohani yang lebih rendah) disimbolkan dengan sinar/cahaya (jyotir). Maka dari itu planet-planet yang bercahaya menjadi simbol kesadaran umat manusia. Ketika membicarakan kegelapan/kebodohan manusia, teks-teks susastra Hindu juga membicarakan sinar/cahaya (jñana). Jalan-jalan spiritual lain, seperti bhakti (penyerahan diri total), karma (kerja/aktivitas), raja (yoga) dan sebagainya pada intinya adalah bentuk-bentuk jñana. Ritual (yajña) sebagai bentuk Karma-marga (jalan kerja) sekalipun sesungguhnya jalan jñana, karena tidak ada ritual yajña tanpa dilandasi oleh jñana. Yajña adalah bentuk nyata jñana. Pandangan ini berbeda dari pandangan tradisi kitab-kitab Upanisad yang membuat dikotomi antara Karma-kanda (tindakan/perbuatan) dan Jñana-kanda (pengetahuan). Bagi masyarakat umum, ritual (yajña) lebih mudah dilaksanakan, namun bagi mereka yang telah maju di bidang spiritual mungkin tidak lagi memerlukan ritual (yajña). Oleh karena itu Upacara/Upakara (ritual) menjadi bentuk pelaksanaan agama secara umum. Dengan kata lain, bentuk agama masyarakat umum adalah yajña dalam pengertiannya yang luas. Artinya, agama secara umum mengambil bentuk/ekspresi luar sebagai ritual (yajña) yang bisa diikuti oleh hampir semua orang; sementara bentuk-bentuk jñana atau yoga hanya bisa diikuti oleh segelintir orang disamping memerlukan bakat dan kemampuan sehingga terkesan eksklusif. Yajña di dalam konteks Indonesia bersifat integratif, dengan mempertimbangkan dimensi desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi/keadaan), tidak hanya aspek karma yang dominan, namun juga bhakti, jñana dan Raja/yoga terlibat.
Di sini dapat dipahami bahwa antara jñana (pengetahuan rohani) dan sakti (kekuatan/tenaga) identik. Ketika aspek jñana Bhatara Siwa menjadi aktif/dinamis ia berbentuk kekuatan/tenaga/energi (Sakti) sehingga penciptaan dan fungsi-fungsi lain bisa dilaksanakan. Teks Tutur Wrhaspati-Tattwa menganjurkan tiga jalan spiritual (Tri-sadhana) untuk mencapai Samyagjñana, yaitu Jñanabhyudreka (pengetahuan tentang segala kenyataan), Indriyayoga-marga (tak trekena kekotoran indriya), dan Trsnadosa-ksaya (menghilangkan sisa-sisa/akibat perbuatan).  Dengan demikian anugraha adalah jalan jñana. Dalam konteks teks Siwaratri-kalpa, Lubdhaka sesungguhnya berhasil mencapai Siwa-jñana (pengetahuan intuitif spiritual Siwa) dan karenanya ia berhak memasuki Siwalaya (istana Bhatara Siwa) dan bahkan dianggap anak oleh Bhatara Siwa, berkat keutamaan brata-nya (disebut Warabrata)  walaupun kenyataannya ia hanyalah seorang pemburu. Di sini kita diajarkan agar tidak memandang rendah makhluk hidup, termasuk manusia, betapapun nista dan hinanya dia, karena sesungguhnya siapapun dia, adalah Siwa yang terselubung (Siwa in disguise). Memandang seorang pengemis dengan seorang raja, misalnya, diharapkan sama. Di samping itu tersirat bahwa untuk mencapai jñana, sebagai landasannya adalah kesucian (suddha/nirmala) seperti tercantum di dalam teks-teks Sasana/Niti-sastra/Subhasita . Kesucian lahir-batin sangat ditekankan bahkan prasyarat mutlak bagi mereka yang ingin berjalan di jalan kerokhanian. Dalam teks Siwaratri-kalpa dengan jelas disajikan bagaimana Bhatara Siwa bertindak sebagai penganugerah kepada umat manusia yang tekun melaksanakan brata. Demikian juga Puja Siwaditya Astawa  yang biasa di-uncar-kan oleh Sadhaka menjelaskan Siwa sebagai penganugerah kepada umat manusia. Jika pada teks lain, misalnya Arjuna-wiwaha, Arjuna mendapatkan anugrah senjata panah Pasupati dari Bhatara Siwa karena berhasil melakukan Tapa-brata-yoga yang dilakukan secara teguh, sadar dan sengaja, Lubdhaka di dalam kakawin ini melakukannya secara bodoh bukan dengan terencana. Ia melakukannya dalam keadaan ketakutan dan keterpaksaan. Walaupun demikian, ia boleh masuk ke Siwalaya berkat keutamaan brata yang dilakukan pada saat yang tepat, yaitu pada Panglong ping-14 (Caturdasi-krsna-paksa) Sasih Kapitu (Magha-masa)  dikenal dengan Maha-siwa-ratri.
Yang penting dicatat di sini adalah bahwa anugraha dan brata/vrata [pantangan dalam bentuk melek, puasa makan/minum dan diam tidak berkata-kata (mona)] berhubungan erat; bahkan tidak ada pemberian anugraha tanpa brata. Adalah aneh jika ada orang yang ingin mendapatkan anugraha tanpa melakukan apa-apa. Mpu Kanwa di dalam Kakawin Arjuna-Wiwaha menyuratkan “Ada orang yang tidak pernah melakukan brata-yoga-tapa, dengan lancang ia memohon kesenangan dan kebahagiaan kepada Tuhan bagaikan memaksa, tentu terbaliklah harapan yang demikian, sehingga ia ditimpa penderitaan, disiksa oleh Rajah (kenafsuan) dan tamah (kemalasan, kebodohan) ditindih oleh perasaan sakit hati” . Arjuna berkat brata-yoga-tapa, dianugerahi Bha?ara Siwa (Pasupati) senjata Pasupati atau Pasuyuddha berupa Cadu-Sakti, yaitu empat kemahakuasaan Tuhan [yaitu Wibhu-Sakti (maha ada), Pabhu-Sakti (maha kuasa), jñana-Sakti (maha mengetahui) dan Kriya-Sakti (maha karya)]. Cadu-Sakti adalah senjata yang dapat mengalahkan musuh/ancaman/rintangan. Setelah mendapat anugraha, Arjuna mempersembahkan anugraha Bha?ara Siwa kepada kakaknya, Yudisthira, untuk dijadikan pegangan di dalam memerintah, mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dan negara. Anugrah yang diperoleh bukan untuk dirinya sendiri, namun digunakan untuk menata kehidupan negara.
Brata adalah juga landasan yoga. Yoga tidak hanya sebagai jalan/sarana, yoga juga sebagai tujuan, yaitu kemanunggalan dengan Parama-Siwa. Dalam konteks Siwa-ratri, brata-nya berupa: Jagra (melek/begadang), Upawasa (puasa makan) dan Mona (diam, tidak mengeluarkan kata-kata/wicara/membisu) dan semuanya dilaksanakan dengan penuh keyakinan dan komitmen pada diri. Jagra adalah brata digolongkan minimal (Kanistha), Jagra dan Upawasa digolongkan menengah (Madhya), sementara ketiganya, yaitu Jagra, Upawasa dan Mona sekaligus digolongkan utama/tertinggi (Uttama-brata) dan semuanya dilakukan selama 36 jam (mulai pagi hari kira-kira jam 06:00 hingga pkl. 18:00 sore hari keesokan harinya (yaitu Purwani Tilem hingga pada Tilêm Sasih Kapitu). Memang ada berjenis-jenis brata yang intinya dilakukan untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan (Tri-kaya, yaitu Manacika (pikiran), wacika (perkataan) dan kayika (perbuatan/tindakan). Hari-hari suci biasanya terkait dengan brata tertentu. Berkehendak melaksanakan yajña tertentu baik berskala kecil maupun besar, diharapkan pelakukanya melakukan Tapa-brata tertentu. Yasa-kerti mejelang pelaksanakan yajña adalah salah satu bentuk brata. Brata berupa jagra/atanghi (melek) yang dilakukan Lubdhaka mampu menyucikan seluruh dosa-nya sehingga Bhatara Siwa senang dan menganugerahkan ke-moksa-an kepada Lubdhka. Bhatara Siwa menganugerahkan pahala utama yang bisa menghilangkan segala bentuk kejahatan/ke-papa-an dan mendapatkan kesejahteraan serta kebahagiaan. Dipastikan apabila orang melaksanakan brata ini, ia tidak akan menemui sangsara  di dalam hidupnya. Segala bentuk penderitaannya akan dilebur sebagai hasil pelaksanaan brata (sapapa nika sirna deni phala nin brata). Demikian Bhatara Siwa bersabda di dalam teks kakawin ini.
Di dalam melaksanakan brata dimensi waktu memegang peranan penting, karena ada brata yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Hal ini menandakan bahwa manusia berada di tengah-tengah dimensi waktu (kala), disamping tempat (desa) dan kondisi/keadaan (Patra). Dalam konteks Siwaratri, dimensi waktu, yaitu hari Panglong ping-14 Sasih Kapitu (hari ke-14 pada paruh gelap bulan ke-7) dianggap sebagai malam yang paling gelap. Kegelapan secara Sakala (lahiriyah) boleh dimaknai sebagai kegelapan (avidya) manusia yang harus dilenyapkan melalui pengetahuan (jñana). Untuk mencari terang/sinar/cahaya memang lebih nyata di dalam gelap. Dalam gelap diri kita akan kelihatan terang/bercahaya – jika memang benar bercahaya. Kegelapan gua (guhya) sering digunakan oleh para pencari kebenaran melukiskan awidya. Dalam kegelapan tersebut terdapat rahasya, misteri yang ingin diketahui manusia. Siwaratri disamping sebagai misteri juga juga simbol kegelapan yang dialami manusia.
Dalam kegelapan dunia manusia menjadi lupa dengan jati dirinya, karena manusia terlena dengan pemenuhan indra-indranya. Jika orang terlalu menuruti keinginan tidur, ia akan lupa dengan jati dirinya. Teks-teks Jawa-Kuno mengajak kita agar atutur untuk menghindari turu atau lupa. Ketika manusia aturu ia akan mengalami ke-papa-an. Teks tutur Brhaspati-Tattwa mengajarkan kita agar manusia ingat (atutur) dengan jati dirinya. Tutur artinya ingat/awas/Jagra dengan Siwa (Siwa-smrti). Hidup dengan awas akan dapat mengantarkan pada terhindarnya manusia terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Orang yang selalu atutur akan mendapatkan punya, sebaliknya orang yang selalu turu (dalam pengertian luas) akan mendapatkan papa. Jika ingin selalu atutur, maka diharapkan manusia pintar-pintar menempatkan dirinya di dalam kancah pergaulan sehari-hari. Lingkungan yang positif membuat manusia selalu atutur dan menjauhkan dari aturu. Teks-teks tutur berfungsi mengingatkan manusia akan keberadaan dan hubungannya dengan Bhatara Siwa dan alam semesta (jagat/bhuwana), termasuk sesama manusia dan satwa.
Teks-teks Siwaistik kaya dengan konsep brata, suatu hal yang hanya ada di dalam Siwa-tattwa di Indonesia. Ini membuktikan bahwa papa atau papa-naraka mendapat perhatian yang besar. Memahami kondisi manusia dalam keadaan papa, para Rsi, Acarya, orang suci, guru, atau pemikir di Jawa pada masa Jawa-kuno mengembangkan konsep-konsep etika yang beragam. Konsep Dasa-sila merupakan ciri khas Siwa-tattwa di Indonesia . Dasa-sila yang terdiri atas Pañca-Yama dan Niyama-brata juga dikembangkankan menjadi konsep Dasa-yama dan Dasa-niyama-brata di samping konsep-konsep lainnya.

Anugraha dalam Kehidupan Moderen


Ciri menonjol kehidupan masyarakat moderen adalah gaya hidup konsumtif, hedonis, pragmatis dan individualistik, sebagai dampak majunya perkembangan sains dan teknologi. Pada saat yang sama, manusia juga merindukan adanya kemajuan di bidang rohani, spiritual atau agama. Namun apa yang terjadi justru terbalik: kemajuan sains dan teknologi demikian pesat, moral dan spiritualitas manusia bergerak mundur. Agama dijalankan secara formal saja. Indikasinya cukup banyak, antara lain rasa persaudaraan antarsesama manusia mulai renggang, perselisihan akibat perbedaan-perbedaan suku, agama dan ras semakin mengemuka, degradasi nilai-nilai moral, dan sebagainya. Yang paling memprihatinkan bagi bangsa ini adalah begitu akutnya perbuatan korupsi di berbagai tataran/lapisan yang justru dilakukan oleh oknum penegak keadilan dan kebenaran. Konflik, baik berskala kecil maupun besar, mengancam peradaban manusia. Masyarakat sangat sulit diajak melakukan tapa-brata, apalagi yoga- samadhi. Oleh karena itu dengan mamahami konsep anugraha ini, umat manusia diingatkan akan keutamaan brata. Ajaran Dasa-sila adalah ajaran etika dasar yang sebaiknya dilaksanakan oleh semua umat baik yang tergolong Dwijati maupun masyarakat umum. Di bawah bimbingan guru kiranya ajaran Dasa-sila bisa dilaksanakan secara bertahap.
Di samping anugraha diberikan oleh Bhatara Siwa, secara etika umat Hindu berkiblat kepada orang suci (misalnya Sadhaka), orang tua atau yang dituakan di dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Sadhaka adalah Guru-loka (guru dunia) yang memang tugasnya membimbing, memberikan penerangan/pencerahan kepada umat di dalam kehidupan rohani. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi dan gaya kehidupan modern sepertinya tidak begitu mengindahkan kiblat atau keberadaan ajaran etika ini. Kekacauan timbul karena ajaran moral, etika dilanggar. Izin atau doa restu guru atau orang tua adalah bentuk lain dari anugraha, walaupun pada tataran yang lebih rendah. Izin atau doa restu diperlukan di dalam setiap usaha kehidupan.

Penutup


Anugraha sangat penting di dalam kehidupan rohani dan duniawi, karena anugraha adalah salah satu fungsi kemahakuasaan Tuhan. Dengan anugraha manusia diajak agar sadar bahwa manusia bisa bergegas menuju ke alam Bhatara Siwa dan bersatu di sana. Diakui tidak mudah mencapai hal ini, karena merupakan rahasya Bhatara Siwa. Namun, Bhatara Siwa memberikan jalan agar manusia bisa naik ke atas menuju Siwalaya. Landasan anugraha adalah brata. Brata sesungguhnya adalah sumpah/ikrar pada diri untuk berusaha meningkatkan kualitas kerohanian diri melalui berbagai tantangan atau pengekangan di bawah bimbingan guru. Brata pada dasarnya upaya pengendalian indriya (nafsu) dan pikiran agar bisa dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan tertinggi.

DAFTAR PUSTAKA


ACHARYA, KALA, 2004, Indian Philosophical Terms: Glossary and Sources. Mumbai: Somaiya Publications.
AGASTIA, I.B.G (Trj.), 2001, Siwaratri Kalpa, Karya Mpu Tanakung. Denpasar:     Yayasan Dharma Sastra.
––––– , 2003, Siva-Sm?ti, Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
––––– , 2003, Pañca Balikrama, Padma Ma??ala dan Sad Kahyangan. Gianyar: Dharmopadesa Pusat.
BHATT, N.R., 2001, “Saiva Rituals” dalam V. KAMESVARI, K.S. BALASUBRAMANIAN AND M.T. VASUDEVA (eds.), Saiva Rituals and Philosophy. Chennai: The Kuppuswami Sastri Research Institute.
GRIMES, JOHN, 2009. A Concise Dictionary of Indian Philosophy, Varanasi: Indica     Books:     
MONIER-WILLIAMS, M., 2002. A Sanskrit-English Dictionary, New Delhi: Munshiram Manoharlal.     
NIRDON, KI,1998. Wija Kasawur (2). Denpasar: Warta Hindu Dharma.
SEDYAWATI, EDI, I. KUNTARA WIRYAMARTANA, SAPARDI DJOKO DAMONO dan SRI SUKESI ADIWIMARTA (ED.); 2001. Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, Jakarta: Balai Pustaka.
SINGAL, SUDARSHANA DEVI, 1958. Ga?apati-Tattva: An Old Javanese Philosophical Text; New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan.
–––––, 1962, Tattva-jñana and Maha-jñana (Two Kavi Philosophical Texts); New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan.
–––––, 1995, "Bhuvana-Sa?k?epa: Saiva Cosmology in Indonesia", dalam Cultural Horizons of India; Vol. V, LOKESH CANDRA (ed.). New Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya Prakashan.
SUAMBA, I.B.P, 2011, “The Advancement of Saivism in Indonesia: A Philosophical Study of Saiva-Siddhanta (With Special Reference to Old Javanese Tattva Texts)”.  Desertasi Ph.D. University of Pune.
SUAMBA, I.B.PUTU., 2003, “Siwa-Na?araja: Simbol, Filsafat dan Sinifikansinya dalam Kesenian Bali”, dalam I.B.G. YUDHA TRIGUNA (ED.), Estetika Hindu dan Pembangunan Bali. Denpasar: Widya Dharma.
SURA, I GDE, DKK., 1994, B?haspati-Tattva, Denpasar: Upada-Sastra.
–––––, 1994, Bhuvana-Kosa, Denpasar. Upada-Sastra.
–––––, 1995. Bhuana-Sa?k?epa, Sa?hya?-Mahajñana, Siva-Tattva-Pura?a; Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali.
ZOETMULDER, P.J., 1985, Kalangwan: Sastra Java Kuno Selayang Pandang; Dick Hartoko S.J. (tr.), Jakarta: Djambatan.
–––––, 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Jakarta: Gramedia.