Berikut sikap yang tepat harus dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jenazah adalah




Salah satu isu keagamaan mengemuka saat Pandemi Covid-19 adalah terkait pengurusan jenazah muslim. Covid-19 adalah jenis penyakit berbahaya dan dapat menular kepada yang melakukan kontak dengan orang yang terpapar Covid-19 atau cara penularan lainnya. Dikhawatirkan jika dalam proses pengurusan jenazah pasien Covid-19 meninggal dunia, virusnya masih ada di dalam tubuhnya yang dapat berbahaya dan menular kepada orang yang melakukan kontak dengannya. Beberapa keluarga korban Covid-19 belum memahami prosedur penanganan jenazah. Mereka menilai prosedur itu tidak sesuai dengan aturan fardhu kifayah.

Untuk meminimalisir kekhawatiran di atas, berikut penjelasan prosedur atau a pengurusan jenazah pasien muslim Covid-19 mulai dari bagaimana memandikan, mengkafani, menshalatkan hingga menguburkannya.

Soal memandikan Jenazah. Secara umum, cara memandikan jenazah pasien terpapar Covid-19 yaitu memandikan tanpa membuka pakaian jenazah atau menayamumkan (tayammum). Jika salah satu dari dua hal ini tidak memungkinkan, maka jenazah tidak perlu dimandikan atau ditayammumkan. Petugas yang memandikan wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah. Akan tetapi, jika tidak ada petugas yang berjenis kelamin sama, maka petugas yang ada tetap memandikan dengan syarat jenazah tetap memakai pakaian. Kalau tidak, maka jenazah ditayammumkan. Selanjutnya, jika ada najis pada tubuh jenazah yang dimandikan sebelum terpapar Covid-19, maka najis tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu. Sementara itu, cara memandikan jenazah yaitu dengan mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh jenazah akan tetapi jika jenazah tidak memungkinkan dimandikan atas pertimbangan ahli terpercaya, maka proses memandikan jenazah dapat diganti dengan tayammum dengan cara mengusap wajah dan kedua tangan jenazah dengan debu sesuai ketentuan syariah. Sebaliknya, jika membahayakan, jenazah tidak perlu dimandikan atau ditayammumkan sesuai ketentuan dharurat syar’iyyah.

Selanjutnya, mengafani jenazah sebagai sebuah kewajiban. Proses mengafani dilakukan setelah jenazah dimandikan sesuai syariat. Meskipun terlihat sederhana, namun belum tentu setiap orang dapat melaksanakannya. Cara mengkafani jenazah minimal membungkusnya dengan kain putih yang dapat menutupi seluruh anggota badan dan menutup kepala jika jenazah bukan orang yang sedang ihram. Dasarnya, sabda Rasul yang berbunyi “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena itu sebaik-baik pakaian kalian, dan kafani jenazah kalian dengannya”. (HR. al-Turmudzi dari sahabat Ibnu Abbas). Secara umum, cara mengafani jenazah Covid-19 yaitu setelah jenazah dimandikan/ditayamumkan atau tidak karena dharurah syar’iyyah, maka jenazah tersebut dapat dikafani dengan menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh. Selanjutnya, jenazah dimasukkan ke kantong yang aman dan tidak tembus air demi mencegah penyebaran virus dan keselamatan petugas. Jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan serta menghadap ke arah kiblat. Jika proses pengafanan jenazah selesai dan masih ditemukan najis, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah menshalatkan jenazah. Hukum mensholatkan jenazah adalah fardhu kifayah. Tata cara pelaksanaan shalat jenazah yaitu menyegerakan shalat karena hukumnya sunnah dan sebaiknya dilakukan di tempat yang aman dari penularan Covid-19 serta dilakukan oleh minimal satu orang. Jika kondisi tidak memungkinkan, maka jenazah boleh dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan atau dengan “shalat ghaib” sebagai jalan terakhir. Hal yang tak kalah penting diperhatikan adalah petugas yang menshalatkan wajib waspada memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.

Terakhir, soal menguburkan jenazah. Tata cara menguburkan jenazah terpapar Covid-19 sudah diatur dalam Fatwa MUI Nomor 18 Tahun 2020 dan edaran Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Berdasarkan Fatwa MUI tersebut, penguburan jenazah pasien terpapar Covid-19 harus dilakukan sesuai ketentuan syariat dan protokol medis. Setelah melalui ptoses medis, jenazah kemudian dimasukkan bersama peti ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafan jenazah. Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang lahat diperbolehkan karena sudah termasuk dalam ketentuan aldharurah al syar’iyyah atau kondisi darurat. Lokasi penguburan jenazah terpapar Covid-19 harus berjarak setidaknya 50 meter dari sumber mata air tanah dan 500 meter dari pemukiman terdekat serta dikubur pada kedalaman 1,5 meter, lalu ditutup tanah setinggi satu meter. Pihak keluarga dapat turut dalam penguburan jenazah dengan catatan jika semua prosedur protocol kesehatan dilaksanakan secara baik. Pengetatan terhadap proses pengurusan jenazah pasien Covid-19 diharapkan dapat meminimalisir bahkan memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang lebih luas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi keluarga dan petugas yang menangani jenazah. Wallahu A’lam. Salam sehat !.

Mantan Pasien Covid-19 Wisma Atlet Jakarta

Ciputat, 25 September 2020

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 28-09-2020 Jam: 11:37:16 | dilihat: 34139 kali

Kematian adalah sesuatu yang mutlak terjadi pada manusia. Pada saat itu, tugas seorang manusia di dunia telah berakhir dan orang tersebut akan bersiap menuju kehidupan akhirat yang abadi. Saat seorang muslim meninggal, maka keluarga yang ditinggalkan memiliki kewajiban untuk mengurus jenazah. Salah satunya adalah dengan memandikan jenazah tersebut.

Jika keluarga yang ditinggalkan tidak tahu cara memandikan jenazah, maka boleh meminta tolong kepada orang lain yang bisa melakukannya. Memandikan jenazah ini merupakan bentuk penghormatan yang diberikan kepada jenazah yang meninggal. Karena itu, ada beberapa adab yang perlu Anda perhatikan:

1. Memandikan Jenazah di Tempat yang Terlindungi

Adab pertama dalam memandikan jenazah adalah melakukannya di tempat yang terlindungi dari pandangan orang lain. Dengan begitu, aurat yang ada pada jenazah tidak sampai terlihat oleh orang yang bukan pasangannya dan bukan muhrim dengannya.

2. Memandikan Jenazah oleh Orang yang Memenuhi Syarat

Tidak setiap orang bisa memandikan jenazah. Ada syarat dan ketentuan yang perlu diperhatikan agar proses memandikan jenazah sesuai dengan syariat Islam. Secara umum, orang yang memandikan jenazah harus memenuhi syarat utama. Yaitu muslim, berakal, sholeh, amanah, dan mengetahui adab serta tata cara memandikan jenazah.

Selain itu, jenazah laki-laki harus dimandikan oleh laki-laki, begitu juga jenazah perempuan harus dimandikan oleh perempuan. Orang yang memiliki kekerabatan dekat dengan jenazah harus didahulukan. Seperti ayah atau ibu, kakek atau nenek, anak, saudara, keponakan, paman, sepupu, pasangan, dan lain-lain.

3. Memandikan Jenazah dengan Menutup Auratnya

Saat memandikan jenazah, maka aurat jenazah harus tetap tertutup. Karena itu, sebelum jenazah dimandikan ada baiknya keluarga mempersiapkan selembar kain. Kain ini digunakan untuk menutup aurat jenazah sehingga terjaga dari orang lain yang mungkin melihatnya.

4. Memandikan Jenazah dengan Lembut

Meskipun jenazah adalah orang yang telah meninggal dunia, namun ia tetap harus diperlakukan dengan lembut. Hal ini karena Islam sangat menghargai manusia. Termasuk juga orang-orang yang telah meninggal dunia.

Akan tetapi, jika jenazah yang dimandikan sudah mulai kaku, maka orang yang memandikan boleh melemaskan sendi-sendi jenazah dengan lembut. Yaitu dengan menekuk sendi-sendi sebanyak dua atau tiga kali.

5. Memandikan Jenazah dan Membersihkan Najis dan Kotorannya

Orang yang memandikan jenazah sebaiknya juga membersihkan segala najis dan kotoran di dalam tubuh jenazah. Yaitu dengan cara mendudukkan jenazah dan menekan lembut bagian perut sambil mengalirkan air. Kemudian, lakukan istinja pada jenazah.

Selain itu, bagian mulut, gigi, dan hidung jenazah juga perlu dibersihkan dengan lembut. Begitu juga dengan rambut dan bagian jenggot. Kemudian, jenazah juga diwudhukan. Semua proses ini dilakukan secara lembut dan tidak memaksa.

6. Merapikan Jenazah Setelah Dimandikan

Sebelum jenazah dikafani, jenazah sebaiknya juga dirapikan terlebih dahulu. Diperbolehkan menyisir dan mengepang rambut jenazah serta memotong kukunya jika terlihat panjang. Sehingga, jenazah tampak rapi sebelum dikebumikan.

7. Menutup Aib Jenazah Selama Memandikan Jenazah dan Setelahnya

Hal paling penting dalam memandikan jenazah adalah mencari orang yang bisa memandikan jenazah dan juga amanah. Orang yang memandikan jenazah wajib menjaga dan menutup aib dari jenazah yang dia mandikan. Khususnya jika jenazah adalah orang yang baik semasa hidup.

Akan tetapi, jika jenazah yang dimandikan dikenal sebagai seorang ahli maksiat, maka boleh membuka aib jenazah sebagai bentuk pembelajaran kepada orang yang masih hidup.

Itulah 7 adab yang wajib diperhatikan saat memandikan jenazah. Dengan begitu, proses memandikan jenazah bisa sesuai dengan syariat Islam.

Tatkala seseorang telah benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya ada beberapa hal yang hendaknya dilakukan oleh orang-orang yang hadir di sisinya, yaitu:

1. Memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah menghembuskan nafas terakhirnya sedangkan kedua matanya terbelalak maka Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam memejamkan kedua mata Abu Salamah dan berkata:

إن الروح إذا قبض تبعه البصر

‘’Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya”1.

Imam ash Shan’aniy berkata: “Di dalam perbuatan Nabi ini (memejamkan Abu Salamah) terdapat dalil atas disunnahkannya perbuatan ini dan seluruh ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal ini”2 .

Berikut sikap yang tepat harus dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jenazah adalah
Berikut sikap yang tepat harus dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jenazah adalah

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalamnya terdapat penjelasan disyari’atkan memejam kan mata orang yang telah meninggal dunia.Imam an Nawawiy mengatakan: Ulama’ kaum muslimin telah sepakat atas hal tersebut.Mereka mengatakan bahwa hikmaknya adalah agar tidak jelek pemandangan wajahnya” 3.

Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih. Adapun yang diriwayatkan oleh imam Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf dan imam Al-Baihaqiy dalam Sunan Al-Kubra tentang dzikir ketika memejamkan mata jenazah dari Bakr bin Abdillah rahimahullah bahwasanya beliau berkata:

“Jika engkau memejamkan mata jenazah maka katakanlah:

بسم الله و على ملة رسول الله

“Dengan menyebut nama Allah dan di atas agama Rasulullah”

Adalah semata-mata pendapat beliau tanpa didasari oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi tidak ada dzikir atau bacaan doa yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dalam masalah ini 4.

2. Mendo’akan kebaikan

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah berdo’a:

اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في قبره ونور له فيه

“Ya Allah ampunilah Abu Salamah,angkatlah derajatnya di tengah orang-orang yang mendapatkan petunujuk dan gantilah dalam anak keturunannya yang ada setelahnya dan ampunilah kami dan dia wahai Tuhan semesta alam dan luaskanlah kuburnya”5.

3. Mengikat dagunya

Dalil masalah ini adalah dalil nzhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah, yaitu agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: agar mulutnya tidak terbuka sehingga tidak dimasuki serangga dan agar tidak menyebabkan jeleknya pemandangan wajahnya ketika dipandang oleh orang lain”6.

Adapun tata caranya adalah mengikatnya dengan kain yang lebar dan panjang lagi mencakup seluruh dagunya dan diikatkan dengan bagian atas kepalanya agar mulutnya tidak terbuka.

4. Melemaskan persendian

Dalil masalah ini adalah nazhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah dan orang yang mengurusnya.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: di dalamnya terdapat kemaslahatan. Dan hendaknya dilakukan dengan lemah lembut”7 .

Proses pelemasan ini dilakukan ketika jenazah baru meninggal dunia ketika tubuhnya masih dalam keadaan hangat adapun jika sudah lama atau tubuhnya sudah dingin maka tidak perlu dilemaskan karena tubuhnya sudah kaku.Apabila kita lemaskan dalam kondisi jenazah sudah kaku maka akan menyakiti jenazah dan hal ini tidak diperbolehkan karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا

“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup” 8.

Berkata penulis kitab Aunul Ma’bud ketika mengomentari hadits ini: “Berkata Ath Thibiy: Di dalamnya terdapat isyarat bahwasanya orang yang meninggal dunia tidak boleh dihinakan sebagaimana ketika masih hidup.Berkata Ibnu Malik: Dan bahwasanya orang yang meninggal dunia merasa tersakiti .Berkata Ibnu Hajar: Kelazimannya menunjukkan bahwa ia merasakan kelezatan sebagaimana orang yang masih hidup.Dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan atsar dari Ibnu Mas’ud ia berkata:

أَذَى الْمُؤْمِن فِي مَوْته كَأَذَاهُ فِي حَيَاته

“Menyakiti seorang mukmin ketika telah meninggal dunia seperti menyakitinya ketika di masa hidupnya”9 .

Adapun caranya adalah sebagai berikut:

  • Dilipat lengannya ke pangkal lengannya kemudian dijulurkan lagi
  • Dilipat betisnya ke pahanya dan pahanya ke perutnya kemudian dikembalikan lagi
  • Jari-jemarinya dilemaskan juga dengan ditekuk dengan lembut10 .

5. Melepas pakaian yang melekat di badannya

Seluruh pakaian yang melekat pada jasad jenazah hendaknya dilepas sehingga tidak ada satu helai kainpun yang melekat pada jasadnya kemudian diganti dengan kain yang menutupi selurut jasadnya.

Dalil amalan ini adalah :

A. Para sahabat mengatakan ketika akan memandikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam:

لَا نَدْرِي أَنُجَرِّدُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ثِيَابه كَمَا تجرد مَوْتَانَا

“Kami tidak tahu, apakah kami melepas pakaian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sebagaimana kami melepas pakaian orang yang meninggal dunia di antara kami ataukah tidak “11.

Hadits ini menunujukkan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika akan memandikan jenazah melepas pakaian yang melekat pada jasadnya

B. Agar badannya tidak cepat rusak karena pakaian yang melekat padanya akan memanaskan tubuhnya.

Jenazah apabila terkena hawa panas maka akan cepat rusak. Kadang-kadang keluar kotoran yang akan mengotorinya sehingga akan tampak menjijikkan dan menimbulkan bau yang tidak sedap.

6. Menutup seluruh jasad jenazah dengan kain

Setelah seluruh pakaian yang melekat pada badannya ketika meninggal dunia dilepas lalu ditutupi dengan kain yang menutupi seluruh jasadnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حين توفي سجي ببرد حبرة

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal dunia jasad beliau ditutup dengan pakaian bergaris ala Yaman”12.

Para ulama’ menjelaskan bahwa hikmah dari ditutupnya seluruh jasad jenazah adalah agar tidak tersingkap tubuh dan auratnya yang telah berubah setelah meninggal dunia.

Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

بينما رجل واقف بعرفة، إذ وقع عن راحلته فوقصته، أو قال: فأقعصته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اغسلوه بماء وسدر، وكفنوه في ثوبين -وفي رواية: في ثوبيه- ولا تحنطوه -وفي رواية: ولا تطيبوه- ، ولا تخمروا رأسه ولا وجهه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا

“Ketika seseorang tengah melakukan wukuf di Arafah, tiba-tiba dia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu hewan tunggangannya menginjak lehernya sehingga meninggal. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mandikanlah dengan air yang dicampur daun bidara lalu kafanilah dengan dua potong kain – dan dalam riwayat yang lain: “ dua potong kainnya “- dan jangan diberi wewangian. Jangan ditutupi kepala dan wajahnya. Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah.”13

7. Menyegerakan pemakaman

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ, فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا عَلَيْهِ, وَإِنْ تكُنْ غَيْرَذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكمْ

“Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika ia termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah menyajikan kebaikan kepadanya. Dan jika ia bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah melepaskan kejelekan dari pundak-pundak kalian.” 14

Berkata pengarang kitab Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib: “Perintah menyegerakan di sini menurut jumhur ulama’ salaf dan mutaakhirin adalah sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan: Tidak ada perselisihan di antara imam-imam ahli ilmu dalam masalah kesunnahannya” 15

Syaikh Utsaimin mengatakan: “Berdasarkan penjelasan ini maka kita mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka mengakhirkan pemakaman jenazah sehingga datang kerabatnya… Mereka menunggu selama satu atau sehari semalam agar kerabatnya datang. Pada hakekatnya apa yang mereka lakukan ini adalah merupakan tindakan kejahatan terhadap jenazah karena jenazah apabila termasuk orang yang baik ia menginginkan untuk segera dikuburkan karena ia mendapatkan berita gembira tentang surga ketika meninggal dunia. Dan apabila dikeluarkan dari rumahnya maka jiwanya akan mengatakan:

قدموني

“Percepatlah untukku”

Yakni mendorong para pengusungnya agar mempercepat sampainya ke kuburnya”16 .

8. Segera melunasi hutang-hutangnya

Yakni hutang yang berkaitan dengan hak Allah seperti: zakat, kafarah, nazar dan lain-lainnya ataupun hutang yang berkaitan dengan hak anak turun bani Adam semisal hutang dari proses pinjam meminjam, jual beli, upah pekerja dan lain-lainnya.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ

“Jiwa seorang mukmin bergantung dengan utangnya sehingga ditunaikan “17

Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk menunaikan hutang orang yang meninggal dunia dan pemberitaan bahwa jiwanya bergantung dengan hutangnya sehingga ditunaikan.Dan ini terbatasi dengan orang yang memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk menunaikan hutangnya.Adapun orang yang tidak memiliki harta untuk menunaikan hutangnya maka sungguh telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Allah akan menunaikan hutangnya bahkan ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa apabila seseorang memiliki kecintaan untuk membayar hutangnya ketika meninggal dunia maka Allah akan menanggung penunaian hutangnya walaupun ia memiliki ahli waris yang tidak mau menunaikan hutangnya” 18

Orang yang tidak mau menunaikan hutangnya akan disiksa di kuburnya sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari jalur sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata:

توفي رجل فغسلناه وحنطناه ، ثم أتينا رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] ليصلي عليه ، فخطا خطى . ثم قال : ‘ هل عليه دين ؟ ‘ قلنا : نعم ( ديناران ) قال : ‘ صلوا على صاحبكم ‘ فقال أبو قتادة : يا رسول الله ! ديناران علي . فقال رسول الله [ صلى الله عليه وسلم ] : ‘ هما عليك حق الغريم وبرىء الميت ‘ قال : نعم فصلى عليه ثم لقيه من الغد فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ قال : فقال : يا رسول الله ! إنما مات أمس . ثم لقيه من الغد ، فقال : ‘ ما فعل الديناران ؟ ‘ فقال : يا رسول الله ! قد قضيتهما . فقال : ‘ الآن بردت عليه جلده ‘

“Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikan, mengkafani, dan memberinya wewangian, kemudian kami mendatangi Rasulullah agar menshalatinya . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangkah mendekatinya lalu bersabda, ‘Barangkali Sahabat kalian ini masih mempunyai hutang?’ Orang-orang yang hadir menjawab, ‘Ya ada, sebanyak dua dinar.’Maka Beliau bersabda: “shalatilah saudara kalian. Abu Qatadah berkata, ‘Ya Rasululla shalallahu ‘alaihi wa salam , hutangnya menjadi tanggunganku.’Maka beliau bersabda, ‘Dua dinar hutangnya menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan mayit ini terbebas dari hutang itu?’Abu Qatadah berkata, ‘Ya, benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian menshalatinya.Pada esok harinya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bertemu dengan abu Qatadah bertanya : “ apa yang dilakukan oleh dua dinar ? Abu Qatadah mengatakan: Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dia baru meninggal kemarin.Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pada esok harinya kembali bertemu dengannya dan mengatakan , apa yang diperbuat oleh dua dinar ?’ Akhirnya ia menjawab, ‘Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.’ Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ‘Sekarang barulah kulitnya merasa dingin”19.

9. Segera menunaikan wasiatnya

Syaikh al Utsaimin dalam Asy Syarh Al Mumti’ mengatakan, para ahli ilmu berkata: “seyogyanya wasiat ditunaikan sebelum jenazah dikuburkan….”.

Lalu beliau mengatakan: “Wasiat dengan sesuatu yang wajib hukumnya wajib segera ditunaikan dan sesuatu yang sunnah hukumnya sunnah tetapi mempercepat penunaiannya sebelum dishalati dan dikubur adalah sesuatu yang dituntut baik yang wajib maupun yang sunnah “20

***
Catatan kaki
[1] H.R. Muslim: 920, Sunan Abi Dawud: 3102 [2] Subulus Salam:1/467 Cet:Dar Ibnu Jauziy [3] Nailul Authar:4/29 Cet:Dar al Wafa’ [4] Lihat Jami’ul adillah:84. [5] H.R.Muslim dan Al Baihaqiy. [6] Syarh Mumti’:5/253, Cet: Dar Ibnu Jauziy [7] Syarh Mumti’:5/253, , Cet: Dar Ibnu Jauziy [8] H.R.Ibnu Majah:1616 [9] Lihat Aunul Ma’bud syarh sunan Abu Dawud:7/195, Syamsyul Abadiy, Cet: Dar al Hadits [10] Lihat Syarh Mumti’:5/254, , Cet: Dar Ibnu Jauziy [11] H.R.Ahmad:6/267 dan Abu Dawud:3141 [12] HR. Bukhari : 1241dan Muslim:942 [13] H.R.Bukhari :1265 dan Muslim:1206 [14] H.R.Bukhari:1315 [15] Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib :3/289 At Tabriziy, maktabah syamilah [16] Syarh Mumti’:5/259, , Cet: Dar Ibnu Jauziy [17] Dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam Misykatul Mashabih:2915, maktabah syamilah [18] Nailul Authar:4/30, cet:Dar al Wafa’ [19] Dishahihkan oleh syaikh AlBaniy dalam Ahkamul Janaiz:16, maktabah syamilah [20] Syarh Mumti’:5/261, , Cet: Dar Ibnu Jauziy

Penulis: Ust. Zaenuddin Abu Qushaiy

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Hukum Sebab Akibat Dalam Islam, Bacaan Takbiratul Ihram, Kultum Tentang Hikmah Puasa, Contoh Rahmatan Lil Alamin, Apa Itu Khamr