Berikut pernyataan yang benar tentang al quran kecuali

Islam adalah hidayah Allah, agama semua nabi, dan kitab suci Al-Quran adalah sumber utama ajaran Islam yang dianut oleh hampir seperempat penduduk dunia hari ini. Tidak ada satu buku dan kitab yang paling banyak dibaca dan dihafal di seluruh dunia serta dikaji dari berbagai perspektif keilmuwan melebihi Al-Quran. Sumber Al-Quran sama dengan sumber Taurat, Zabur, Injil dan suhuf-suhuf yang lainnya, yaitu Allah SWT, Tuhan Yang Esa.

Al-Quran menyuruh manusia belajar dari sejarah dan mengambil perbandingan dari kejayaan dan kejatuhan umat-umat terdahulu dalam rangka menghadapi masa depan. Pesan-pesan samawi dalam Al-Quran sejalan dengan semua tingkatan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Umat Islam di masa lalu mencapai zaman kejayaan dan menjadi trendsetter kemajuan peradaban dunia dalam abad 7 - 13 M adalah karena mengamalkan Api Islam, menurut istilah Presiden RI Pertama Soekarno, yang bersumber dari Al-Quran.

Al-Quran mendorong manusia agar mengembangkan kemampuan berpikir seimbang dengan kemampuan berzikir, mengingat Allah. Al-Quran menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan dan mengajarkan peran dan tanggungjawab manusia yang diberi amanah ilmu. Al-Quran sebagai pedoman hidup (manhaj al-hayah) menuntun umat manusia agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ada empat fakta seputar Al-Quran sesuai surat Al-Israa [17] ayat 105 dan Al-Hijr [15] ayat 9 sebagaimana disimpulkan oleh H.S.M. Nasaruddin Latif dalam tulisannya Fakta dan Data Al Quran (1391 H). Pertama, Kitab Suci Al-Quran adalah benar-benar Wahyu Ilahi yang diwahyukan-Nya kepada Nabi/Utusan-Nya, Muhammad SAW. Kedua, Kitab Suci Al-Quran itu berisi kebenaran mutlak dari Allah yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.

Ketiga, Nuzul/turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW adalah benar dan tepat, selaku penerima pertama dan pemegang amanat dari Tuhan SWT yang akan menyampaikannya kepada umat manusia. Dan keempat, Kitab Suci Al-Quran itu, senantiasa dipelihara keaslian dan keutuhan (authenticitasnya) dari tangan-tangan yang hendak merusak keaslian dan keutuhan serta keabadiannya sepanjang kurun zaman, sampai datang waktunya Iradat Ilahiyah akan mengangkatnya kelak di akhir zaman, menjelang pergantian kehidupan duniawi yang fana dengan Hari Akhirat yang kekal abadi.

Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama pada 17 Ramadan, 13 tahun sebelum hijrah/610 M. Turunnya wahyu pertama menandai pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudah Muhammad. Surat Al-Alaq [96] ayat 1 - 5 sebagai wahyu pertama kepada Nabi Muhammad yang turun di Gua Hira, Kota Suci Mekkah, membuka wawasan ilmu pengetahuan dan literasi.

"Bacalah (ya Muhammad), dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang amat pemurah. Yang mengajarkan (menulis) dengan pena. Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak  diketahuinya." (QS Al Alaq [96]: 1-5)

Mushaf Al-Quran yang ada sekarang tidak berbeda dari yang dibaca oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Susunan 114 surat dan 6.000 ayat Al-Quran diberi tahu Malaikat Jibril yang datang setiap Ramadan kepada Nabi Muhammad dan Nabi memberi tahu para sahabat yang ditugaskan sebagai penulis wahyu. Mushaf Al-Quran dicetak di berbagai negara sesuai naskah induk (Mushaf Al-Imam) di masa pemerintahan Khalifah III Utsman Ibnu Affan (644  656 M). Copi asli naskah induk dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah dan Kufah serta satu copi dipegang Khalifah Utsman di ibukota Madinah. Naskah induk Mushaf Al-Quran kini tersimpan di Museum Istambul Turki. Seni baca Al-Quran dengan tanda baca dan qiraat-nya, terjemahan dan tafsirnya, menjadi ilmu tersendiri di dunia Islam.

Dalam rubrik ”Tanya Jawab” di Majalah Gema Islam (1962) yang diasuh Dr. Hamka (Buya Hamka), seorang pembaca mengajukan pertanyaan: Seorang ulama di tempat saya menyatakan, jika manusia mendarat di bulan, maka batallah kerasulan Nabi Muhammad Saw. Bagaimana pendapat Bapak dalam hal ini?

Hamka menanggapi: Jika manusia sudah dapat mendarat di bulan, kami akan bersujud syukur kepada Tuhan, karena dengan demikian akan bertambah nyatalah ke-Rasulan Nabi Muhammad Saw. Karena di dalam Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad Saw berjumpa beberapa ayat yang hanya dapat ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan alam yang mendalam berkenaan dengan bulan. Kalau kita tilik sejarah Islam, penyelidikan tentang ruang angkasa ini, hanyalah lanjutan saja daripada peneropong bintang dan bulan yang telah didirikan oleh sarjana-sarjana Islam di Baghdad, di Samarkand, di Mesir dan di Andalusia beberapa abad yang telah lalu. Lalu disambung sekarang dengan penyelidikan tajribiah (empirisme) orang Barat. Karena kita tidak mempunyai kesanggupan lagi menyambung rantai pengetahuan itu, lalu kita sandarkan ketiadaan-tahu kita itu, kepada agama. Padahal karena kekurangan pengetahuan kita dalam hal ilmu alam, tidak kita sadari bahwa penafsiran kita terhadap agama pun amat sempit pula. (Prof. Dr. Hamka Tanya Jawab Jilid I  tahun 1967).

Dr. Abdurrazaq Naufal dalam buku Baina Dien Wa Ilmi (Antara Agama dan Ilmu Pengetahuan) mengemukakan tiga pertanyaan dan jawaban ketika mengurai konflik agama dan ilmu pengetahuan di dunia Barat semenjak abad ke-17, yaitu: (1) kapan dimulainya ilmu dan kapan agama? (2) apa tujuan ilmu dan tujuan agama? (3) dari mana sumber ilmu dan sumber agama? Abdurrazaq Naufal lalu menjelaskan berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 30-39 yang berbicara tentang sejarah Nabi Adam. 

Pertama, ilmu maupun agama dimulai dari nenek-kakek manusia pertama Nabi Adam, yang diturunkan ke muka bumi ini untuk menjadi khalifah dengan tugas meramaikan, memakmurkan dan menguasai bumi dengan segala isinya. Adam dianugerahi ilmu pengetahuan dan juga diberi agama yang akan menjadi way of life baginya.

Kedua, tujuan ilmu dan tujuan agama adalah satu ialah menciptakan kebahagiaan, jasmani dan ruhani manusia, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al Quran itu. Ketiga, sumber ilmu dan sumber agama ialah satu yang tidak terpisahkan yaitu Allah SWT.

Keempat, karena semuanya satu, maka akhirnya antara ilmu dan agama tidak mungkin ada konflik. Jika diciptakan pertentangan antara keduanya dan masing-masing menempuh jalannya sendiri, niscaya hidup manusia akan rusak dan dunia akan kacau.

Kelima, oleh karena itu, Islam memanggil segala macam ilmu pengetahuan supaya mempersatukan diri dengan agama, dan para ahli, baik ahli ilmu pengetahuan dan ahli agama agar bersatu mengabdikan diri kepada Tuhan dan mempersatukan tekadnya untuk kebahagiaan manusia dan alam seluruhnya.

Turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW berlangsung selama 22 tahun. Hal itu memberi pelajaran tentang metode penetapan hukum secara bertahap (asas at-tadrij fit-tasyri). Sejarah turunnya ayat-ayat Al-Quran mengandung pelajaran bagaimana seharusnya membuat undang-undang dan peraturan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kesiapan masyarakat.

Dr. H. Abdoerraoef, S.H. dalam buku Al Quran dan Ilmu Hukum (1970) menjelaskan bahwa norma-norma hukum dalam Quran merupakan hukum yang minimum harus ada dalam masyarakat umat manusia di segala masa dan tempat. Hukum yang selebihnya dapat berbeda menurut waktu dan tempat, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan norma-norma hukum Quran dan Hadis. Quran tidak hendak menghapuskan segala rupa hukum yang ada dalam masyarakat umat manusia, asal saja tidak bertentangan dengan norma-normanya. Salah satu sumber norma-norma itu adalah Quran. Quran bukanlah buku undang-undang. Dan Quran sendiri pun hanya mengatakan bahwa dia sebagai petunjuk, bukan suatu sistem perundang-undangan. Menurut Quran, segala hukum positif yang ada dalam masyarakat semuanya harus berdasarkan kepada norma-norma yang sudah diberikan oleh Al-Quran, dengan pengertian tidak boleh bertentangan dengan norma-norma tersebut. Jadi yang menjadi persoalan bukan siapa yang membuat undang-undang, tetapi apakah undang-undang itu bertentangan atau tidak dengan norma-norma Quran. Sumber hukum dalam Islam adalah Quran dan Hadis. Adapun qiyas, ijma dan sebagainya bukanlah sumber hukum dalam Islam, tetapi cara-cara mencari hukum (rechtsvinding).

Umat Islam setiap tahun memperingati Nuzulul Quran sebagai tanda syukur atas rahmat dan karunia Allah kepada umat manusia. Bulan Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Quran untuk menjadi petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan furqan (pembeda antara haq dan bathil). (QS Al Baqarah [2]: 185)

Puasa Ramadan dapat dimaknai dalam rangka mengenang dan memperingati Nuzulul Quran, sebuah tonggak perubahan fundamental dalam sejarah umat manusia dan peradaban dunia. Mari kita merenungkan pesan Nabi Muhammad dalam Hadisnya, Wahai ahli Al-Quran. Janganlah kamu perbantal Al-Quran itu, tetapi bacalah ia dengan sebenar-benarnya baca. Wallahu alam bishawab.

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”. (QS. al-Hijr, 15:9)

    Nabi Muhammad SAW. adalah Nabi akhir zaman dan saayidul anbiyaa’ wal mursalin. Sejalan dengan kedudukannya ini, Allah Swt. membekalinya dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup bagi umatnya, petunjuk jalan menuju keridlaan-Nya untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.

    Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya dinilai sebagai ibadah. Sebagai kitab suci yang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat akhir zaman, Allah Swt. senantiasa menjaganya. Kenyataan ini tercantum dalam surat al-Hijr, 15:9, Allah Swt. berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ

 Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”. (QS. al-Hijr, 15:9)

    Ayat di atas menguatkan dan memastikan orisinalitas Al-Qur’an sejak pertama diturunkan sampai sekarang, tidak ada keraguan sama sekali. Ayat ini berkaitan dengan ayat 6 dan 7 surat al-Hijr. Ayat ini sebagai bantahan terhadap orang-orang kafir yang meragukan sumber datangnya Al-Qur’an. Sekaligus sebagai mendorong orang-orang kafir untuk mempercayai Al-Qur’an dan memutus harapan mereka untuk mempertahankan keyakinan sesat mereka. Demikian dijelaskan oleh Quraisy Syihab dalam Tafsir al-Mishbah halaman 95.

   Muhammad Amin al-Harori di dalam tafsirnya, Hadaiq al-Rauh Wa al-Raihan Fi Rawabi 'Ulum al-Qur'an, jilid 15 halaman 21 menguraikan maksud ayat tersebut di atas yaitu Allah Swt. menjaga Al-Qur’an dari sesuatu yang tidak pantas baginya (Al-Qur’an), dari perdebataan hakikatnya, dari pendustaannya, dari memperolok-olokannya, dari pengubahan, dari penggantian, dari penambahan maupun dari pengurangan di setiap waktu dan setiap zaman.     

   Takdir dan kehendak Allah SAW. berjalan dalam penjagaan Al-Qur’an. Ketika ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW., beliau membacakan di depan para sahabat dan memerintahkan untuk mencatatnya.

    Memang, Al-Qur’an di wahyukan secara lisan. Namun, Al-Qur’an sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab yang tertulis (QS. at-Thur, 52:2). Pada dasarnya tradisi pencatatan Al-Qur’an telah dimulai sejak awal perkembangan Islam. Hal ini bisa dilihat dari bukti sejarah. Pada masa periode Makkah terdapat shahifah yang berisi surat Thaha yang dipegang oleh Fatimah, saudara perempuan Umar bin Khaththab. Pada masa periode Madinah, Nabi Muhammad SAW. menugaskan kurang lebih enam puluh lima sahabat untuk bertindak sebagai penulis wahyu (A’zami, 2005:72).

    Memasuki periode Khulafaurrasyidin, penulisan Al-Qur’an semakin digalakkan. Hal ini dilakukan setelah terjadinya perang Yamamah pada masa Abu Bakar. Peristiwa  ini merenggut nyawa para penghafal Al-Qur’an dalam jumlah yang cukup besar. Khawatir Al-Qur’an musnah, Umar bin Khaththab mengusulkan kepada Abu Bakar selaku khalifah, untuk mengumpulkan semua shahifah yang berisi Al-Qur’an. Dibentuklah tim yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Pada masa ini, kompilasi shahifah Al-Qur’an berhasil dibuat kemudian disimpan di bawah pengawasan Abu Bakar.

    Pada masa Umar bin Khaththab, strategi pelestarian Al-Qur’an dilakukan melalui pengajaran. Beliau mengutus kurang lebih sepuluh sahabat ke Basrah (Mesir) untuk mengajarkan Al-Qur’an. Adapun Ibnu Mas’ud diutus ke Kufah (Irak). Pemerintahan di bawah Umar bin Khaththab berhasil mengembangkan pelestarian Al-Qur’an melalui pengajaran di halaqah (semacam madrasah).

    Perkembangan pembukuan Al-Qur’an mencapai puncaknya pada masa Utsman bin Affan. Sebuah tim yang terdiri atas 12 orang dibentuk oleh Utsman bin ‘Affan untuk melakukan sebuah kerja ilmiah yang sangat berat, yaitu menyusun sebuah naskah Al-Qur’an menjadi mushaf. Tim tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Setelah naskah (mushhaf) Al-Qur’an tersusun, kemudian dilakukan validasi (tashhih). Proses validasi dilakukan di hadapat Utsman bin ‘Affan dan para sahabat lainnya. Setelah dinyatakan valid, kemudian mushaf Al-Qur’an tersebut disalin dan menjadi empat buah, kemudian dikirim ke Kufah, Basrah, Suriah dan di Madinah. Inilah yang dikenal dengan Mushhaf Utsmani. Pendapat lain menyebutkan, jumlah naskah sebanyak sembilan buah.

    Mushaf Al-Qur’an yang dikirim ke berbagai negara tersebut disertai dengan qari’ (pembaca). Atau dengan kata lain, tiada mushaf yang dikirim tanpa seorang qari’. Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin as-Sa’ib ke Makkah, al-Mughirah bin Shihab ke Suriah, ‘Amir bin ‘Abd Qais ke Basra dan Abu ‘Abdurrahman as-Sulami ke Kufah. Bagaimana bentuk tulisan mushaf saat itu? Jangan dibayangkan seperti mushaf Al-Qur’an yang saat ini kita lihat. Pada masa itu, mushaf Al-Qur’an hanya berupa huruf konsonan, tidak ada harokat, titik, maupun tanda-tanda baca. Namun demikian, usaha penyusunan mushaf ini berupakan kerja yang luar biasa. Mushaf Utsmani menjadi mushaf standar penyusunan naskah Al-Qur’an. Dan dalam perkembangannya, mushaf Al-Qur’an yang saat ini banyak digunakan dinisbatkan (disandarkan) pada mushaf Utsmani.

    Mengenai pencetakan Al-Qur’an, mayoritas sarjana baik muslim maupun non muslim berpendapat bahwa Al-Qur’an pertama kali dicetak di Venesia, Italia antara 9 Agustus 1937 dan 9 Agustus 1938 oleh Paganino dan Alessandro Paganini. Kedunya merupakah ayah dan anak yang ahli di bidang pencetakan dan penerbitan. Pencetakan Al-Qur’an menggunakan mesin the moveable type, sejenis mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg sekitar tahun 1440 di Main, Jerman. (Faizin, 2011: 137-138). Pencetakan Al-Qur’an berlanjut antara lain di Hamburg Jerman tahun 1652-1692 yang dilakukan oleh yang dilakukan oleh Abraham Hinckelmann. Berikutnya pencetakan Al-Qur’an di Petersburg pada tahun 1787, setelah perang Rusia-Turki (1768-1774). Pada tahun 1834, Al-Qur’an dicetak di Leipzig dan diterjemahkan oleh orientalis Jerman. Pencetakan Al-Qur’an yang dilakukan oleh negara-negara ini umumnya menimbulkan kontroversi. Antara Tahun 1923-1925 pencetakan Al-Qur’an dengan percetakan modern dilakukan di Mesir (Edisi Mesir). Edisi ini menjadi pencetakan mushaf standar karena bacaan sudah diseragamkan. pada tahun-tahun berikutnya, pencetakan mushaf Al-Qur’an semakin berkembang yang dicirikan adanya variasi model, khat kaligrafi dan hiasan.

    Sejak Al-Qur’an dicetak secara massal, muncul pertanyaan dari sebagian kelompok mengenai keotentikan Al-Qur’an. Menurut Syeikh Ali Jum’ah, mufti mesir dan pernah menjabat sebagai Grand Syeikh al-Azhar, usaha untuk membuktikan keotentikan Al-Qur’an pernah dilakukan oleh sebuah Lembaga Kajian Al-Qur’an yang di dirikan oleh Universitas Munich. Ini terjadi sebelum perang dunia kedua. Lembaga tersebut berusaha mengumpulkan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an. Mereka menetapkan kriteria Al-Qur’an yang dikumpulkan dicetak di zaman yang berbeda-beda dan dari tempat yang beda-beda, dan berhasil mereka lakukan. Langkah selanjutnya, tim melakukan kajian komparatif antar naskah. Mereka tidak menemukan sesuatu pun adanya perubahan/ ada yang di ubah dalam Al-Qur’an. Ketika mereka telah melakukan kajian komparatif sebanyak lebih 80% dari 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an, mereka membuat sebuah laporan yang kemudian disimpan di Perpustakaan Nasional, Berlin. Laporan tersebut berisi hasil kerja tim, yaitu: 1) pengumpulan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an, 2) Proses kajian komparasi, 3) Tidak ditemukan adanya pengubahan dalam Al-Qur’an. Mereka temukan hanya kesalahan penulisan, misalnya kata  لا ريب فيه tertulis لازيت فيه . Ini adalah kesalahan titik, dan kata لازيت dalam bahasa arab tidak ada maknanya, dan ini bukanlah sebuah tahrif (pengubahan). Riwayat Syeikh Ali Jum’ah ini senada dengan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Muhammad Musthofa ‘A’zami yang dimuat dalam bukunya berjudul “The History Of The Qur’anic Text” halaman 206.

    Usaha - usaha untuk melestarikan Al-Qur’an sebagaimana di jelaskan di atas, yang dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW., masa Sahabat hingga sekarang merupakan kehendak dan kuasa Allah Swt. Ini di antara bukti bahwa Allah yang menjaga Al-Qur’an. Dari segi hafalan, kita bisa melihat banyak umat Islam yang berlomba-lomba menghafalkan Al-Qur’an. Di samping itu, banyak berdiri pondok-pondok pesantren khusus untuk menghafalkan Al-Qur’an. Kemudian lomba-lomba hafalan Al-Qur’an yang diadakan melalui musabaqah hifdzi Al-Qur’an baik tingkat nasional, regional maupun internasional. Sedangkan dari segi penulisan (teks) kita bisa melihatnya melalui kerja-kerja ilmiah berupa pentashihan (pengesahan) teks/khot penulisan Al-Qur’an yang akan diterbitkan oleh perusahaan penerbit. Di Indonesia terdapat institusi yang bekerja untuk itu, yaitu Lajnah Pentashih Mushhaf Al-Qur’an (LPTQ).

Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk agar tidak hanya dihafalkan saja, tapi juga dipahami maknanya dan diamalkan agar kita mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.

Referensi:

  1. Al-Harori, Muhammad Amin, Tafsir Hadaiq Rouh al-Bayan, Beirut: Daar at-Thouq an-Najah, 2001.
  2. Faizin, Hamam. Pencetaka Al-Qur’an dari Vensia Hingga Indonesia. Jurnal Esensia Vo. XII No. 1 Tahun 2011.
  3. Muhammad Musthofa ‘Azami, The History Of The Qur’anic Text, England: Islamic Academy, tt.
  4. Syihab, Qurais. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
  5. https://www.youtube.com/watch?v=uDJGRyPAeSI

Sumber :

Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI

Editor : Fandy A